1.
Pagi Anugerah
Pagi
itu benar-benar cerah secerah wajah Abdul yang senantiasa tersenyum karena
bangga-bahagia. Siratan mega merah di pojok langit dengan manik-manik awan
putih tipis menandakan bahwa fajar telah tiba. Tetapi tidak begitu bagi hati
Abdul: hatinya penuh awan putih bersih. Perjalanan menuju gedung serba putih di
pinggir selasar Tawangmangu benar-benar membuatnya waspada. Sesekali dia
menarik nafas panjang. Ini pertama kalinya baginya menuju gedung itu semenjak
kepulangannya dari Iran pasca mengakhiri studi S3 dan riset ilmiahnya di sana.
Jalan Karanganyar-Solo memang selalu macet di pagi hari apalagi hari awal
aktivitas, Senin. Seakan-akan jalan dipadati oleh bebek-bebek matic dan
juga kijang besi alias mobil.
Sedikit-sedikit
lampu lalu lintas menyala. Menyetop dan melancarkan perjalanan. Harus tengok
kanan-kiri karena banyaknya perempatan yang memungkinkan adanya kecelakaan.
Baik ringan maupun berat. Pernah dua atau tiga kali kecelakaan terjadi dalam
satu hari di jalan yang sama. Maka resep perjalanan yang baik adalah memakai helm
bagi kendaraan roda dua atau sabuk pengaman bagi mobil dan tentunya berdo’a
sebelum berangkat. Insya Allah tuhan akan melancarkan perjalanan kita ketika
hati dipenuhi oleh selimut tawakkal pada-Nya. Apalagi jika masih tinggal
bersama kedua orangtua, tidak ada salahnya jika berpamitan. Karena mereka akan
memberikan do’a selamat bagi putra-putrinya.
Jarak
yang tidak begitu jauh dari yayasan memang menjadi kesenangan tersendiri bagi
Abdul untuk mengantar sang Pujaan Hati menuju medan jihad. Tempat parkiran yang
luas sangat representatif bagi keduanya untuk berjalan berdua dengan
romantisnya. Sehingga tidak ada satupun yang akan mengganggu perjalanan cinta
mereka.
Tangga-tangga
menuju ruang utama dengan bangsal-bangsal yang bersih nan putih. Naluri Abdul
mengucapkan bahwa nanti akan hadir sang malaikat penjaga. Berbaringlah Anna di
kasurnya lalu terdengar suara langkah suster berbaju putih. Warnanya seperti
dinding dan bangsal-bangsal tadi.
Tarikan
nafas yang terengah-engah dan perjuangan tiada akhir dilakukan Anna. Akhirnya
lahirlah dua putra-putri kembar. Bersih tanpa dosa. Senyuman syukur tergambar
di wajah kedua orang tua. Seorang bapak dan ibu muda.
“Kini aku menjadi seorang ayah!” teriak Abdul dengan puasnya.
“Benar aku kini menjadi ibu, hahaha.” Kata Anna menyahut.
“Aku menjadi seorang ayah, Alhamdulillah Ya Allah.” Kata
Abdul sekali lagi.
“Dan aku menjadi ibu, mas. Hemm... sepertinya akan tambah
menyenangkan!” seru Anna. Matanya mengerjap-ngerjap, berbinar bahagia.
Abdul segera bersujud syukur tiga kali sambil bertakbir lirih
saking bahagianya.
Akhirnya
yang dinanti-nantikan datang juga. Abdul menimang bayi. Kembar lagi. Betapa
bahagianya mereka berdua. Sebuah kisah baru sang bayi dan kisah yang indah bagi
kedua orang tuanya.
2.
Hari Duka
Kebiasaan
jika Abdul merasakan gerah atau galau pasti akan
mencari angin untuk refreshing.
Sekedar jalan-jalan keliling kota atau desa. Atau minimal dia akan mengetik
sejumlah peristiwa dalam diary notebooknya. Memang terasa sedikit membosankan.
Tetapi jika sering dilakukan dan dinikmati pasti lama-lama juga akan
menyenangkan. Lagipula jalan-jalan yang dia lakukan sembari mengambil beberapa
capture sebagai koleksi museum pribadinya. Menulis juga dapat mengobati
kesuntukannya dalam melakukan riset ilmiah untuk manajemen di TPA-TPA.
Kali
ini dia keliling desa untuk meninjau beberapa TPA yang bernaung di bawah
yayasannya. Sepertinya lancar-lancar saja. Tiada laporan yang menyebutkan kalau
ada masalah manajemen yang besar. Kalau masalah kecil, ya manusiawi dan dapat
segera terselesaikan. Seperti kekurangan kapur, ustadz yang datang agak telat
karena berurusan dengan masyarakat atau keperluan keluarga, atau bising yang
disalurkan oleh limbah suara pabrik batu 2 kilometer dari TPA Nurusy-Syifa yang
dapat dinetralkan oleh ruangan kedap suara.
Abdul
menatap kosong, jauh ke depan. Entah kenapa hatinya tidak tenang hari itu. Susu
yang dia belikan untuk balita kembarnya belum habis. Persediaan popok juga
masih ada dan banyak yang baru. Tetapi mengapa hatinya kacau. Beberapa bayang
putih seperti kunang menyertai pandangannya. Sepertinya pusing yang dia derita
akan kambuh lagi. Segera, dia akan pergi ke apotek terdekat untuk membeli obat
penurun panas dan obat sakit kepala. Langkah kaki yang terhuyung-huyung membuat
Sodri, salah satu santri senior madrasah mutawashithoh yang
berdiri dekat masjid segera membantunya. Memapahnya untuk menuju apotek yang
bekerja sama dengan salah satu TPA binaannya.
“Abah, mau kemana, bah?” Tanya Sodri santun. Abdul memejamkan
matanya sejenak dan menekan kedua pelipisnya dengan jari telunjuk dan ibu
jarinya.
“Tolong antarkan aku ke apotek, Dri! Kepalaku terasa agak pusing.”
Jawab Abdul singkat seraya memijit-mijit pelipisnya kembali.
“Baik, bah. Hati-hati, bah.” Dengan sabarnya Sodri menuntunnya ke
apotek. Kira-kira menempuh waktu lima menit, mereka berdua sampai di teras
apotek.
“Kamu butuh apa?” Tanya apoteker yang duduk santai sambil membaca
resep yang tadi dipesan oleh seseorang.
“Ee…obat sakit kepala, pak!” jawab Sodri gugup sembari menatap
cemas ke pengasuhnya yang duduk di kursi tunggu itu.
“Apa lagi?” Tanya apoteker itu kembali lebih tegas lagi. Sodri
menoleh ke apoteker sejenak. Kemudian Sodri menoleh ke Ustadz Abdul. Dilihatnya
ustadz itu lalu menoleh kembali ke
Apoteker tadi.
“Obat penurun panas dua, pak.” Jawabnya singkat.
Tampak Abdul pucat sekali setelah menerima sms WA dari pihak
keluarga di rumah dinas. Keringat dingin mulai meleleh. Turun perlahan dan
semakin deras. Air matanya ikut turun. Itulah ingatan yang masih bersih
tersimpan dalam benak Abdul. Kalau bukan karena Sodri yang mengantarkannya
hingga rumah, pasti Abdul sudah pingsan di jalan. Sms yang memberitahukan bahwa
Anna terkena virus MERS setelah naik haji ke Makkah bulan lalu, membuat jiwa dan
hati Abdul tergoncang.
******
Setiap malam Abdul menitihkan air mata kesedihan ketika balitanya
merengek meminta susu.
“Ya Allah, lindungilah Hamba…” katanya dalam do’a ketika
mengunjungi makam istrinya di kompleks makam Syaikh Pajang, Kartasura.
Belum lama mengecap keindahan dan kenikmatan menggendong bayi, sang
ibunda Anna harus meninggalkan dunia ini. “Bagaimana nasib sang bayi kembar
ini?” pikir Abdul sambil mencium dua balitanya. Dengan langkah santai dia
berjalan meninggalkan pusara yang masih basah oleh guyuran hujan semalam.
Bunga-bunga yang diletakkan rapi di atas gundukan tanah duka tersebut kini
mulai layu. Betapa malangnya nasib Abdul. Dengan kepergian Anna, berarti dia
harus berjuang sendiri dalam mengembangkan yayasan.
Apa yang harus dia lakukan untuk melebarkan sayap-sayap dakwah di
desa yang berhasil mereka bangun. Pasangan yang ideal antara Abdul-Anna. Kini
tinggal sejarah yang mengenang mereka. Apa yang akan terjadi pada diri Abdul
dan yayasannya kelak, hanya Allah. Swt yang tahu.
3.
3 Tahun Kelam
Semenjak kematian Anna, hati Abdul terasa hampa. Bahkan untuk
mengajar para santripun dia agak berat. Bayangan wajah Anna selalu terbersit
saat dia melihat wajah santriwati atau ustadzah yang bekerja di yayasannya. Maka
salah satu solusinya adalah mengurangi jam pelajaran, yang tadinya satu jam
menjadi 45 menit saja. Selebihnya untuk refreshing ke tempat-tempat
dimana dulu mereka berdua menghabiskan waktu bersama. Mengarungi samudera cinta
dalam suka maupun duka. Kini, memang tinggal dukanya saja. Dan melupakan
kenangan itu lebih berat daripada mengingatnya. Apalagi itu kenangan yang
mengesankan. Sebuah tempat favorit mereka berdua adalah Grojogan Sewu di
Karanganyar.
Meski biasanya mereka berdua naik mobil untuk ke sana, kini Abdul
sendirian mengendarai motor Kawasaki Ninjanya menuju air tejun itu. Abdul
memandang perbukitan Tawangmangu yang tampak hijau dan sejuk di mata. Tetapi
kesenduannya membuat pemandangan itu menjadi abu-abu. Habib Ahmad yang tinggal
di sekitar Karaganyar, yang kebetulan dia akrab dengan Abdul dan kebetulan pula
sedang melepas lelah sehabis safari dakwah ke desa-desa mendekatinya. menepuk
bahunya lalu duduk di sampingnya. Mereka berdua sudah janjian untuk bertemu di
sebuah saung, di atas bukit sebelum mereka turun ke destinasi utama: air
terjun. Turut memandang perbukitan lantas sang habib berkata, “Bukit yang
diberkahi. Bukankah begitu Dul?”
“Ee…Habib, afwan saya tidak menyadari kalau habib yang
menepuk bahu saya barusan. Saya masih saja hanyut dalam sungai kesedihan ini.”
Kata Abdul trenyuh.
“Hemm, ada masalah yang mau kau ungkapkan padaku? Sepertinya kamu
butuh motivator. Agaknya, saya dapat sedikit membantu menguraikannya jika saya
mampu.” Kata Habib menghibur.
Abdul terhenyak, merasa dadanya bertambah sesak. Dia mencoba untuk
berani mengutarakannya. Dia hirup nafas dalam-dalam. Mencoba untuk berbicara
meskipun bibirnya kelu. Kemudian dia menghembuskan nafas yang baru saja dia
hirup itu dengan cepat. Saat mulai tenang, dia baru berucap, “Saya merasa
kesepian akhir-akhir ini, adakah obatnya Habib?”
“Tentu ada, dulu kau pernah cerita ketika di Yaman …” tegas Habib
Ahmad.
“Cerita? Yangmana, bib?” lanjut Abdul bingung. Sepertinya dia sudah
mulai pelupa.
“Ketika kau galau kemana kau akan merenung jika bukan di Al-Qalb?”
jawab Habib Ahmad dengan tersenyum, lalu meninggalkan Abdul dalam
kebengongannya. Habib memang tidak pernah tampak sesedih ketika Abah meninggal
dunia. Kini dia nampak tegar sekali. Berjalan dengan gagahnya, menyusuri jalan
setapak menurun menuju air terjun. Tidak seperti dirinya yang sedikit-sedikit
galau dan gelisah. Dirinya yang dipenuhi kegalauan sejak SMP. Abdul
tersenyum-senyum jadinya. Dia melangkah mengikuti habib berjalan.
Setelah mandi selama setengah jam dan mengambil foto bersama,
mereka berdua naik lagi ke saung dan mencari musholla. Sudah waktunya
menunaikan ibadah shalat Dhuha. Adzan melengking dari sudut-sudut bukit,
menambah suasana haru di dada Abdul.
“Benar juga, kenapa baru terpikirkan?” kata Abdul dalam hati. Dia
dapat melihat di kejauhan sana, di musholla sudah dipenuhi oleh santri-santri
yang memuroja’ah hafalan Al-Qur’an. Pemandangan seperti itu mengingatkan
pada tempat dia mengabdi. Sebab nanti siang ba’da dhuhur adalah waktu dimana
Ustadz Abdul menerima setoran Al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar