Rabu, 27 Desember 2017

tugas artikel Prof. Zakiyuddin

Urgensi Studi Islam Interdisipliner di Era Milenial
Oleh: Nur Salim (12010170033)
(Mahasiswa Pascasarjana Manajemen PAI IAIN Salatiga Kelas B 2017)

A.    Latar Belakang Masalah
Setelah menjalani perkuliahan Pendekatan Metode dan Studi Islam, penulis merasa ada yang perlu diperhatikan dari beberapa peristiwa yang ditemui oleh penulis jika dikaitkan dengan mata kuliah tersebut. Diantaranya adalah adanya pembenturan kebenaran oleh beberapa kelompok, kurang efektifnya metode mengajar guru di madrasah, proses golbalisasi, dinamika komunitas agama, hingga konspirasi yang ada di dunia internasional pasca digulirkannya era globalisasi.
Penulis menemukan sejumlah temuan data terkait istilah kunci seperti pendidikan karakter, pendidikan tanpa kekerasan, media maya sebagai sumber pembelajaran, media rumahan, bentuk kesalehan di kampus, salah paham mengenai tasawuf, dan konservasi lingkungan. Sejumlah istilah ini sering digunakan oleh beberapa pihak untuk saling berkonflik (kurikulum yang memberatkan pada tugas administrasi daripada mengajar, salah makna hukuman fisik oleh guru ketika anak bandhel, plagiarism, labeling bid’ah pada perjalanan spiritual para sufi oleh mahasiswa, eksploitasi pada alam). Padahal seharusnya istilah-istilah di atas dapat dicarikan solusinya sehingga kehidupan manusia mendekati makna maslahat (menuju masyarakat terdidik dan madani). Dalam Majalah Islami al-Kisah No. 11/Tahun VIII/31 Mei-13 Juni 2010 (halaman 27) dijelaskan bahwa jika kita mau belajar dengan kembali di masa lalu, para ulama’ menampilkan perbincangan yang sarat perbedaan pendapat namun tidak ada caci maki, saling ejek atau saling tuduh ahli bid’ah. Sebab masing-masing sadar bahwa setiap ulama’ memiliki dasar argument. Meskipun lebih meyakini kekuatan argumentasi sendiri, mereka tetap menghormati pendapat ulama’ lain. semakin tinggi ilmu mereka, semakin tawadlu’ jiwa mereka.
Maka dari itu, penulis hendak menyodorkan beberapa pertanyaan yang akan penulis telusuri jawabannya. Tentunya, dengan pembatasan masalah sebagai berikut:
B.     Rumusan Masalah
Pertanyaan yang akan penulis batasi dalam problem saat ini adalah berkisar pada sebuah kalimat: “Bagaimana Studi Islam menjawab permasalahan labeling bid’ah pada pemaknaan tasawuf, pendidikan karakter dan media maya sebagai sumber pembelajaran, bentuk kesalehan di kampus konspirasi media internasional dan urgensinya terhadap kehidupan seorang muslim?”
C.     Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini bermaksud sebagai pelurusan metode berpikir, bertindak dan beraktualisasi terhadap dinamika masalah kehidupan baik di lingkungan madrasah, kampus maupun rumah/masyarakat bagi manusia ke depannya.
D.    Metodologi dan Pendekatan
Metodologi yang penulis gunakan dalam memberikan solusi terhadap problem-problem di atas adalah kualitatif dengan pendekatan filosofis-humanisme teistik.
E.     Hasil Temuan Penelitian

1.      Aktivis vs Akademis
Kata-kata yang bermakna dikotomis (aktivis dan akademis) tersebut sering diperdebatkan oleh para mahasiswa/i di lingkungan kampus. Kaum aktivis memandang rendah mereka yang full akademis karena kurangnya peran kebermanfaatan dan pengalaman dalam berorganisasi. Sementara kaum akademis memandang kaum aktivis lebih berkutat pada tugas aktivitas mereka dan sering mengabaikan tugas akademik. Sehingga IPK yang terakumulasi bernilai kurang memuaskan.
Menurut Dr. Farida Hanum, M.Si, dosen Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta, memang untuk mencapai kualitas hidup masyarakat yang baik harus ditempuh dengan pendidikan, yang harus dimiliki oleh semua anggota masyarakat. Tetapi, dia memberikan saran bahwa untuk menghasilkan layanan yang berkualitas, sungguh-sungguh dan beretika, akan lebih baik jika dilakukan oleh masyarakat terdidik/pembelajar (Learning Society) (Hanum, dkk, 2008:134). Maka menurut penulis, diambil dari saran bijak di atas, dapat kita tangkap sebuah kesimpulan bahwa antara aktivis dengan akademis dapat saling bersinergi, memanajemen waktu untuk dua aktivitas sekaligus (organisasi dan kuliah) untuk merekonstruksi budaya, sosial dan ekonomi masyarakat (dalam lingkup mikro: kampus, maupun makro: negara) sehingga kemajemukan masyarakat kita ini mampu menghadapi era globalisasi tanpa harus mengikuti arus negatif dan tetap utuh peradabannya. Tentunya didukung pula dengan akhlak yang baik dan toleransi kepada sesamanya. 
Jadi yang harus direnungkan sekarang adalah bukan kelompok A atau B yang paling benar, sehingga memicu kebencian dan konflik, melainkan bagaimana cara hidup bersama, memandang perbedaan sebagai ilmu baru atau persamaan sebagai penguatan rasa kasih-sayang, saling menolong dan senantiasa berusaha dalam mensinergikan energi bersama untuk kemaslahatan dan perdamaian manusia ke depannya. Perdamaian dan kemaslahatan di sini tidak hanya dibatasi dengan nilai-nilai kemanusiaan saja tetapi juga kasih-sayang manusia terhadap seniornya, yakni alam/lingkungan tempat manusia berada/hidup.
2.      Kesalehan Mahasiswa
Kesalehan mahasiswa sering dilihat dari dhahir (look just for cover) saja tidak/belum melihat dari substansi. Sebagai contoh, mereka yang islami adalah yang memakai cadar, baju kurung, jilbab besar bagi yang mahasiswi dan memakai peci dan koko ketika kuliah bagi mereka yang mahasiswa. Atau para mahasiswa/i yang islami adalah mereka yang sering mengikuti kajian di luar kampus, di masjid-masjid, atau mereka yang mengikuti UKM dakwah, ekstra keislaman seperti PMII, HMI, KAMMI, IMM. Lalu pertanyaannya adalah apakah mereka yang berasal dari sekolah umum (SMA/K) yang kemudian menjadi mahasiswa/i, karena tidak memakai seragam syar’i (memilih batik atau kemeja kasual misalnya), jarang ikut kajian keislaman atau organisasi Islam lantas dianggap tidak saleh/islami?
Penulis merasa perlu untuk meluruskan pemahaman yang telah berkembang tersebut dengan meminjam gagasan dari El-Padari (2011:62-79), dia menuturkan bahwa profil yang harus melekat pada diri pribadi muslim adalah salimu al-aqidah (akidah yang lurus), shahihu al-‘ibadah (ibadah yang benar), matinu al-khuluq (akhlak yang kokoh), qawiyyu al-jismi (kuatnya jasmani), mutsaqqafu al-fikri (intelek dalam berfikir), mujahadatul linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu), haritsun ‘ala waqtihi (pandai menjaga waktu), munazhzhamun fi syuunihi (teratur dalam suatu urusan), qadirun ‘ala al-kasbi (mandiri) dan nafi’un lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain). jadi dapat disimpulkan bahwa bagi mereka yang memiliki sejumlah karakter di atas, berarti mereka sudah islami. Sebab islami itu bukan pada seragam, bendera maupun anggota komunitas ormas agama tertentu, tetapi pada prophetic leadership-nya.  
Karakter-karakter di atas, tidak hanya berlaku untuk murid/mahasiswa saja tetapi mereka para guru/dosen juga. Dalam hal ini, sangatlah penting membiasakan adab mengajar selain memiliki karakter di atas. Menurut Assegaf (2004:221), Al-Ghazali menerangkan etika guru terhadap murid, diantaranya adalah guru memperlakukan murid seperti anaknya sendiri, mengajar untuk mencari ridla Allah dan taqarrub pada-Nya (bukan pamrih manusia), senantiasa menasehati murid, mencegah muridnya dari akhlak tercela, berbicara sesuai bahasa murid/mahasiswa (mudah dipahami, tidak menggunakan istilah yang asing/terlalu ruwet yang tidak dijelaskan setelahnya), jangan menanamkan kebencian murid pada mata pelajaran lain/mata kuliah yang lain dan guru/dosen harus mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
Yang terpenting dari karakter-karakter di atas, kalau meminjam kalimat nasehat dari Dr. Hanif Umar Setyanto (staf pengajar Departemen Fisika IPB), berdo’a bersama di akhir shalat, agar senantiasa ditetapkan dalam ketaatan, cinta dan agama Allah Azza wa Jalla (Alumni Al-Kahfi, 2015:D-30). Jadi kunci yang terpenting di sini adalah istikamah dalam setiap aktivitas yang positif.
Kesimpulan/closing statement dari penulis agar mewakili pembahasan masalah ini adalah suatu saat manusia tidak membutuhkan friksi-friksi. Dia hidup dalam kesatuan abstrak (di dunia) untuk menuju tahap kesatuan yang mutlak (tawhid).
3.      Menyikapi Teori Konspirasi
Era Millenial adalah era yang menandai proses globalisasi. Gejala yang ditimbulkan kalau dalam terminologi pendidikan dapat kita lihat dari lebih minatnya mahasiswa/siswa di madrasah untuk mengakses internet sebagai sumber utama dalam pembelajaran, literasi moderen, sosial media dan satu-satunya sumber yang dapat dipercaya versi mereka. Kemudian jika kita mengkhususkan pikiran untuk merunut ke pembelajaran di kampus, kita akan menemui banyak makalah yang diambil dari sumber internet (blog, Wikipedia) yang kadang penulisnya masih SMA/S1 semester awal sehingga apabila kutipan tidak dibubuhkan akan dijudge sebagai sebentuk plagiarisme, seakan-akan jika sudah diedit sedemikian rupa, makalah itu adalah pendapat mereka sendiri dan tentunya kurang dapat dipercaya. Padahal dari pengertian secara bahasa, kata makalah itu diserap dari Bahasa Arab yaitu maqalah-qala wa qiila-yaquulu) berarti pernyataan-pernyataan seseorang/lebih.
Manusia yang seperti ini (khususnya yang hanya mendasarkan pada sumber internet tanpa mau merujuk pada buku) harus belajar mereview meresensi dan mengkaji banyak buku. Sehingga mampu menfilter dis-informasi yang begitu cepat bergulir di dunia maya, mampu mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk serta mengetahui mana yang tepat dan mana yang ngawur, mampu meredam nafsu amarah sehingga tidak saling berdebat di media sosial, dan meneliti serta menimbang informasi copy paste (broadcast) di aplikasi pesan What’s App ataupun media sosial lainnya. Dan ketika diminta untuk berpendapat, argumen yang dia pakai akan presisi, kuat dan bernas.
Era globalisasi yang seperti inilah yang telah dikhawatirkan oleh Einstein sang jenius fisika kuantum bahwa akan semakin banyak orang idiot berjalan di muka bumi jika teknologi mencapai puncaknya. Era di mana muncul istilah disruption (penuh chaos-konspirasi negatif-fitnah yang bertebaran) ini, dapat disikapi oleh para pnedidik bangsa dengan pendidikan karakter dan pengenalan akhlak tasawuf di kampus dan di madrasah. Menurut Maksudin (2013:51), para aktivis pendidikan karakter mencoba melukiskan pilar-pilar penting dalam pendidikan karakter, diantaranya adalah tanggung jawab, rasa hormat, keadilan, keberanian, kejujuran, kewarganegaraan, disiplin diri, peduli dan ketekunan. Menurut penulis, pilar-pilar tersebut sangat penting dalam menyikapi era disruption ini. Atau istilah dari penulis adalah menuju manusia yang sejati (mengutamakan akhlak luhur).
Dalam hal pengamalan nilai-nilai akhlak tasawuf, penulis sependapat dengan metode yang digunakan oleh Maksudin (2013: 118) dalam menjelaskan komponen keempat dalam pola pendidikan nilai di SMP IT Abu Bakar Yogyakarta, yaitu transformasi bathin atau dalam istilah penulis adalah trasformasi positif. Transformasi bathin (tazkiyah) dapat dicapai melalui berdzikir, beribadah, bertaubat, bersabar, muhasabah (menimbang kekhilafan, amal dan dosa diri) dan berdo’a. Menurut penulis, dengan berdzikir, manusia akan mengenal Tuhan-Nya dan itu akan berimplikasi kelak di akhirat (bahwa manusia akan diingat-Nya pula). Karena Allah Swt sudah menjelaskan di dalam Al-Qur’an bahwa seluruh makhluk-Nya, bertasbih memuji-Nya. Alam semesta saja mengajari manusia untuk berdzikir, masak manusia belum peduli kan malu. Selain itu dengan berdzikir, manusia akan merasakan ketenangan dan kedamaian (menemukan Tuhan di dunia). Dengan terus beribadah kepada-Nya, manusia akan menjadi istikamah. Dengan istikamah, manusia akan merasa kurang jika suatu saat meninggalkan ketaatannya pada Tuhan. Itulah yang dinamakan hubb (cinta) dan mutahabbina fi Allah (disatukan dalam hubungan cinta) dalam term tasawuf. Dengan bersabar, manusia akan merasakan kebahagiaan. Sabar senantiasa bergandengan dengan syukur. Artinya, jika manusia tidak mampu untuk bersyukur, maka diperintah untuk bersabar. Dan jika manusia sudah terbiasa bersabar, maka dia harus naik ke maqam syukur karena tidak dapat dipungkiri bahwa nikmat-nikmat dari-Nya bersifat tak terbatas (infinity).  Dengan muhasabah, manusia akan diringankan hisabnya kelak di akhirat, akan senantiasa memperbaiki diri dan merasa bahwa Tuhan mengawasinya sehingga jika terus dilakukan, maka peluang berbuat makisat akan mengecil dan lama-lama hatinya akan bersih sebelum dia ber-Idul Fitri (kembali ke fitrah dengan hati yang selamat-qalbun salim). Manusia itu levelnya semoga dan disemogakan (Jawa: muga-muga). Jika dia tidak berdo’a maka dia termasuk orang yang takabbur. Maka berdo’a adalah sebentuk kerendahan hati untuk mengakui bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa atas segalanya. Kalau meminjam istilah dari Rasulullah Saw, Tuhan yang di tangan-Nya nyawaku digenggam. Semua ini dapat kita sebut dengan istilah ranah afektif (EQ dan SQ serta valuable quotion). Sehingga akan memunculkan bibit-bibit generasi baru yang memiliki SDM yang unggul (relijius, moderat, cerdas dan mandiri). Dalam perkembangannya, pendidikan juga dituntut untuk menanamkan sikap toleransi sebab khususnya di Indonesia sendiri, terdiri dari beragam suku, agama, ras dan bahasa yang menyatu dalam konsep multikultural. Menurut Biyanto dari State Islamic University Sunan Ampel, dalam artikel jurnal yang diterbitkan oleh IAIN Salatiga dalam Indonesian journal of Islam and Muslim Societies, yang berjudul “Pluralism in the perpective of Semitic Religions”, dia menjelaskan akan pentingnya pluralisme.
“Conclussion: Pluralism has to speak and listen to one another dialoguically. The dialogues to be developed for life, social activity, sharing experiences, praying together and informal encounters (Biyanto, 2011:280).

Terjemah bebasnya sebagai berikut: “Pluralisme dipandang harus didialogkan, dan dialog itu dikembangkan untuk kehidupan, aktivitas sosial, berbagi pengalaman, do’a bersama dan pertemuan informal lainnya”. Itulah yang dinamakan visi pendidikan kehidupan yang dinamis (berbasis relevansi zaman) dan memiliki nilai filosofi yang baik.
Kesimpulannya adalah jika manusia menerapkan pendidikan karakter mulia dalam proses kehidupannya, memiliki etika sesuai keluhuran budayanya (local wisdom), dan mengutamakan pemikiran yang dewasa dan bijaksana, maka itu semua akan menjadi tatanan kehidupan bersama yang lebih baik (sebuah etika global) menuju masyarakat dunia yang madani (beradab).
4.      Pemahaman Tasawuf yang Harus Diluruskan
Tawhid sering dipandang hanya terbatas pada terminologinya saja (secara pengertian bahasa). Yakni hanya mengesakan Tuhan dan tidak ada rival lain yang dapat mengalahkan Tuhan. Padahal jika kita menjalani sebuah perjalanan spiritual menuju-Nya, maka akan ditemukan tahap-tahap yang cukup kompleks bahkan seakan seperti sekolah yang memuat semester demi semester (kalau dalam bahasa tasawufnya disebut maqam). Mahasiswa yang sudah fanatik terhadap keahlian dasar fikih ibadah akan menganggap bahwa kaum pencari Tuhan adalah jumud, kolot dan sebagai pelaku bid’ah. Sementara orang-orang yang orientasinya adalah materi duniawi, akan mengatakan bahwa tasawuf adalah sebagai kemunduran peradaban. Karena mereka mendasarkan pada pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan hidup saja, tidak sampai pada ketenangan bathin.
Baidhawy (2011:222) berpendapat, bahwa banyak sisi kehidupan yang tidak dapat diatasi secara material oleh limpahan harta, uang, tahta dan kekayaan. Saling menolong dan hidup bersama secara harmonis juga sangat dibutuhkan untuk mendukung kebutuhan individu. Dan bagi penulis, ajaran keharmonisan terintegrasi dalam agama yaitu dalam akhlak. Akhlak merupakan cabang dari tasawuf. Maka labeling jumud, kolot, bid’ah, dan musyrik harus mulai dikurangi, bahkan dihindari. Padahal jika ajaran tasawuf dipahami step by step maka akan ditemukan kebenaran yang indah sekali.
Tasawuf atau mistisime Islam menurut Baidhawy (2011:138) adalah fenomena universal yang mendeskripsikan aktivitas manusia untuk meraih kebenaran (al-haq: Tuhan) melalui pengalaman spiritual baik dengan meditasi (riyadhah) maupun kontemplasi bathin (iffah dan mengutamakan akhlak luhur). Kaitannya dengan tasawuf, menurut hemat penulis, harus dibaca dengan pendekatan tasawuf. Tujuan pembacaan ini adalah agar kita mendapat lurusnya pemahaman dan memahami akar ajarannya kemudian disinergikan dengan bidang ilmu yang lain seperti fikih, adab dan budaya Islam.
Banyak tokoh yang memperdebatkan ajaran tasawuf terutama pada para ahli sufi seperti Bayazid al-Busthami, al-Hallaj dan Ibnu ‘Arabi yang sering dimasukkan dalam tokoh sufi falsafi (mendasarkan ajaran dengan pendekatan filsafat) sehingga menjadi bahan kajian ketika mayoritas ahli sufi mendasarkan proses tasawuf mereka dengan tasawuf sunni.
Berbicara mengenai ajaran tasawuf Ibnu Arabi yang menyatakan bahwa alam semesta adalah refleksi dari sifat-sifat-Nya tetapi alam semesta itu sendiri bukan Tuhan/Allah Swt adalah sejalan dengan penjelasan dari mendiang Al-‘Allamah Al-‘Arif billah Sayyid Muhammad Husein Thaba’thaba’i (ulama’ Iran) tentang alam kesadaran pertama yang harus dilalui oleh seorang salik (pemula dalam tasawuf). Ini bukanlah konsep pantheisme yang menyatakan bahwa alam adalah Tuhan. Menurut Thaba’thaba’i (2013:218-219), seseorang yang telah merasakan bahwa eksistensi dirinya terkait dengan Allah, maka dia akan menuju alam kedua yaitu merasakan bahwa Allah adalah sumber segala pengetahuan, kekuatan, kehidupan, pendengaran, dan penglihatan yang terdapat di manapun. Lalu dia merasakan bahwa sifat-sifat-Nya tidak terpisah dari Dzat-Nya. Lalu dia merasakan alam yang lebih tinggi di mana Wujud Tunggal yang menjadi sumber semua tindakan dan sifat. Pada akhirnya, dia sendiri akan lupa siapa dirinya dan yang dia kenal hanya Allah saja. Jadi dari pernyataan ulama’ sufi Iran tersebut, dapat disimpulkan bahwa tahapan bertauhid yang hakiki inilah akhir dari perjalanan spiritual/tasawuf. Sehingga tasawuf (berakhlak dengan akhlak Tuhan; melalui beberapa pengejawantahan nama-nama-Nya yang baik) tidak lagi dipandang sebagai kemusyrikan, bid’ah atau kemunduran dari peradaban. Melainkan sebagai tujuan tertinggi dari syari’ah dan merupakan puncak dari peradaban (adab: moralitas) itu sendiri.
Apakah kita telah menyadari bahwa ada Tuhan yang dapat menjerumuskan manusia ke limbah nista? Seperti artis idola, uang, jabatan, wanita, kekuasaan politik dan sok ‘alim (jika meminjam istilah dari Emha Ainun Nadjib-aristokrat agamawan). Dan parahnya, Tuhan-Tuhan itu (menuruti ego rendah) justru diciptakan oleh manusia sendiri. Maka dari itu, penulis menyarankan untuk mengikuti nasehat menurut al-Sakandari (2013:224), mengatur dunia untuk akhirat, artinya orang dapat mengelola dagangannya agar bisa makan dari hasil yang halal lagi baik, agar bisa berinfak kepada fakir miskin, agar bisa menyambung tali silaturahim, bisa menjaga diri untuk tidak mengemis kepada orang, dan bisa menjaga kehormatan diri, senantiasa membantu penderitaan kaum muslim dan memudahkan mereka yang kesulitan. Jadi bukan untuk memperkaya diri. Sebab menurut penulis, dunia hanyalah hiasan, substansinya adalah sebagai investasi akhirat, menggapai ridla-Nya-tujuannya ya Allah Swt saja.  
Tahapan awal yang dijalani oleh ahli fikih menuju tahapan tasawuf adalah menjauhi Tuhan-Tuhan baru itu dengan iffah (mengendalikan hawa nafsu rendah dengan merasa bahwa Allah Swt senantiasa mengawasi manusia, sehingga dia menampilkan kebaikan secara kontinyu dan bertaqarrub pada-Nya). Ini merupakan hijrah fase dari alam materi (dark-materi kegelapan) menuju alam filosofis (nilai ilahiah-ruh) untuk kemudian menyatu dalam cahaya-Nya. Kegelapan dan cahaya memiliki hubungan resiprokal di sini, artinya, tidak ada makhluk jika Tuhan (khaliq) tidak berkehendak untuk menciptakan. Supaya Dia dikenal, maka Dia menciptakan semua yang terlihat (semesta alam).
Maka kaitan antara ajaran Ibnu ‘Arabi (tasawuf) dengan konteks maqashid al-Syari’ah (fikih) adalah konservasi lingkungan. Yang dimaksudkan di sini, menurut Abdullah (2010:184), adalah karena alam semesta merupakan refleksi dari keagungan-Nya yang harus diimani oleh manusia, maka menjaga, merawat dan melindungi alam di tingkat lokal, nasional maupun global adalah amanah wajib bagi manusia sebagai seorang khalifatullah fi al-’ardh dan tanda syukur manusia pada Tuhan-Nya. Sementara menurut al-Haddad (2007:86) gurunya Al-Habib ‘Abdullah bin Muhsin al-Attas menyatakan bahwa pernyataan Syeikh Ibnu ‘Arabi dikhususkan bagi orang-orang yang mempunyai kecerdasan untuk siap menerima teori-teori tersebut, dan itu mengandung manfaat bagi mereka. Itu artinya, penulis menyatakan bahwa hanya mereka kaum khawash al-khawash saja yang mampu menginterpretasi pemikiran beliau. Sementara yang di luar kaum itu, tidak bermanfaat dan tak akan mampu menjangkau apa yang dimaksud oleh Ibnu ‘Arabi.
Menurut penulis, karena fikih terkait dengan tasawuf, maka masing-masing merupakan kesatuan dari kerangka ilmu-Nya (unity), bukan friksi yang diciptakan oleh para ahlinya (yang seharusnya tidak terjadi). Maka masing-masing ahli seharusnya terus melakukan upaya redefinisi ajaran, diskusi dan menemukan solusi untuk kemaslahatan ummat ke depan. Jangan sampai masyarakat muslim justru terpecah karena para ahli ilmu saling menyalahkan satu sama lain, sehingga ummat kehilangan panduan, panutan dan arah kehidupan sehingga mereka kebingungan. Artinya bagi manusia millenial, jangan suka mengkritik jika belum mengetahui hakikat ilmunya. Sebab inti ajaran ilmu (al-haq/kebenaran) itu memiliki asal dan tujuan yang sama: Tuhan (Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun).
Yang menarik dari gerakan tasawuf adalah seorang sufi memandang dirinya lebih rendah dari orang lain, senantiasa mendekatkan diri pada Allah Swt melalui pengkhidmatan pada makhluk-Nya, mendahulukan cinta daripada akal, menekankan dzikir walau dalam aktivitas produktif sekalipun (Majalah Islami al-Kisah No.06/Tahun IV/13-26 Maret 2006 halaman 125). Hal ini merupakan kemuliaan hidup, jika diamalkan melalui guru yang benar-benar mengenal Tuhan. Sebab tanpa seorang guru, usaha untuk menyelami tasawuf hanya akan mengalami kelelahan yang tidak berkesudahan. Seorang guru akan mempercepat gerakan penyelaman tersebut sehingga kelelahan akan terminimalisir.
Fenomena gerakan spiritual “ala kota” atau diistilahkan dengan urban sufism juga mulai muncul di tengah hiruk-pikuk dunia yang sangat kompetitif seperti sekarang ini. Gejalanya ditandai dengan diselenggarakannya ritus do’a dan dzikir tanpa organisasi tarekat. Tetapi dapat diartikan pula dengan komunitas tarekat tertentu yang masih berkembang secara dinamis sebagai terapi psikologis, perkembangan wacana keagamaan dan pencarian makna hidup (Majalah Islami al-Kisah No.09/Tahun VIII/3-16 Mei 2010 halaman 12-13). Ini menandakan bahwa manusia merindukan kedamaian jiwa yaitu dengan metode tasawuf.
Jadi kesimpulannya adalah, tawhid pada dasarnya merupakan pondasi, pusat dan tujuan dari keseluruhan tradisi Islam (Baidhawy, 2011:180). Dia (ajaran tawhid) dapat diselaraskan dengan sosial, ekonomi, siyasah islamiyah, kebudayaan yang luhur dan etika-moral manusia. Maka upaya untuk mengintegrasikan modernitas dengan tasawuf sangatlah dibutuhkan demi tercapainya kesepahaman bersama bahwa relevansi tasawuf itu meliputi semua zaman.
F.      Refleksi
Strategi yang dapat dilakukan di era millennial adalah tidak mengikuti arus mainstream. Yakni jika manusia itu berprofesi sebagai guru/dosen maka dia harus menjadi teladan karakter yang baik bagi murid/mahasiswanya, mengajarkan nilai-nilai kehidupan di kelas untuk seluruh mata pelajaran/mata kuliah, menanamkan kata nurani dibandingkan kata akal, mengajarkan problem solving pada peserta didik, dan memotivasi mereka untuk melakukan refleksi moral (mutaba’ah harian) dengan melalui membaca; menulis karya ilmiah; diskusi; latihan pengambilan keputusan dan belajar bersama.
G.    Kesimpulan: “Urgensi Studi Islam dalam Menanamkan Karakter Melalui Pendidikan”
Tentu sebagai epilog, penulis akan mensistematisasi konklusi dari penelusuran solusi atas problem-problem yang telah penulis sebutkan sebelumnya. Diantaranya adalah: studi Islam dan pendekatan yang ada di dalamnya memiliki urgensi dalam menjawab beragam problema hidup (seperti pendidikan karakter, konservasi lingkungan, pedoman penulisan penelitian ilmiah, sikap terhadap globalisasi, dan pemahaman tujuan hidup dengan bertasawuf). Urgensi itu meliputi beberapa solusi diantaranya sebagai berikut:
1.      Studi Islam mengenalkan kita pada sinergitas ajaran fikih dengan tasawuf. Bahwa tasawuf adalah kelanjutan dari ajaran fikih dan tujuan tertinggi dari syari’ah yaitu bertauhid. Sehingga tauhid itu bukanlah bid’ah melainkan sunnah.
2.      Studi Islam menjelaskan bahwa untuk menjadi pakar, harus melalui jalan banyak membaca dan menulis. Menjadi pakar harus dengan basis karakter yang islami. Sumber yang digunakan dalam kerangka publikasi ilmiah diutamakan dari buku. Sehingga referensi dari internet perlu disesuaikan dengan konteks kehidupan, dikaji dan direvisi dengan sumber-sumber buku maupun penelitian yang sedang/telah beredar.
3.      Studi Islam menolong manusia untuk lebih peduli pada upaya konservasi lingkungan mengingat dia termasuk salah satu kajian teologis moderen (Ilmu Kalam moderen) dan merupakan amanah bagi manusia, sang khalifatullah fi al-‘ardh kepada Tuhannya.
4.      Studi Islam semakin memperjelas kajian tasawuf sehingga tidak lagi dianggap sesat dan menyesatkan melalui pendekatan tasawuf dan filsafat yang terkandung di dalamnya.







Daftar Pustaka
Abdullah, Mudhofir. 2010. Al-Qur’an dan Konservasi Lingkungan: Argumen Konservasi Lingkungan sebagai Tujuan Tertinggi Syari’ah. Jakarta: Dian Rakyat.
Al-Haddad, Al-Habib ‘Alwi bin Thahir. 2007. Mutiara Hikmah Al-Habib ‘Abdullah bin Muhsin al-Aththaas: Pemikiran, Do’a dan Shalawat. Jakarta: Hayat Publishing. Karya terjemahan judul asli Wizanaat al-Qithaas min al-Dururi wa al-Yaquuti wa al-Almaas min Adzka al-Anfaasi.
Al-Sakandari, Ibnu ‘Athaillah. 2013. Terapi Makrifat: Tutur Penerang Hati. Jakarta: Zaman. Terjemahan oleh Fauzi Faishal Bahreisy dari judul asli: Bahjat al-Nufuus.
Alumni Al-Kahfi. 2015. Membangun Generasi Al-Kahfi: Menjemput Hidayah Menggapai Mimpi. Salatiga: Al-Kahfi Publishing.
Assegaf, Abdurrahman. 2004. Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Baidhawy, Zakiyuddin. 2011. Studi Islam: Pendekatan dan Metode. Yogyakarta: Insan Madani.
El-Padari, Rian Hidayat. 2011. Pelajar Gaul, Pribadi Rasul, Prestasi Unggul. Jakarta: Almanda Media.
Hanum, dkk. 2008. Tinjauan Berbagai Aspek Character Building: Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter? Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta dan Tiara Wacana.
Maksudin. 2013. Pendidikan Karakter Non-Dikotomik. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga dan Pustaka Pelajar.
Thabathaba’i, dkk. 2013. Pendaran Cahaya Rohani: Sejarah dan Ajaran Makrifah Islam. Jakarta: Citra.
IAIN Salatiga. 2011. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies. Volume 5, Number 2, December 2015. First edition
Majalah Islami al-Kisah No.06/Tahun IV/13-26 Maret 2006
Majalah Islami al-Kisah No.09/Tahun VIII/3-16 Mei 2010
Majalah Islami al-Kisah No. 11/Tahun VIII/31 Mei-13 Juni 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar