Urgensi Studi Islam Interdisipliner di Era Milenial
Oleh: Nur Salim (12010170033)
(Mahasiswa Pascasarjana Manajemen
PAI IAIN Salatiga Kelas B 2017)
A.
Latar
Belakang Masalah
Setelah menjalani perkuliahan
Pendekatan Metode dan Studi Islam, penulis merasa ada yang perlu diperhatikan
dari beberapa peristiwa yang ditemui oleh penulis jika dikaitkan dengan mata
kuliah tersebut. Diantaranya adalah adanya pembenturan kebenaran oleh beberapa
kelompok, kurang efektifnya metode mengajar guru di madrasah, proses golbalisasi,
dinamika komunitas agama, hingga konspirasi yang ada di dunia internasional
pasca digulirkannya era globalisasi.
Penulis menemukan sejumlah temuan
data terkait istilah kunci seperti pendidikan karakter, pendidikan tanpa
kekerasan, media maya sebagai sumber pembelajaran, media rumahan, bentuk
kesalehan di kampus, salah paham mengenai tasawuf, dan konservasi lingkungan.
Sejumlah istilah ini sering digunakan oleh beberapa pihak untuk saling
berkonflik (kurikulum yang memberatkan pada tugas administrasi daripada
mengajar, salah makna hukuman fisik oleh guru ketika anak bandhel, plagiarism, labeling
bid’ah pada perjalanan spiritual para sufi oleh mahasiswa, eksploitasi
pada alam). Padahal seharusnya istilah-istilah di atas dapat dicarikan
solusinya sehingga kehidupan manusia mendekati makna maslahat (menuju
masyarakat terdidik dan madani). Dalam Majalah Islami al-Kisah No. 11/Tahun
VIII/31 Mei-13 Juni 2010 (halaman 27) dijelaskan bahwa jika kita mau belajar
dengan kembali di masa lalu, para ulama’ menampilkan perbincangan yang sarat
perbedaan pendapat namun tidak ada caci maki, saling ejek atau saling tuduh ahli
bid’ah. Sebab masing-masing sadar bahwa setiap ulama’ memiliki dasar argument.
Meskipun lebih meyakini kekuatan argumentasi sendiri, mereka tetap menghormati
pendapat ulama’ lain. semakin tinggi ilmu mereka, semakin tawadlu’ jiwa
mereka.
Maka dari itu, penulis hendak
menyodorkan beberapa pertanyaan yang akan penulis telusuri jawabannya.
Tentunya, dengan pembatasan masalah sebagai berikut:
B.
Rumusan
Masalah
Pertanyaan yang akan penulis batasi dalam problem saat ini adalah
berkisar pada sebuah kalimat: “Bagaimana Studi Islam menjawab permasalahan
labeling bid’ah pada pemaknaan tasawuf, pendidikan karakter dan media
maya sebagai sumber pembelajaran, bentuk kesalehan di kampus konspirasi media
internasional dan urgensinya terhadap kehidupan seorang muslim?”
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan penelitian ini bermaksud sebagai pelurusan metode berpikir,
bertindak dan beraktualisasi terhadap dinamika masalah kehidupan baik di
lingkungan madrasah, kampus maupun rumah/masyarakat bagi manusia ke depannya.
D.
Metodologi
dan Pendekatan
Metodologi yang penulis gunakan dalam memberikan solusi terhadap
problem-problem di atas adalah kualitatif dengan pendekatan filosofis-humanisme
teistik.
E.
Hasil
Temuan Penelitian
1.
Aktivis
vs Akademis
Kata-kata yang bermakna dikotomis (aktivis dan akademis) tersebut
sering diperdebatkan oleh para mahasiswa/i di lingkungan kampus. Kaum aktivis
memandang rendah mereka yang full akademis karena kurangnya peran kebermanfaatan
dan pengalaman dalam berorganisasi. Sementara kaum akademis memandang kaum aktivis
lebih berkutat pada tugas aktivitas mereka dan sering mengabaikan tugas
akademik. Sehingga IPK yang terakumulasi bernilai kurang memuaskan.
Menurut Dr. Farida Hanum, M.Si, dosen Sosiologi Universitas Negeri
Yogyakarta, memang untuk mencapai kualitas hidup masyarakat yang baik harus
ditempuh dengan pendidikan, yang harus dimiliki oleh semua anggota masyarakat.
Tetapi, dia memberikan saran bahwa untuk menghasilkan layanan yang berkualitas,
sungguh-sungguh dan beretika, akan lebih baik jika dilakukan oleh masyarakat
terdidik/pembelajar (Learning Society) (Hanum, dkk, 2008:134). Maka
menurut penulis, diambil dari saran bijak di atas, dapat kita tangkap sebuah
kesimpulan bahwa antara aktivis dengan akademis dapat saling bersinergi,
memanajemen waktu untuk dua aktivitas sekaligus (organisasi dan kuliah) untuk
merekonstruksi budaya, sosial dan ekonomi masyarakat (dalam lingkup mikro:
kampus, maupun makro: negara) sehingga kemajemukan masyarakat kita ini mampu
menghadapi era globalisasi tanpa harus mengikuti arus negatif dan tetap utuh
peradabannya. Tentunya didukung pula dengan akhlak yang baik dan toleransi
kepada sesamanya.
Jadi yang harus direnungkan sekarang adalah bukan kelompok A atau B
yang paling benar, sehingga memicu kebencian dan konflik, melainkan bagaimana
cara hidup bersama, memandang perbedaan sebagai ilmu baru atau persamaan
sebagai penguatan rasa kasih-sayang, saling menolong dan senantiasa berusaha
dalam mensinergikan energi bersama untuk kemaslahatan dan perdamaian manusia ke
depannya. Perdamaian dan kemaslahatan di sini tidak hanya dibatasi dengan
nilai-nilai kemanusiaan saja tetapi juga kasih-sayang manusia terhadap
seniornya, yakni alam/lingkungan tempat manusia berada/hidup.
2.
Kesalehan
Mahasiswa
Kesalehan mahasiswa sering dilihat dari dhahir (look just for
cover) saja tidak/belum melihat dari substansi. Sebagai contoh, mereka yang
islami adalah yang memakai cadar, baju kurung, jilbab besar bagi yang mahasiswi
dan memakai peci dan koko ketika kuliah bagi mereka yang mahasiswa. Atau para
mahasiswa/i yang islami adalah mereka yang sering mengikuti kajian di luar
kampus, di masjid-masjid, atau mereka yang mengikuti UKM dakwah, ekstra
keislaman seperti PMII, HMI, KAMMI, IMM. Lalu pertanyaannya adalah apakah
mereka yang berasal dari sekolah umum (SMA/K) yang kemudian menjadi
mahasiswa/i, karena tidak memakai seragam syar’i (memilih batik atau kemeja
kasual misalnya), jarang ikut kajian keislaman atau organisasi Islam lantas
dianggap tidak saleh/islami?
Penulis merasa perlu untuk meluruskan pemahaman yang telah
berkembang tersebut dengan meminjam gagasan dari El-Padari (2011:62-79), dia
menuturkan bahwa profil yang harus melekat pada diri pribadi muslim adalah salimu
al-aqidah (akidah yang lurus), shahihu al-‘ibadah (ibadah yang
benar), matinu al-khuluq (akhlak yang kokoh), qawiyyu al-jismi
(kuatnya jasmani), mutsaqqafu al-fikri (intelek dalam berfikir), mujahadatul
linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu), haritsun ‘ala waqtihi
(pandai menjaga waktu), munazhzhamun fi syuunihi (teratur dalam suatu
urusan), qadirun ‘ala al-kasbi (mandiri) dan nafi’un lighoirihi
(bermanfaat bagi orang lain). jadi dapat disimpulkan bahwa bagi mereka yang
memiliki sejumlah karakter di atas, berarti mereka sudah islami. Sebab islami
itu bukan pada seragam, bendera maupun anggota komunitas ormas agama tertentu,
tetapi pada prophetic leadership-nya.
Karakter-karakter di atas, tidak hanya berlaku untuk
murid/mahasiswa saja tetapi mereka para guru/dosen juga. Dalam hal ini,
sangatlah penting membiasakan adab mengajar selain memiliki karakter di atas.
Menurut Assegaf (2004:221), Al-Ghazali menerangkan etika guru terhadap murid,
diantaranya adalah guru memperlakukan murid seperti anaknya sendiri, mengajar
untuk mencari ridla Allah dan taqarrub pada-Nya (bukan pamrih manusia),
senantiasa menasehati murid, mencegah muridnya dari akhlak tercela, berbicara
sesuai bahasa murid/mahasiswa (mudah dipahami, tidak menggunakan istilah yang
asing/terlalu ruwet yang tidak dijelaskan setelahnya), jangan menanamkan
kebencian murid pada mata pelajaran lain/mata kuliah yang lain dan guru/dosen
harus mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
Yang terpenting dari karakter-karakter di atas, kalau meminjam
kalimat nasehat dari Dr. Hanif Umar Setyanto (staf pengajar Departemen Fisika
IPB), berdo’a bersama di akhir shalat, agar senantiasa ditetapkan dalam
ketaatan, cinta dan agama Allah Azza wa Jalla (Alumni Al-Kahfi,
2015:D-30). Jadi kunci yang terpenting di sini adalah istikamah dalam setiap
aktivitas yang positif.
Kesimpulan/closing statement dari penulis agar mewakili
pembahasan masalah ini adalah suatu saat manusia tidak membutuhkan
friksi-friksi. Dia hidup dalam kesatuan abstrak (di dunia) untuk menuju tahap
kesatuan yang mutlak (tawhid).
3.
Menyikapi
Teori Konspirasi
Era Millenial adalah era yang menandai proses globalisasi. Gejala
yang ditimbulkan kalau dalam terminologi pendidikan dapat kita lihat dari lebih
minatnya mahasiswa/siswa di madrasah untuk mengakses internet sebagai sumber utama
dalam pembelajaran, literasi moderen, sosial media dan satu-satunya sumber yang
dapat dipercaya versi mereka. Kemudian jika kita mengkhususkan pikiran untuk
merunut ke pembelajaran di kampus, kita akan menemui banyak makalah yang
diambil dari sumber internet (blog, Wikipedia) yang kadang penulisnya masih SMA/S1
semester awal sehingga apabila kutipan tidak dibubuhkan akan dijudge
sebagai sebentuk plagiarisme, seakan-akan jika sudah diedit sedemikian
rupa, makalah itu adalah pendapat mereka sendiri dan tentunya kurang dapat dipercaya.
Padahal dari pengertian secara bahasa, kata makalah itu diserap dari Bahasa
Arab yaitu maqalah-qala wa qiila-yaquulu) berarti
pernyataan-pernyataan seseorang/lebih.
Manusia yang seperti ini (khususnya yang hanya mendasarkan pada
sumber internet tanpa mau merujuk pada buku) harus belajar mereview meresensi
dan mengkaji banyak buku. Sehingga mampu menfilter dis-informasi yang begitu
cepat bergulir di dunia maya, mampu mengetahui mana yang benar dan mana yang
salah, mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk serta mengetahui
mana yang tepat dan mana yang ngawur, mampu meredam nafsu amarah sehingga tidak
saling berdebat di media sosial, dan meneliti serta menimbang informasi copy
paste (broadcast) di aplikasi pesan What’s App ataupun media sosial
lainnya. Dan ketika diminta untuk berpendapat, argumen yang dia pakai akan
presisi, kuat dan bernas.
Era globalisasi yang seperti inilah yang telah dikhawatirkan oleh
Einstein sang jenius fisika kuantum bahwa akan semakin banyak orang idiot
berjalan di muka bumi jika teknologi mencapai puncaknya. Era di mana muncul
istilah disruption (penuh chaos-konspirasi negatif-fitnah yang
bertebaran) ini, dapat disikapi oleh para pnedidik bangsa dengan pendidikan
karakter dan pengenalan akhlak tasawuf di kampus dan di madrasah. Menurut
Maksudin (2013:51), para aktivis pendidikan karakter mencoba melukiskan
pilar-pilar penting dalam pendidikan karakter, diantaranya adalah tanggung
jawab, rasa hormat, keadilan, keberanian, kejujuran, kewarganegaraan, disiplin
diri, peduli dan ketekunan. Menurut penulis, pilar-pilar tersebut sangat
penting dalam menyikapi era disruption ini. Atau istilah dari penulis
adalah menuju manusia yang sejati (mengutamakan akhlak luhur).
Dalam hal pengamalan nilai-nilai akhlak tasawuf, penulis sependapat
dengan metode yang digunakan oleh Maksudin (2013: 118) dalam menjelaskan
komponen keempat dalam pola pendidikan nilai di SMP IT Abu Bakar Yogyakarta,
yaitu transformasi bathin atau dalam istilah penulis adalah trasformasi
positif. Transformasi bathin (tazkiyah) dapat dicapai melalui berdzikir,
beribadah, bertaubat, bersabar, muhasabah (menimbang kekhilafan, amal
dan dosa diri) dan berdo’a. Menurut penulis, dengan berdzikir, manusia akan
mengenal Tuhan-Nya dan itu akan berimplikasi kelak di akhirat (bahwa manusia
akan diingat-Nya pula). Karena Allah Swt sudah menjelaskan di dalam Al-Qur’an
bahwa seluruh makhluk-Nya, bertasbih memuji-Nya. Alam semesta saja mengajari
manusia untuk berdzikir, masak manusia belum peduli kan malu. Selain itu dengan
berdzikir, manusia akan merasakan ketenangan dan kedamaian (menemukan Tuhan di
dunia). Dengan terus beribadah kepada-Nya, manusia akan menjadi istikamah.
Dengan istikamah, manusia akan merasa kurang jika suatu saat meninggalkan
ketaatannya pada Tuhan. Itulah yang dinamakan hubb (cinta) dan mutahabbina
fi Allah (disatukan dalam hubungan cinta) dalam term tasawuf. Dengan
bersabar, manusia akan merasakan kebahagiaan. Sabar senantiasa bergandengan
dengan syukur. Artinya, jika manusia tidak mampu untuk bersyukur, maka
diperintah untuk bersabar. Dan jika manusia sudah terbiasa bersabar, maka dia
harus naik ke maqam syukur karena tidak dapat dipungkiri bahwa
nikmat-nikmat dari-Nya bersifat tak terbatas (infinity). Dengan muhasabah, manusia akan
diringankan hisabnya kelak di akhirat, akan senantiasa memperbaiki diri dan
merasa bahwa Tuhan mengawasinya sehingga jika terus dilakukan, maka peluang
berbuat makisat akan mengecil dan lama-lama hatinya akan bersih sebelum dia
ber-Idul Fitri (kembali ke fitrah dengan hati yang selamat-qalbun salim).
Manusia itu levelnya semoga dan disemogakan (Jawa: muga-muga). Jika dia
tidak berdo’a maka dia termasuk orang yang takabbur. Maka berdo’a adalah
sebentuk kerendahan hati untuk mengakui bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa atas
segalanya. Kalau meminjam istilah dari Rasulullah Saw, Tuhan yang di tangan-Nya
nyawaku digenggam. Semua ini dapat kita sebut dengan istilah ranah afektif (EQ
dan SQ serta valuable quotion). Sehingga akan memunculkan bibit-bibit
generasi baru yang memiliki SDM yang unggul (relijius, moderat, cerdas dan
mandiri). Dalam perkembangannya, pendidikan juga dituntut untuk menanamkan
sikap toleransi sebab khususnya di Indonesia sendiri, terdiri dari beragam
suku, agama, ras dan bahasa yang menyatu dalam konsep multikultural. Menurut
Biyanto dari State Islamic University Sunan Ampel, dalam artikel jurnal yang
diterbitkan oleh IAIN Salatiga dalam Indonesian journal of Islam and Muslim
Societies, yang berjudul “Pluralism in the perpective of Semitic
Religions”, dia menjelaskan akan pentingnya pluralisme.
“Conclussion:
Pluralism has to speak and listen to one another dialoguically. The dialogues
to be developed for life, social activity, sharing experiences, praying
together and informal encounters (Biyanto, 2011:280).
Terjemah bebasnya sebagai berikut: “Pluralisme dipandang harus
didialogkan, dan dialog itu dikembangkan untuk kehidupan, aktivitas sosial,
berbagi pengalaman, do’a bersama dan pertemuan informal lainnya”. Itulah yang
dinamakan visi pendidikan kehidupan yang dinamis (berbasis relevansi zaman) dan
memiliki nilai filosofi yang baik.
Kesimpulannya adalah jika manusia menerapkan pendidikan karakter
mulia dalam proses kehidupannya, memiliki etika sesuai keluhuran budayanya (local
wisdom), dan mengutamakan pemikiran yang dewasa dan bijaksana, maka itu
semua akan menjadi tatanan kehidupan bersama yang lebih baik (sebuah etika
global) menuju masyarakat dunia yang madani (beradab).
4.
Pemahaman
Tasawuf yang Harus Diluruskan
Tawhid sering dipandang
hanya terbatas pada terminologinya saja (secara pengertian bahasa). Yakni hanya
mengesakan Tuhan dan tidak ada rival lain yang dapat mengalahkan Tuhan. Padahal
jika kita menjalani sebuah perjalanan spiritual menuju-Nya, maka akan ditemukan
tahap-tahap yang cukup kompleks bahkan seakan seperti sekolah yang memuat
semester demi semester (kalau dalam bahasa tasawufnya disebut maqam).
Mahasiswa yang sudah fanatik terhadap keahlian dasar fikih ibadah akan
menganggap bahwa kaum pencari Tuhan adalah jumud, kolot dan sebagai
pelaku bid’ah. Sementara orang-orang yang orientasinya adalah materi duniawi,
akan mengatakan bahwa tasawuf adalah sebagai kemunduran peradaban. Karena
mereka mendasarkan pada pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan hidup saja,
tidak sampai pada ketenangan bathin.
Baidhawy (2011:222) berpendapat, bahwa banyak sisi kehidupan yang
tidak dapat diatasi secara material oleh limpahan harta, uang, tahta dan
kekayaan. Saling menolong dan hidup bersama secara harmonis juga sangat
dibutuhkan untuk mendukung kebutuhan individu. Dan bagi penulis, ajaran
keharmonisan terintegrasi dalam agama yaitu dalam akhlak. Akhlak merupakan
cabang dari tasawuf. Maka labeling jumud, kolot, bid’ah,
dan musyrik harus mulai dikurangi, bahkan dihindari. Padahal jika ajaran
tasawuf dipahami step by step maka akan ditemukan kebenaran yang indah
sekali.
Tasawuf atau mistisime Islam menurut Baidhawy (2011:138) adalah
fenomena universal yang mendeskripsikan aktivitas manusia untuk meraih
kebenaran (al-haq: Tuhan) melalui pengalaman spiritual baik dengan
meditasi (riyadhah) maupun kontemplasi bathin (iffah dan mengutamakan
akhlak luhur). Kaitannya dengan tasawuf, menurut hemat penulis, harus dibaca
dengan pendekatan tasawuf. Tujuan pembacaan ini adalah agar kita mendapat
lurusnya pemahaman dan memahami akar ajarannya kemudian disinergikan dengan
bidang ilmu yang lain seperti fikih, adab dan budaya Islam.
Banyak tokoh yang memperdebatkan ajaran tasawuf terutama pada para
ahli sufi seperti Bayazid al-Busthami, al-Hallaj dan Ibnu ‘Arabi yang sering
dimasukkan dalam tokoh sufi falsafi (mendasarkan ajaran dengan pendekatan
filsafat) sehingga menjadi bahan kajian ketika mayoritas ahli sufi mendasarkan
proses tasawuf mereka dengan tasawuf sunni.
Berbicara mengenai ajaran tasawuf Ibnu Arabi yang menyatakan bahwa
alam semesta adalah refleksi dari sifat-sifat-Nya tetapi alam semesta itu
sendiri bukan Tuhan/Allah Swt adalah sejalan dengan penjelasan dari mendiang
Al-‘Allamah Al-‘Arif billah Sayyid Muhammad Husein Thaba’thaba’i (ulama’ Iran)
tentang alam kesadaran pertama yang harus dilalui oleh seorang salik
(pemula dalam tasawuf). Ini bukanlah konsep pantheisme yang menyatakan bahwa
alam adalah Tuhan. Menurut Thaba’thaba’i (2013:218-219), seseorang yang telah
merasakan bahwa eksistensi dirinya terkait dengan Allah, maka dia akan menuju
alam kedua yaitu merasakan bahwa Allah adalah sumber segala pengetahuan,
kekuatan, kehidupan, pendengaran, dan penglihatan yang terdapat di manapun.
Lalu dia merasakan bahwa sifat-sifat-Nya tidak terpisah dari Dzat-Nya. Lalu dia
merasakan alam yang lebih tinggi di mana Wujud Tunggal yang menjadi sumber
semua tindakan dan sifat. Pada akhirnya, dia sendiri akan lupa siapa dirinya
dan yang dia kenal hanya Allah saja. Jadi dari pernyataan ulama’ sufi Iran
tersebut, dapat disimpulkan bahwa tahapan bertauhid yang hakiki inilah akhir
dari perjalanan spiritual/tasawuf. Sehingga tasawuf (berakhlak dengan akhlak
Tuhan; melalui beberapa pengejawantahan nama-nama-Nya yang baik) tidak lagi
dipandang sebagai kemusyrikan, bid’ah atau kemunduran dari peradaban.
Melainkan sebagai tujuan tertinggi dari syari’ah dan merupakan puncak dari
peradaban (adab: moralitas) itu sendiri.
Apakah kita telah menyadari bahwa ada Tuhan yang dapat
menjerumuskan manusia ke limbah nista? Seperti artis idola, uang, jabatan,
wanita, kekuasaan politik dan sok ‘alim (jika meminjam istilah dari Emha Ainun
Nadjib-aristokrat agamawan). Dan parahnya, Tuhan-Tuhan itu (menuruti ego
rendah) justru diciptakan oleh manusia sendiri. Maka dari itu, penulis
menyarankan untuk mengikuti nasehat menurut al-Sakandari (2013:224), mengatur
dunia untuk akhirat, artinya orang dapat mengelola dagangannya agar bisa makan
dari hasil yang halal lagi baik, agar bisa berinfak kepada fakir miskin, agar
bisa menyambung tali silaturahim, bisa menjaga diri untuk tidak mengemis kepada
orang, dan bisa menjaga kehormatan diri, senantiasa membantu penderitaan kaum
muslim dan memudahkan mereka yang kesulitan. Jadi bukan untuk memperkaya diri.
Sebab menurut penulis, dunia hanyalah hiasan, substansinya adalah sebagai
investasi akhirat, menggapai ridla-Nya-tujuannya ya Allah Swt saja.
Tahapan awal yang dijalani oleh ahli fikih menuju tahapan tasawuf
adalah menjauhi Tuhan-Tuhan baru itu dengan iffah (mengendalikan hawa
nafsu rendah dengan merasa bahwa Allah Swt senantiasa mengawasi manusia,
sehingga dia menampilkan kebaikan secara kontinyu dan bertaqarrub pada-Nya).
Ini merupakan hijrah fase dari alam materi (dark-materi kegelapan)
menuju alam filosofis (nilai ilahiah-ruh) untuk kemudian menyatu dalam
cahaya-Nya. Kegelapan dan cahaya memiliki hubungan resiprokal di sini, artinya,
tidak ada makhluk jika Tuhan (khaliq) tidak berkehendak untuk
menciptakan. Supaya Dia dikenal, maka Dia menciptakan semua yang terlihat
(semesta alam).
Maka kaitan antara ajaran Ibnu ‘Arabi (tasawuf) dengan konteks maqashid
al-Syari’ah (fikih) adalah konservasi lingkungan. Yang dimaksudkan di sini,
menurut Abdullah (2010:184), adalah karena alam semesta merupakan refleksi dari
keagungan-Nya yang harus diimani oleh manusia, maka menjaga, merawat dan
melindungi alam di tingkat lokal, nasional maupun global adalah amanah wajib
bagi manusia sebagai seorang khalifatullah fi al-’ardh dan tanda syukur
manusia pada Tuhan-Nya. Sementara menurut al-Haddad (2007:86) gurunya Al-Habib ‘Abdullah
bin Muhsin al-Attas menyatakan bahwa pernyataan Syeikh Ibnu ‘Arabi dikhususkan
bagi orang-orang yang mempunyai kecerdasan untuk siap menerima teori-teori
tersebut, dan itu mengandung manfaat bagi mereka. Itu artinya, penulis
menyatakan bahwa hanya mereka kaum khawash al-khawash saja yang mampu
menginterpretasi pemikiran beliau. Sementara yang di luar kaum itu, tidak
bermanfaat dan tak akan mampu menjangkau apa yang dimaksud oleh Ibnu ‘Arabi.
Menurut penulis, karena fikih terkait dengan tasawuf, maka
masing-masing merupakan kesatuan dari kerangka ilmu-Nya (unity), bukan
friksi yang diciptakan oleh para ahlinya (yang seharusnya tidak terjadi). Maka
masing-masing ahli seharusnya terus melakukan upaya redefinisi ajaran, diskusi
dan menemukan solusi untuk kemaslahatan ummat ke depan. Jangan sampai
masyarakat muslim justru terpecah karena para ahli ilmu saling menyalahkan satu
sama lain, sehingga ummat kehilangan panduan, panutan dan arah kehidupan
sehingga mereka kebingungan. Artinya bagi manusia millenial, jangan suka
mengkritik jika belum mengetahui hakikat ilmunya. Sebab inti ajaran ilmu (al-haq/kebenaran)
itu memiliki asal dan tujuan yang sama: Tuhan (Inna lillahi wa inna ilaihi
raaji’uun).
Yang menarik dari gerakan tasawuf adalah seorang sufi memandang
dirinya lebih rendah dari orang lain, senantiasa mendekatkan diri pada Allah
Swt melalui pengkhidmatan pada makhluk-Nya, mendahulukan cinta daripada akal,
menekankan dzikir walau dalam aktivitas produktif sekalipun (Majalah Islami
al-Kisah No.06/Tahun IV/13-26 Maret 2006 halaman 125). Hal ini merupakan
kemuliaan hidup, jika diamalkan melalui guru yang benar-benar mengenal Tuhan. Sebab
tanpa seorang guru, usaha untuk menyelami tasawuf hanya akan mengalami
kelelahan yang tidak berkesudahan. Seorang guru akan mempercepat gerakan
penyelaman tersebut sehingga kelelahan akan terminimalisir.
Fenomena gerakan spiritual “ala kota” atau diistilahkan dengan urban
sufism juga mulai muncul di tengah hiruk-pikuk dunia yang sangat kompetitif
seperti sekarang ini. Gejalanya ditandai dengan diselenggarakannya ritus do’a
dan dzikir tanpa organisasi tarekat. Tetapi dapat diartikan pula dengan
komunitas tarekat tertentu yang masih berkembang secara dinamis sebagai terapi
psikologis, perkembangan wacana keagamaan dan pencarian makna hidup (Majalah
Islami al-Kisah No.09/Tahun VIII/3-16 Mei 2010 halaman 12-13). Ini menandakan
bahwa manusia merindukan kedamaian jiwa yaitu dengan metode tasawuf.
Jadi kesimpulannya adalah, tawhid pada dasarnya merupakan
pondasi, pusat dan tujuan dari keseluruhan tradisi Islam (Baidhawy, 2011:180).
Dia (ajaran tawhid) dapat diselaraskan dengan sosial, ekonomi, siyasah
islamiyah, kebudayaan yang luhur dan etika-moral manusia. Maka upaya untuk
mengintegrasikan modernitas dengan tasawuf sangatlah dibutuhkan demi tercapainya
kesepahaman bersama bahwa relevansi tasawuf itu meliputi semua zaman.
F.
Refleksi
Strategi yang dapat dilakukan di era
millennial adalah tidak mengikuti arus mainstream. Yakni jika manusia itu
berprofesi sebagai guru/dosen maka dia harus menjadi teladan karakter yang baik
bagi murid/mahasiswanya, mengajarkan nilai-nilai kehidupan di kelas untuk
seluruh mata pelajaran/mata kuliah, menanamkan kata nurani dibandingkan kata
akal, mengajarkan problem solving pada peserta didik, dan memotivasi
mereka untuk melakukan refleksi moral (mutaba’ah harian) dengan melalui
membaca; menulis karya ilmiah; diskusi; latihan pengambilan keputusan dan
belajar bersama.
G.
Kesimpulan:
“Urgensi Studi Islam dalam Menanamkan Karakter Melalui Pendidikan”
Tentu sebagai
epilog, penulis akan mensistematisasi konklusi dari penelusuran solusi atas
problem-problem yang telah penulis sebutkan sebelumnya. Diantaranya adalah:
studi Islam dan pendekatan yang ada di dalamnya memiliki urgensi dalam menjawab
beragam problema hidup (seperti pendidikan karakter, konservasi lingkungan,
pedoman penulisan penelitian ilmiah, sikap terhadap globalisasi, dan pemahaman
tujuan hidup dengan bertasawuf). Urgensi itu meliputi beberapa solusi
diantaranya sebagai berikut:
1.
Studi
Islam mengenalkan kita pada sinergitas ajaran fikih dengan tasawuf. Bahwa
tasawuf adalah kelanjutan dari ajaran fikih dan tujuan tertinggi dari syari’ah
yaitu bertauhid. Sehingga tauhid itu bukanlah bid’ah melainkan sunnah.
2.
Studi
Islam menjelaskan bahwa untuk menjadi pakar, harus melalui jalan banyak membaca
dan menulis. Menjadi pakar harus dengan basis karakter yang islami. Sumber yang
digunakan dalam kerangka publikasi ilmiah diutamakan dari buku. Sehingga
referensi dari internet perlu disesuaikan dengan konteks kehidupan, dikaji dan
direvisi dengan sumber-sumber buku maupun penelitian yang sedang/telah beredar.
3.
Studi
Islam menolong manusia untuk lebih peduli pada upaya konservasi lingkungan
mengingat dia termasuk salah satu kajian teologis moderen (Ilmu Kalam moderen)
dan merupakan amanah bagi manusia, sang khalifatullah fi al-‘ardh kepada
Tuhannya.
4.
Studi
Islam semakin memperjelas kajian tasawuf sehingga tidak lagi dianggap sesat dan
menyesatkan melalui pendekatan tasawuf dan filsafat yang terkandung di
dalamnya.
Daftar Pustaka
Abdullah,
Mudhofir. 2010. Al-Qur’an dan Konservasi Lingkungan: Argumen Konservasi
Lingkungan sebagai Tujuan Tertinggi Syari’ah. Jakarta: Dian Rakyat.
Al-Haddad, Al-Habib ‘Alwi bin Thahir. 2007. Mutiara Hikmah
Al-Habib ‘Abdullah bin Muhsin al-Aththaas: Pemikiran, Do’a dan Shalawat.
Jakarta: Hayat Publishing. Karya terjemahan judul asli Wizanaat al-Qithaas
min al-Dururi wa al-Yaquuti wa al-Almaas min Adzka al-Anfaasi.
Al-Sakandari,
Ibnu ‘Athaillah. 2013. Terapi Makrifat: Tutur Penerang Hati. Jakarta:
Zaman. Terjemahan oleh Fauzi Faishal Bahreisy dari judul asli: Bahjat
al-Nufuus.
Alumni
Al-Kahfi. 2015. Membangun Generasi Al-Kahfi: Menjemput Hidayah Menggapai
Mimpi. Salatiga: Al-Kahfi Publishing.
Assegaf,
Abdurrahman. 2004. Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus dan
Konsep. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Baidhawy,
Zakiyuddin. 2011. Studi Islam: Pendekatan dan Metode. Yogyakarta: Insan
Madani.
El-Padari, Rian
Hidayat. 2011. Pelajar Gaul, Pribadi Rasul, Prestasi Unggul. Jakarta:
Almanda Media.
Hanum, dkk.
2008. Tinjauan Berbagai Aspek Character Building: Bagaimana Mendidik Anak
Berkarakter? Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta
dan Tiara Wacana.
Maksudin. 2013.
Pendidikan Karakter Non-Dikotomik. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN Sunan Kalijaga dan Pustaka Pelajar.
Thabathaba’i,
dkk. 2013. Pendaran Cahaya Rohani: Sejarah dan Ajaran Makrifah Islam.
Jakarta: Citra.
IAIN Salatiga.
2011. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies. Volume 5, Number
2, December 2015. First edition
Majalah Islami
al-Kisah No.06/Tahun IV/13-26 Maret 2006
Majalah Islami
al-Kisah No.09/Tahun VIII/3-16 Mei 2010
Majalah Islami
al-Kisah No. 11/Tahun VIII/31 Mei-13 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar