Rabu, 27 Desember 2017

tugas artikel Prof. Zakiyuddin

Urgensi Studi Islam Interdisipliner di Era Milenial
Oleh: Nur Salim (12010170033)
(Mahasiswa Pascasarjana Manajemen PAI IAIN Salatiga Kelas B 2017)

A.    Latar Belakang Masalah
Setelah menjalani perkuliahan Pendekatan Metode dan Studi Islam, penulis merasa ada yang perlu diperhatikan dari beberapa peristiwa yang ditemui oleh penulis jika dikaitkan dengan mata kuliah tersebut. Diantaranya adalah adanya pembenturan kebenaran oleh beberapa kelompok, kurang efektifnya metode mengajar guru di madrasah, proses golbalisasi, dinamika komunitas agama, hingga konspirasi yang ada di dunia internasional pasca digulirkannya era globalisasi.
Penulis menemukan sejumlah temuan data terkait istilah kunci seperti pendidikan karakter, pendidikan tanpa kekerasan, media maya sebagai sumber pembelajaran, media rumahan, bentuk kesalehan di kampus, salah paham mengenai tasawuf, dan konservasi lingkungan. Sejumlah istilah ini sering digunakan oleh beberapa pihak untuk saling berkonflik (kurikulum yang memberatkan pada tugas administrasi daripada mengajar, salah makna hukuman fisik oleh guru ketika anak bandhel, plagiarism, labeling bid’ah pada perjalanan spiritual para sufi oleh mahasiswa, eksploitasi pada alam). Padahal seharusnya istilah-istilah di atas dapat dicarikan solusinya sehingga kehidupan manusia mendekati makna maslahat (menuju masyarakat terdidik dan madani). Dalam Majalah Islami al-Kisah No. 11/Tahun VIII/31 Mei-13 Juni 2010 (halaman 27) dijelaskan bahwa jika kita mau belajar dengan kembali di masa lalu, para ulama’ menampilkan perbincangan yang sarat perbedaan pendapat namun tidak ada caci maki, saling ejek atau saling tuduh ahli bid’ah. Sebab masing-masing sadar bahwa setiap ulama’ memiliki dasar argument. Meskipun lebih meyakini kekuatan argumentasi sendiri, mereka tetap menghormati pendapat ulama’ lain. semakin tinggi ilmu mereka, semakin tawadlu’ jiwa mereka.
Maka dari itu, penulis hendak menyodorkan beberapa pertanyaan yang akan penulis telusuri jawabannya. Tentunya, dengan pembatasan masalah sebagai berikut:
B.     Rumusan Masalah
Pertanyaan yang akan penulis batasi dalam problem saat ini adalah berkisar pada sebuah kalimat: “Bagaimana Studi Islam menjawab permasalahan labeling bid’ah pada pemaknaan tasawuf, pendidikan karakter dan media maya sebagai sumber pembelajaran, bentuk kesalehan di kampus konspirasi media internasional dan urgensinya terhadap kehidupan seorang muslim?”
C.     Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini bermaksud sebagai pelurusan metode berpikir, bertindak dan beraktualisasi terhadap dinamika masalah kehidupan baik di lingkungan madrasah, kampus maupun rumah/masyarakat bagi manusia ke depannya.
D.    Metodologi dan Pendekatan
Metodologi yang penulis gunakan dalam memberikan solusi terhadap problem-problem di atas adalah kualitatif dengan pendekatan filosofis-humanisme teistik.
E.     Hasil Temuan Penelitian

Sabtu, 09 Desember 2017

lanjutan cerpen

1.      Pagi Anugerah
Pagi itu benar-benar cerah secerah wajah Abdul yang senantiasa tersenyum karena bangga-bahagia. Siratan mega merah di pojok langit dengan manik-manik awan putih tipis menandakan bahwa fajar telah tiba. Tetapi tidak begitu bagi hati Abdul: hatinya penuh awan putih bersih. Perjalanan menuju gedung serba putih di pinggir selasar Tawangmangu benar-benar membuatnya waspada. Sesekali dia menarik nafas panjang. Ini pertama kalinya baginya menuju gedung itu semenjak kepulangannya dari Iran pasca mengakhiri studi S3 dan riset ilmiahnya di sana. Jalan Karanganyar-Solo memang selalu macet di pagi hari apalagi hari awal aktivitas, Senin. Seakan-akan jalan dipadati oleh bebek-bebek matic dan juga kijang besi alias mobil.
Sedikit-sedikit lampu lalu lintas menyala. Menyetop dan melancarkan perjalanan. Harus tengok kanan-kiri karena banyaknya perempatan yang memungkinkan adanya kecelakaan. Baik ringan maupun berat. Pernah dua atau tiga kali kecelakaan terjadi dalam satu hari di jalan yang sama. Maka resep perjalanan yang baik adalah memakai helm bagi kendaraan roda dua atau sabuk pengaman bagi mobil dan tentunya berdo’a sebelum berangkat. Insya Allah  tuhan akan melancarkan perjalanan kita ketika hati dipenuhi oleh selimut tawakkal pada-Nya. Apalagi jika masih tinggal bersama kedua orangtua, tidak ada salahnya jika berpamitan. Karena mereka akan memberikan do’a selamat bagi putra-putrinya.
Jarak yang tidak begitu jauh dari yayasan memang menjadi kesenangan tersendiri bagi Abdul untuk mengantar sang Pujaan Hati menuju medan jihad. Tempat parkiran yang luas sangat representatif bagi keduanya untuk berjalan berdua dengan romantisnya. Sehingga tidak ada satupun yang akan mengganggu perjalanan cinta mereka.
Tangga-tangga menuju ruang utama dengan bangsal-bangsal yang bersih nan putih. Naluri Abdul mengucapkan bahwa nanti akan hadir sang malaikat penjaga. Berbaringlah Anna di kasurnya lalu terdengar suara langkah suster berbaju putih. Warnanya seperti dinding dan bangsal-bangsal tadi.
Tarikan nafas yang terengah-engah dan perjuangan tiada akhir dilakukan Anna. Akhirnya lahirlah dua putra-putri kembar. Bersih tanpa dosa. Senyuman syukur tergambar di wajah kedua orang tua. Seorang bapak dan ibu muda.
“Kini aku menjadi seorang ayah!” teriak Abdul dengan puasnya.
“Benar aku kini menjadi ibu, hahaha.” Kata Anna menyahut.
“Aku menjadi seorang ayah, Alhamdulillah Ya Allah.” Kata Abdul sekali lagi.
“Dan aku menjadi ibu, mas. Hemm... sepertinya akan tambah menyenangkan!” seru Anna. Matanya mengerjap-ngerjap, berbinar bahagia.
Abdul segera bersujud syukur tiga kali sambil bertakbir lirih saking bahagianya.
Akhirnya yang dinanti-nantikan datang juga. Abdul menimang bayi. Kembar lagi. Betapa bahagianya mereka berdua. Sebuah kisah baru sang bayi dan kisah yang indah bagi kedua orang tuanya.

2.      Hari Duka
Kebiasaan jika Abdul merasakan gerah atau galau pasti akan

makalah S2 Manajemen PAI: Metodologi Penelitian Pendidikan Analisis Data

BAB I
PENDAHULUAN
I.                   Latar Belakang Masalah
Dalam membuat penelitian terdapat tahap-tahap yang harus dilalui. Seperti: merumuskan masalah, merumuskan tujuan penelitian, memilih jenis penelitian, teknik pengumpulan data, analisis data, sistematika penulisan penelitian dan menyimpulkan hasil penelitian. Hal-hal tersebut adalah langkah-langkah yang bertujuan agar dapat diakui sebagai hasil penelitian dan dapat menjadi rujukan bagi penelitian yang baru.
Sebagai mahasiswa, khususnya mahasiswa strata dua, diharapkan dapat menghasilkan riset yang berbobot dan layak dipublikasikan di jurnal ilmiah. Baik yang sudah terakreditasi maupun belum, baik yang berskala nasional maupun internasional. Menurut Maslikhah (2013: 47), Seorang mahasiswa S2 juga harus mampu membuat thesis yang sifatnya lebih mendalam dibandingkan skripsi, mengungkapkan teori baru dengan menguji satu atau lebih hipotesis untuk mendapatkan gelar magister. Maka untuk mengkaitkan antara hipotesis dengan temuan data dan teori, sangat diperlukan pemahaman yang baik mengenai salah satu tahap penelitian yaitu analisis data. Dalam makalah ini, akan dipaparkan secara urut apa saja yang menjadi bagian dari analisis data dan bagaimana kiat-kiat membuat analisis data yang ilmiah dan dapat diterima sebagai hasil penelitian.
II.                Rumusan Masalah
1.      Apa saja rincian yang terdapat pada tahap analisis data?
2.      Bagaimana cara membuat analisis data yang tepat dan baik pada sebuah penelitian?
III.             Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui dan mengkaji secara mendalam mengenai hal-hal yang yang harus diperhatikan terkait pada analisis data pada suatu penelitian.
2.      Untuk mengetahui dan mengkaji secara mendalam proses analisis data pada sebuah riset penelitian.















BAB II
 Pembahasan

A.    Pengertian dan Maksud Analisis Data Penelitian
Tahapan akhir dari sebuah penelitian baik dalam bentuk jurnal, skripsi maupun tesis adalah analisis data. Analisis data adalah

Sabtu, 18 November 2017

makalah S2 PAI studi pemikiran tokoh: Nader Hashemi mengenai demokrasi liberal berbasis moral agama



Studi Islam: Review Buku Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal
A.    Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini, khususnya di akhir abad ke dua puluh dan awal abad ke dua puluh satu, kita mengenal problem besar di dunia Islam yaitu penataan demokrasi. Demokrasi dengan varian liberalnya (sebagaimana yang dipahami selama ini oleh Barat) masih diperdebatkan oleh sejumlah kalangan muslim.
Menurut penyusun makalah, Ada beberapa orang (khususnya di Indonesia) yang mengakomodir demokrasi, ada pula yang menolak secara subjektif dan ada pula yang menolak secara mentah-mentah. Bagi yang mengakomodir demokrasi, maka demokrasi dengan segala variabelnya dipakai dan diterapkan secara perlahan. Dikembangkan dan direvisi sedemikian rupa sehingga berakhir pada kesimpulan bahwa demokrasi ini adalah pilihan yang baik mengingat dinamikanya juga bersifat positif.
Bagi yang menolak secara subjektif, mereka menganggap bahwa konsep demokrasi belum menyentuh pada tujuannya yaitu untuk rakyat. Demokrasi dinilai belum memaslahatkan rakyat seluruhnya. Terkadang malah menjadi hujatan, guyonan di warung kopi dan juga refleksi bahwa demokrasi ini sangat kontras dengan peninggalan leluhur yang bersifat monarki. Yang dinilai lebih fleksibel dalam menanggapi problematika rakyat. Karena sistem kerajaan dinilai mampu beradaptasi dengan wahyu dan menampilkan perilaku moral para pejabatnya sehingga dapat diteladani oleh rakyat demi pembangunan masa depan. Dalam hal ini, rakyat belajar dari masa lalu untuk memperbaiki masa depan.
Sementara bagi yang menolak secara mentah-mentah, demokrasi dianggap tidak cocok untuk diterapkan di negeri muslim karena berasal dari Barat yang notabene berseberangan dengan Timur. Kalangan ini biasanya menganggap tradisi telah memberikan sumbangsih positif yang tak dapat diganggu gugat. Kalangan ini menganggap modernisasi tidak diperlukan karena banyaknya kemudlaratan yang dijumpai dari tahun ke tahun. Seperti perilaku korupsi, nepotisme, saling menumbangkan dan berkuasa demi uang.
Menanggapi perdebatan ini, Nader Hashemi menyuguhkan teori yang cukup baik untuk dipahami bersama mengenai demokrasi liberal. Dia memberikan penjelasan cukup hati-hati dalam menafsirkan hubungan antara agama dengan demokrasi liberal. Agama yang dianggap tak perlu mengurusi pemerintahan. Namun bagi Nader Hashemi, agama justru dapat berperan aktif dalam pengkajian politik demokrasi dan menata ulangnya.
B.     Problem Penelitian
Demokrasi liberal memerlukan sebentuk sekularisme untuk menjaga eksistensinya. Namun sumber daya politik, kultural dan intelektual masih bersifat teologis. Paradoks ini terjadi dan menjadi perdebatan bagi para teoretikus demokrasi. Nah bagaimanakah cara membongkar paradoks ini dengan menggunakan pendekatan yang metodologis?
Penegasan Istilah
1.      Sekulerisme terdiri dari dua kata; sekuler yang berarti pemisahan antara yang transenden dengan hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lain. Dan isme yang berarti paham. 
2.      Demokrasi terdiri dari dua kata; demos yang artinya rakyat dan kratos yang artinya kekuasaan. Sehingga dapat diartikan sebagai kekuasaan dan penyelenggaraan negara berada di tangan rakyat, untuk kepentingan rakyat.
3.      Liberal artinya pembebasan dari cara berpikir dan berperilaku. Jika dikaitkan dengan Islam, menurut Baidhawy (2011:230), istilah liberal berarti pembebasan cara berpikir dan berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan. Islam liberal dalam hal ini mengakomodir peran Barat tetapi mengeliminir dampak buruk dari modernisasi.
Hal ini sedikit berbeda dengan pemikiran Hasan Hanafi mengenai oksidentalisme yang tetap teguh pada tradisi tetapi juga menerima modernisasi dengan dikaitkan dengan realitas kehidupan.

C.    Kontribusi Penelitian: Tujuan Penulisan Buku
Penulisan buku yang dilakukan oleh Nader Hashemi ini adalah untuk mengkaji relasi teori agama dan demokrasi (dalam hal ini Islam dengan demokrasi liberal), relasi antara agama, sekulerisme, demokrasi untuk pengembangan teori liberal, demokrasi untuk masyarakat muslim.
Dia menyatakan bahwa demokrasi liberal memerlukan sekularisme untuk menjaga kesinambungan, akan tetapi sumber daya politik, kultural, intelektual para demokrat muslim masih bersifat teologis (Hashemi, 2011:1). Demokrasi yang di dalamnya terdapat sekularisme harus secara alamiah berasal dari rakyat untuk kemudian diusung ke pemerintahan, bukan malah sebaliknya (up to down). Jalan menuju demokrasi liberal harus melalui politik keagamaan.
Demokratisasi dan liberalisasi mensyaratkan penafsiran ulang terhadap gagasan keagamaan dengan memperhatikan dasar moral dari otoritas politik dan hak-hak individu yang sah (dia menyatakan bahwa variabel agama mempengaruhi demokratisasi dan liberalisasi) (Hashemi, 2011:3).
Selama ini seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa para pengusung sekuler dianggap memisahkan agama dari ranah perpolitikan atau agama itu tidak perlu ikut campur dalam pembuatan kebijakan pemerintah ataupun mengawasi secara langsung kinerja pemerintah. Sementara pihak Barat mengkhawatirkan Islam akan mengganggu perkembangan demokrasi liberal pasca peristiwa 11 September 2001 (runtuhnya gedung World Trade Center). Secara konteks pemikiran, ini merupakan hasil dari fanatisme agama dan Barat menyimpulkan bahwa Islam itu negatif. Data menunjukkan pasca peristiwa 11 September 2001, 43 % penduduk Amerika berprasangka negatif tentang orang-orang Arab (diambil dari Washington Post, 9 Maret 2006) (Hashemi, 2011:31).
 Connor O’Brien, seorang penyair Irlandia mengatakan bahwa masyarakat Islam terlihat sangat menjijikkan (Hashemi, 2011:32). Hal ini menjadikan salah satu dasar tulisan mengapa Islam dianggap sebagai poros konflik pasca perang dingin. Terlebih, selama ini tatanan demokrasi dianggap lebih bersifat duniawi, dapat direvisi dan diperbaiki demi kemaslahatan manusia. Sementara agama lebih bersifat transendental (peran manusia tidak berlaku). Sehingga agama harus menjauh dari demokrasi. Padahal, kita dapat melakukan kompromi antara demokrasi liberal dengan agama yakni berbentuk sekularisme politik yang berbasis agama, sebagaimana yang dipikirkan oleh Nader Hashemi.
Maka yang perlu dilakukan adalah

Lanjutan cerpen: Catatan Harian Muslim



Langkah-Langkah yang Hilang di Tanah Para Wali
Ternyata waktu tiga tahun benar-benar berjalan cepat laksana kilat mencambuk lazuardi. Ana sudah tumbuh sebagai gadis yang periang dan tekun beribadah. Ia sering duduk di pematang sawah seraya menghafalkan Surat Yasiin. Jadi dia lebih dewasa daripada teman-teman seusianya. Sementara teman-temannya sibuk bermain-main dengan padi yang menguning-emas. Cantik sekali pemandangan saat itu. Dari jauh Pak Abdul tampak sedang berbincang-bincang dengan Habib Yahya, ulama’ dari Kota Karanganyar. Sepertinya percakapan keduanya terlihat serius.
“Bagaimana ikhwani, sepakatkah ente sejenak meninggalkan negeri ini untuk menemani ane dan adik ane ke Tarim? Disana hanya empat tahun. Insya Allah barokah. Abah juga sepakat akan hal ini..” kata Habib.
“Waduh bagaimana ya Bib, sebenarnya hijrah ke Tarim memang sudah impian saya sejak MA dulu. Akan tetapi nanti siapa yang akan mengurus yayasan. Apalagi para ustadz sudah berusia lanjut. Saya khawatir para santri jadi keteteran[1] dalam menuntut ilmu disini. Di sisi lain, saya juga mboten gadhah artha kangge mrika[2]. Jawab Pak Abdul polos. Dia menjawab permintaan sang habib dengan sepresisi mungkin. Sekilas beliau melayangkan pandangan ke pematang sawah. Tampak anak-anak yang tidak berdosa, bahagia dengan permainannya. Tak terkecuali dengan Ana yang sedari tadi membaca Al-Qur’an kecilnya.
“Sudah ente nggak usah khawatir soal administrasi. Semua sudah ane urus. Tinggal kita berangkat ke bandara besok.”  Kata Habib Yahya meyakinkan. Mata Pak Abdul mengerjap-ngerjap, berbinar senang. Tetapi dia kembali tenang, menyadari siapa dia.
Pak Abdul menoleh kembali. “Ijinkan saya istikharah malam ini, bib.” Lanjut Pak Abdul.
“Oh, na’am. Fathob’an. Ane tunggu jawaban ente lusa, ya!” sahut Habib Yahya dengan senyumnya yang hangat.
Pak Abdul hanya tersenyum lalu memandang Ana nan jauh disana. “Nduk, mungkin kamu akan dibimbing oleh Mas Musyafa’ dulu. Aku akan kembali 4 tahun lagi.” Katanya dalam hati. Pak Abdul berjalan masuk ke kamarnya. Angin semilir masuk melalui sela-sela jendela kamar. Pak Abdul duduk di kursinya yang mulai reyot karena sering terkena semprotan air hujan yang berhasil lolos masuk ke kamar. Ia merenungkan keputusannya akan menjawab lusa kepada Habib. Ia resah, galau. Maka ia menghadap kiblat seraya berdo’a, “Ya Allah, kumohon bangunkan aku jam tiga malam nanti!”
Malam yang dipenuhi oleh bintang itu tidak mampu menghibur kegalauan Pak Abdul. Sedari tadi ia bolak-balik di ruang tamu. “Hah, kalau mondar-mandir saja, tentu tidak menyelesaikan masalah. Aku harus mencari ide, tapi apa..?” Kiai. Ya kiai adalah salah satu kata yang terlintas di pikirannya mungkin itulah solusinya. Segera ia keluar rumah menuju kediaman K.H. Samanhudi, seorang usatdz yang mengajarkan ilmu tasawuf di pesantren itu. Khususnya pengkajian kitab Al-Hikam. Ia percaya jika beliau dapat memberikan solusi terbaik baginya.
Assalamu’alaikum!” tampak Kiai Samanhudi sedang duduk di teras sambil membaca dzikir ma’tsurat dan Ratibul ‘Athash.
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. “ Setelah selesai membaca do’a fatihah, Kiai Samanhudi segera ke teras. Melihat siapa yang hadir ke rumahnya.
“Oh, Gus Abdul tho! Mari-mari duduk sini.” Sambut Kiai Samanhudi dengan ramahnya. Pak Abdul segera mendekat, menundukkan diri pada sang kiai dan mencium tangannya. “Sini duduk sini. Ada yang dapat saya bantu, gus?. Ada apa ya, pagi-pagi kemari? Tak biasanya kamu kemari sepagi ini.” Tanya kiai dengan menunjukkan kursi rotannya agar Pak Abdul duduk.
“Emm, begini kiai…” kata Pak Abdul memulai pembicaraan. Ia tampak kusut dan lelah. Maklum usai keliling sawah nan luas kemarin bersama Habib Yahya. “Sebentar, Nyai…kopi buat Gus Abdul!” panggil kiai pada isterinya di dalam bilik.
Nggeh, bah! Gus Abdul kemari tho?” Tanya Bu Nyai dari dalam rumah. Suara kepulan air mendidih tampak sayup-sayup dari teras. “Njih, Nyai niki kulo[3].” Jawab Pak Abdul tegas.
“Lanjutkan Gus..!” perintah Kiai. “ Begini kiai, Habib Yahya mengajak saya untuk menemani beliau ke Tarim, Yaman. Katanya disana empat tahun. Saya khawatir yayasan yang kita dirikan bersama tidak berjalan mulus seperti sekarang. Kiai tahu sendiri kan jika pemuda-pemudi tidak digerakkan untuk mengelolanya, maka yayasan ini akan dikelola oleh para kiai sepuh dimana SDM nya kurang menguasai teknologi.”
“Lalu, tujuanmu kemari?” Tanya Abah penasaran. Tampak Bu Nyai membawakan dua cangkir kopi yang diletakkan di atas nampan berwarna merah muda.
“Ini kopi jahenya diminum dulu, mumpung masih panas. Biar anget badannya.” Kata Bu Nyai menyela pembicaraan Pak Abdul dan Pak Kiai.
Njih, Bu! Terimakasih sekali!” kata Pak Abdul seraya tersenyum simpul.
Pak Abdul menunggu hingga Bu Nyai ke dalam rumah. Dia menoleh kembali ke Pak Abdul yang tampak kikuk di hadapannya.
 “E…saya minta

Sabtu, 30 September 2017

makalah S2 program PAI: piagam Madinah dan analisisnya

Oleh: Nur Salim, S.Sy.                 
  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana peradaban Islam di Masa Nabi Muhammad?
2.      Bagaimana proses terjadinya Piagam Madinah?
3.      Bagaimana cikal bakal Negara Islam di Madinah?
4.      Bagaimana Peradaban Islam di masa Khulafaur Rasyidin
 Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui dan mengkaji secara mendalam mengenai peradaban Islam di masa Nabi Muhammad.
2.      Untuk mengetahui dan mengkaji secara mendalam proses Piagam Madinah.
3.      Untuk mengetahui dan mengkaji secara mendalam mengenai cikal bakal Negara Islam di Madinah.
4.      Untuk mengetahui dan mengkaji secara mendalam peradaban Islam di masa Khulafaur Rasyidin.








BAB II
 Pembahasan
A.    Periode Nabi: Piagam Madinah dan Cikal Bakal Negara Islam
Pola Geografis Kota Madinah
Madinah dulu dikenal sebagai Yastrib di daerah Semenanjung Arab atau lebih dikenal Jazirah Arab (HIjaz). Madinah merupakan daerah yang subur karena terletak di sekitar 275 Km dari Laut Merah. Wilayah ini berbatasan dengan: Selatan (Bukit Air), Utara (Bukit Uhud) dan Barat (Padang Pasir Harrah). Selain itu, di sana terdapat oase-oase sehingga sungguh cocok untuk bercocok tanam.
Untuk mengetahui lebih dalam mengenai Piagam Madinah, perlu kita ketahui bersama bahwa rasulullah Saw hijrah ke Madinah pada hari Jum’at 16 Rabi’ul Awwal/8 Juni 622 M bersama 73 orang Muhajirin. sebagai wujud kemenangan dakwah Islam, Nabi Muhammad Saw mengganti nama kota Yastrib menjadi Madinatul Munawarah yang berarti kota yang penuh cahaya terang/Madinatu Nabi yang berarti kota nabi. Yang saat ini kita kenal sebagai kota Madinah. Penduduk Madinah terdiri dari kaum Anshar yang merupakan suku Arab, kaum Yahudi (Bani Nadhir dan Bani Qainuqa).
Islam terkenal dan berkembang di Jazirah Arabia terhitung semenjak 10 tahun pasca Rasulullah hijrah di Madinah. Di Madinah inilah wajah masyarakat Islam berserta historinya mulai terbentuk. Untuk mengetahui semangat hidup bermasyarakat, orang Islam harus merujuk pada sunnah Madinah.
(Sumber: Mansur, Drs. 2004. Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Global Pustaka Utama. Halaman: 22).
 
Pola Sejarah Kota Madinah
Dulu bangsa Arab dan Yahudi saling bermusuhan selama seratus dua puluh tahun disebabkan seorang yang terbunuh. Kita telah ketahui bersama bahwa watak dari bangsa Yahudi adalah sombong (menganggap bangsa mereka paling unggul dan agama Yahudi adalah agama untuk bangsa pilihan seperti mereka). Sehingga wajar saja jika konflik agama memicu permusuhan. Untuk mengatasi Arab, Yahudi melakukan politik adu domba antara suku Aus dan Khazraj. Suku Aus dan Khazraj ini dulunya adalah saudara seibu seayah dari Saba’ Yaman. Ibu mereka adalah Qailah binti Kahil dari Qudha’ah. Karena lama-lama kemudian, bangsa Arab sadar bahwa perselisihan ini menimbulkan perang tak berkesudahan, maka mereka mendambakan seorang pemimpin yang menyelamatkan serta menyatukan. Mereka sepakat untuk memba’iatnya sebagai pemimpin. Tetapi karena waktu itu sedang musim haji, maka rencana mereka gagal pada mulanya.
Sumber: Modul pembelajaran SKI kelas XII MA.
Maka saat berhaji, mereka menemui Rasulullah di tenda beliau dan mulai mengenal apa hakikat agama Islam. Maka kabar mengenai nubuwwat Rasul Muhammad Saw tersiar hingga ke negeri tersebut melalui sekutu suku-suku Arab yaitu Yahudi Madinah (ingat di Kitab Taurat, nubuwwat mengenai sang mesias nabi terakhir juga tercantum). Maka ketika suku Anshar menjalankan haji dan melihat Rasulullah sedang berdakwah serta melihat sifat beliau, maka tak dapat dipungkiri bahwa nubuwwat tentang nabi terakhir itu benar adanya. Setahun pasca haji, mereka datang pada Rasulullah untuk melakukan ba’iat aqabah 1 (dihadiri oleh 10 orang suku Kahzraj dan 2 orang suku Aus) dengan alas an perselisihan tadi, Rasulullah diminta untuk hadir ke Madinah guna mengupayakan perdamaian. Kemudian mereka pulang ke Madinah dengan berdakwah Islam melalui perantara Mush’ab bin Umair yang diperintahkan langsung oleh Rasulullah. Dalam kisahnya, tak ada satupun rumah yang tak menerima Islam.  dan bai’at ke-2 dilakukan saat 3 bulan pasca Rasulullah hijrah (22 September) di hari Tasyriq.
 Sumber: Wahhab, Muhammad bin Abdul. 2011. Mukhtasar Sirah Nabawiyah: Ringkasan Penting Sejarah Hidup Nabi Muhammad. Terj. Hawin Murtadho. Solo: Al-Qowam. Halaman 144-145
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Islam diterima di kota tersebut antara lain:
1.      Kesederhanaan pribadi rasulullah Saw.
2.      Sikap sopan santun yang membudaya dari penduduk Madinah.
3.      Rela berkorban untuk orang lain.
4.      Islam adalah agama yang menyeru pada perdamaian.
5.      Islam melarang persaingan yang tidak sehat.
6.      Kedudukan setiap umat Islam sama, yang dibedakan adalah tingkat ketaqwaannya.
7.      Akhlaqul karimah yang dimiliki oleh Rasulullah Saw.
Untuk memperkuat barisan ummat/ukhuwwah islamiyah, Rasulullah membangun masjid Baitullah (sebelum terkenal menjadi Masjid Nabawi) sebagai basis kegiatan. Baik itu pendidikan agama (yakni dengan didirikannya Darul Qur’an sebagai tempat belajar dan menghafal Al-Qur’an sekaligus kuttab sebagai tempat untuk membaca dan menulis, tidak lupa Rasulullah juga memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk belajar bahasa asing yaitu Bahasa Suryani), musyawarah akan perang/damai, pusat kebudayaan, markas pertahanan dan peradilan saat itu. Beliau juga mengupayakan persaudaraan antara Kaum Anshar dan Muhajirin. Hal ini dilakukan karena sebelumnya, di Arab terjadi persaingan kekuatan suku sehingga memicu perang dan monopoli dagang ketika itu. Persaudaraan itu juga mengenai pembagian waris yang diberikan kepada saudara seagama sehingga hal ini menjadi asbabun nuzul dari QS. Al-Anfal: 75 mengenai tidak berlaku lagi pembagian waris bagi saudara seagama. Dengan mempersaudarakan diantara mereka sebagai pengganti dari pola kesukuan di kota Makkah, diskriminasi suku mulai luntur, perilaku sosial/muamalah dan kebersamaan mulai terpupuk dengan baik. Di sekitar masjid itu pula, terdapat rumah-rumah yang disediakan untuk para ahlus suffah. Kita mengenal salah satu warga ahlus suffah seperti Abu Hurairah. Rumah itu berguna untuk mendistribusikan zakat di kala itu. Pola pembagian zakat dengan model terpusat seperti ini memudahkan para dermawan untuk mentasharrufkan zakatnya. 
Untuk mempererat persatuan antara kaum muslimin dengan non-muslimin, Rasulullah Saw juga merumuskan pokok-pokok undang-undang/qanun asasi yang kelak akan dinamakan sebagai Piagam Madinah. Penulisannya dilakukan pada tahun ke-2 hijrah atau sekitar 623 M. 
Isi Piagam Madinah antara lain sebagai berikut: poin piagam Madinah berisi 47 Pasal (72 butir)
1.      Kaum muslimin dan kaum Yahudi hidup secara damai dan bebas memeluk serta menjalankan ajaran agamanya masing-masing. (asas kebebasan beragama)
2.      Apabila salah satu pihak diperangi musuh dari luar, maka mereka wajib membantu pihak yang diserang. (asas persamaan)
3.      Kaum Muslim dan Yahudi saling tolong menolong dalam melaksanakan kewajiban untuk kepentingan bersama. (asas kebersamaan)
4.      Nabi Muhammad Saw adalah pemimpin umum untuk seluruh penduduk Madinah. Bila terjadi perselisihan di antara kaum Muslim dan Yahudi, maka penyelesaiannya dikembalikan kepada keadilan Nabi Muhammad Saw, sebagai pemimpin tertinggi Madinah. (asas keadilan), (asas perdamaian yang berkeadilan dan musyawarah).
Sumber: Tim MeDa. Modul Kompetensi Siswa SMP Pendidikan Agama Islam hal 52-54. Semarang: CV. MeDa Sejati.

Asas-asas itu adalah tulisan Ibn Ishak yang dikutip oleh Nourouzzaman Ash-Shiddiqie.
Sumber: (Modul pembelajaran SPI S1 IAIN Salatiga oleh Bapak Yahya, S.Ag.
 Asas persamaan itu, memunculkan konsep saling tolong menolong. Konsep ini hanya dapat berjalan jika dualism ekonomi, monopoli, oligopoly, nepotisme dan ersatz capitalism dihilangkan. Dan ini benar-benar diupayakan oleh beliau melalui mempersaudarakan antara kaum Anshar dan Muhajirin serta karena terpilihnya beliau sebagai hakim resmi di Madinah.   (Assegaf halaman 195).

catatan harian Muslim

SANG MALAIKAT PENJAGA CINTA
Ana berjalan menyusuri rel kereta api ini hanya demi sesuap nasi. Ia berjalan sendiri tanpa penunjuk jalan. Ia hanya menatap ke depan, ke satu titik yang semakin lama merabunkan matanya yang sayu, kurang makan. Tiba-tiba ia melihat sebuah mutiara bagi perutnya yang mungil itu, sebungkus nasi yang sudah dikerubungi oleh lalat-lalat hijau tak berdosa. Ia menghampirinya dan mencoba mengusir lalat-lalat dari nasi rames itu. Ia menangis mengingat masa kecilnya yang bahagia diantara dua orangtua yang selama ini membesarkannya. Tetapi apa yang ia dapat sekarang? Hanyalah kehinaan di tengah keramaian kota metropolitan.
Ana mengunyah nasi yang sudah basi itu dengan perasaan yang kaku. Seakan mulutnya ingin muntah sekuat-kuatnya. Ia memandang sekeliling. Ilalang menari di depan wajahnya yang sendu. “Heh, andaikan aku seperti ilalang-ilalang itu, pasti aku akan bahagia tertiup angin dan terbang ke negeri-negeri yang aku sukai.” Katanya lunglai seraya membuang bungkusan yang telah ia habiskan isinya sedari tadi. Ia melihat sebuah mobil Toyota melintasi rel kereta. Anak itu melambaikan tangannya sambil bernyanyi, “Ilalang-ilalang, benar nasibku malang…Ilalang-ilalang, sejak dulu ku ditendang orang”.
Nyanyiannya tersedot oleh bayu yang berhembus di pesawahan sehingga hening kembali menyelimuti anak itu. Ana kembali berjalan seusai menghabiskan nasi. Berjalan menuju sudut kota yang kotor dan kumuh. Sendirian. Mega merah diselimuti mendung tipis terukir di angkasa. Adzan maghrib pun berkumandang mesra. Menyejukkan kalbu yang lena oleh kesibukan dunia.
********************
Bapak Muslim Abdul Ghofur adalah seorang pendakwah yang aktif di sebuah yayasan pendidikan islam model (Ahbaabun Nabawy) di Kota Surakarta. Ia sangat ramah kepada semua orang. Baik itu anak-anak, remaja bahkan pada orang yang lebih tua, kenal ataupun tidak ia selalu menyapa, sapa dan senyum. Meski usianya masih muda, tetapi ia sangat dihormati oleh warga kampung. Dulunya waktu masih kuliah, ia aktif dalam UKM dakwah. Ia aktif berdakwah sejak kuliah hingga sekarang ia sudah memiliki yayasan ilmu yang dikelola bersama masyarakat sekitar. Santrinya mencapai ratusan. Ia mendirikan yayasan itu dengan niat menyekolahkan anak-anak yatim kampung dan para pengamen jalanan agar kelak menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. Kini yang nyantri di yayasannya tidak hanya dari kalangan menengah ke bawah akan tetapi juga anak-anak pejabat daerah dan pusat. Rencananya, yayasan itu akan meraih ISO pada tahun ini.
Pak Abdul Ghofur masih sering keliling Stasiun Balapan untuk mengajak para gelandangan remaja agar ikut belajar di yayasannya, sebuah yayasan yang ia kelola bersama para tetua dan rohis gabungan dari sekolah-sekolah sekitar dan para aktifis dakwah dari kampus Surakarta. Mereka yang disekolahkan disana akan mendapat fasilitas pendidikan gratis hingga SMA. Hari ini sama seperti hari biasanya, ia mencari gadis kecil yang kemarin berlari saat ia hendak menghampirinya.
************
Ilalang berhenti bergoyang, awan pun kelabu. Gadis kecil yang selalu berada di rel kereta api itu tidak ada. Pak Abdul Ghofur menyusuri rel itu hingga ujung terminal, namun