Sabtu, 18 November 2017

makalah S2 PAI studi pemikiran tokoh: Nader Hashemi mengenai demokrasi liberal berbasis moral agama



Studi Islam: Review Buku Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal
A.    Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini, khususnya di akhir abad ke dua puluh dan awal abad ke dua puluh satu, kita mengenal problem besar di dunia Islam yaitu penataan demokrasi. Demokrasi dengan varian liberalnya (sebagaimana yang dipahami selama ini oleh Barat) masih diperdebatkan oleh sejumlah kalangan muslim.
Menurut penyusun makalah, Ada beberapa orang (khususnya di Indonesia) yang mengakomodir demokrasi, ada pula yang menolak secara subjektif dan ada pula yang menolak secara mentah-mentah. Bagi yang mengakomodir demokrasi, maka demokrasi dengan segala variabelnya dipakai dan diterapkan secara perlahan. Dikembangkan dan direvisi sedemikian rupa sehingga berakhir pada kesimpulan bahwa demokrasi ini adalah pilihan yang baik mengingat dinamikanya juga bersifat positif.
Bagi yang menolak secara subjektif, mereka menganggap bahwa konsep demokrasi belum menyentuh pada tujuannya yaitu untuk rakyat. Demokrasi dinilai belum memaslahatkan rakyat seluruhnya. Terkadang malah menjadi hujatan, guyonan di warung kopi dan juga refleksi bahwa demokrasi ini sangat kontras dengan peninggalan leluhur yang bersifat monarki. Yang dinilai lebih fleksibel dalam menanggapi problematika rakyat. Karena sistem kerajaan dinilai mampu beradaptasi dengan wahyu dan menampilkan perilaku moral para pejabatnya sehingga dapat diteladani oleh rakyat demi pembangunan masa depan. Dalam hal ini, rakyat belajar dari masa lalu untuk memperbaiki masa depan.
Sementara bagi yang menolak secara mentah-mentah, demokrasi dianggap tidak cocok untuk diterapkan di negeri muslim karena berasal dari Barat yang notabene berseberangan dengan Timur. Kalangan ini biasanya menganggap tradisi telah memberikan sumbangsih positif yang tak dapat diganggu gugat. Kalangan ini menganggap modernisasi tidak diperlukan karena banyaknya kemudlaratan yang dijumpai dari tahun ke tahun. Seperti perilaku korupsi, nepotisme, saling menumbangkan dan berkuasa demi uang.
Menanggapi perdebatan ini, Nader Hashemi menyuguhkan teori yang cukup baik untuk dipahami bersama mengenai demokrasi liberal. Dia memberikan penjelasan cukup hati-hati dalam menafsirkan hubungan antara agama dengan demokrasi liberal. Agama yang dianggap tak perlu mengurusi pemerintahan. Namun bagi Nader Hashemi, agama justru dapat berperan aktif dalam pengkajian politik demokrasi dan menata ulangnya.
B.     Problem Penelitian
Demokrasi liberal memerlukan sebentuk sekularisme untuk menjaga eksistensinya. Namun sumber daya politik, kultural dan intelektual masih bersifat teologis. Paradoks ini terjadi dan menjadi perdebatan bagi para teoretikus demokrasi. Nah bagaimanakah cara membongkar paradoks ini dengan menggunakan pendekatan yang metodologis?
Penegasan Istilah
1.      Sekulerisme terdiri dari dua kata; sekuler yang berarti pemisahan antara yang transenden dengan hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lain. Dan isme yang berarti paham. 
2.      Demokrasi terdiri dari dua kata; demos yang artinya rakyat dan kratos yang artinya kekuasaan. Sehingga dapat diartikan sebagai kekuasaan dan penyelenggaraan negara berada di tangan rakyat, untuk kepentingan rakyat.
3.      Liberal artinya pembebasan dari cara berpikir dan berperilaku. Jika dikaitkan dengan Islam, menurut Baidhawy (2011:230), istilah liberal berarti pembebasan cara berpikir dan berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan. Islam liberal dalam hal ini mengakomodir peran Barat tetapi mengeliminir dampak buruk dari modernisasi.
Hal ini sedikit berbeda dengan pemikiran Hasan Hanafi mengenai oksidentalisme yang tetap teguh pada tradisi tetapi juga menerima modernisasi dengan dikaitkan dengan realitas kehidupan.

C.    Kontribusi Penelitian: Tujuan Penulisan Buku
Penulisan buku yang dilakukan oleh Nader Hashemi ini adalah untuk mengkaji relasi teori agama dan demokrasi (dalam hal ini Islam dengan demokrasi liberal), relasi antara agama, sekulerisme, demokrasi untuk pengembangan teori liberal, demokrasi untuk masyarakat muslim.
Dia menyatakan bahwa demokrasi liberal memerlukan sekularisme untuk menjaga kesinambungan, akan tetapi sumber daya politik, kultural, intelektual para demokrat muslim masih bersifat teologis (Hashemi, 2011:1). Demokrasi yang di dalamnya terdapat sekularisme harus secara alamiah berasal dari rakyat untuk kemudian diusung ke pemerintahan, bukan malah sebaliknya (up to down). Jalan menuju demokrasi liberal harus melalui politik keagamaan.
Demokratisasi dan liberalisasi mensyaratkan penafsiran ulang terhadap gagasan keagamaan dengan memperhatikan dasar moral dari otoritas politik dan hak-hak individu yang sah (dia menyatakan bahwa variabel agama mempengaruhi demokratisasi dan liberalisasi) (Hashemi, 2011:3).
Selama ini seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa para pengusung sekuler dianggap memisahkan agama dari ranah perpolitikan atau agama itu tidak perlu ikut campur dalam pembuatan kebijakan pemerintah ataupun mengawasi secara langsung kinerja pemerintah. Sementara pihak Barat mengkhawatirkan Islam akan mengganggu perkembangan demokrasi liberal pasca peristiwa 11 September 2001 (runtuhnya gedung World Trade Center). Secara konteks pemikiran, ini merupakan hasil dari fanatisme agama dan Barat menyimpulkan bahwa Islam itu negatif. Data menunjukkan pasca peristiwa 11 September 2001, 43 % penduduk Amerika berprasangka negatif tentang orang-orang Arab (diambil dari Washington Post, 9 Maret 2006) (Hashemi, 2011:31).
 Connor O’Brien, seorang penyair Irlandia mengatakan bahwa masyarakat Islam terlihat sangat menjijikkan (Hashemi, 2011:32). Hal ini menjadikan salah satu dasar tulisan mengapa Islam dianggap sebagai poros konflik pasca perang dingin. Terlebih, selama ini tatanan demokrasi dianggap lebih bersifat duniawi, dapat direvisi dan diperbaiki demi kemaslahatan manusia. Sementara agama lebih bersifat transendental (peran manusia tidak berlaku). Sehingga agama harus menjauh dari demokrasi. Padahal, kita dapat melakukan kompromi antara demokrasi liberal dengan agama yakni berbentuk sekularisme politik yang berbasis agama, sebagaimana yang dipikirkan oleh Nader Hashemi.
Maka yang perlu dilakukan adalah
berpikir ulang tentang konsep sekularisme politik sebab agama berperan penting dalam urusan publik di dunia Islam dan masih banyaknya pendapat negatif kaum Muslim sendiri terhadap sekularisme, selama ini reformasi keagamaan selalu mendahului dinamika politik dan memang harus demikian, transisi sebuah negeri menuju demokrasi sekuler harus melalui gerbang politik keagamaan. Kita ambil contoh demokrasi liberal di Barat berdasarkan tradisi Anglo-Saxon yang beragama Katolik. Agama berkorelasi positif terhadap demokrasi. Kita ambil contoh Turki dan Indonesia dengan munculnya norma sekuler, bersifat spekulatif dan secara sederhana bertujuan untuk mengenai dinamika tren politik.
Temuan teoretik yang utama dari penelitian Nader Hashemi adalah dia hendak menjembatani antara demokrasi liberal (yang biasanya sekular) dengan agama (dalam hal ini Islam). Penelitian yang dilakukannya adalah untuk mengurai masalah yang umum dibicarakan oleh ilmuwan Barat bahwa di negara-negara Islam, demokrasi selalu ditolak karena tidak sesuai dengan dogma dan dipukul rata oleh stereotip negatif tentang 10 September 2001 (Islam teroris dan anti-demokrasi); bahwa demokrasi liberal ditolak oleh negara-negara Islam karena merupakan produk Barat. Padahal, justru sebaliknya, demokrasi liberal juga dapat tumbuh dengan baik tatkala agama dijadikan sebagai sumber moral dan berkontribusi positif dalam perkembangan dari demokrasi liberal itu sendiri. Meskipun pada umumnya, demokrasi tidak diterima oleh mayoritas negara-negara Islam. Tetapi dengan teori dari Nader Hashemi ini dapat menjadi rujukan untuk perkembangan demokrasi liberal dengan moral politik (untuk negara-negara Islam) di masa depan.
D.    Pendekatan dan Metode Penelitian
Buku ini menggunakan pendekatan metode historis dan komparatif. Berangkat dari pemahaman teori politik Barat dan sejarah, penulis mencoba menghindari asumsi bahwa variabel budaya politik sebagai faktor utama dalam menjelaskan ketiadaan demokrasi dalam dunia Islam dan hubungan sebab-akibat sederhana antara perubahan budaya politik dan demokratisasi (Hashemi, 2011:18). Tetapi asumsi yang dibangun adalah variabel historis, struktural dan kultural yang menjelaskan rintangan-rintangan bagi demokrasi di negara-negara berkembang. Eksplorasi konteks ekonomi, sosial politik, militer dan internasional mempengaruhi proses demokratisasi. Kuncinya adalah modernisasi sosial-ekonomi (ditandai dengan industrialisasi, komunikasi massa, melek huruf PDB yang tinggi), struktur kelas (kelas menengah yang mencukupi dan borjuasi yang independen), budaya politik yang demokratis (norma-norma budaya, nilai-nilai, kepercayaan yang membentuk perilaku politik).
Buku ini fokus pada 3 negara dengan penduduk mayoritas muslim yakni Iran, Turki dan Indonesia untuk mendukung teori tentang hubungan dan dinamika demokrasi liberal dan agama. Dengan menggunakan pendekatan yang mensyaratkan ilmu perbandingan politik (modernitas politik di dunia non-Barat dengan teori sosial Barat) untuk menutupi kelemahan teori mengenai Islam dan demokrasi.
Pandangan Barat mengenai Islam dan citranya mengalami kekeliruan karena mengacu peristiwa 11 September 2001. Sementara Islam juga kurang tertarik pada pembahasan demokrasi liberal yang pada dasarnya mensyaratkan sebentuk sekularisme. Dikarenakan salah tafsir, keduanya jarang menemukan titik kompromi. Maka sangatlah diperlukan adanya pembahasan sejarah demokrasi dan teori sosial yang berkembang baik di Barat maupun di Islam sendiri, penafsiran ulang mengenai sekularisme, dan realita Islam di ranah politik. 
Selama ini, fundamentalisme Islam tidak banyak berhubungan dengan esensi keagamaan, tetapi dengan laju modernitas dan pergolakan sosial yang berjalan seiring perubahan masyarakat tradisional yang berlangsung cepat. Radikalisme agama menandai transisi antara tradisi dan modernitas sekaligus menjadi awal mula demokrasi liberal berasal. Demokrasi liberal kontemporer secara historis merupakan pengembangan teori menjadi teori perkembangan politik. Dinamika demokrasi liberal menyediakan tempat untuk mengatur dan melembagakan manajemen konflik. Di banyak negara, biasanya sumber konflik utama adalah peran agama dalam masyarakat. Sehingga membutuhkan negosisasi politik sebelum terjadinya kesepakatan mengenai relasi antara agama dan pemerintahan. Berangkat dari masalah inilah Nader Hashemi mencoba mengurai sejarah perkembangan demokrasi liberal versi Barat dan dinamikanya yang menggunakan sekularisme, sebagai pembanding dan realita demokrasi liberal di negara-negara Islam yang menggunakan moral politik sebagai pedoman dinamika politiknya.
Pada akhirnya, penelitian ini juga dapat menyadarkan ilmuwan Barat bahwa dalam melihat demokrasi liberal di negara-negara Islam juga diperlukan sisi lain yaitu realita agama dan sikap agama dalam mentolerir sekularisme di negara-negara tersebut. Sehingga tidak terjadi lagi sebuah istilah genaralisasi paradigma bahwa Islam sepenuhnya menolak demokrasi liberal.
E.     Hasil Temuan Penelitian
Bab 1 Menuju Teori Demokrasi: Masyarakat Muslim
Modernitas, Globalisasi, Peran Agama dan Demokrasi
Menurut teori modernitas, seiring dengan masyarakat yang semakin maju dan mengganti ekonomi berbasis agraris menjadi industri, sehingga terjadilah spesialisasi pekerjaan dan peningkatan pendapatan. Yang pada akhirnya berdampak pada peran gender, penurunan tingkat kelahiran dan partisipasi politik yang lebih besar (Hashemi, 2011:45). Sementara perubahan sosial yang terjadi di negara-negara berkembang bukan berasal dari tradisi melainkan hasil dari kolonialisme dan imperialisme Eropa yang bersekutu dengan elite lokal.
Menurut teori-teori modernisasi, yang menghambat pembangunan di Asia, Afrika dan Timur Tengah adalah karena masyarakatnya terlalu tradisional sehingga perlu penggantian pola-pola pemikiran, kepercayaan, kebiasaan dan adat tradisi dengan pemikiran rasional-sekuler (Hashemi, 2011:46). Sebab selama ini, Barat menganggap agama sebagai promotor takhayyul dan lebih berorientasi ukhrawi (Hashemi, 2011:47). 
Demokrasi dan hak asasi manusia di Barat tidak lahir dari dokumen namun dari perjuangan sosial. Khususnya dari politik yang penuh persaingan dan perselisihan di mana agama sebagai titik pusat konflik (Hashemi, 2011:58). Sementara menurut Bernard Lewis, pengalaman politik di Timur Tengah di bawah khalifah dan sultan adalah otokrasi yang tak bisa diselamatkan, di mana kepatuhan kepada yang berdaulat adalah kewajiban agama maupun politis dan ketidakpatuhan adalah dosa dan kejahatan (Hasyemi, 2011:60). Menurut Ernest Gellner, kebangkitan fundamentalisme Islam di akhir abad 20 adalah representasi otentik dari totalitas dalam masyarakat muslim. Secara historis, fundamentalisme modernis (westernisasi) lebih dahulu muncul daripada fundamentalisme Islam. Contohnya Reza Fahlevi di Iran dan Kemal Attaturk di Turki. Musuh dari fundamentalis adalah sekularisme yang materialistis, sehingga produk-produknya dianggap sesat karena merupakan hasil bid’ah (Hashemi, 2011:64). Selain itu, dia memiliki musuh seagama yaitu mereka yang pluralis. Fundamentalisme yang awalnya berperan memberikan sumbangsih pada perkembangan politik, akan menjadi problem jika hanya dianggap sebagai fenomena doktrinal belaka (Hashemi, 2011:84).
Globalisasi menggiring terjadinya transformasi masyarakat menuju kelompok individualistis selama 2 abad terakhir. Dengan ditandai lemahnya otoritas orang tua, materialistis, pertanyaan dan penolakan pada otoritas agama, adiktif terhadap NAPZA, meningkatnya tingkat perceraian dan kriminalitas, dan mewabahnya penyakit neurologis. Yang kemudian tanda-tanda ini disebut bencana modernitas. Modernitas yang diusung tidak selalu mengarah pada demokrasi, pluralisme dan penghormatan hak asasi manusia. Namun bisa saja ada kekuatan lain di sekitarnya seperti komunisme para petani dan fasisme dari para revolusioner konservatif.
Agama di masa kini dicari untuk menjawab arti menjadi moderen dan meyakinkan pandangan hidup bersama. Barat dalam hal ini memerlukan proses selama sekian ratus tahun untuk membangun institusi sekuler dan demokratis melalui proses trial and error (meliputi reformasi Protestan, kontra-reformasi, perang agama, kekerasan politik dan agama, genosida, revolusi industri, eksploitasi buruh, kelahiran nasionalisme dan perang dunia I dan II. Sementara Islam sedang mengalami pencipta stabilitas dan terus bertambah dengan peningkatan penerbitan, urbanisasi dan interdepedensi ekonomi, nemun modernitasnya lebih bersifat imitasi karena berkiblat pada Barat.
Munculnya gerakan puritan biasanya diawali dengan keterdesakan pencarian identitas baru setelah memutus diri dari tradisi pedesaan dan pembebasan diri di tengah pembusukan tradisi. Kemudian mereka membangun organisasi, mendidik disiplin diri sebagai pengkhususan dari Tuhan lalu berperan aktif dalam reformasi politik. Mereka dinilai lebih aktif daripada kaum tradisionalis (Hashemi, 2011:73).
Gerakan islamis memiliki histori yang sama dengan kaum puritan yaitu berasal dari pedesaaan dan kota-kota kecil, dengan bonus pendidikan yang tinggi. Contohnya Mesir di tahun 2001-2002 (sekitar 1,5 juta mahasiswa) (Hashemi, 2011:81). Akibat dari pendidikan yang tinggi inilah, mereka merasakan frustasi, gelisah pada keadaan politik di negerinya (Hashemi, 2011:82). Tatanan lama yang memicu kekacauan akan dinetralkan oleh aktor-aktor keagamaan dalam hal moral politik. Tetapi ulama yang gagal dalam kepemimpinan moral akan menjadi musuh bagi kaum radikalis yang bertugas untuk menyelamatkan diri atau disebut mukmin individualis (Hashemi, 2011:87). Gerakan pembebasan seperti ini menyentuh media massa dan pendidikan massal. Hal objektifikasi (kembali pada tradisi) ini juga memperkuat demokrasi liberal yang positif (Hashemi, 2011:88). Korupsi yang merajalela, membuat para islamis membedakan diri dengan hidup sederhana. Media massa dijadikan sebagai sarana menantang monopoli politik yang sudah mapan. Kekecewaan akan kemerdekaan politik yang tidak membawa serta kemerdekaan individu, kemerdekaan dari intervensi Barat, keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi yang merata, menjadi sebab mengapa para islamis bergerak (Hashemi, 2011:91).
Bab 2 Dua Kitab Suci yang Berlawanan: Teori Demokrasi John Locke
Teori yang dipopulerkan oleh John Locke lebih komprehensif dan realistis dibandingkan teori J.J. Rosseau. Dialah penggagas demokrasi modern (Hashemi, 2011:109). Semua argumennya mengenai kebebasan suara hati dan keyakinan, merupakan basis moral politik yang legitim. Keluarga, persetujuan, hak milik dan kesetaraan muncul dari teologi politik yang berakar dari penafsiran ulang kekristenan (Hashemi, 2011:110). John Locke adalah pecinta ilmu pengetahuan yang hidup di masyarakat relijius (berlatang belakang puritan). Dia tidak menginginkan tradisi berbenturan dengan modernitas. Baginya, semua hal yang tak bertentangan dengan hukum moral, semua subjek harus menaatinya demi hukum Ilahi yang dinyatakan dalam hukum pesemakmuran. Urusan agama yang hakiki adalah mengatur kehidupan manusia sesuai aturan-aturan relijiusitas dan ketakwaan. kemajuan kerajaan Allah akan berhasil jika imoralitas dicabut dari diri manusia. Orang yang percaya pada toleransi, perdamaian dan penyebaran wahyu Kristus secara damai adalah seorang Kristen yang baik (Hashemi, 2011:123).
Fondasi standar dalam mengukur legitimasi moral pemerintah adalah firman Tuhan. Bahwa bumi dianugerahkan pada manusia secara umum, bukan untuk para raja saja sebab seluruh manusia itu bebas dan setara.
Kondisi Demokrasi Iran
Kondisi Iran pasca Khomeini meninggal, kritik demokratis mengenai otoritarianisme ulama’ yang muncul dilahirkan oleh para intelejensia relijius yang berpengaruh. Baik itu seniman maupun agamawan yang berakar budaya politik mendalam, dengan upaya untuk mereorientasikan pada arah yang liberal dan demokratik. Sehingga berimbas pada kuatnya pondasi filosofis bagi gerakan reformis yang memenangkan Muhammad Khatami (1997 dan 2001). Ayatullah Saanei, memajukan ide-ide kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan, antara Muslim dengan non-Muslim. Dia secara halus memotivasi untuk menggunakan demokrasi sebab dia adalah reformis yang berasal dari kelompok minoritas yang merasa ada penindasan oleh pemerintah kepada rakyatnya melalui para pemimpin relijius tetapi menipu (Hashemi, 2011:149). Kalangan reformis di Iran selalu berhadapan dengan kalangan konservatif sebab bagi kalangan konservatif, reformis tak akan mampu menyelamatkan Islam melalui liberalisme dan toleransi (Hashemi, 2011:150). Mereka menganggap bahwa semakin bodoh masyarakat maka semakin selamat dan terlindungi agama itu. Ayatullah Ali Akbar Meshkini, Ayatullah Ahmad Azari-Qumi dan Ayatullah Khomeini adalah representasi dari pemimpin yang dianalogikan dengan teori Filmer yang mana menyatakan pemimpin dapat berlaku otoriter pada rakyatnya karena menganggap dirinya adalah pemimpin ulama’ tertinggi. 
Bab 3Anatomi Ringkas Sekularisme
Sekularisasi adalah proses mengurangi pengaruh agama; keduniawian (Hashemi, 2011:173). Cara berpikir tentang sekularisme adalah dengan 3 disiplin ilmu yakni sosiologi (modernisasi yakni penurunan pengaruh agama dalam institusi sosial, kehidupan masyarakat dan muamalah), filsafat (penolakan terhadap yang transenden dan metafisik, fokus pada yang bersifat eksistensial dan empiris), dan politik (pemisahan ruang publik dan privat, antara agama dengan negara) (Hashemi, 2011:175).
Masyarakat non-Barat dapat membangun sekularisme versinya sendiri sebab sekularisme itu bersifat jamak. Di Prancis, negara aktif dalam mengatur kehidupan yang baik/kegiatan keagamaan. Sementara di Amerika, kebebasan beragama lebih diutamakan sehingga akan muncul kecurigaan jika negara mengatur kegiatan keagamaan (Hashemi, 2011:183). Secara historis, Prancis mengalami revolusi dengan melawan agama sementara Amerika mengalami revolusi dengan semangat beragama.
Menurut Rorty, demokrasi liberal hanya dapat dipertahankan jika para penganut agama tetap mau menerima privatisasi dengan jaminan kebebasan beragama. Baginya, lembaga agama di atas tingkat jemaat lain yang melakukan banyak kerusakan, menciptakan kebencian terhadap masyarakat, amoral dan meraih pengaruh ekonomi politik melalui penyebaran ortodoksi (Hashemi, 2011:195-196).
Syarat institusional demokrasi yaitu bebas membentuk dan bergabung dalam organisasi, berekspresi, menduduki jabatan publik, bersaing untuk mendapatkan suara, adanya sumber informasi alternatif, pemilu yang bebas dan adil, adnya institusi pembuat kebijakan berdasrkan suara dan wujud preferensi lain (Hashemi, 2011:200). Tetapi Alfred Stepan berpendapat dalam ‘teori toleransi kembar’nya, setiap warga wajib menghormati hak warga yang lain, memiliki hak untuk ikut dalam perumusan kebijakan publik. Kelompok keagamaan diberikan ruang publik untuk kepentingan mereka selama tidak merusak kebebasan yang lain. Jika terbukti merusak, maka diserahkan kepada pengadilan untuk diberikan pembatasan. Mereka juga diberi ruang beribadah secara privat. Teori ‘toleransi kembar’ ini tidak bermakna peyoratif dibanding dengan istilah sekularisme. Menurut Jonathan Fox, kebanyakan negara demokrasi tidak memiliki pemisahan antara agama dengan negara (Hashemi, 2011:204).
Bab 4 Sekularisme dan Penolakannya di Masyarakat Muslim
Modernisasi di dunia Islam selama ini disinonimkan dengan dengan kediktatoran, penindasan, korupsi, ketidakadilan sosial. Sekularisme menghasilkan ketidakadilan, immoralitas, penyalahgunaan kekayaan publik, penindasan terhadap minoritas dan konflik antar etnis/suku. Modernisasi belum diimbangi dengan transformasi yang sesuai dengan budaya politik Muslim. Sekularisme dianggap sama dengan atheis, irrelijius, pengertian yang didapat dari hasil kolonialisme dan imperialisme selama dua ratus tahun yang lalu (citranya begitu buruk di mata Islam). Sering juga citra sekularisme diperburuk dengan intervensi Barat dan melalui kebijakannya. Contohnya AS untuk Shah Iran di tahun 1953-1979, Prancis untuk junta militer Aljazair, Barat untuk partai Fatah sekular di Palestina, invasi AS ke Iraq di tahun 2003, pelarangan hijab di Prancis yang ditujukan khusus kepada Muslimah; bukan untuk Sikh, Yahudi maupun Kristen.
Iran dalam hal sekularisme pernah gagal dalam konsolidasi demokrasi liberal di dalam masyarakat. Sebab melakukannya dari atas ke bawah secara pemaksaan. Sehingga hal ini menjadi cerminan buruk sekularisme. Contohnya saja aktivis politik Islam yang mengalami penindasan di tangan pemerintah nasional sekuler. Maka sekularisme dianggap sebagai ideologi penindasan. Fundamentalisme menganggap sekularisme adalah penghancuran Islam (Hashemi, 2011:225). Di dunia Islam, sekularisasi mendahului reformasi agama sehingga menempatkan Islam sebagai antitesis Barat.
Para intelektual Muslim seperti Yusuf Qardhawi dan Muhammad Imarah dari Mesir, Syed Naquib al-Attas dari Malaysia menolak kata sekular berkecambah di dunia politik Islam. Tokoh politik seperti Mahmoud Abbas dari Palestina, Jalal Talabani dari Iraq, Najib Razak dari Malaysia merupakan tokoh politik yang menolak sekularisme (Hashemi, 2011:232-233).
Para intelektual Muslim dan partai politik di Indonesia dan Turki, dengan hubungan yang kuat dengan masyarakat sipil, telah mendamaikan teologi politik dengan sekularisme. Hal ini adalah prasyarat dalam konsolidasi demokrasi liberal di dalam masyarakat. Di Turki dan Indonesia, ada peran sentral yang dilakukan oleh intelektual Muslim dan partai politik dalam memajukan demokrasi liberal (Hashemi, 2011:241). Konsep khilafah dan supremasi syari’at Islam tidak popular di dua negara tersebut.
Di Turki, gerakan sekular tegas terhadap gerakan Islam. Dia diusung oleh militer yang dekat dengan masyarakat sipil secara psikologis (penanganan bencana), otonom dari kontrol negara, dan didukung pula oleh asosiasi masyarakat sipil seperti Fethullah Gulen yang mengajukan pemahaman iman yang modern, demokratis dan sekular (Hashemi, 2011:245). Kesadaran agama dilibatkan dalam praktek sosial dan istitusi. Hal inilah yang membuat sekularisme politik telah mendamaikan keyakinan mereka.
Di Indonesia, wajah politik agamanya adalah toleran, demokratis, pluralis dan orientasi sekular serta adanya keseimbangan kekuasaan negara dan masyarakat. Ormas sipil Muslim menyediakan promosi toleransi, sosialisasi demokrasi, dan menambah jumlah bagi aspirasi reformis, serta melakukan kampanye anti korupsi/melawan praktek KKN (Hashemi, 2011:249). Reformasi Islam terjadi saat modernisasi sekolah pendidikan Islam, munculnya kelas menengah baru dan pengiriman mahasiswa ke universitas negara moderen. Nurcholis Madjid, seorang intelektual Muslim Indonesia menegaskan bahwa pembaharuan lewat pembebasan diri dari nilai-nilai tradisional dan pencarian nilai-nilai yang dinamis itu sangat diperlukan. Dia menyerukan sikap desakralisasi terhadap apa yang selain Allah, yaitu dunia, masalah dan nilai-nilai yang berkaitan dengannya (Hashemi, 2011:253).
Refleksi dan Saran
Islam liberal menanggapi isu-isu moderen seperti Marxisme, sosialisme, liberalisme, orientalisme, sekulerisme politik global dan ketimpangan dari penerapan modernisasi di dunia ketiga. Akan tetapi, dia memiliki kritikan bahwa dia bukanlah identitas sejati dari Islam jika dia mendasarkan pada ideologi liberalisme Barat. Terlepas dari fakta tersebut, seharusnya Islam sebagai agama hingga akhir zaman mampu bijaksana terhadap isu-isu moderen seperti paham-paham di atas. Agar dia mampu memahami, meneliti dan mengambil manfaatnya demi studi multikultur di masa depan. Atau dapat diartikan, Islam itu dinamis dan mewadahi seluruh paham untuk kemudian diperbaiki dampak buruknya dan menyempurnakan keunggulan daripadanya. Dan berkat itu semua, tidak lain bertujuan untuk kemaslahatan ummat kini dan masa depan.
Saran penyusun makalah kepada pembaca semuanya adalah mari kita bersama-sama melakukan tindakan belajar, memahami makna falsafah negara, dan keislaman! Agar kita semakin terarah dalam mensinergikan keduanya demi tercapainya masyarakat madani yang dicita-citakan oleh founding father kita.


Daftar pustaka
Baidhawy, Zakiyuddin. 2011. Studi Islam: Pendekatan dan Metode. Jogjakarta: Insan Madani.
Hashemi, Nader. 2011. Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar