Sabtu, 09 Desember 2017

lanjutan cerpen

1.      Pagi Anugerah
Pagi itu benar-benar cerah secerah wajah Abdul yang senantiasa tersenyum karena bangga-bahagia. Siratan mega merah di pojok langit dengan manik-manik awan putih tipis menandakan bahwa fajar telah tiba. Tetapi tidak begitu bagi hati Abdul: hatinya penuh awan putih bersih. Perjalanan menuju gedung serba putih di pinggir selasar Tawangmangu benar-benar membuatnya waspada. Sesekali dia menarik nafas panjang. Ini pertama kalinya baginya menuju gedung itu semenjak kepulangannya dari Iran pasca mengakhiri studi S3 dan riset ilmiahnya di sana. Jalan Karanganyar-Solo memang selalu macet di pagi hari apalagi hari awal aktivitas, Senin. Seakan-akan jalan dipadati oleh bebek-bebek matic dan juga kijang besi alias mobil.
Sedikit-sedikit lampu lalu lintas menyala. Menyetop dan melancarkan perjalanan. Harus tengok kanan-kiri karena banyaknya perempatan yang memungkinkan adanya kecelakaan. Baik ringan maupun berat. Pernah dua atau tiga kali kecelakaan terjadi dalam satu hari di jalan yang sama. Maka resep perjalanan yang baik adalah memakai helm bagi kendaraan roda dua atau sabuk pengaman bagi mobil dan tentunya berdo’a sebelum berangkat. Insya Allah  tuhan akan melancarkan perjalanan kita ketika hati dipenuhi oleh selimut tawakkal pada-Nya. Apalagi jika masih tinggal bersama kedua orangtua, tidak ada salahnya jika berpamitan. Karena mereka akan memberikan do’a selamat bagi putra-putrinya.
Jarak yang tidak begitu jauh dari yayasan memang menjadi kesenangan tersendiri bagi Abdul untuk mengantar sang Pujaan Hati menuju medan jihad. Tempat parkiran yang luas sangat representatif bagi keduanya untuk berjalan berdua dengan romantisnya. Sehingga tidak ada satupun yang akan mengganggu perjalanan cinta mereka.
Tangga-tangga menuju ruang utama dengan bangsal-bangsal yang bersih nan putih. Naluri Abdul mengucapkan bahwa nanti akan hadir sang malaikat penjaga. Berbaringlah Anna di kasurnya lalu terdengar suara langkah suster berbaju putih. Warnanya seperti dinding dan bangsal-bangsal tadi.
Tarikan nafas yang terengah-engah dan perjuangan tiada akhir dilakukan Anna. Akhirnya lahirlah dua putra-putri kembar. Bersih tanpa dosa. Senyuman syukur tergambar di wajah kedua orang tua. Seorang bapak dan ibu muda.
“Kini aku menjadi seorang ayah!” teriak Abdul dengan puasnya.
“Benar aku kini menjadi ibu, hahaha.” Kata Anna menyahut.
“Aku menjadi seorang ayah, Alhamdulillah Ya Allah.” Kata Abdul sekali lagi.
“Dan aku menjadi ibu, mas. Hemm... sepertinya akan tambah menyenangkan!” seru Anna. Matanya mengerjap-ngerjap, berbinar bahagia.
Abdul segera bersujud syukur tiga kali sambil bertakbir lirih saking bahagianya.
Akhirnya yang dinanti-nantikan datang juga. Abdul menimang bayi. Kembar lagi. Betapa bahagianya mereka berdua. Sebuah kisah baru sang bayi dan kisah yang indah bagi kedua orang tuanya.

2.      Hari Duka
Kebiasaan jika Abdul merasakan gerah atau galau pasti akan
mencari angin untuk refreshing. Sekedar jalan-jalan keliling kota atau desa. Atau minimal dia akan mengetik sejumlah peristiwa dalam diary notebooknya. Memang terasa sedikit membosankan. Tetapi jika sering dilakukan dan dinikmati pasti lama-lama juga akan menyenangkan. Lagipula jalan-jalan yang dia lakukan sembari mengambil beberapa capture sebagai koleksi museum pribadinya. Menulis juga dapat mengobati kesuntukannya dalam melakukan riset ilmiah untuk manajemen di TPA-TPA.
Kali ini dia keliling desa untuk meninjau beberapa TPA yang bernaung di bawah yayasannya. Sepertinya lancar-lancar saja. Tiada laporan yang menyebutkan kalau ada masalah manajemen yang besar. Kalau masalah kecil, ya manusiawi dan dapat segera terselesaikan. Seperti kekurangan kapur, ustadz yang datang agak telat karena berurusan dengan masyarakat atau keperluan keluarga, atau bising yang disalurkan oleh limbah suara pabrik batu 2 kilometer dari TPA Nurusy-Syifa yang dapat dinetralkan oleh ruangan kedap suara.
Abdul menatap kosong, jauh ke depan. Entah kenapa hatinya tidak tenang hari itu. Susu yang dia belikan untuk balita kembarnya belum habis. Persediaan popok juga masih ada dan banyak yang baru. Tetapi mengapa hatinya kacau. Beberapa bayang putih seperti kunang menyertai pandangannya. Sepertinya pusing yang dia derita akan kambuh lagi. Segera, dia akan pergi ke apotek terdekat untuk membeli obat penurun panas dan obat sakit kepala. Langkah kaki yang terhuyung-huyung membuat Sodri, salah satu santri senior madrasah mutawashithoh yang berdiri dekat masjid segera membantunya. Memapahnya untuk menuju apotek yang bekerja sama dengan salah satu TPA binaannya.
“Abah, mau kemana, bah?” Tanya Sodri santun. Abdul memejamkan matanya sejenak dan menekan kedua pelipisnya dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.
“Tolong antarkan aku ke apotek, Dri! Kepalaku terasa agak pusing.” Jawab Abdul singkat seraya memijit-mijit pelipisnya kembali.
“Baik, bah. Hati-hati, bah.” Dengan sabarnya Sodri menuntunnya ke apotek. Kira-kira menempuh waktu lima menit, mereka berdua sampai di teras apotek.
“Kamu butuh apa?” Tanya apoteker yang duduk santai sambil membaca resep yang tadi dipesan oleh seseorang.
“Ee…obat sakit kepala, pak!” jawab Sodri gugup sembari menatap cemas ke pengasuhnya yang duduk di kursi tunggu itu.
“Apa lagi?” Tanya apoteker itu kembali lebih tegas lagi. Sodri menoleh ke apoteker sejenak. Kemudian Sodri menoleh ke Ustadz Abdul. Dilihatnya ustadz itu lalu menoleh kembali  ke Apoteker tadi.
“Obat penurun panas dua, pak.” Jawabnya singkat.
Tampak Abdul pucat sekali setelah menerima sms WA dari pihak keluarga di rumah dinas. Keringat dingin mulai meleleh. Turun perlahan dan semakin deras. Air matanya ikut turun. Itulah ingatan yang masih bersih tersimpan dalam benak Abdul. Kalau bukan karena Sodri yang mengantarkannya hingga rumah, pasti Abdul sudah pingsan di jalan. Sms yang memberitahukan bahwa Anna terkena virus MERS setelah naik haji ke Makkah bulan lalu, membuat jiwa dan hati Abdul tergoncang.
******
Setiap malam Abdul menitihkan air mata kesedihan ketika balitanya merengek meminta susu.
“Ya Allah, lindungilah Hamba…” katanya dalam do’a ketika mengunjungi makam istrinya di kompleks makam Syaikh Pajang, Kartasura.
Belum lama mengecap keindahan dan kenikmatan menggendong bayi, sang ibunda Anna harus meninggalkan dunia ini. “Bagaimana nasib sang bayi kembar ini?” pikir Abdul sambil mencium dua balitanya. Dengan langkah santai dia berjalan meninggalkan pusara yang masih basah oleh guyuran hujan semalam. Bunga-bunga yang diletakkan rapi di atas gundukan tanah duka tersebut kini mulai layu. Betapa malangnya nasib Abdul. Dengan kepergian Anna, berarti dia harus berjuang sendiri dalam mengembangkan yayasan.
Apa yang harus dia lakukan untuk melebarkan sayap-sayap dakwah di desa yang berhasil mereka bangun. Pasangan yang ideal antara Abdul-Anna. Kini tinggal sejarah yang mengenang mereka. Apa yang akan terjadi pada diri Abdul dan yayasannya kelak, hanya Allah. Swt yang tahu.
3.      3 Tahun Kelam
Semenjak kematian Anna, hati Abdul terasa hampa. Bahkan untuk mengajar para santripun dia agak berat. Bayangan wajah Anna selalu terbersit saat dia melihat wajah santriwati atau ustadzah yang bekerja di yayasannya. Maka salah satu solusinya adalah mengurangi jam pelajaran, yang tadinya satu jam menjadi 45 menit saja. Selebihnya untuk refreshing ke tempat-tempat dimana dulu mereka berdua menghabiskan waktu bersama. Mengarungi samudera cinta dalam suka maupun duka. Kini, memang tinggal dukanya saja. Dan melupakan kenangan itu lebih berat daripada mengingatnya. Apalagi itu kenangan yang mengesankan. Sebuah tempat favorit mereka berdua adalah Grojogan Sewu di Karanganyar.
Meski biasanya mereka berdua naik mobil untuk ke sana, kini Abdul sendirian mengendarai motor Kawasaki Ninjanya menuju air tejun itu. Abdul memandang perbukitan Tawangmangu yang tampak hijau dan sejuk di mata. Tetapi kesenduannya membuat pemandangan itu menjadi abu-abu. Habib Ahmad yang tinggal di sekitar Karaganyar, yang kebetulan dia akrab dengan Abdul dan kebetulan pula sedang melepas lelah sehabis safari dakwah ke desa-desa mendekatinya. menepuk bahunya lalu duduk di sampingnya. Mereka berdua sudah janjian untuk bertemu di sebuah saung, di atas bukit sebelum mereka turun ke destinasi utama: air terjun. Turut memandang perbukitan lantas sang habib berkata, “Bukit yang diberkahi. Bukankah begitu Dul?”
“Ee…Habib, afwan saya tidak menyadari kalau habib yang menepuk bahu saya barusan. Saya masih saja hanyut dalam sungai kesedihan ini.” Kata Abdul trenyuh.
“Hemm, ada masalah yang mau kau ungkapkan padaku? Sepertinya kamu butuh motivator. Agaknya, saya dapat sedikit membantu menguraikannya jika saya mampu.” Kata Habib menghibur.
Abdul terhenyak, merasa dadanya bertambah sesak. Dia mencoba untuk berani mengutarakannya. Dia hirup nafas dalam-dalam. Mencoba untuk berbicara meskipun bibirnya kelu. Kemudian dia menghembuskan nafas yang baru saja dia hirup itu dengan cepat. Saat mulai tenang, dia baru berucap, “Saya merasa kesepian akhir-akhir ini, adakah obatnya Habib?”
“Tentu ada, dulu kau pernah cerita ketika di Yaman …” tegas Habib Ahmad.
“Cerita? Yangmana, bib?” lanjut Abdul bingung. Sepertinya dia sudah mulai pelupa.
“Ketika kau galau kemana kau akan merenung jika bukan di Al-Qalb?” jawab Habib Ahmad dengan tersenyum, lalu meninggalkan Abdul dalam kebengongannya. Habib memang tidak pernah tampak sesedih ketika Abah meninggal dunia. Kini dia nampak tegar sekali. Berjalan dengan gagahnya, menyusuri jalan setapak menurun menuju air terjun. Tidak seperti dirinya yang sedikit-sedikit galau dan gelisah. Dirinya yang dipenuhi kegalauan sejak SMP. Abdul tersenyum-senyum jadinya. Dia melangkah mengikuti habib berjalan.
Setelah mandi selama setengah jam dan mengambil foto bersama, mereka berdua naik lagi ke saung dan mencari musholla. Sudah waktunya menunaikan ibadah shalat Dhuha. Adzan melengking dari sudut-sudut bukit, menambah suasana haru di dada Abdul.

“Benar juga, kenapa baru terpikirkan?” kata Abdul dalam hati. Dia dapat melihat di kejauhan sana, di musholla sudah dipenuhi oleh santri-santri yang memuroja’ah hafalan Al-Qur’an. Pemandangan seperti itu mengingatkan pada tempat dia mengabdi. Sebab nanti siang ba’da dhuhur adalah waktu dimana Ustadz Abdul menerima setoran Al-Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar