Langkah-Langkah
yang Hilang di Tanah Para Wali
Ternyata waktu tiga tahun benar-benar berjalan cepat laksana kilat
mencambuk lazuardi. Ana sudah tumbuh sebagai gadis yang periang dan tekun
beribadah. Ia sering duduk di pematang sawah seraya menghafalkan Surat Yasiin. Jadi
dia lebih dewasa daripada teman-teman seusianya. Sementara teman-temannya sibuk
bermain-main dengan padi yang menguning-emas. Cantik sekali pemandangan saat
itu. Dari jauh Pak Abdul tampak sedang berbincang-bincang dengan Habib Yahya,
ulama’ dari Kota Karanganyar. Sepertinya percakapan keduanya terlihat serius.
“Bagaimana ikhwani, sepakatkah ente sejenak
meninggalkan negeri ini untuk menemani ane dan adik ane ke Tarim?
Disana hanya empat tahun. Insya Allah barokah. Abah juga sepakat akan
hal ini..” kata Habib.
“Waduh bagaimana ya Bib, sebenarnya hijrah ke Tarim memang sudah
impian saya sejak MA dulu. Akan tetapi nanti siapa yang akan mengurus yayasan.
Apalagi para ustadz sudah berusia lanjut. Saya khawatir para santri jadi keteteran[1]
dalam menuntut ilmu disini. Di sisi lain, saya juga mboten gadhah artha
kangge mrika”[2].
Jawab Pak Abdul polos. Dia menjawab permintaan sang habib dengan sepresisi
mungkin. Sekilas beliau melayangkan pandangan ke pematang sawah. Tampak
anak-anak yang tidak berdosa, bahagia dengan permainannya. Tak terkecuali
dengan Ana yang sedari tadi membaca Al-Qur’an kecilnya.
“Sudah ente nggak usah khawatir soal administrasi. Semua
sudah ane urus. Tinggal kita berangkat ke bandara besok.” Kata Habib Yahya meyakinkan. Mata Pak Abdul
mengerjap-ngerjap, berbinar senang. Tetapi dia kembali tenang, menyadari siapa
dia.
Pak Abdul menoleh kembali. “Ijinkan saya istikharah malam
ini, bib.” Lanjut Pak Abdul.
“Oh, na’am. Fathob’an. Ane tunggu jawaban ente
lusa, ya!” sahut Habib Yahya dengan senyumnya yang hangat.
Pak Abdul hanya tersenyum lalu memandang Ana nan jauh disana. “Nduk,
mungkin kamu akan dibimbing oleh Mas Musyafa’ dulu. Aku akan kembali 4 tahun
lagi.” Katanya dalam hati. Pak Abdul berjalan masuk ke kamarnya. Angin
semilir masuk melalui sela-sela jendela kamar. Pak Abdul duduk di kursinya yang
mulai reyot karena sering terkena semprotan air hujan yang berhasil lolos masuk
ke kamar. Ia merenungkan keputusannya akan menjawab lusa kepada Habib. Ia
resah, galau. Maka ia menghadap kiblat seraya berdo’a, “Ya Allah, kumohon
bangunkan aku jam tiga malam nanti!”
Malam yang dipenuhi oleh bintang itu tidak mampu menghibur
kegalauan Pak Abdul. Sedari tadi ia bolak-balik di ruang tamu. “Hah, kalau
mondar-mandir saja, tentu tidak menyelesaikan masalah. Aku harus mencari ide,
tapi apa..?” Kiai. Ya kiai adalah salah satu kata yang terlintas di pikirannya
mungkin itulah solusinya. Segera ia keluar rumah menuju kediaman K.H. Samanhudi,
seorang usatdz yang mengajarkan ilmu tasawuf di pesantren itu. Khususnya
pengkajian kitab Al-Hikam. Ia percaya jika beliau dapat memberikan solusi
terbaik baginya.
“Assalamu’alaikum!” tampak Kiai Samanhudi sedang duduk di
teras sambil membaca dzikir ma’tsurat dan Ratibul ‘Athash.
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. “ Setelah selesai
membaca do’a fatihah, Kiai Samanhudi segera ke teras. Melihat siapa yang hadir
ke rumahnya.
“Oh, Gus Abdul tho! Mari-mari duduk sini.” Sambut Kiai Samanhudi
dengan ramahnya. Pak Abdul segera mendekat, menundukkan diri pada sang kiai dan
mencium tangannya. “Sini duduk sini. Ada yang dapat saya bantu, gus?. Ada apa
ya, pagi-pagi kemari? Tak biasanya kamu kemari sepagi ini.” Tanya kiai dengan
menunjukkan kursi rotannya agar Pak Abdul duduk.
“Emm, begini kiai…” kata Pak Abdul memulai pembicaraan. Ia tampak
kusut dan lelah. Maklum usai keliling sawah nan luas kemarin bersama Habib
Yahya. “Sebentar, Nyai…kopi buat Gus Abdul!” panggil kiai pada isterinya di
dalam bilik.
“Nggeh, bah! Gus Abdul kemari tho?” Tanya Bu Nyai dari dalam
rumah. Suara kepulan air mendidih tampak sayup-sayup dari teras. “Njih, Nyai
niki kulo[3].”
Jawab Pak Abdul tegas.
“Lanjutkan Gus..!” perintah Kiai. “ Begini kiai, Habib Yahya
mengajak saya untuk menemani beliau ke Tarim, Yaman. Katanya disana empat
tahun. Saya khawatir yayasan yang kita dirikan bersama tidak berjalan mulus
seperti sekarang. Kiai tahu sendiri kan jika pemuda-pemudi tidak digerakkan
untuk mengelolanya, maka yayasan ini akan dikelola oleh para kiai sepuh dimana
SDM nya kurang menguasai teknologi.”
“Lalu, tujuanmu kemari?” Tanya Abah penasaran. Tampak Bu Nyai
membawakan dua cangkir kopi yang diletakkan di atas nampan berwarna merah muda.
“Ini kopi jahenya diminum dulu, mumpung masih panas. Biar anget
badannya.” Kata Bu Nyai menyela pembicaraan Pak Abdul dan Pak Kiai.
“Njih, Bu! Terimakasih sekali!” kata Pak Abdul seraya
tersenyum simpul.
Pak Abdul menunggu hingga Bu Nyai ke dalam rumah. Dia menoleh
kembali ke Pak Abdul yang tampak kikuk di hadapannya.
“E…saya minta
nasehat dari
kiai. Saya harus bagaimana?” air mata Pak Abdul mulai pecah. Tangispun berderai
lancar, selancar anak kecil yang bermain air di bak.
“Sudahlah, Allah tidak pernah menyia-nyiakan hamba_Nya dengan
ujian. Semakin tebal iman seseorang, semakin besar pula ujian baginya. Mungkin
ini adalah kesempatan bagimu untuk menimba ilmu dari para ‘alawiyyin.
Mereka akan menuntunmu ke jalan Rasulullah. Masalah yayasan, biar aku yang
tanggung jawab. Selalu ada jalan setelah kesusahan. Yakinlah bahwa Allah selalu
menemanimu!” Kata Pak Kyai menegaskan kalimat per kalimat penuh aksen tegas.
Serasa halilintar yang menyambar nurani Pak Abdul. Di lain sisi, kata-kata kiai
itu benar, namun di sisi lain Pak Abdul tidak tega meninggalkan yayasan kepada
para asatidz sepuh. Dia menatap ke atas. Seekor perkutut manggut-manggut
seakan mengejeknya dengan siulan bertubi-tubi. Menghempaskannya ke titik entah.
Tangisnya berhenti berderai.
“Hah, mungkin saya harus istikharah nanti malam, kiai. Kalau
begitu saya pamit kiai. Terimakasih atas kopinya. Kopinya enak dan harum. Lain
kali saya akan pesan di warung tempat Bu Nyai beli. Maaf sudah bertamu sepagi
ini.” Kata Pak Abdul galau. Dia segera bangkit dari mejanya. Lalu mencium
punggung jari Pak Kiai.
“Oh, ya gus! Tidak apa-apa kau main saja kemari. Lain kali aku akan
silaturahmi ke rumah Abah Habib. Ntar tidak usah jauh-jauh ke warung hanya
untuk beli kopi. Tak bawakan sekarung.” Kata Pak Kiai sambil terkekeh pelan.
Pak Abdul tidak lagi memandang wajah Pak Kiai setelah pamitan. Dia langsung
berjalan ke rumahnya. Jalan Nampak berdebu, mungkin sisa dari erupsi Gunung
Lawu. Tebalnya 20 sentimeter. Jalan terkepul ketika ada motor yang lewat. Pak
Abdul berjalan perlahan agar sandalnya tidak mengganggu debu yang asyik bermain
di aspal jalan. Dia hanya bisa melihat debu-debu menari bersama angin kabut di
pagi itu.
*********
Malam istikharah di hari ini tidak sesunyi biasanya. Banyak
belalang bersiul berdendang karena musim kemarau akan tiba. Jengkerik
melantunkan melodi alam yang indah memecah keheningan tanah lapang di depan
yayasan. Tampak Pak Muslim Abdul selesai dari shalatnya. Wajahnya teduh seperti
telah mendapat wangsit saja. Terlukis senyum di bibirnya. Menenteramkan. Dia
berharap nanti di mimpinya atau di perbuatan yang diputuskan, dia akan
mendapatkan jawaban istikharahnya.
Sementara di luar, tampak Ana mengintipnya dari celah pintu kamar
yang agak terbuka. Sepertinya dia memperhatikan sesuatu. Sorot matanya tajam
menatap ke depan. Ke arah kamar tempat Pak Abdul shalat. Tetapi dia tidak yakin
terhadap apa yang dilihatnya. Dia menelan ludah pahit. Dia juga menengadahkan
tangannya ke langit sambil umak-umik membaca do’a. entah meminta apa.
Yang jelas, dia mengharapkan sesuatu agar terjadi atau sebaliknya. Kemudian terdengar
suara ketukan sepatu memukul-mukul lantai. Semakin dekat. Ana tampak ketakutan.
Sedikit-sedikit dia menoleh kanan-kiri. Suara itu semakin menghajar jantungnya.
Segera dia berlari ke kasur dan menumbangkan diri, tenggelam kepadanya. Lalu
menarik selimut yang sedari tadi malas untuk merapikan diri dan menutupi
pandangannya. Gadis cilik itu memejamkan mata. Pura-pura tidur. Sepertinya dia
tahu siapa yang datang. Dia adalah seorang gadis muda berjilbab hijau terang,
dengan gamis hijau panjang hingga mata kaki. Terlihat senyum sadisnya dari
sela-sela mata Ana yang mengintip dari balik selimut. Senyuman yang
menyeramkan. Mungkin gadis cilik itu trauma akan tata tertib yang dijelaskan
oleh gadis muda berjilbab hijau itu. Karena orang itu adalah Syarifah Anna,
nama gadis itu hampir sama dengannya. Mungkin Habib Ahmad tidak ingin kerepotan
ketika memberi namanya. Benar, seorang gelandangan seperti dirinya pantas
mendapat sebuah namanya yang sederhana. Cukup dengan Ana. 3 huruf yang sudah mufidah
dalam Bahasa Arabnya. Gadis yang dia intip tadi itu adalah satu-satunya putri
dari Habib Ahmad dan merupakan adik kandung dari Habib Yahya, sang mubaligh
Karanganyar yang tersohor itu. Tetapi agaknya orang itu akan segera jauh
darinya. Setidaknya selama 3 atau 4 tahun. Ya, gadis muda itu akan studi di
Yaman. Maka Ana tampak sedikit lega ketika gadis itu mencium dahinya dan
berkata, “Selamat bermimpi indah, gadis kecilku. Do’akan bibimu ini kelak
menjadi seorang faqih yang ‘alim ya. Biar bisa menjaga kamu dan
teman-teman. Selamat tidur!” tampak senyuman yang berubah menjadi keramahan, ketenteraman, keharuan,
keakraban, dan kesedihan berkecamuk di benak Ana. Tetes air mata turun pelan
dari sudut matanya. Dia tidak seperti ini ketika berpisah dengan sang syarifah.
Biasanya dia malah senang si-kuntilanak itu menjauh darinya. Artinya, Ana bisa
bermain sepuasnya. Tetapi sekarang, gadis kecil itu bisa juga bersedih ketika
harus berpisah dengan bibi angkatnya itu. Sesaat Anna hendak menjauh dari kamar
mungil itu, Ana memanggil namanya, “Bi Anna, jangan pergi dulu! Aku mau
mendengarkan dongeng Ali Baba.” Anna menoleh pelan lalu tersenyum. Gadis itu
segera mengambil dongeng seribu satu malam dari rak buku dan mengusap anak
rambut Ana.
“Oh, kamu belum bisa tidur ya?” Anna mendekat ke tubuh kecil itu dan berbisik,
“Oke, ceritanya begini…..” kalimat per kalimat dibacakan oleh Syarifah dengan
menggerak-gerakkan tangan sebagai penjelas dari kalimat itu. Sepertinya Ana
kecil sudah memejamkan mata dalam pulasnya berkeliling di Pulau Kapuk. Sekali
lagi Bibi muda itu mengecup keningnya. Lalu secara perlahan beringsut dari
kasur dan melangkahkan kaki melewati kamar-kamar santri dan juga kamar Ustadz
Abdul Ghofur. Sejenak mata gadis itu melirik isi kamar. Sepertinya ustadz muda
itu juga sudah pulas. Dia tersenyum simpul. Misterius tapi bermakna dalam.
Perjalanan malam pun dimulai. Semua tidur dalam pulasnya….
***********
Waktu itu Habib Yahya sudah berjalan di loket pemberhentian bus di
Sana’a. Dia membawa bekal sedikit dari
desanya. Tampak enting-enting yang ditentengnya kesana kemari, dan juga
tasbih. Sementara tangan kirinya menarik sebuah koper hitam bertuliskan haji
Indonesia. Disampingnya juga berjalan Syarifah Anna dengan gaun gamis warna
hitam kelam, membuat teduh bagi mata-mata yang memandangnya. Gadis itu tidak
membawa koper, tetapi sebuah tas punggung seukuran ransel kecil anak Pecinta
Alam. Mungkin isinya hanya beberapa buku dan pakaian. Keduanya tampak santai
dan seperti sudah terbiasa dengan lingkungan tempat mereka berkunjung. Lain
halnya dengan Ustadz Abdul, dia menenteng sebuah tas ukuran besar dan tampak
dia tidak tenang. Keringat meluncur deras dari pelipisnya, nafaspun
terengah-engah menampik teriknya matahari. Dia berpikir mungkin ada sebelas
matahari di atas kepalanya. Sedikit-sedikit dia mengelap keringatnya dengan
handuk kecil yang dititipkan oleh ibunya dari Salatiga. Dalam hatinya, dia
serba kacau. Namun di bibirnya senantiasa terucap kata-kata:”La hawla
wa laa quwwata illa billahil’aliyyil ‘adzim.”
Gunung-gunung pasir dan berwarna putih berdiri kokoh di depan
wajahnya yang capek. Dia dapat melihat asrama putra yang berdiri kokoh tak jauh
dari rubath Tarim. Sebuah lembaga pesantren yang menjadi favorit bagi para muhibbin
ahlulbait di Yaman Selatan. Akhirnya impian Pak Abdul untuk menginjakkan di
negeri wali tercapai juga. Dia pernah menuliskan impiannya itu di sebuah buku
berjudul dreams book. Kata Pak Imam Mas Arum, dosennya waktu masih
kuliah, jika impian ditulis dalam sebuah buku lalu kita berdo’a dan berusaha,
maka impian itu terwujud dalam persentase keberhasilan 80 %. Dia juga bisa
berbincang-bincang dengan para habib yang mengajar di rubath itu. Akan
tetapi pikirannya kalut akan urusan di yayasannya.
“Bagaimana kondisi pembelajaran yang ada di sana?” tanyanya pada
sebatang pohon kurma. Tentu saja pohon itu hanya tersenyum, terbisu karena
tidak mempunyai bibir yang indah seperti miliknya.
“Ah, jangan terlalu dipikirkan. Di sana sudah banyak kiai sepuh
yang ilmunya tidak dapat diragukan lagi. Tugas ente di sini adalah
belajar dan menjaga kami. Kami mendukung ente selalu.” Sahut Habib Yahya
dari belakang punggungnya. Pak Abdul langsung menundukkan pandangan dan
berkata, “Maaf, bib. Saya masih terbawa suasana. Insya Allah dalam
jangka waktu sebulan saya sudah bisa beradaptasi.” Memang benar, dia harus
melupakan yayasannya sejenak untuk berkonsentrasi studi di rubath. Agar
kelak saat pulang ke tanah air, dia bisa mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya
kepada para santri di yayasannya. Kata-kata dari habib tadi melegakan hatinya.
Dia juga teringat akan kata-kata dari Kiai sepuh, “Sudahlah, Allah tidak pernah
menyia-nyiakan hamba_Nya dengan ujian. Semakin tebal iman seseorang, semakin
besar pula ujian baginya. Mungkin ini adalah kesempatan bagimu untuk menimba
ilmu dari para ‘alawiyyin. Mereka akan menuntunmu ke jalan Rasulullah.
Masalah yayasan biar aku yang tanggung jawab. Selalu ada jalan setelah
kesusahan. Yakinlah bahwa Allah selalu menemanimu!”
Dia sudah mantap. Mungkin inilah jalannya.
************
Tak terasa sudah empat tahun Pak Abdul berada di Rubath Tarim
bersama Habib Yahya dan Syarifah Anna. Sudah tiba waktunya dia pulang ke tanah
air. Akhirnya berbagai cobaan di negeri itu dia lampaui dengan lancar. Dia
mendapat surat, surat dari Indonesia. Dia buka surat itu dengan alamat Habib
Ahmad, ayahanda Habib Yahya. Isi suratnya kurang lebih seperti ini:
“Wahai anankku yang tercinta, terimakasihku senantiasa terwujud.
Karena engkau telah menjaga putra-putriku di sana. Ketika engkau pulang nanti,
aku harap engkau juga tetap menjaga putriku. “
“Apa maksudnya ini?” Tanya Pak Abdul kepada Habib Yahya. “Yang tahu
hanya Allah dan Abah.” Sambil tersenyum Habib itu menoleh ke Syarifah Anna yang
sedang duduk di kursi paling depan. Pesawat itu akan mendarat pukul 08.00 WIB,
sementara ini masih pukul 06.15 Waktu Yaman atau sekitar pukul 17.15 WIB , jadi
masih ada waktu untuk meminum kopi dan membaca koran pagi yang baru saja di
beli di pasar media, Yaman.
**************
Ingatan perjalanan itu masih terngiang di otak Pak abdul. Kini isi
surat itu sudah dia pahami. Yang dimaksud menjaga setelah di Yaman adalah
bersanding sebagai suami istri. Syarifah Anna duduk di sampingnya seraya
menyiapkan materi seminar yang akan
disampaikan oleh Pak Abdul di depan para mahasiswa UNS.
Abdul tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Setelah kejadian itu, dia
hanya bisa mematung diri di pojok sungai. Gadis itu tersenyum padanya sesaat
dengan wakul berisi pakaian yang selesai dicuci. Sepertinya dia kenal
senyum itu. Tetapi dimana dia pernah melihat senyuman itu. Diapun mengejar
gadis itu. Terus dan terus. Setiba di pematang sawah milik Abah Syaiful Bachri,
salah seorang anggota dewan pengasuh di yayasannya, gadis itu melebur menjadi
cahaya. Cahaya itu menerangi sekitar sawah dan melebar hingga ke seluruh
desanya. Lalu turun salju lembut dan muncul istana es dari dasar tanah. Gadis
itu menunjuk ke altarnya. Terlihat seekor merpati putih yang berubah menjadi
diri gadis yang lain. Seakan kembar, ada dua gadis. Yang berubah menjadi cahaya
hilang, sementara yang berdiri di altar berjubahkan ratu dengan mahkota dari
emas.
Abdul mencoba menaiki tangga. Tetapi tangga itu semakin jauh dan
gadis itu masih tersenyum manja. Sekuat tenaga Abdul berlari. Tetapi dia tidak
sampai. Karena lelah, abdul beristirahat. Tiba-tiaba ada seekor beruang kutub
menghampirinya. Sontak dia terbangun dari mimpinya. Lagi-lagi mimpi seperti itu
terulang di malam-malamnya.
“Apa maksud semua ini?” katanya dalam hati memberontak pasti. Dia
sangat bingung akan apa yang terjadi di dalam bunga tidurnya. Apa yang akan
terjadi jika mimpinya itu adalah pertanda buruk baginya. Dia segera beranjak
dari kasur dan berjalan ke luar kamar. Dia tengok keluar. Tidak ada angin
berhembus, tidak ada pula hujan lebat. Tetapi hatinya gusar. Peluh menetes
deras dari pelipisnya.
“Sudah bangun, mas?” Tanya Syarifah Anna kepada suaminya itu. Di
tangannya menyangga teh hangat yang tenang di dalam cangkir putih. Seputih awan
yang menari di langit. Dilihatlah suaminya itu, tampak gugup seperti diguyur
air aki saja.
“Ya. Tolong siapkan handuk untukku, mi! Aku akan mengajar lebih
awal.” Pinta Abdul memelas. Dielapnya keringat yang membanjir di lehernya
dengan kain yang tergantung di dinding sebelah kanan kamarnya. Setelah
benar-benar kering, dicantolkan lagi kain itu ke tempat asalnya.
“Kenapa terburu-buru? Bukankah ini hari minggu, mas?” Tanya Anna
sedikit curiga. Ini adalah hari keluarga. Seharusnya Abdul tahu bahwa hari ini
agendanya adalah bersantai di Taman Balekambang. Melihat kijang dan menghirup
udara segar. Akan tetapi agenda itu harus tertolak hanya karena kesibukan
mengajar suaminya itu. Kenapa harus tertunda? Apakah Mas Abdul sudah lupa bahwa
dia pernah berjanji waktu masih mondok di Universitas Al-Ahgaff Yaman bahwa dia
akan mengajaknya ke Taman Balekambang. Sekedar untuk kencan pertama. Tangispun
meleleh dari pelupuk mata wanita ayu itu.
“Jangan menangis, mi! Aku akan pulang nanti sore. Kita akan kesana
pada sore hari. Pemandangannya lebih teduh daripada pagi hari.” Kata Abdul
sambil menghapus air mata istrinya itu.
“Oh tidak, Mas Abdul masih ingat kalau hari ini akan ke
Balekambang. Lalu kenapa dia merasa begitu resah saat menatapku.” Kata Anna dalam hatinya.
Dilihatnya Abdul menyambar dasi dan kunci mobil dan berbalik ke kaca rias untuk
mengenakan dasinya. Anna yang membenahi dasi itu agar tampak rapi. Kali ini
Abdul tampak lebih rapi dan wangi dari hari-hari biasanya. Ada kegiatan apa di
MA IT Nurussyifa? Padahal biasanya Abdul hanya memakai baju koko dan surban
hitam jika hendak mengajar, karena dia adalah guru fikih. Kalau harus memakai
dasi berarti paling tidak ada akreditasi sekolah atau sidak dari Dinas
Pendidikan Nasional atau keperluan supervisi madrasah. Hari itu, hati Anna
gusar. Entah embun yang mana yang akan mendinginkannya.
1.
Pertemuan Anna dengan Afwa
Sore itu sungguh indah. Mega berwarna jingga kekuningan terlukis
rapi dengan goresan sedikit oranye di langit. Lagipula kesunyian yang menemani
taman Balekambang sungguh menyentuh hati. Kijang-kijang berhenti
berjalan-jalan, kini mereka lebih suka untuk duduk seraya mengunyah rumput dari
perut mereka.
Sementara para tamu yang tidak diundang sudah mengepaki bekal dan
tikar mereka. Siap-siap pulang. Bayang-bayang mulai memanjang ke arah timur.
Tidak begitu dengan dua pasang muda-mudi dari Karanganyar itu. Anna dan Abdul. Mereka berjalan santai di atas paving
yang bersih dan berhenti di depan lincak. Mereka memutuskan untuk duduk.
Tampak seorang gadis berusia dua puluhan berjalan di atas jalan
yang mereka tadi lewati. Maka Abdul mulai memperhatikan gadis itu. Dari kacamata
dan gaya berbusananya…tidak salah lagi, dia adalah Afwa, Anna melihat gelagat
Abdul yang mulai memendar itu. Maka segera Anna memelototi suaminya.
“Temanku dulu, umiyk! Teman di organisasi, bukan siapa-siapa lagi”
kata Abdul menjelaskan. Dia melihat lama-lama mata itu meredup tenang, tidak
jadi melotot. Akhirnya Abdul memanggil gadis itu dengan dua kali panggilan.
Sontak Afwa menoleh ke arah mereka berdua. Sebuah masa lalu yang indah bagi
Abdul meski Anna tidak tahu akan hal itu. Ini seperti de javu. Afwa
berdiri anggun. Sementara Anna melirik Abdul dengan mata waspada seperti burung
elang yang akan memangsa ular sawah saja. Degub jantung Abdul kian tidak
menentu.
“Assalamu’alaikum, mas! Lama sekali ya tidak bertemu.” Sapa
Afwa lembut. Hati Abdul seperti diusap oleh salju yang tipis. Sesaat Afwa
menatap Anna untuk pertama kalinya. Lalu dia menyapa ibu muda itu. “Mbak…” Afwa
mencoba untuk sedikit ramah agar keadaan tidak begitu kaku.
“Wa..alaikum…salam.” jawab Abdul terbata-bata seraya
memandang Anna yang matanya kian melotot saja. Bagai busur yang siap
membidikkan anak panah berapi yang akan merombak dada dan hati Abdul. Abdul
tahu Anna sedang cemburu, tetapi apa salahnya Afwa mengucapkan salam padanya.
Abdul bersikap biasa saja seakan tidak ada apa-apa sebelumnya.
“Mau kemana Mbak Afwa?” Tanya Abdul meredakan suasana yang tegang.
Abdul mulai memperkenalkan diantara mereka. Sehingga keadaan hati Anna
mendingin.
“Mau survey ke pesantren Darul Qur’an. Sepertinya butuh wawasan
banyak untuk mengembangkan sumber daya manusia di pesantren yang abah pimpin,
mas.” Kata Afwa dengan bahasa yang lancar. Pancaran matanya masih sama seperti yang
dulu. Teduh dan meneduhkan. Sepertinya tidak ada gunanya lagi untuk curiga.
Kata Anna dalam hati.
“Bagaimana keadaan disana? Kamu sudah dikaruniai bayi belum?” Tanya
Abdul mencairkan suasana hati Anna yang tadinya kalut bukan main. Kini serasa
Anna memandang padang rumput yang luas di hatinya. Nyaman dengan angin
segarnya. Padang rumput itu adalah suaminya yang setia padanya dan
membahagiakan.
“Sudah dua, mas. Yang paling besar sudah berusia lima tahun, yang
kecil baru sebulan.” Jawab Afwa sambil memancarkan kabahagiaan dari pelupuk
matanya. Anna ikut senang, dia kini tersenyum puas. Hatinya ingin sekali segera
menimang bayi. Dia melirik Abdul. Meminta ijin pada suaminya untuk
memperkenalkan diri lebih jauh. Dan akhirnyapun dipersilakan.
Keadaanpun mencair. Pertemuan yang barokah. Mereka bertiga pun
bercakap-cakap sejenak. Saling berkenalan dengan kepribadian mereka yang
sekarang. “Hahaha. Benar, mbak. Bahkan ketika itu saya pergi bersama
teman-teman menuju universitas mbak untuk memastikan kalau disana juga ada JQH
seperti di pesantren saya.”
“Oh, begitu ya. Kebetulan waktu itu saya sedang pulang kampung.
Jadi pantas sekali tidak bertemu ya.” Lanjut afwa. Abdul dibuat keduanya
mematung karena memang benar wanita akan segera akrab dengan seseorang yang
baru dikenalnya. Wanita memiliki kekuatan perasaan dan cinta yang kuat sehingga
jelas kalau mereka bisa seperti itu.
Senja hampir berakhir. Siratan cahaya mega merah mulai mengukir
langit. Afwa pun berpamitan. Sebab acara studi banding akan dilakukan setelah
maghrib. Maka Abdulpun juga mengemasi barang-barang, segera menuju mobil
mereka. Senyum perpisahan yang dilayangkan oleh Afwa masih menjadi ratu bagi
Abdul. Tetapi Abdul masih memiliki senyuman sejati. Yakni senyuman Anna yang
tidak mungkin habis keindahannya. Cinta yang diridhai Allah.
2.
Wisata Rohani 2 Negara Islam di Asia
a.
GEJOLAK HATIKU DI HEBRON (Cerpen Yang Kalah dalam Lomba Cerpen
Islami LDK Darul Amal STAIN Salatiga)
“Namaku Muslim Abdul Ghofur. Biasanya
dipanggil dengan Muslim. Aku berasal dari negeri macan Asia, Indonesia. Seorang
mahasiswa yang diberi kesempatan untuk belajar di salah satu universitas di
Palestina. Berkat do’a bunda di setiap tahajjudnya dan ikhtiarku
dalam meraih beasiswa MES (Middle East Scholarships) yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Israel. Alhamdulillah, dengan usaha dan
rahmat dari Allah aku dapat menyelesaikan semester demi semester dengan lancar.
Dan sekarang aku mulai fokus pada penulisan skripsiku, yang aku beri judul
“Studi Tasawuf Imam Hani.” Aku mengambil judul ini sebab pemerintah Israel
memberikan dukungan penuh pada setiap mahasiswa untuk mengkaji apapun tentang
ulama’ Palestina. Entah itu terlepas dari proyek perang pemikiran, aku tidak
peduli, yang penting aku bisa keluar dari negeri konflik ini dengan nilai cumclaude.
Sebuah pemikiran yang egois memang.” Kataku dalam bincang antar mahasiswa muslim
saat penutupan bedah thesis di kampus, di hadapan 4 guru besar yang akan
meloloskanku dengan titel magister tiga bulan lalu.
Setelah
sidang bedah thesis (munaqasyah) selesai. Aku mencoba magang di sebuah
organisasi perdamaian Timur Tengah perwakilan dari Amerika di Hebron, sebentang
distrik yang hampir seratus persen hancur oleh perang. Terpapar penyakit kimia
dan remuk gara-gara ledakan rudal balistik lawan. Organisasi yang aku bergabung
di dalamnya ini bekerjasama dengan Bulan Sabit Merah. Dalam kegiatannya, kami
para anggota difasilitasi dengan karantina selama dua bulan dan amal pengabdian
selama tiga bulan.
Aku
pikir dalam sebuah pertemuan dan karantina yang diberikan oleh pihak Bulan
Sabit Merah (semacam tim relawan bencana perang di Timur Tengah) hanya
membuahkan hasil yang biasa saja bagi rukhiyyahku[4].
Ternyata semua yang dilakukan selama empat bulan disini membuatku meronta dan
ingin membredel thesisku saja. Aku merasa bersalah sekali. Palestina merubah
diriku menjadi semakin baik. Baik jama’ah shalat fardlu, peningkatan shalat sunnah
rawatib, shalat sunnah dhuha dan tahajjud, tahsin dan tahfidzul
Qur’an. Dan di kota Hebron lah, Palestina menjadi saksi panjang sejak Nabi
Ibrahim dimakamkan hingga pembangunan pemukiman Yahudi baik yang legal maupun
yang illegal dibangun disini. Jadi sudah pas jika hendak menempa rukhiyyah,
maka pergilah ke Hebron.
******
Langit
tak sebiru bulan lalu. Waktu itu menunjukkan pukul 07.00 pagi waktu Palestina. Dimana
biasanya perayaan hari sabat[5]
berlangsung meriah dan menjadi tontonan yang aman bagi warga Muslim yang ingin
ikut merayakan. Dimana banyak roti kebab dengan saladnya. Tarian Arab yang
menghibur, dan lampu terang dimana-mana di malam harinya. Justru yang
kusaksikan hari ini begitu mencekam. Listrik padam semenjak sore hari hingga
pagi lagi, semua warung roti tutup dan bolong-bolong karena hantaman selongsong
peluru dari timah yang panas. Setiap lima meter dijaga ketat oleh tentara
Israel. Setiap keluar mencari bahan makanan saja perlu investigasi yang lama
sekali. Kulihat langit berasap pasca ledakan rudal beberapa jam yang lalu.
Sendu dan menitihkan air mata kesedihan. Kasihan sekali Palestina! Aku berjalan
menuju pemukiman dekat Pasar Avraham Avinu, yang kini tinggal puing dan kawat
berduri. Langkahku terhenti setelah melihat Kakek Atta yang sedang disuapi oleh
putri sulungnya, Maryam namanya.
“Ayah,
ayo dimakan! Nanti keburu dingin, buburnya jadi tidak enak, lho.” Kata Maryam
penuh pinta. Ya, kutahu perjuangan seorang anak yang hendak mencari sepiring
bubur saja harus mengendap-endap melewati lorong-lorong gelap yang setiap saat
akan dipenuhi oleh tentara zionis yang sedang pesta minuman. Pasti bubur itu
adalah rahmat dari tuhan untuk Atta.
“Aku
tidak ingin makan. Mana Rodeina? Aku ingin dia makan juga.” Tanya Atta pada
putrinya yang dengan sabar menyuapinya. Kakek Atta mencari-cari istrinya.
Dipandangi ke segala arah. Tiada seorangpun. Dilihatnya Maryam justru menangis
tersedu. Aku mencoba mendekat dan tersenyum pada kakek itu.
“Kek,
makan dulu! Nanti biar Abdul yang menyuapi Nenek Rodeina.” Kataku menghiburnya.
Betapa munafiknya aku ketika harus berbohong padanya. Rodeina sudah meninggal
tadi malam karena mengalami dehidrasi. Kupikir sudah langka sekali drainase
disini. Untuk mencari segelas Aqua saja harus ke Kota Kiryat Arba. Dan pastinya
kota itu jauh dari sini. Lagipula saluran irigasi yang dibuldoser oleh rezim
zionis sejak tahun 1997 belum segera diperbaiki oleh warga setempat. “Beginikah
hidup di negeri perang itu?” batinku kesal. Hal ini tak seperti yang kukira
dalam negeri Barbie atau Frozen dimana air melimpah di seluruh kota, dan airnya
bening. Indah.
“Ukhty,
biar aku saja yang menyuapinya. Mungkin dia begitu trauma sejak perobohan rumah
sakit 12 tahun yang lalu.” Kataku pada Maryam. Kulihat Maryam mengusap air
matanya dan mengangguk. Dia pasti juga paham akan kejadian itu dimana saudara
muslimnya diusir dari rumah sakit sementara yang akan dirobohkan itu hanya
karena tidak mampu membayar biaya administrasi. Maryam segera masuk ke tenda, saat
aku mulai menyuapi mulut kakek Atta yang mulai menganga. Terlihat di mataku
Maryam, dia sedang menyiapkan kasur tipis untuk ayahnya istirahat siang. Aku
tersenyum kembali pada Kakek Atta yang kurus tinggal tulang dan kulit ini.
Senyuman yang asam campur perih. “Mengapa aku dilempar ke negeri ini, ya Allah?
Apakah ini sebentuk istidroj padaku? Sialan, mengapa harus tempat pesing
ini sih!” kataku dalam hati.
Aku
tersentak dari lamunanku saat kakek Atta merapalkan sesuatu. Dengan nada lembut
Kakek Atta mengucapkan do’a sebelum makan. Sejuk di nuraniku yang kelam dan
kalut ini. Do’a yang jarang kuucapkan ketika lapar mendera. “Terimakasih, Ya
allah! Kau telah kirimkan malaikat tua seperti Kakek Atta ini padaku sehingga
aku tidak lupa akan kehadiran_Mu.” Kataku dalam hati, seakan do’a yang
dipanjatkan oleh kakek itu benar-benar menohok kesombonganku pada-Nya. Kucoba
untuk menyuapi sambil tersenyum lebih tulus lagi. Kurasa asap di langit sudah
berpendar. Warna langit kembali biru. Kakek Atta tampak damai menatapnya. Dia
tersenyum kembali. Benar-benar senyuman yang damai, sangat kontras dengan
keadaan sekitarnya.
*********
-2 Nopember
2013-
Kurang
lebih pukul 14.00 sore ini, terdengar bunyi ledakan walaupun tidak sekeras
hari-hari yang lalu. Tetapi dari suaranya, mungkin tidak jauh dari pengungsian
ini. Aku mencoba keluar dengan mobil ambulans untuk mengecek keadaan. Mobil yang
dimiliki oleh Masael, rekanku yang beragama yahudi ini berwarna putih dengan
alarmnya yang khas. Kebetulan dia juga bekerja di salah satu organisasi
perdamaian dari Amerika. Dia ditugaskan di Hebron, sama sepertiku. Aku juga
belum pernah melihat tentara Israel menghentikan mobil milik Yahudi. Hal ini
berbeda sekali dengan mobil warga Muslim Palestina yang melintas di Jalan
Syuhada yang kulalui sekarang ini. Tentara itu lebih fokus terhadap kekerasan
yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa muslim pagi tadi, jadi pemeriksaan KTP
terasa lebih mudah dan cepat jika hendak ke luar kota.
Aku
melesat ke Masjid Ibrahim/Gua Makhpela. Sebuah masjid yang juga disambung
dengan bangunan sinagoge[6]. Masjid
ini adalah salah satu bentuk dari toleransi di Palestina. Dari penampakan
masjid ini, muncul sebuah ide bahwa Perang bukanlah masalah benci antar agama
melainkan karena kebencian antara politikus Muslim dengan politikus Yahudi yang
berkuasa saat ini. Hingga politikus Yahudi membuat program penulisan skripsi
dengan tema besar: Studi Tokoh Imam/mursyid[7]
Tarekat. Yang nantinya dari hasil penelitian tersebut, mereka akan mengirimkan
agen intelijen untuk masuk ke tarekat tersebut dan menghancurkannya dari dalam.
MasyaAllah, aku turut berdosa sekali karena telah menulis tentang segalanya
tentang Imam…. Kini dia dipenjara karena difitnah oleh pemerintah telah
menyebarkan aliran tarekat sesat. Akan tetapi Alhamdulillah, jama’ah
tarekatnya masih bertahan di masjid ini dan sering mengadakan halaqah[8]
setiap ba’da shalat jum’at. Apakah thesis yang kutulis ini dimanfaatkan secara
jahat oleh mereka yang tak bertanggung jawab?
“Gimana
dengan tesisnya, lancar kan bro?” Tanya Labib, salah seorang dokter relawan
yang berasal dari Brunei Darussalam dan kini aktif di tenda pengungsian. Dia
juga mahir menyetir, jadi kupasrahkan kemudi mobil ini padanya.
“Yah,
Alhamdulillah, dok. Semua seperti yang diharapkan. Tiga bulan lagi saya
akan diwisuda.” Jawabku seraya mengelap peluh. Akhir-akhir ini cuaca menyengat
dan lebih panas dari bulan lalu. Matahari juga serasa lima tombak di atas
kepala.
“Syukurlah.
Kalalu begitu keadaannya. Kami akan segera membeli obat tambahan di Betlehem.
Obat-obat yang dikirim oleh Bulan Sabit Merah sudah menipis dalam dua minggu
ini.” Katanya sambil menunjuk ke kotak-kotak obat yang berada di badan mobil. Dia
sunggingkan senyuman.
“Apakah
tidak berbahaya jika kalian membelinya di Betlehem, dok. Disana kan tempatnya
para zionis?” tanyaku padanya. Kulihat senyumnya yang lebih lebar. Seakan-akan
mengejekku, tetapi dia tidak mungkin seperti itu. Dia orang yang ramah.
“Siapa
yang akan mencurigai seorang Yahudi yang akan membantu kerabatnya yang sakit.
Seorang mantan tentara Zionispun juga punya hati, bro.” jawabnya datar. Konon,
dia adalah mantan perwira tentara NATO PBB yang ditugaskan di Israel dan pasti
dia menganut sedikit paham zionisme. Tetapi mungkin dia sudah bertaubat.
Mengingat dia adalah seorang muallaf yang taat.
“Ta’al
ilaa masjid. Aqimnashshalah!” katanya. Benar waktu sudah menunjuk pukul
15.17 waktu Hebron. Sudah saatnya shalat ashar. “Ternyata dia sembahyang juga
pada waktu ashar seperti ini?” Tanyaku dalam hati melihat dia berlari ke dalam sinagoge.
Labib benar-benar orang yang sedikit aneh.
*********
-Tenda Pengungsian
Hebron, 25 Desember 2013-
Kulihat
tenda-tenda bertambah banyak hari ini. Warnanya kuning keemasan tampak dari
kejauhan. Padang pasir terbentang luas dengan beberapa pohon kurma jarang. Aku
jadi teringat sawah di Pulutan, Salatiga. Sawah yang penuh dengan padi yang
siap dijual oleh para petani. Kenyang-kenyang, tidak seperti disini yang mana
harus berpuasa dawud[9]
untuk meratakan roti untuk semua pengungsi. “Kapan aku pulang?” pikirku. Tak
terasa air mataku meleleh pelan, turun ke pipi dan meluncur ke pasir. Tempat
aku berdiri. Tetapi bagaimana mau pulang
sementara keadaan di sini begitu pedih terasa di dadaku.
Hatiku
tidak pernah sekalipun mengingat Indonesia. Karena disini jauh lebih menyentuh,
baru kali ini saja aku ingat akan kampung halaman. Aroma Islam yang benar-benar
Islami. Kudengar para ummahaat[10]
mengulang-ulang ayat-ayat Al-Qur’an, sementara para ayah mendidik bacaan shalat
pada putra-putrinya. Di dua tenda yang paling besar, di tengah kerumunan tenda
disitu terdapat tenda terbesar. Itulah tenda khusus sekretariat bulan sabit
merah yang digunakan untuk dapur umum dan apotek didirikan sekaligus sebagai
posko penyimpanan dan pendistribusian bantuan. Dengan keterbatasan listrik dari
beberapa buah genset donasi bulan sabit merah, kami semua dapat memasak makanan.
Sebab disini tidak ada tungku, yang ada hanyalah kompor listrik bekas yang
dikirim dari relawan Kanada. Itupun hanya berjumlah lima. Jadi masih kurang
jika hendak memasakkan 2.500 pengungsi termasuk anak-anak. Jadi kami terpaksa
masak dua kali untuk sekali makan.
Relawan
dari berbagai belahan dunia berkumpul menjadi satu di shelther ini.. Ada
yang menjadi dokter, ada yang menjadi imam shalat, ada yang menjadi psikiater
anak, ada pula yang menjadi pendongeng dan ada pula yang menjadi penari. Tiap
malam aku mendongeng tentang cerita kancil pada anak-anak seusia SD disini.
Sekolah darurat, itulah yang lebih mirip di otak menurutku saat ini. Tetapi itu
bisa menjadi terapi psikologis bagi mereka. Aku juga menjadi penyuap roti
sementara bagi Kakek Atta dan juga Kakek Jabir yang sudah lima belas tahun lamanya
rumah mereka rata oleh tanah karena akibat penggusuran massal oleh tentara
Israel dan tentu oleh mortar-mortir tentara sekutu mereka.
“Nah…ketika
kancil itu mendekat ke kebun ketimun Pak Tani, lalu apa yang terjadi
anak-anak?” tanyaku pada dua belas anak-anak seusia anak TPA yang kini
menatapku tajam penuh tanya. Salah satu dari mereka menjawab, “Makan, ustadz…,
kancilnya lapar seperti kita lapar. Pak tani itu seperti Israel yang...”
Aku
mulai tersenyum padanya. Aku tahu itu sakit bagi mereka untuk mengakui bahwa
tentara Israel masih memiliki hati. Karena mereka masih polos. “Akhirnya kancil
itu kena perangkap. Dan nggak jadi makan deh.” Tukasku menyelanya.
“Ayo,
semua! Makanan sudah siap. Kumpul-kumpul! Duduk yang rapi, mari kita baca do’a
bersama: Allahumma baariklanaa…” tegas Ummu Aiman, salah satu pemimpin
koki di dapur. Dia ibu yang baik, anak-anak mencintainya dan pasti tidak ingin
kehilangan dirinya.
“Horee,
akhirnya kita makan!” kata Sarah, salah satu anak yang kebetulan sudah yatim
piatu. Dia adalah yang terkecil dari semua anak-anak yang ada. Lima tahun.
Disambut oleh anak-anak yang lain sambil melompat-lompat seperti kancil. “Tentunya
ini bukan makanan kancil kan?” sela Isa, anak Palestina yang kini sudah berusia
7 tahun. Anak-anak yang lain menimpali dengan tawa riang, seakan zona perang
tak ada di hadapan mereka. Meski aku tahu sorot mata mereka dipenuhi oleh
kemarahan yang bukan dendam tetapi marah karena kesetiakawanan dan kemanusiaan.
Akupun ikut berdo’a di tengah-tengah mereka sambil menangis. “Ya Allah, mengapa
anak seumur ini engkau uji dengan keadaan seperti ini? Tegarkanlah imannya Ya
Allah!” pintaku pada_Nya. Imran, salah seorang psikiater menepuk bahuku sambil
berbisik, “Ayo kita makan bersama! Sepertinya sepiring berdua lebih romantis.”
Katanya.
“Itu
mah judul lagu!” kata Ahmad, relawan dari Indonesia juga yang berusia 35 tahun.
Dia adalah seorang dokter spesialis bedah di sini. Semua yang berada di
tendapun tertawa bersama. Bahagia yang temporal, menurutku. Di tengah konflik
yang belum reda seperti ini saja, mereka masih bisa tegar apalagi ketika
kekurangan.
“Ah,
bisa saja kamu ini, akh.” Jawabku sambil geleng-geleng kepala. Merasa masih ada
saja manusia baik di dunia ini. Seorang mahasiswa perantauan di negeri perang
sepertiku tidak ada apa-apanya disini. Sedikit lapar saja aku sudah
meronta-ronta. Kalau mereka, yakin sudah biasa berpuasa Daud. MasyaAllah.
**********
-Pengadilan
Israel 27 Desember 2013-
Hari
Jum’at, hari yang mulia menurutku dan bagi ummat Islam seluruhnya. Karena hari
ini matahari terasa hangat. Kicau burung dan pelangi sayap kupu-kupu juga
menghiasi alam. Angin sepoi menahan hawa gerah sedikit-sedikit. Sejuk di wajah.
Aku sengaja mengajak Maryam untuk menghadiri sidang dengan agenda penetapan
amar putusan hakim Israel terhadap terpidana Imam Hani, karena Maryam adalah
jama’ah aktif dalam tarekat yang diimami oleh pihak terpidana. Dia akan menjadi
orang pertama yang menyaksikan pembebasan sang Imam.
Berkat
bantuan hukum yang diberikan oleh para relawan, akhirnya kasus pelarangan
jama’ah tarekat dihapus dan Imam Hani dibebaskan. Kami harus berjuang selama
empat bulan untuk melobi beberapa pihak dan mengumpulkan bukti-bukti bahwa
beliau tak bersalah agar turut memperjuangkan pembebasannya. Dan hasilnya
sempurna. Bahkan, hari ini adalah hari terbaikku. Yaitu penobatan titel
magister dari Universitas Hebron untukku. Walaupun aku harus menelan pil pahit
untuk itu karena telah menyeret Imam Hani ke sel gara-gara tesisku yang
menjelaskan gerakan tasawuf dan pemikiran akidah beliau. Hal itu menjadi
sasaran empuk bagi lawan-lawannya untuk menjebloskan beliau ke penjara.
“Kau
tidak salah. Yang salah adalah mereka yang memanfaatkan tesismu.” Kata Imran
yang duduk di sebelahku. Dia mengedipkan mata kirinya begitu ringan dan cepat.
“Yah,
mungkin kau benar, kawan.” Jawabku sambil mengusap air mata ini dengan lengan
bajuku lantas tersenyum lebih ramah.
“Apa
rencanamu bulan depan? Pulang kampungkah?” tanyanya singkat.
“Ya.
Aku akan pulang sebentar mungkin Bulan Januari tahun depan aku akan kesini
lagi. Dan mungkin putra dari Maryam sudah bisa berjalan.” Candaku padanya. Ini
karena Imran telah menikah dengan Maryam dua tahun yang lalu.
“Amiin.”
Jawabnya sambil terkekeh dan menyandarkan bahunya ke kursi sofa di lobby
pengadilan.
“Hebron,
tunggu aku! Kau senantiasa menginspirasiku di setiap langkah dan di setiap
shalatku. Aku akan merindukanmu.” Kataku pada lampu Kristal yang menggantung di
atap. Imran menatapku aneh kemudian menyeruput kopi Arabica nya yang sudah
mulai hangat di telapak tangannya.
“Maka
dengan ini dinyatakan bahwa Syaikh Imam Hani tidak bersalah karena mengajarkan
tasawufnya atau akidah salafi jihadi dan dinyatakan bebas menurut undang-undang
Israel.” Kata sang hakim ketua membacakan amar putusan. Gemuruh takbir memenuhi
pengadilan. Kamipun saling berpelukan dan ada pula yang bersujud syukur di atas
lantai. Meskipun sebenarnya aku tidak mendukung paham salafi jihadi, tetapi
bagiku yang lebih penting adalah kebersamaan kami sebagai ummat Muslim yang
bersatu. Menghormati seorang ulama’ adalah kewajiban orang-orang awwam seperti
kami.
“Terimakasih,
Ya Allah!” teriak Maryam penuh keyakinan di kursi saksinya lalu dia berdiri.
Senyum di bibir hadirin pun terbentuk. Maka memang benar bahwa dalam Al-Qur’an
dijelaskan bahwa: “Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.
Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (Q.S. Al-Insyirah: 5-6).
Bagiku, pengertiannya lebih dari itu, bahwa satu kesulitan yang
telah dijalani manusia, akan diganjar dengan seribu kemudahan/solusi dari-Nya. (terinspirasi
dari buku Hebron journal karya Arthur Gish) .
[1]
kerepotan
[2]
Tidak punya uang ke sana.
[3]
Ya, Nyai. Ini saya.
[4]
Kejiwaan, kondisi hati
[5]
Seperti rutinitas Shalat Jum’at, bagi
kaum Yahudi
[6]
Masjid bagi kaum Yahudi
[7]
Guru di bidang tasawuf/tarekat
[8]
Kajian agama
[9]
Puasa sehari, makan sehari berikutnya, berselang-seling seterusnya.
[10]
Ibu-ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar