Sabtu, 18 November 2017

Lanjutan cerpen: Catatan Harian Muslim



Langkah-Langkah yang Hilang di Tanah Para Wali
Ternyata waktu tiga tahun benar-benar berjalan cepat laksana kilat mencambuk lazuardi. Ana sudah tumbuh sebagai gadis yang periang dan tekun beribadah. Ia sering duduk di pematang sawah seraya menghafalkan Surat Yasiin. Jadi dia lebih dewasa daripada teman-teman seusianya. Sementara teman-temannya sibuk bermain-main dengan padi yang menguning-emas. Cantik sekali pemandangan saat itu. Dari jauh Pak Abdul tampak sedang berbincang-bincang dengan Habib Yahya, ulama’ dari Kota Karanganyar. Sepertinya percakapan keduanya terlihat serius.
“Bagaimana ikhwani, sepakatkah ente sejenak meninggalkan negeri ini untuk menemani ane dan adik ane ke Tarim? Disana hanya empat tahun. Insya Allah barokah. Abah juga sepakat akan hal ini..” kata Habib.
“Waduh bagaimana ya Bib, sebenarnya hijrah ke Tarim memang sudah impian saya sejak MA dulu. Akan tetapi nanti siapa yang akan mengurus yayasan. Apalagi para ustadz sudah berusia lanjut. Saya khawatir para santri jadi keteteran[1] dalam menuntut ilmu disini. Di sisi lain, saya juga mboten gadhah artha kangge mrika[2]. Jawab Pak Abdul polos. Dia menjawab permintaan sang habib dengan sepresisi mungkin. Sekilas beliau melayangkan pandangan ke pematang sawah. Tampak anak-anak yang tidak berdosa, bahagia dengan permainannya. Tak terkecuali dengan Ana yang sedari tadi membaca Al-Qur’an kecilnya.
“Sudah ente nggak usah khawatir soal administrasi. Semua sudah ane urus. Tinggal kita berangkat ke bandara besok.”  Kata Habib Yahya meyakinkan. Mata Pak Abdul mengerjap-ngerjap, berbinar senang. Tetapi dia kembali tenang, menyadari siapa dia.
Pak Abdul menoleh kembali. “Ijinkan saya istikharah malam ini, bib.” Lanjut Pak Abdul.
“Oh, na’am. Fathob’an. Ane tunggu jawaban ente lusa, ya!” sahut Habib Yahya dengan senyumnya yang hangat.
Pak Abdul hanya tersenyum lalu memandang Ana nan jauh disana. “Nduk, mungkin kamu akan dibimbing oleh Mas Musyafa’ dulu. Aku akan kembali 4 tahun lagi.” Katanya dalam hati. Pak Abdul berjalan masuk ke kamarnya. Angin semilir masuk melalui sela-sela jendela kamar. Pak Abdul duduk di kursinya yang mulai reyot karena sering terkena semprotan air hujan yang berhasil lolos masuk ke kamar. Ia merenungkan keputusannya akan menjawab lusa kepada Habib. Ia resah, galau. Maka ia menghadap kiblat seraya berdo’a, “Ya Allah, kumohon bangunkan aku jam tiga malam nanti!”
Malam yang dipenuhi oleh bintang itu tidak mampu menghibur kegalauan Pak Abdul. Sedari tadi ia bolak-balik di ruang tamu. “Hah, kalau mondar-mandir saja, tentu tidak menyelesaikan masalah. Aku harus mencari ide, tapi apa..?” Kiai. Ya kiai adalah salah satu kata yang terlintas di pikirannya mungkin itulah solusinya. Segera ia keluar rumah menuju kediaman K.H. Samanhudi, seorang usatdz yang mengajarkan ilmu tasawuf di pesantren itu. Khususnya pengkajian kitab Al-Hikam. Ia percaya jika beliau dapat memberikan solusi terbaik baginya.
Assalamu’alaikum!” tampak Kiai Samanhudi sedang duduk di teras sambil membaca dzikir ma’tsurat dan Ratibul ‘Athash.
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. “ Setelah selesai membaca do’a fatihah, Kiai Samanhudi segera ke teras. Melihat siapa yang hadir ke rumahnya.
“Oh, Gus Abdul tho! Mari-mari duduk sini.” Sambut Kiai Samanhudi dengan ramahnya. Pak Abdul segera mendekat, menundukkan diri pada sang kiai dan mencium tangannya. “Sini duduk sini. Ada yang dapat saya bantu, gus?. Ada apa ya, pagi-pagi kemari? Tak biasanya kamu kemari sepagi ini.” Tanya kiai dengan menunjukkan kursi rotannya agar Pak Abdul duduk.
“Emm, begini kiai…” kata Pak Abdul memulai pembicaraan. Ia tampak kusut dan lelah. Maklum usai keliling sawah nan luas kemarin bersama Habib Yahya. “Sebentar, Nyai…kopi buat Gus Abdul!” panggil kiai pada isterinya di dalam bilik.
Nggeh, bah! Gus Abdul kemari tho?” Tanya Bu Nyai dari dalam rumah. Suara kepulan air mendidih tampak sayup-sayup dari teras. “Njih, Nyai niki kulo[3].” Jawab Pak Abdul tegas.
“Lanjutkan Gus..!” perintah Kiai. “ Begini kiai, Habib Yahya mengajak saya untuk menemani beliau ke Tarim, Yaman. Katanya disana empat tahun. Saya khawatir yayasan yang kita dirikan bersama tidak berjalan mulus seperti sekarang. Kiai tahu sendiri kan jika pemuda-pemudi tidak digerakkan untuk mengelolanya, maka yayasan ini akan dikelola oleh para kiai sepuh dimana SDM nya kurang menguasai teknologi.”
“Lalu, tujuanmu kemari?” Tanya Abah penasaran. Tampak Bu Nyai membawakan dua cangkir kopi yang diletakkan di atas nampan berwarna merah muda.
“Ini kopi jahenya diminum dulu, mumpung masih panas. Biar anget badannya.” Kata Bu Nyai menyela pembicaraan Pak Abdul dan Pak Kiai.
Njih, Bu! Terimakasih sekali!” kata Pak Abdul seraya tersenyum simpul.
Pak Abdul menunggu hingga Bu Nyai ke dalam rumah. Dia menoleh kembali ke Pak Abdul yang tampak kikuk di hadapannya.
 “E…saya minta
nasehat dari kiai. Saya harus bagaimana?” air mata Pak Abdul mulai pecah. Tangispun berderai lancar, selancar anak kecil yang bermain air di bak.
“Sudahlah, Allah tidak pernah menyia-nyiakan hamba_Nya dengan ujian. Semakin tebal iman seseorang, semakin besar pula ujian baginya. Mungkin ini adalah kesempatan bagimu untuk menimba ilmu dari para ‘alawiyyin. Mereka akan menuntunmu ke jalan Rasulullah. Masalah yayasan, biar aku yang tanggung jawab. Selalu ada jalan setelah kesusahan. Yakinlah bahwa Allah selalu menemanimu!” Kata Pak Kyai menegaskan kalimat per kalimat penuh aksen tegas. Serasa halilintar yang menyambar nurani Pak Abdul. Di lain sisi, kata-kata kiai itu benar, namun di sisi lain Pak Abdul tidak tega meninggalkan yayasan kepada para asatidz sepuh. Dia menatap ke atas. Seekor perkutut manggut-manggut seakan mengejeknya dengan siulan bertubi-tubi. Menghempaskannya ke titik entah. Tangisnya berhenti berderai.
“Hah, mungkin saya harus istikharah nanti malam, kiai. Kalau begitu saya pamit kiai. Terimakasih atas kopinya. Kopinya enak dan harum. Lain kali saya akan pesan di warung tempat Bu Nyai beli. Maaf sudah bertamu sepagi ini.” Kata Pak Abdul galau. Dia segera bangkit dari mejanya. Lalu mencium punggung jari Pak Kiai.
“Oh, ya gus! Tidak apa-apa kau main saja kemari. Lain kali aku akan silaturahmi ke rumah Abah Habib. Ntar tidak usah jauh-jauh ke warung hanya untuk beli kopi. Tak bawakan sekarung.” Kata Pak Kiai sambil terkekeh pelan. Pak Abdul tidak lagi memandang wajah Pak Kiai setelah pamitan. Dia langsung berjalan ke rumahnya. Jalan Nampak berdebu, mungkin sisa dari erupsi Gunung Lawu. Tebalnya 20 sentimeter. Jalan terkepul ketika ada motor yang lewat. Pak Abdul berjalan perlahan agar sandalnya tidak mengganggu debu yang asyik bermain di aspal jalan. Dia hanya bisa melihat debu-debu menari bersama angin kabut di pagi itu.
*********
Malam istikharah di hari ini tidak sesunyi biasanya. Banyak belalang bersiul berdendang karena musim kemarau akan tiba. Jengkerik melantunkan melodi alam yang indah memecah keheningan tanah lapang di depan yayasan. Tampak Pak Muslim Abdul selesai dari shalatnya. Wajahnya teduh seperti telah mendapat wangsit saja. Terlukis senyum di bibirnya. Menenteramkan. Dia berharap nanti di mimpinya atau di perbuatan yang diputuskan, dia akan mendapatkan jawaban istikharahnya.
Sementara di luar, tampak Ana mengintipnya dari celah pintu kamar yang agak terbuka. Sepertinya dia memperhatikan sesuatu. Sorot matanya tajam menatap ke depan. Ke arah kamar tempat Pak Abdul shalat. Tetapi dia tidak yakin terhadap apa yang dilihatnya. Dia menelan ludah pahit. Dia juga menengadahkan tangannya ke langit sambil umak-umik membaca do’a. entah meminta apa. Yang jelas, dia mengharapkan sesuatu agar terjadi atau sebaliknya. Kemudian terdengar suara ketukan sepatu memukul-mukul lantai. Semakin dekat. Ana tampak ketakutan. Sedikit-sedikit dia menoleh kanan-kiri. Suara itu semakin menghajar jantungnya. Segera dia berlari ke kasur dan menumbangkan diri, tenggelam kepadanya. Lalu menarik selimut yang sedari tadi malas untuk merapikan diri dan menutupi pandangannya. Gadis cilik itu memejamkan mata. Pura-pura tidur. Sepertinya dia tahu siapa yang datang. Dia adalah seorang gadis muda berjilbab hijau terang, dengan gamis hijau panjang hingga mata kaki. Terlihat senyum sadisnya dari sela-sela mata Ana yang mengintip dari balik selimut. Senyuman yang menyeramkan. Mungkin gadis cilik itu trauma akan tata tertib yang dijelaskan oleh gadis muda berjilbab hijau itu. Karena orang itu adalah Syarifah Anna, nama gadis itu hampir sama dengannya. Mungkin Habib Ahmad tidak ingin kerepotan ketika memberi namanya. Benar, seorang gelandangan seperti dirinya pantas mendapat sebuah namanya yang sederhana. Cukup dengan Ana. 3 huruf yang sudah mufidah dalam Bahasa Arabnya. Gadis yang dia intip tadi itu adalah satu-satunya putri dari Habib Ahmad dan merupakan adik kandung dari Habib Yahya, sang mubaligh Karanganyar yang tersohor itu. Tetapi agaknya orang itu akan segera jauh darinya. Setidaknya selama 3 atau 4 tahun. Ya, gadis muda itu akan studi di Yaman. Maka Ana tampak sedikit lega ketika gadis itu mencium dahinya dan berkata, “Selamat bermimpi indah, gadis kecilku. Do’akan bibimu ini kelak menjadi seorang faqih yang ‘alim ya. Biar bisa menjaga kamu dan teman-teman. Selamat tidur!” tampak senyuman yang berubah  menjadi keramahan, ketenteraman, keharuan, keakraban, dan kesedihan berkecamuk di benak Ana. Tetes air mata turun pelan dari sudut matanya. Dia tidak seperti ini ketika berpisah dengan sang syarifah. Biasanya dia malah senang si-kuntilanak itu menjauh darinya. Artinya, Ana bisa bermain sepuasnya. Tetapi sekarang, gadis kecil itu bisa juga bersedih ketika harus berpisah dengan bibi angkatnya itu. Sesaat Anna hendak menjauh dari kamar mungil itu, Ana memanggil namanya, “Bi Anna, jangan pergi dulu! Aku mau mendengarkan dongeng Ali Baba.” Anna menoleh pelan lalu tersenyum. Gadis itu segera mengambil dongeng seribu satu malam dari rak buku dan mengusap anak rambut Ana.
“Oh, kamu belum bisa tidur ya?”  Anna mendekat ke tubuh kecil itu dan berbisik, “Oke, ceritanya begini…..” kalimat per kalimat dibacakan oleh Syarifah dengan menggerak-gerakkan tangan sebagai penjelas dari kalimat itu. Sepertinya Ana kecil sudah memejamkan mata dalam pulasnya berkeliling di Pulau Kapuk. Sekali lagi Bibi muda itu mengecup keningnya. Lalu secara perlahan beringsut dari kasur dan melangkahkan kaki melewati kamar-kamar santri dan juga kamar Ustadz Abdul Ghofur. Sejenak mata gadis itu melirik isi kamar. Sepertinya ustadz muda itu juga sudah pulas. Dia tersenyum simpul. Misterius tapi bermakna dalam. Perjalanan malam pun dimulai. Semua tidur dalam pulasnya….
***********
Waktu itu Habib Yahya sudah berjalan di loket pemberhentian bus di Sana’a.  Dia membawa bekal sedikit dari desanya. Tampak enting-enting yang ditentengnya kesana kemari, dan juga tasbih. Sementara tangan kirinya menarik sebuah koper hitam bertuliskan haji Indonesia. Disampingnya juga berjalan Syarifah Anna dengan gaun gamis warna hitam kelam, membuat teduh bagi mata-mata yang memandangnya. Gadis itu tidak membawa koper, tetapi sebuah tas punggung seukuran ransel kecil anak Pecinta Alam. Mungkin isinya hanya beberapa buku dan pakaian. Keduanya tampak santai dan seperti sudah terbiasa dengan lingkungan tempat mereka berkunjung. Lain halnya dengan Ustadz Abdul, dia menenteng sebuah tas ukuran besar dan tampak dia tidak tenang. Keringat meluncur deras dari pelipisnya, nafaspun terengah-engah menampik teriknya matahari. Dia berpikir mungkin ada sebelas matahari di atas kepalanya. Sedikit-sedikit dia mengelap keringatnya dengan handuk kecil yang dititipkan oleh ibunya dari Salatiga. Dalam hatinya, dia serba kacau. Namun di bibirnya senantiasa terucap kata-kata:”La hawla wa laa quwwata illa billahil’aliyyil ‘adzim.”
Gunung-gunung pasir dan berwarna putih berdiri kokoh di depan wajahnya yang capek. Dia dapat melihat asrama putra yang berdiri kokoh tak jauh dari rubath Tarim. Sebuah lembaga pesantren yang menjadi favorit bagi para muhibbin ahlulbait di Yaman Selatan. Akhirnya impian Pak Abdul untuk menginjakkan di negeri wali tercapai juga. Dia pernah menuliskan impiannya itu di sebuah buku berjudul dreams book. Kata Pak Imam Mas Arum, dosennya waktu masih kuliah, jika impian ditulis dalam sebuah buku lalu kita berdo’a dan berusaha, maka impian itu terwujud dalam persentase keberhasilan 80 %. Dia juga bisa berbincang-bincang dengan para habib yang mengajar di rubath itu. Akan tetapi pikirannya kalut akan urusan di yayasannya.
“Bagaimana kondisi pembelajaran yang ada di sana?” tanyanya pada sebatang pohon kurma. Tentu saja pohon itu hanya tersenyum, terbisu karena tidak mempunyai bibir yang indah seperti miliknya.
“Ah, jangan terlalu dipikirkan. Di sana sudah banyak kiai sepuh yang ilmunya tidak dapat diragukan lagi. Tugas ente di sini adalah belajar dan menjaga kami. Kami mendukung ente selalu.” Sahut Habib Yahya dari belakang punggungnya. Pak Abdul langsung menundukkan pandangan dan berkata, “Maaf, bib. Saya masih terbawa suasana. Insya Allah dalam jangka waktu sebulan saya sudah bisa beradaptasi.” Memang benar, dia harus melupakan yayasannya sejenak untuk berkonsentrasi studi di rubath. Agar kelak saat pulang ke tanah air, dia bisa mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya kepada para santri di yayasannya. Kata-kata dari habib tadi melegakan hatinya. Dia juga teringat akan kata-kata dari Kiai sepuh, “Sudahlah, Allah tidak pernah menyia-nyiakan hamba_Nya dengan ujian. Semakin tebal iman seseorang, semakin besar pula ujian baginya. Mungkin ini adalah kesempatan bagimu untuk menimba ilmu dari para ‘alawiyyin. Mereka akan menuntunmu ke jalan Rasulullah. Masalah yayasan biar aku yang tanggung jawab. Selalu ada jalan setelah kesusahan. Yakinlah bahwa Allah selalu menemanimu!”
Dia sudah mantap. Mungkin inilah jalannya.
************
Tak terasa sudah empat tahun Pak Abdul berada di Rubath Tarim bersama Habib Yahya dan Syarifah Anna. Sudah tiba waktunya dia pulang ke tanah air. Akhirnya berbagai cobaan di negeri itu dia lampaui dengan lancar. Dia mendapat surat, surat dari Indonesia. Dia buka surat itu dengan alamat Habib Ahmad, ayahanda Habib Yahya. Isi suratnya kurang lebih seperti ini:
“Wahai anankku yang tercinta, terimakasihku senantiasa terwujud. Karena engkau telah menjaga putra-putriku di sana. Ketika engkau pulang nanti, aku harap engkau juga tetap menjaga putriku. “
“Apa maksudnya ini?” Tanya Pak Abdul kepada Habib Yahya. “Yang tahu hanya Allah dan Abah.” Sambil tersenyum Habib itu menoleh ke Syarifah Anna yang sedang duduk di kursi paling depan. Pesawat itu akan mendarat pukul 08.00 WIB, sementara ini masih pukul 06.15 Waktu Yaman atau sekitar pukul 17.15 WIB , jadi masih ada waktu untuk meminum kopi dan membaca koran pagi yang baru saja di beli di pasar media, Yaman.
**************
Ingatan perjalanan itu masih terngiang di otak Pak abdul. Kini isi surat itu sudah dia pahami. Yang dimaksud menjaga setelah di Yaman adalah bersanding sebagai suami istri. Syarifah Anna duduk di sampingnya seraya menyiapkan materi  seminar yang akan disampaikan oleh Pak Abdul di depan para mahasiswa UNS.
Abdul tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Setelah kejadian itu, dia hanya bisa mematung diri di pojok sungai. Gadis itu tersenyum padanya sesaat dengan wakul berisi pakaian yang selesai dicuci. Sepertinya dia kenal senyum itu. Tetapi dimana dia pernah melihat senyuman itu. Diapun mengejar gadis itu. Terus dan terus. Setiba di pematang sawah milik Abah Syaiful Bachri, salah seorang anggota dewan pengasuh di yayasannya, gadis itu melebur menjadi cahaya. Cahaya itu menerangi sekitar sawah dan melebar hingga ke seluruh desanya. Lalu turun salju lembut dan muncul istana es dari dasar tanah. Gadis itu menunjuk ke altarnya. Terlihat seekor merpati putih yang berubah menjadi diri gadis yang lain. Seakan kembar, ada dua gadis. Yang berubah menjadi cahaya hilang, sementara yang berdiri di altar berjubahkan ratu dengan mahkota dari emas.
Abdul mencoba menaiki tangga. Tetapi tangga itu semakin jauh dan gadis itu masih tersenyum manja. Sekuat tenaga Abdul berlari. Tetapi dia tidak sampai. Karena lelah, abdul beristirahat. Tiba-tiaba ada seekor beruang kutub menghampirinya. Sontak dia terbangun dari mimpinya. Lagi-lagi mimpi seperti itu terulang di malam-malamnya.
“Apa maksud semua ini?” katanya dalam hati memberontak pasti. Dia sangat bingung akan apa yang terjadi di dalam bunga tidurnya. Apa yang akan terjadi jika mimpinya itu adalah pertanda buruk baginya. Dia segera beranjak dari kasur dan berjalan ke luar kamar. Dia tengok keluar. Tidak ada angin berhembus, tidak ada pula hujan lebat. Tetapi hatinya gusar. Peluh menetes deras dari pelipisnya.
“Sudah bangun, mas?” Tanya Syarifah Anna kepada suaminya itu. Di tangannya menyangga teh hangat yang tenang di dalam cangkir putih. Seputih awan yang menari di langit. Dilihatlah suaminya itu, tampak gugup seperti diguyur air aki saja.
“Ya. Tolong siapkan handuk untukku, mi! Aku akan mengajar lebih awal.” Pinta Abdul memelas. Dielapnya keringat yang membanjir di lehernya dengan kain yang tergantung di dinding sebelah kanan kamarnya. Setelah benar-benar kering, dicantolkan lagi kain itu ke tempat asalnya.
“Kenapa terburu-buru? Bukankah ini hari minggu, mas?” Tanya Anna sedikit curiga. Ini adalah hari keluarga. Seharusnya Abdul tahu bahwa hari ini agendanya adalah bersantai di Taman Balekambang. Melihat kijang dan menghirup udara segar. Akan tetapi agenda itu harus tertolak hanya karena kesibukan mengajar suaminya itu. Kenapa harus tertunda? Apakah Mas Abdul sudah lupa bahwa dia pernah berjanji waktu masih mondok di Universitas Al-Ahgaff Yaman bahwa dia akan mengajaknya ke Taman Balekambang. Sekedar untuk kencan pertama. Tangispun meleleh dari pelupuk mata wanita ayu itu.
“Jangan menangis, mi! Aku akan pulang nanti sore. Kita akan kesana pada sore hari. Pemandangannya lebih teduh daripada pagi hari.” Kata Abdul sambil menghapus air mata istrinya itu.
“Oh tidak, Mas Abdul masih ingat kalau hari ini akan ke Balekambang. Lalu kenapa dia merasa begitu resah saat menatapku.”  Kata Anna dalam hatinya. Dilihatnya Abdul menyambar dasi dan kunci mobil dan berbalik ke kaca rias untuk mengenakan dasinya. Anna yang membenahi dasi itu agar tampak rapi. Kali ini Abdul tampak lebih rapi dan wangi dari hari-hari biasanya. Ada kegiatan apa di MA IT Nurussyifa? Padahal biasanya Abdul hanya memakai baju koko dan surban hitam jika hendak mengajar, karena dia adalah guru fikih. Kalau harus memakai dasi berarti paling tidak ada akreditasi sekolah atau sidak dari Dinas Pendidikan Nasional atau keperluan supervisi madrasah. Hari itu, hati Anna gusar. Entah embun yang mana yang akan mendinginkannya.
1.      Pertemuan Anna dengan Afwa
Sore itu sungguh indah. Mega berwarna jingga kekuningan terlukis rapi dengan goresan sedikit oranye di langit. Lagipula kesunyian yang menemani taman Balekambang sungguh menyentuh hati. Kijang-kijang berhenti berjalan-jalan, kini mereka lebih suka untuk duduk seraya mengunyah rumput dari perut mereka.  
Sementara para tamu yang tidak diundang sudah mengepaki bekal dan tikar mereka. Siap-siap pulang. Bayang-bayang mulai memanjang ke arah timur. Tidak begitu dengan dua pasang muda-mudi dari Karanganyar itu. Anna dan  Abdul. Mereka berjalan santai di atas paving yang bersih dan berhenti di depan lincak. Mereka memutuskan untuk duduk.
Tampak seorang gadis berusia dua puluhan berjalan di atas jalan yang mereka tadi lewati. Maka Abdul mulai memperhatikan gadis itu. Dari kacamata dan gaya berbusananya…tidak salah lagi, dia adalah Afwa, Anna melihat gelagat Abdul yang mulai memendar itu. Maka segera Anna memelototi suaminya.
“Temanku dulu, umiyk! Teman di organisasi, bukan siapa-siapa lagi” kata Abdul menjelaskan. Dia melihat lama-lama mata itu meredup tenang, tidak jadi melotot. Akhirnya Abdul memanggil gadis itu dengan dua kali panggilan. Sontak Afwa menoleh ke arah mereka berdua. Sebuah masa lalu yang indah bagi Abdul meski Anna tidak tahu akan hal itu. Ini seperti de javu. Afwa berdiri anggun. Sementara Anna melirik Abdul dengan mata waspada seperti burung elang yang akan memangsa ular sawah saja. Degub jantung Abdul kian tidak menentu.
Assalamu’alaikum, mas! Lama sekali ya tidak bertemu.” Sapa Afwa lembut. Hati Abdul seperti diusap oleh salju yang tipis. Sesaat Afwa menatap Anna untuk pertama kalinya. Lalu dia menyapa ibu muda itu. “Mbak…” Afwa mencoba untuk sedikit ramah agar keadaan tidak begitu kaku.
Wa..alaikum…salam.” jawab Abdul terbata-bata seraya memandang Anna yang matanya kian melotot saja. Bagai busur yang siap membidikkan anak panah berapi yang akan merombak dada dan hati Abdul. Abdul tahu Anna sedang cemburu, tetapi apa salahnya Afwa mengucapkan salam padanya. Abdul bersikap biasa saja seakan tidak ada apa-apa sebelumnya.
“Mau kemana Mbak Afwa?” Tanya Abdul meredakan suasana yang tegang. Abdul mulai memperkenalkan diantara mereka. Sehingga keadaan hati Anna mendingin.
“Mau survey ke pesantren Darul Qur’an. Sepertinya butuh wawasan banyak untuk mengembangkan sumber daya manusia di pesantren yang abah pimpin, mas.” Kata Afwa dengan bahasa yang lancar. Pancaran matanya masih sama seperti yang dulu. Teduh dan meneduhkan. Sepertinya tidak ada gunanya lagi untuk curiga. Kata Anna dalam hati.
“Bagaimana keadaan disana? Kamu sudah dikaruniai bayi belum?” Tanya Abdul mencairkan suasana hati Anna yang tadinya kalut bukan main. Kini serasa Anna memandang padang rumput yang luas di hatinya. Nyaman dengan angin segarnya. Padang rumput itu adalah suaminya yang setia padanya dan membahagiakan.
“Sudah dua, mas. Yang paling besar sudah berusia lima tahun, yang kecil baru sebulan.” Jawab Afwa sambil memancarkan kabahagiaan dari pelupuk matanya. Anna ikut senang, dia kini tersenyum puas. Hatinya ingin sekali segera menimang bayi. Dia melirik Abdul. Meminta ijin pada suaminya untuk memperkenalkan diri lebih jauh. Dan akhirnyapun dipersilakan.
Keadaanpun mencair. Pertemuan yang barokah. Mereka bertiga pun bercakap-cakap sejenak. Saling berkenalan dengan kepribadian mereka yang sekarang. “Hahaha. Benar, mbak. Bahkan ketika itu saya pergi bersama teman-teman menuju universitas mbak untuk memastikan kalau disana juga ada JQH seperti di pesantren saya.”
“Oh, begitu ya. Kebetulan waktu itu saya sedang pulang kampung. Jadi pantas sekali tidak bertemu ya.” Lanjut afwa. Abdul dibuat keduanya mematung karena memang benar wanita akan segera akrab dengan seseorang yang baru dikenalnya. Wanita memiliki kekuatan perasaan dan cinta yang kuat sehingga jelas kalau mereka bisa seperti itu.
Senja hampir berakhir. Siratan cahaya mega merah mulai mengukir langit. Afwa pun berpamitan. Sebab acara studi banding akan dilakukan setelah maghrib. Maka Abdulpun juga mengemasi barang-barang, segera menuju mobil mereka. Senyum perpisahan yang dilayangkan oleh Afwa masih menjadi ratu bagi Abdul. Tetapi Abdul masih memiliki senyuman sejati. Yakni senyuman Anna yang tidak mungkin habis keindahannya. Cinta yang diridhai Allah.
2.      Wisata Rohani 2 Negara Islam di Asia
a.      GEJOLAK HATIKU DI HEBRON (Cerpen Yang Kalah dalam Lomba Cerpen Islami LDK Darul Amal STAIN Salatiga)
 “Namaku Muslim Abdul Ghofur. Biasanya dipanggil dengan Muslim. Aku berasal dari negeri macan Asia, Indonesia. Seorang mahasiswa yang diberi kesempatan untuk belajar di salah satu universitas di Palestina. Berkat do’a bunda di setiap tahajjudnya dan ikhtiarku dalam meraih beasiswa MES (Middle East Scholarships) yang diselenggarakan oleh Pemerintah Israel. Alhamdulillah, dengan usaha dan rahmat dari Allah aku dapat menyelesaikan semester demi semester dengan lancar. Dan sekarang aku mulai fokus pada penulisan skripsiku, yang aku beri judul “Studi Tasawuf Imam Hani.” Aku mengambil judul ini sebab pemerintah Israel memberikan dukungan penuh pada setiap mahasiswa untuk mengkaji apapun tentang ulama’ Palestina. Entah itu terlepas dari proyek perang pemikiran, aku tidak peduli, yang penting aku bisa keluar dari negeri konflik ini dengan nilai cumclaude. Sebuah pemikiran yang egois memang.” Kataku dalam bincang antar mahasiswa muslim saat penutupan bedah thesis di kampus, di hadapan 4 guru besar yang akan meloloskanku dengan titel magister tiga bulan lalu.
Setelah sidang bedah thesis (munaqasyah) selesai. Aku mencoba magang di sebuah organisasi perdamaian Timur Tengah perwakilan dari Amerika di Hebron, sebentang distrik yang hampir seratus persen hancur oleh perang. Terpapar penyakit kimia dan remuk gara-gara ledakan rudal balistik lawan. Organisasi yang aku bergabung di dalamnya ini bekerjasama dengan Bulan Sabit Merah. Dalam kegiatannya, kami para anggota difasilitasi dengan karantina selama dua bulan dan amal pengabdian selama tiga bulan.
Aku pikir dalam sebuah pertemuan dan karantina yang diberikan oleh pihak Bulan Sabit Merah (semacam tim relawan bencana perang di Timur Tengah) hanya membuahkan hasil yang biasa saja bagi rukhiyyahku[4]. Ternyata semua yang dilakukan selama empat bulan disini membuatku meronta dan ingin membredel thesisku saja. Aku merasa bersalah sekali. Palestina merubah diriku menjadi semakin baik. Baik jama’ah shalat fardlu, peningkatan shalat sunnah rawatib, shalat sunnah dhuha dan tahajjud, tahsin dan tahfidzul Qur’an. Dan di kota Hebron lah, Palestina menjadi saksi panjang sejak Nabi Ibrahim dimakamkan hingga pembangunan pemukiman Yahudi baik yang legal maupun yang illegal dibangun disini. Jadi sudah pas jika hendak menempa rukhiyyah, maka pergilah ke Hebron.
******
Langit tak sebiru bulan lalu. Waktu itu menunjukkan pukul 07.00 pagi waktu Palestina. Dimana biasanya perayaan hari sabat[5] berlangsung meriah dan menjadi tontonan yang aman bagi warga Muslim yang ingin ikut merayakan. Dimana banyak roti kebab dengan saladnya. Tarian Arab yang menghibur, dan lampu terang dimana-mana di malam harinya. Justru yang kusaksikan hari ini begitu mencekam. Listrik padam semenjak sore hari hingga pagi lagi, semua warung roti tutup dan bolong-bolong karena hantaman selongsong peluru dari timah yang panas. Setiap lima meter dijaga ketat oleh tentara Israel. Setiap keluar mencari bahan makanan saja perlu investigasi yang lama sekali. Kulihat langit berasap pasca ledakan rudal beberapa jam yang lalu. Sendu dan menitihkan air mata kesedihan. Kasihan sekali Palestina! Aku berjalan menuju pemukiman dekat Pasar Avraham Avinu, yang kini tinggal puing dan kawat berduri. Langkahku terhenti setelah melihat Kakek Atta yang sedang disuapi oleh putri sulungnya, Maryam namanya.
“Ayah, ayo dimakan! Nanti keburu dingin, buburnya jadi tidak enak, lho.” Kata Maryam penuh pinta. Ya, kutahu perjuangan seorang anak yang hendak mencari sepiring bubur saja harus mengendap-endap melewati lorong-lorong gelap yang setiap saat akan dipenuhi oleh tentara zionis yang sedang pesta minuman. Pasti bubur itu adalah rahmat dari tuhan untuk Atta.
“Aku tidak ingin makan. Mana Rodeina? Aku ingin dia makan juga.” Tanya Atta pada putrinya yang dengan sabar menyuapinya. Kakek Atta mencari-cari istrinya. Dipandangi ke segala arah. Tiada seorangpun. Dilihatnya Maryam justru menangis tersedu. Aku mencoba mendekat dan tersenyum pada kakek itu.
“Kek, makan dulu! Nanti biar Abdul yang menyuapi Nenek Rodeina.” Kataku menghiburnya. Betapa munafiknya aku ketika harus berbohong padanya. Rodeina sudah meninggal tadi malam karena mengalami dehidrasi. Kupikir sudah langka sekali drainase disini. Untuk mencari segelas Aqua saja harus ke Kota Kiryat Arba. Dan pastinya kota itu jauh dari sini. Lagipula saluran irigasi yang dibuldoser oleh rezim zionis sejak tahun 1997 belum segera diperbaiki oleh warga setempat. “Beginikah hidup di negeri perang itu?” batinku kesal. Hal ini tak seperti yang kukira dalam negeri Barbie atau Frozen dimana air melimpah di seluruh kota, dan airnya bening. Indah.
Ukhty, biar aku saja yang menyuapinya. Mungkin dia begitu trauma sejak perobohan rumah sakit 12 tahun yang lalu.” Kataku pada Maryam. Kulihat Maryam mengusap air matanya dan mengangguk. Dia pasti juga paham akan kejadian itu dimana saudara muslimnya diusir dari rumah sakit sementara yang akan dirobohkan itu hanya karena tidak mampu membayar biaya administrasi. Maryam segera masuk ke tenda, saat aku mulai menyuapi mulut kakek Atta yang mulai menganga. Terlihat di mataku Maryam, dia sedang menyiapkan kasur tipis untuk ayahnya istirahat siang. Aku tersenyum kembali pada Kakek Atta yang kurus tinggal tulang dan kulit ini. Senyuman yang asam campur perih. “Mengapa aku dilempar ke negeri ini, ya Allah? Apakah ini sebentuk istidroj padaku? Sialan, mengapa harus tempat pesing ini sih!” kataku dalam hati.
Aku tersentak dari lamunanku saat kakek Atta merapalkan sesuatu. Dengan nada lembut Kakek Atta mengucapkan do’a sebelum makan. Sejuk di nuraniku yang kelam dan kalut ini. Do’a yang jarang kuucapkan ketika lapar mendera. “Terimakasih, Ya allah! Kau telah kirimkan malaikat tua seperti Kakek Atta ini padaku sehingga aku tidak lupa akan kehadiran_Mu.” Kataku dalam hati, seakan do’a yang dipanjatkan oleh kakek itu benar-benar menohok kesombonganku pada-Nya. Kucoba untuk menyuapi sambil tersenyum lebih tulus lagi. Kurasa asap di langit sudah berpendar. Warna langit kembali biru. Kakek Atta tampak damai menatapnya. Dia tersenyum kembali. Benar-benar senyuman yang damai, sangat kontras dengan keadaan sekitarnya.
*********

-2 Nopember 2013-
Kurang lebih pukul 14.00 sore ini, terdengar bunyi ledakan walaupun tidak sekeras hari-hari yang lalu. Tetapi dari suaranya, mungkin tidak jauh dari pengungsian ini. Aku mencoba keluar dengan mobil ambulans untuk mengecek keadaan. Mobil yang dimiliki oleh Masael, rekanku yang beragama yahudi ini berwarna putih dengan alarmnya yang khas. Kebetulan dia juga bekerja di salah satu organisasi perdamaian dari Amerika. Dia ditugaskan di Hebron, sama sepertiku. Aku juga belum pernah melihat tentara Israel menghentikan mobil milik Yahudi. Hal ini berbeda sekali dengan mobil warga Muslim Palestina yang melintas di Jalan Syuhada yang kulalui sekarang ini. Tentara itu lebih fokus terhadap kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa muslim pagi tadi, jadi pemeriksaan KTP terasa lebih mudah dan cepat jika hendak ke luar kota.
Aku melesat ke Masjid Ibrahim/Gua Makhpela. Sebuah masjid yang juga disambung dengan bangunan sinagoge[6]. Masjid ini adalah salah satu bentuk dari toleransi di Palestina. Dari penampakan masjid ini, muncul sebuah ide bahwa Perang bukanlah masalah benci antar agama melainkan karena kebencian antara politikus Muslim dengan politikus Yahudi yang berkuasa saat ini. Hingga politikus Yahudi membuat program penulisan skripsi dengan tema besar: Studi Tokoh Imam/mursyid[7] Tarekat. Yang nantinya dari hasil penelitian tersebut, mereka akan mengirimkan agen intelijen untuk masuk ke tarekat tersebut dan menghancurkannya dari dalam.
MasyaAllah, aku turut berdosa sekali karena telah menulis tentang segalanya tentang Imam…. Kini dia dipenjara karena difitnah oleh pemerintah telah menyebarkan aliran tarekat sesat. Akan tetapi Alhamdulillah, jama’ah tarekatnya masih bertahan di masjid ini dan sering mengadakan halaqah[8] setiap ba’da shalat jum’at. Apakah thesis yang kutulis ini dimanfaatkan secara jahat oleh mereka yang tak bertanggung jawab?
“Gimana dengan tesisnya, lancar kan bro?” Tanya Labib, salah seorang dokter relawan yang berasal dari Brunei Darussalam dan kini aktif di tenda pengungsian. Dia juga mahir menyetir, jadi kupasrahkan kemudi mobil ini padanya.
“Yah, Alhamdulillah, dok. Semua seperti yang diharapkan. Tiga bulan lagi saya akan diwisuda.” Jawabku seraya mengelap peluh. Akhir-akhir ini cuaca menyengat dan lebih panas dari bulan lalu. Matahari juga serasa lima tombak di atas kepala.
“Syukurlah. Kalalu begitu keadaannya. Kami akan segera membeli obat tambahan di Betlehem. Obat-obat yang dikirim oleh Bulan Sabit Merah sudah menipis dalam dua minggu ini.” Katanya sambil menunjuk ke kotak-kotak obat yang berada di badan mobil. Dia sunggingkan senyuman.
“Apakah tidak berbahaya jika kalian membelinya di Betlehem, dok. Disana kan tempatnya para zionis?” tanyaku padanya. Kulihat senyumnya yang lebih lebar. Seakan-akan mengejekku, tetapi dia tidak mungkin seperti itu. Dia orang yang ramah.
“Siapa yang akan mencurigai seorang Yahudi yang akan membantu kerabatnya yang sakit. Seorang mantan tentara Zionispun juga punya hati, bro.” jawabnya datar. Konon, dia adalah mantan perwira tentara NATO PBB yang ditugaskan di Israel dan pasti dia menganut sedikit paham zionisme. Tetapi mungkin dia sudah bertaubat. Mengingat dia adalah seorang muallaf yang taat.
Ta’al ilaa masjid. Aqimnashshalah!” katanya. Benar waktu sudah menunjuk pukul 15.17 waktu Hebron. Sudah saatnya shalat ashar. “Ternyata dia sembahyang juga pada waktu ashar seperti ini?” Tanyaku dalam hati melihat dia berlari ke dalam sinagoge. Labib benar-benar orang yang sedikit aneh.
*********
-Tenda Pengungsian Hebron, 25 Desember 2013-
Kulihat tenda-tenda bertambah banyak hari ini. Warnanya kuning keemasan tampak dari kejauhan. Padang pasir terbentang luas dengan beberapa pohon kurma jarang. Aku jadi teringat sawah di Pulutan, Salatiga. Sawah yang penuh dengan padi yang siap dijual oleh para petani. Kenyang-kenyang, tidak seperti disini yang mana harus berpuasa dawud[9] untuk meratakan roti untuk semua pengungsi. “Kapan aku pulang?” pikirku. Tak terasa air mataku meleleh pelan, turun ke pipi dan meluncur ke pasir. Tempat aku berdiri.  Tetapi bagaimana mau pulang sementara keadaan di sini begitu pedih terasa di dadaku.
Hatiku tidak pernah sekalipun mengingat Indonesia. Karena disini jauh lebih menyentuh, baru kali ini saja aku ingat akan kampung halaman. Aroma Islam yang benar-benar Islami. Kudengar para ummahaat[10] mengulang-ulang ayat-ayat Al-Qur’an, sementara para ayah mendidik bacaan shalat pada putra-putrinya. Di dua tenda yang paling besar, di tengah kerumunan tenda disitu terdapat tenda terbesar. Itulah tenda khusus sekretariat bulan sabit merah yang digunakan untuk dapur umum dan apotek didirikan sekaligus sebagai posko penyimpanan dan pendistribusian bantuan. Dengan keterbatasan listrik dari beberapa buah genset donasi bulan sabit merah, kami semua dapat memasak makanan. Sebab disini tidak ada tungku, yang ada hanyalah kompor listrik bekas yang dikirim dari relawan Kanada. Itupun hanya berjumlah lima. Jadi masih kurang jika hendak memasakkan 2.500 pengungsi termasuk anak-anak. Jadi kami terpaksa masak dua kali untuk sekali makan.
Relawan dari berbagai belahan dunia berkumpul menjadi satu di shelther ini.. Ada yang menjadi dokter, ada yang menjadi imam shalat, ada yang menjadi psikiater anak, ada pula yang menjadi pendongeng dan ada pula yang menjadi penari. Tiap malam aku mendongeng tentang cerita kancil pada anak-anak seusia SD disini. Sekolah darurat, itulah yang lebih mirip di otak menurutku saat ini. Tetapi itu bisa menjadi terapi psikologis bagi mereka. Aku juga menjadi penyuap roti sementara bagi Kakek Atta dan juga Kakek Jabir yang sudah lima belas tahun lamanya rumah mereka rata oleh tanah karena akibat penggusuran massal oleh tentara Israel dan tentu oleh mortar-mortir tentara sekutu mereka.
“Nah…ketika kancil itu mendekat ke kebun ketimun Pak Tani, lalu apa yang terjadi anak-anak?” tanyaku pada dua belas anak-anak seusia anak TPA yang kini menatapku tajam penuh tanya. Salah satu dari mereka menjawab, “Makan, ustadz…, kancilnya lapar seperti kita lapar. Pak tani itu seperti Israel yang...”
Aku mulai tersenyum padanya. Aku tahu itu sakit bagi mereka untuk mengakui bahwa tentara Israel masih memiliki hati. Karena mereka masih polos. “Akhirnya kancil itu kena perangkap. Dan nggak jadi makan deh.” Tukasku menyelanya.
“Ayo, semua! Makanan sudah siap. Kumpul-kumpul! Duduk yang rapi, mari kita baca do’a bersama: Allahumma baariklanaa…” tegas Ummu Aiman, salah satu pemimpin koki di dapur. Dia ibu yang baik, anak-anak mencintainya dan pasti tidak ingin kehilangan dirinya.
“Horee, akhirnya kita makan!” kata Sarah, salah satu anak yang kebetulan sudah yatim piatu. Dia adalah yang terkecil dari semua anak-anak yang ada. Lima tahun. Disambut oleh anak-anak yang lain sambil melompat-lompat seperti kancil. “Tentunya ini bukan makanan kancil kan?” sela Isa, anak Palestina yang kini sudah berusia 7 tahun. Anak-anak yang lain menimpali dengan tawa riang, seakan zona perang tak ada di hadapan mereka. Meski aku tahu sorot mata mereka dipenuhi oleh kemarahan yang bukan dendam tetapi marah karena kesetiakawanan dan kemanusiaan. Akupun ikut berdo’a di tengah-tengah mereka sambil menangis. “Ya Allah, mengapa anak seumur ini engkau uji dengan keadaan seperti ini? Tegarkanlah imannya Ya Allah!” pintaku pada_Nya. Imran, salah seorang psikiater menepuk bahuku sambil berbisik, “Ayo kita makan bersama! Sepertinya sepiring berdua lebih romantis.” Katanya.
“Itu mah judul lagu!” kata Ahmad, relawan dari Indonesia juga yang berusia 35 tahun. Dia adalah seorang dokter spesialis bedah di sini. Semua yang berada di tendapun tertawa bersama. Bahagia yang temporal, menurutku. Di tengah konflik yang belum reda seperti ini saja, mereka masih bisa tegar apalagi ketika kekurangan.
“Ah, bisa saja kamu ini, akh.” Jawabku sambil geleng-geleng kepala. Merasa masih ada saja manusia baik di dunia ini. Seorang mahasiswa perantauan di negeri perang sepertiku tidak ada apa-apanya disini. Sedikit lapar saja aku sudah meronta-ronta. Kalau mereka, yakin sudah biasa berpuasa Daud. MasyaAllah.
**********
-Pengadilan Israel 27 Desember 2013-
Hari Jum’at, hari yang mulia menurutku dan bagi ummat Islam seluruhnya. Karena hari ini matahari terasa hangat. Kicau burung dan pelangi sayap kupu-kupu juga menghiasi alam. Angin sepoi menahan hawa gerah sedikit-sedikit. Sejuk di wajah. Aku sengaja mengajak Maryam untuk menghadiri sidang dengan agenda penetapan amar putusan hakim Israel terhadap terpidana Imam Hani, karena Maryam adalah jama’ah aktif dalam tarekat yang diimami oleh pihak terpidana. Dia akan menjadi orang pertama yang menyaksikan pembebasan sang Imam.
Berkat bantuan hukum yang diberikan oleh para relawan, akhirnya kasus pelarangan jama’ah tarekat dihapus dan Imam Hani dibebaskan. Kami harus berjuang selama empat bulan untuk melobi beberapa pihak dan mengumpulkan bukti-bukti bahwa beliau tak bersalah agar turut memperjuangkan pembebasannya. Dan hasilnya sempurna. Bahkan, hari ini adalah hari terbaikku. Yaitu penobatan titel magister dari Universitas Hebron untukku. Walaupun aku harus menelan pil pahit untuk itu karena telah menyeret Imam Hani ke sel gara-gara tesisku yang menjelaskan gerakan tasawuf dan pemikiran akidah beliau. Hal itu menjadi sasaran empuk bagi lawan-lawannya untuk menjebloskan beliau ke penjara.
“Kau tidak salah. Yang salah adalah mereka yang memanfaatkan tesismu.” Kata Imran yang duduk di sebelahku. Dia mengedipkan mata kirinya begitu ringan dan cepat.
“Yah, mungkin kau benar, kawan.” Jawabku sambil mengusap air mata ini dengan lengan bajuku lantas tersenyum lebih ramah.
“Apa rencanamu bulan depan? Pulang kampungkah?” tanyanya singkat.
“Ya. Aku akan pulang sebentar mungkin Bulan Januari tahun depan aku akan kesini lagi. Dan mungkin putra dari Maryam sudah bisa berjalan.” Candaku padanya. Ini karena Imran telah menikah dengan Maryam dua tahun yang lalu.
Amiin.” Jawabnya sambil terkekeh dan menyandarkan bahunya ke kursi sofa di lobby pengadilan.
“Hebron, tunggu aku! Kau senantiasa menginspirasiku di setiap langkah dan di setiap shalatku. Aku akan merindukanmu.” Kataku pada lampu Kristal yang menggantung di atap. Imran menatapku aneh kemudian menyeruput kopi Arabica nya yang sudah mulai hangat di telapak tangannya.
“Maka dengan ini dinyatakan bahwa Syaikh Imam Hani tidak bersalah karena mengajarkan tasawufnya atau akidah salafi jihadi dan dinyatakan bebas menurut undang-undang Israel.” Kata sang hakim ketua membacakan amar putusan. Gemuruh takbir memenuhi pengadilan. Kamipun saling berpelukan dan ada pula yang bersujud syukur di atas lantai. Meskipun sebenarnya aku tidak mendukung paham salafi jihadi, tetapi bagiku yang lebih penting adalah kebersamaan kami sebagai ummat Muslim yang bersatu. Menghormati seorang ulama’ adalah kewajiban orang-orang awwam seperti kami.
“Terimakasih, Ya Allah!” teriak Maryam penuh keyakinan di kursi saksinya lalu dia berdiri. Senyum di bibir hadirin pun terbentuk. Maka memang benar bahwa dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa: Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (Q.S. Al-Insyirah: 5-6).
Bagiku, pengertiannya lebih dari itu, bahwa satu kesulitan yang telah dijalani manusia, akan diganjar dengan seribu kemudahan/solusi dari-Nya. (terinspirasi dari buku Hebron journal karya Arthur Gish) .


[1] kerepotan
[2] Tidak punya uang ke sana.
[3] Ya, Nyai. Ini saya.
[4] Kejiwaan, kondisi hati
[5] Seperti rutinitas Shalat Jum’at,  bagi kaum Yahudi
[6] Masjid bagi kaum Yahudi
[7] Guru di bidang tasawuf/tarekat
[8] Kajian agama
[9] Puasa sehari, makan sehari berikutnya, berselang-seling seterusnya.
[10] Ibu-ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar