Studi
Islam: Review Buku Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal
A.
Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir
ini, khususnya di akhir abad ke dua puluh dan awal abad ke dua puluh satu, kita
mengenal problem besar di dunia Islam yaitu penataan demokrasi. Demokrasi
dengan varian liberalnya (sebagaimana yang dipahami selama ini oleh Barat)
masih diperdebatkan oleh sejumlah kalangan muslim.
Menurut
penyusun makalah, Ada beberapa orang (khususnya di Indonesia) yang mengakomodir
demokrasi, ada pula yang menolak secara subjektif dan ada pula yang menolak
secara mentah-mentah. Bagi yang mengakomodir demokrasi, maka demokrasi dengan
segala variabelnya dipakai dan diterapkan secara perlahan. Dikembangkan dan
direvisi sedemikian rupa sehingga berakhir pada kesimpulan bahwa demokrasi ini
adalah pilihan yang baik mengingat dinamikanya juga bersifat positif.
Bagi yang
menolak secara subjektif, mereka menganggap bahwa konsep demokrasi belum
menyentuh pada tujuannya yaitu untuk rakyat. Demokrasi dinilai belum
memaslahatkan rakyat seluruhnya. Terkadang malah menjadi hujatan, guyonan di
warung kopi dan juga refleksi bahwa demokrasi ini sangat kontras dengan
peninggalan leluhur yang bersifat monarki. Yang dinilai lebih fleksibel dalam
menanggapi problematika rakyat. Karena sistem kerajaan dinilai mampu
beradaptasi dengan wahyu dan menampilkan perilaku moral para pejabatnya
sehingga dapat diteladani oleh rakyat demi pembangunan masa depan. Dalam hal
ini, rakyat belajar dari masa lalu untuk memperbaiki masa depan.
Sementara bagi
yang menolak secara mentah-mentah, demokrasi dianggap tidak cocok untuk
diterapkan di negeri muslim karena berasal dari Barat yang notabene
berseberangan dengan Timur. Kalangan ini biasanya menganggap tradisi telah
memberikan sumbangsih positif yang tak dapat diganggu gugat. Kalangan ini
menganggap modernisasi tidak diperlukan karena banyaknya kemudlaratan yang
dijumpai dari tahun ke tahun. Seperti perilaku korupsi, nepotisme, saling
menumbangkan dan berkuasa demi uang.
Menanggapi
perdebatan ini, Nader Hashemi menyuguhkan teori yang cukup baik untuk dipahami
bersama mengenai demokrasi liberal. Dia memberikan penjelasan cukup hati-hati
dalam menafsirkan hubungan antara agama dengan demokrasi liberal. Agama yang
dianggap tak perlu mengurusi pemerintahan. Namun bagi Nader Hashemi, agama
justru dapat berperan aktif dalam pengkajian politik demokrasi dan menata
ulangnya.
B.
Problem Penelitian
Demokrasi
liberal memerlukan sebentuk sekularisme untuk menjaga eksistensinya. Namun
sumber daya politik, kultural dan intelektual masih bersifat teologis. Paradoks
ini terjadi dan menjadi perdebatan bagi para teoretikus demokrasi. Nah
bagaimanakah cara membongkar paradoks ini dengan menggunakan pendekatan yang
metodologis?
Penegasan
Istilah
1.
Sekulerisme
terdiri dari dua kata; sekuler yang berarti pemisahan antara yang
transenden dengan hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lain. Dan isme
yang berarti paham.
2.
Demokrasi
terdiri dari dua kata; demos yang artinya rakyat dan kratos yang
artinya kekuasaan. Sehingga dapat diartikan sebagai kekuasaan dan
penyelenggaraan negara berada di tangan rakyat, untuk kepentingan rakyat.
3.
Liberal
artinya pembebasan dari cara berpikir dan berperilaku. Jika dikaitkan dengan
Islam, menurut Baidhawy (2011:230), istilah liberal berarti pembebasan cara
berpikir dan berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan. Islam liberal
dalam hal ini mengakomodir peran Barat tetapi mengeliminir dampak buruk dari
modernisasi.
Hal ini sedikit berbeda dengan
pemikiran Hasan Hanafi mengenai oksidentalisme yang tetap teguh pada tradisi
tetapi juga menerima modernisasi dengan dikaitkan dengan realitas kehidupan.
C.
Kontribusi Penelitian: Tujuan Penulisan Buku
Penulisan buku
yang dilakukan oleh Nader Hashemi ini adalah untuk mengkaji relasi teori agama
dan demokrasi (dalam hal ini Islam dengan demokrasi liberal), relasi antara
agama, sekulerisme, demokrasi untuk pengembangan teori liberal, demokrasi untuk
masyarakat muslim.
Dia menyatakan
bahwa demokrasi liberal memerlukan sekularisme untuk menjaga kesinambungan,
akan tetapi sumber daya politik, kultural, intelektual para demokrat muslim
masih bersifat teologis (Hashemi, 2011:1). Demokrasi yang di dalamnya terdapat
sekularisme harus secara alamiah berasal dari rakyat untuk kemudian diusung ke
pemerintahan, bukan malah sebaliknya (up to down). Jalan menuju
demokrasi liberal harus melalui politik keagamaan.
Demokratisasi
dan liberalisasi mensyaratkan penafsiran ulang terhadap gagasan keagamaan
dengan memperhatikan dasar moral dari otoritas politik dan hak-hak individu
yang sah (dia menyatakan bahwa variabel agama mempengaruhi demokratisasi dan
liberalisasi) (Hashemi, 2011:3).
Selama ini
seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa para pengusung sekuler dianggap
memisahkan agama dari ranah perpolitikan atau agama itu tidak perlu ikut campur
dalam pembuatan kebijakan pemerintah ataupun mengawasi secara langsung kinerja
pemerintah. Sementara pihak Barat mengkhawatirkan Islam akan mengganggu
perkembangan demokrasi liberal pasca peristiwa 11 September 2001 (runtuhnya
gedung World Trade Center). Secara konteks pemikiran, ini merupakan
hasil dari fanatisme agama dan Barat menyimpulkan bahwa Islam itu negatif. Data
menunjukkan pasca peristiwa 11 September 2001, 43 % penduduk Amerika
berprasangka negatif tentang orang-orang Arab (diambil dari Washington Post, 9
Maret 2006) (Hashemi, 2011:31).
Connor O’Brien, seorang penyair Irlandia mengatakan
bahwa masyarakat Islam terlihat sangat menjijikkan (Hashemi, 2011:32). Hal ini
menjadikan salah satu dasar tulisan mengapa Islam dianggap sebagai poros
konflik pasca perang dingin. Terlebih, selama ini tatanan demokrasi dianggap lebih
bersifat duniawi, dapat direvisi dan diperbaiki demi kemaslahatan manusia.
Sementara agama lebih bersifat transendental (peran manusia tidak berlaku).
Sehingga agama harus menjauh dari demokrasi. Padahal, kita dapat melakukan
kompromi antara demokrasi liberal dengan agama yakni berbentuk sekularisme
politik yang berbasis agama, sebagaimana yang dipikirkan oleh Nader Hashemi.
Maka yang perlu
dilakukan adalah
berpikir ulang tentang konsep sekularisme politik sebab agama
berperan penting dalam urusan publik di dunia Islam dan masih banyaknya
pendapat negatif kaum Muslim sendiri terhadap sekularisme, selama ini reformasi
keagamaan selalu mendahului dinamika politik dan memang harus demikian,
transisi sebuah negeri menuju demokrasi sekuler harus melalui gerbang politik keagamaan.
Kita ambil contoh demokrasi liberal di Barat berdasarkan tradisi Anglo-Saxon
yang beragama Katolik. Agama berkorelasi positif terhadap demokrasi. Kita ambil
contoh Turki dan Indonesia dengan munculnya norma sekuler, bersifat spekulatif
dan secara sederhana bertujuan untuk mengenai dinamika tren politik.
Temuan teoretik
yang utama dari penelitian Nader Hashemi adalah dia hendak menjembatani antara
demokrasi liberal (yang biasanya sekular) dengan agama (dalam hal ini Islam).
Penelitian yang dilakukannya adalah untuk mengurai masalah yang umum
dibicarakan oleh ilmuwan Barat bahwa di negara-negara Islam, demokrasi selalu
ditolak karena tidak sesuai dengan dogma dan dipukul rata oleh stereotip
negatif tentang 10 September 2001 (Islam teroris dan anti-demokrasi); bahwa demokrasi
liberal ditolak oleh negara-negara Islam karena merupakan produk Barat.
Padahal, justru sebaliknya, demokrasi liberal juga dapat tumbuh dengan baik
tatkala agama dijadikan sebagai sumber moral dan berkontribusi positif dalam
perkembangan dari demokrasi liberal itu sendiri. Meskipun pada umumnya,
demokrasi tidak diterima oleh mayoritas negara-negara Islam. Tetapi dengan
teori dari Nader Hashemi ini dapat menjadi rujukan untuk perkembangan demokrasi
liberal dengan moral politik (untuk negara-negara Islam) di masa depan.
D.
Pendekatan dan Metode Penelitian
Buku ini menggunakan
pendekatan metode historis dan komparatif. Berangkat dari pemahaman teori
politik Barat dan sejarah, penulis mencoba menghindari asumsi bahwa variabel
budaya politik sebagai faktor utama dalam menjelaskan ketiadaan demokrasi dalam
dunia Islam dan hubungan sebab-akibat sederhana antara perubahan budaya politik
dan demokratisasi (Hashemi, 2011:18). Tetapi asumsi yang dibangun adalah
variabel historis, struktural dan kultural yang menjelaskan rintangan-rintangan
bagi demokrasi di negara-negara berkembang. Eksplorasi konteks ekonomi, sosial
politik, militer dan internasional mempengaruhi proses demokratisasi. Kuncinya
adalah modernisasi sosial-ekonomi (ditandai dengan industrialisasi, komunikasi
massa, melek huruf PDB yang tinggi), struktur kelas (kelas menengah yang
mencukupi dan borjuasi yang independen), budaya politik yang demokratis
(norma-norma budaya, nilai-nilai, kepercayaan yang membentuk perilaku politik).
Buku ini fokus
pada 3 negara dengan penduduk mayoritas muslim yakni Iran, Turki dan Indonesia
untuk mendukung teori tentang hubungan dan dinamika demokrasi liberal dan agama.
Dengan menggunakan pendekatan yang mensyaratkan ilmu perbandingan politik
(modernitas politik di dunia non-Barat dengan teori sosial Barat) untuk
menutupi kelemahan teori mengenai Islam dan demokrasi.
Pandangan Barat
mengenai Islam dan citranya mengalami kekeliruan karena mengacu peristiwa 11
September 2001. Sementara Islam juga kurang tertarik pada pembahasan demokrasi
liberal yang pada dasarnya mensyaratkan sebentuk sekularisme. Dikarenakan salah
tafsir, keduanya jarang menemukan titik kompromi. Maka sangatlah diperlukan
adanya pembahasan sejarah demokrasi dan teori sosial yang berkembang baik di
Barat maupun di Islam sendiri, penafsiran ulang mengenai sekularisme, dan
realita Islam di ranah politik.
Selama ini,
fundamentalisme Islam tidak banyak berhubungan dengan esensi keagamaan, tetapi
dengan laju modernitas dan pergolakan sosial yang berjalan seiring perubahan
masyarakat tradisional yang berlangsung cepat. Radikalisme agama menandai
transisi antara tradisi dan modernitas sekaligus menjadi awal mula demokrasi
liberal berasal. Demokrasi liberal kontemporer secara historis merupakan
pengembangan teori menjadi teori perkembangan politik. Dinamika demokrasi
liberal menyediakan tempat untuk mengatur dan melembagakan manajemen konflik. Di
banyak negara, biasanya sumber konflik utama adalah peran agama dalam
masyarakat. Sehingga membutuhkan negosisasi politik sebelum terjadinya
kesepakatan mengenai relasi antara agama dan pemerintahan. Berangkat dari
masalah inilah Nader Hashemi mencoba mengurai sejarah perkembangan demokrasi
liberal versi Barat dan dinamikanya yang menggunakan sekularisme, sebagai
pembanding dan realita demokrasi liberal di negara-negara Islam yang
menggunakan moral politik sebagai pedoman dinamika politiknya.
Pada akhirnya,
penelitian ini juga dapat menyadarkan ilmuwan Barat bahwa dalam melihat
demokrasi liberal di negara-negara Islam juga diperlukan sisi lain yaitu
realita agama dan sikap agama dalam mentolerir sekularisme di negara-negara
tersebut. Sehingga tidak terjadi lagi sebuah istilah genaralisasi paradigma
bahwa Islam sepenuhnya menolak demokrasi liberal.
E.
Hasil Temuan Penelitian
Bab 1 Menuju Teori Demokrasi: Masyarakat Muslim
Modernitas, Globalisasi, Peran Agama dan Demokrasi
Menurut teori
modernitas, seiring dengan masyarakat yang semakin maju dan mengganti ekonomi
berbasis agraris menjadi industri, sehingga terjadilah spesialisasi pekerjaan
dan peningkatan pendapatan. Yang pada akhirnya berdampak pada peran gender,
penurunan tingkat kelahiran dan partisipasi politik yang lebih besar (Hashemi,
2011:45). Sementara perubahan sosial yang terjadi di negara-negara berkembang
bukan berasal dari tradisi melainkan hasil dari kolonialisme dan imperialisme
Eropa yang bersekutu dengan elite lokal.
Menurut
teori-teori modernisasi, yang menghambat pembangunan di Asia, Afrika dan Timur
Tengah adalah karena masyarakatnya terlalu tradisional sehingga perlu
penggantian pola-pola pemikiran, kepercayaan, kebiasaan dan adat tradisi dengan
pemikiran rasional-sekuler (Hashemi, 2011:46). Sebab selama ini, Barat menganggap
agama sebagai promotor takhayyul dan lebih berorientasi ukhrawi (Hashemi,
2011:47).
Demokrasi dan
hak asasi manusia di Barat tidak lahir dari dokumen namun dari perjuangan
sosial. Khususnya dari politik yang penuh persaingan dan perselisihan di mana
agama sebagai titik pusat konflik (Hashemi, 2011:58). Sementara menurut Bernard
Lewis, pengalaman politik di Timur Tengah di bawah khalifah dan sultan
adalah otokrasi yang tak bisa diselamatkan, di mana kepatuhan kepada yang
berdaulat adalah kewajiban agama maupun politis dan ketidakpatuhan adalah dosa
dan kejahatan (Hasyemi, 2011:60). Menurut Ernest Gellner, kebangkitan
fundamentalisme Islam di akhir abad 20 adalah representasi otentik dari
totalitas dalam masyarakat muslim. Secara historis, fundamentalisme modernis
(westernisasi) lebih dahulu muncul daripada fundamentalisme Islam. Contohnya
Reza Fahlevi di Iran dan Kemal Attaturk di Turki. Musuh dari fundamentalis
adalah sekularisme yang materialistis, sehingga produk-produknya dianggap sesat
karena merupakan hasil bid’ah (Hashemi, 2011:64). Selain itu, dia
memiliki musuh seagama yaitu mereka yang pluralis. Fundamentalisme yang awalnya
berperan memberikan sumbangsih pada perkembangan politik, akan menjadi problem
jika hanya dianggap sebagai fenomena doktrinal belaka (Hashemi, 2011:84).
Globalisasi
menggiring terjadinya transformasi masyarakat menuju kelompok individualistis
selama 2 abad terakhir. Dengan ditandai lemahnya otoritas orang tua,
materialistis, pertanyaan dan penolakan pada otoritas agama, adiktif terhadap
NAPZA, meningkatnya tingkat perceraian dan kriminalitas, dan mewabahnya
penyakit neurologis. Yang kemudian tanda-tanda ini disebut bencana modernitas. Modernitas
yang diusung tidak selalu mengarah pada demokrasi, pluralisme dan penghormatan
hak asasi manusia. Namun bisa saja ada kekuatan lain di sekitarnya seperti
komunisme para petani dan fasisme dari para revolusioner konservatif.
Agama di masa
kini dicari untuk menjawab arti menjadi moderen dan meyakinkan pandangan hidup
bersama. Barat dalam hal ini memerlukan proses selama sekian ratus tahun untuk
membangun institusi sekuler dan demokratis melalui proses trial and error
(meliputi reformasi Protestan, kontra-reformasi, perang agama, kekerasan
politik dan agama, genosida, revolusi industri, eksploitasi buruh, kelahiran
nasionalisme dan perang dunia I dan II. Sementara Islam sedang mengalami
pencipta stabilitas dan terus bertambah dengan peningkatan penerbitan,
urbanisasi dan interdepedensi ekonomi, nemun modernitasnya lebih bersifat
imitasi karena berkiblat pada Barat.
Munculnya
gerakan puritan biasanya diawali dengan keterdesakan pencarian identitas baru
setelah memutus diri dari tradisi pedesaan dan pembebasan diri di tengah
pembusukan tradisi. Kemudian mereka membangun organisasi, mendidik disiplin
diri sebagai pengkhususan dari Tuhan lalu berperan aktif dalam reformasi
politik. Mereka dinilai lebih aktif daripada kaum tradisionalis (Hashemi,
2011:73).
Gerakan islamis
memiliki histori yang sama dengan kaum puritan yaitu berasal dari pedesaaan dan
kota-kota kecil, dengan bonus pendidikan yang tinggi. Contohnya Mesir di tahun
2001-2002 (sekitar 1,5 juta mahasiswa) (Hashemi, 2011:81). Akibat dari
pendidikan yang tinggi inilah, mereka merasakan frustasi, gelisah pada keadaan
politik di negerinya (Hashemi, 2011:82). Tatanan lama yang memicu kekacauan
akan dinetralkan oleh aktor-aktor keagamaan dalam hal moral politik. Tetapi
ulama yang gagal dalam kepemimpinan moral akan menjadi musuh bagi kaum
radikalis yang bertugas untuk menyelamatkan diri atau disebut mukmin individualis
(Hashemi, 2011:87). Gerakan pembebasan seperti ini menyentuh media massa dan
pendidikan massal. Hal objektifikasi (kembali pada tradisi) ini juga memperkuat
demokrasi liberal yang positif (Hashemi, 2011:88). Korupsi yang merajalela,
membuat para islamis membedakan diri dengan hidup sederhana. Media massa
dijadikan sebagai sarana menantang monopoli politik yang sudah mapan.
Kekecewaan akan kemerdekaan politik yang tidak membawa serta kemerdekaan
individu, kemerdekaan dari intervensi Barat, keadilan sosial dan kesejahteraan
ekonomi yang merata, menjadi sebab mengapa para islamis bergerak (Hashemi,
2011:91).
Bab 2 Dua Kitab Suci yang Berlawanan: Teori Demokrasi John Locke
Teori yang
dipopulerkan oleh John Locke lebih komprehensif dan realistis dibandingkan
teori J.J. Rosseau. Dialah penggagas demokrasi modern (Hashemi, 2011:109).
Semua argumennya mengenai kebebasan suara hati dan keyakinan, merupakan basis
moral politik yang legitim. Keluarga, persetujuan, hak milik dan kesetaraan
muncul dari teologi politik yang berakar dari penafsiran ulang kekristenan
(Hashemi, 2011:110). John Locke adalah pecinta ilmu pengetahuan yang hidup di
masyarakat relijius (berlatang belakang puritan). Dia tidak menginginkan
tradisi berbenturan dengan modernitas. Baginya, semua hal yang tak bertentangan
dengan hukum moral, semua subjek harus menaatinya demi hukum Ilahi yang
dinyatakan dalam hukum pesemakmuran. Urusan agama yang hakiki adalah mengatur
kehidupan manusia sesuai aturan-aturan relijiusitas dan ketakwaan. kemajuan
kerajaan Allah akan berhasil jika imoralitas dicabut dari diri manusia. Orang
yang percaya pada toleransi, perdamaian dan penyebaran wahyu Kristus secara
damai adalah seorang Kristen yang baik (Hashemi, 2011:123).
Fondasi standar
dalam mengukur legitimasi moral pemerintah adalah firman Tuhan. Bahwa bumi
dianugerahkan pada manusia secara umum, bukan untuk para raja saja sebab
seluruh manusia itu bebas dan setara.
Kondisi Demokrasi Iran
Kondisi Iran
pasca Khomeini meninggal, kritik demokratis mengenai otoritarianisme ulama’
yang muncul dilahirkan oleh para intelejensia relijius yang berpengaruh. Baik
itu seniman maupun agamawan yang berakar budaya politik mendalam, dengan upaya
untuk mereorientasikan pada arah yang liberal dan demokratik. Sehingga berimbas
pada kuatnya pondasi filosofis bagi gerakan reformis yang memenangkan Muhammad
Khatami (1997 dan 2001). Ayatullah Saanei, memajukan ide-ide kesetaraan antara
laki-laki dengan perempuan, antara Muslim dengan non-Muslim. Dia secara halus
memotivasi untuk menggunakan demokrasi sebab dia adalah reformis yang berasal
dari kelompok minoritas yang merasa ada penindasan oleh pemerintah kepada
rakyatnya melalui para pemimpin relijius tetapi menipu (Hashemi, 2011:149).
Kalangan reformis di Iran selalu berhadapan dengan kalangan konservatif sebab
bagi kalangan konservatif, reformis tak akan mampu menyelamatkan Islam melalui
liberalisme dan toleransi (Hashemi, 2011:150). Mereka menganggap bahwa semakin
bodoh masyarakat maka semakin selamat dan terlindungi agama itu. Ayatullah Ali
Akbar Meshkini, Ayatullah Ahmad Azari-Qumi dan Ayatullah Khomeini adalah
representasi dari pemimpin yang dianalogikan dengan teori Filmer yang mana
menyatakan pemimpin dapat berlaku otoriter pada rakyatnya karena menganggap
dirinya adalah pemimpin ulama’ tertinggi.
Bab 3Anatomi Ringkas Sekularisme
Sekularisasi
adalah proses mengurangi pengaruh agama; keduniawian (Hashemi, 2011:173). Cara
berpikir tentang sekularisme adalah dengan 3 disiplin ilmu yakni sosiologi
(modernisasi yakni penurunan pengaruh agama dalam institusi sosial, kehidupan
masyarakat dan muamalah), filsafat (penolakan terhadap yang transenden dan
metafisik, fokus pada yang bersifat eksistensial dan empiris), dan politik
(pemisahan ruang publik dan privat, antara agama dengan negara) (Hashemi,
2011:175).
Masyarakat
non-Barat dapat membangun sekularisme versinya sendiri sebab sekularisme itu
bersifat jamak. Di Prancis, negara aktif dalam mengatur kehidupan yang
baik/kegiatan keagamaan. Sementara di Amerika, kebebasan beragama lebih
diutamakan sehingga akan muncul kecurigaan jika negara mengatur kegiatan
keagamaan (Hashemi, 2011:183). Secara historis, Prancis mengalami revolusi
dengan melawan agama sementara Amerika mengalami revolusi dengan semangat beragama.
Menurut Rorty,
demokrasi liberal hanya dapat dipertahankan jika para penganut agama tetap mau
menerima privatisasi dengan jaminan kebebasan beragama. Baginya, lembaga agama
di atas tingkat jemaat lain yang melakukan banyak kerusakan, menciptakan
kebencian terhadap masyarakat, amoral dan meraih pengaruh ekonomi politik
melalui penyebaran ortodoksi (Hashemi, 2011:195-196).
Syarat
institusional demokrasi yaitu bebas membentuk dan bergabung dalam organisasi,
berekspresi, menduduki jabatan publik, bersaing untuk mendapatkan suara, adanya
sumber informasi alternatif, pemilu yang bebas dan adil, adnya institusi
pembuat kebijakan berdasrkan suara dan wujud preferensi lain (Hashemi,
2011:200). Tetapi Alfred Stepan berpendapat dalam ‘teori toleransi kembar’nya,
setiap warga wajib menghormati hak warga yang lain, memiliki hak untuk ikut dalam
perumusan kebijakan publik. Kelompok keagamaan diberikan ruang publik untuk
kepentingan mereka selama tidak merusak kebebasan yang lain. Jika terbukti
merusak, maka diserahkan kepada pengadilan untuk diberikan pembatasan. Mereka
juga diberi ruang beribadah secara privat. Teori ‘toleransi kembar’ ini tidak
bermakna peyoratif dibanding dengan istilah sekularisme. Menurut Jonathan Fox,
kebanyakan negara demokrasi tidak memiliki pemisahan antara agama dengan negara
(Hashemi, 2011:204).
Bab 4 Sekularisme dan Penolakannya di Masyarakat Muslim
Modernisasi di
dunia Islam selama ini disinonimkan dengan dengan kediktatoran, penindasan,
korupsi, ketidakadilan sosial. Sekularisme menghasilkan ketidakadilan,
immoralitas, penyalahgunaan kekayaan publik, penindasan terhadap minoritas dan
konflik antar etnis/suku. Modernisasi belum diimbangi dengan transformasi yang
sesuai dengan budaya politik Muslim. Sekularisme dianggap sama dengan atheis,
irrelijius, pengertian yang didapat dari hasil kolonialisme dan imperialisme
selama dua ratus tahun yang lalu (citranya begitu buruk di mata Islam). Sering
juga citra sekularisme diperburuk dengan intervensi Barat dan melalui
kebijakannya. Contohnya AS untuk Shah Iran di tahun 1953-1979, Prancis untuk
junta militer Aljazair, Barat untuk partai Fatah sekular di Palestina, invasi
AS ke Iraq di tahun 2003, pelarangan hijab di Prancis yang ditujukan khusus
kepada Muslimah; bukan untuk Sikh, Yahudi maupun Kristen.
Iran dalam hal
sekularisme pernah gagal dalam konsolidasi demokrasi liberal di dalam
masyarakat. Sebab melakukannya dari atas ke bawah secara pemaksaan. Sehingga
hal ini menjadi cerminan buruk sekularisme. Contohnya saja aktivis politik
Islam yang mengalami penindasan di tangan pemerintah nasional sekuler. Maka
sekularisme dianggap sebagai ideologi penindasan. Fundamentalisme menganggap
sekularisme adalah penghancuran Islam (Hashemi, 2011:225). Di dunia Islam,
sekularisasi mendahului reformasi agama sehingga menempatkan Islam sebagai
antitesis Barat.
Para
intelektual Muslim seperti Yusuf Qardhawi dan Muhammad Imarah dari Mesir, Syed
Naquib al-Attas dari Malaysia menolak kata sekular berkecambah di dunia politik
Islam. Tokoh politik seperti Mahmoud Abbas dari Palestina, Jalal Talabani dari
Iraq, Najib Razak dari Malaysia merupakan tokoh politik yang menolak sekularisme
(Hashemi, 2011:232-233).
Para
intelektual Muslim dan partai politik di Indonesia dan Turki, dengan hubungan
yang kuat dengan masyarakat sipil, telah mendamaikan teologi politik dengan
sekularisme. Hal ini adalah prasyarat dalam konsolidasi demokrasi liberal di
dalam masyarakat. Di Turki dan Indonesia, ada peran sentral yang dilakukan oleh
intelektual Muslim dan partai politik dalam memajukan demokrasi liberal (Hashemi,
2011:241). Konsep khilafah dan supremasi syari’at Islam tidak popular di
dua negara tersebut.
Di Turki,
gerakan sekular tegas terhadap gerakan Islam. Dia diusung oleh militer yang
dekat dengan masyarakat sipil secara psikologis (penanganan bencana), otonom
dari kontrol negara, dan didukung pula oleh asosiasi masyarakat sipil seperti Fethullah
Gulen yang mengajukan pemahaman iman yang modern, demokratis dan sekular (Hashemi,
2011:245). Kesadaran agama dilibatkan dalam praktek sosial dan istitusi. Hal
inilah yang membuat sekularisme politik telah mendamaikan keyakinan mereka.
Di Indonesia,
wajah politik agamanya adalah toleran, demokratis, pluralis dan orientasi
sekular serta adanya keseimbangan kekuasaan negara dan masyarakat. Ormas sipil
Muslim menyediakan promosi toleransi, sosialisasi demokrasi, dan menambah
jumlah bagi aspirasi reformis, serta melakukan kampanye anti korupsi/melawan
praktek KKN (Hashemi, 2011:249). Reformasi Islam terjadi saat modernisasi
sekolah pendidikan Islam, munculnya kelas menengah baru dan pengiriman
mahasiswa ke universitas negara moderen. Nurcholis Madjid, seorang intelektual
Muslim Indonesia menegaskan bahwa pembaharuan lewat pembebasan diri dari
nilai-nilai tradisional dan pencarian nilai-nilai yang dinamis itu sangat
diperlukan. Dia menyerukan sikap desakralisasi terhadap apa yang selain Allah, yaitu
dunia, masalah dan nilai-nilai yang berkaitan dengannya (Hashemi, 2011:253).
Refleksi dan Saran
Islam liberal menanggapi isu-isu moderen seperti Marxisme,
sosialisme, liberalisme, orientalisme, sekulerisme politik global dan
ketimpangan dari penerapan modernisasi di dunia ketiga. Akan tetapi, dia
memiliki kritikan bahwa dia bukanlah identitas sejati dari Islam jika dia
mendasarkan pada ideologi liberalisme Barat. Terlepas dari fakta tersebut,
seharusnya Islam sebagai agama hingga akhir zaman mampu bijaksana terhadap
isu-isu moderen seperti paham-paham di atas. Agar dia mampu memahami, meneliti
dan mengambil manfaatnya demi studi multikultur di masa depan. Atau dapat
diartikan, Islam itu dinamis dan mewadahi seluruh paham untuk kemudian
diperbaiki dampak buruknya dan menyempurnakan keunggulan daripadanya. Dan
berkat itu semua, tidak lain bertujuan untuk kemaslahatan ummat kini dan masa
depan.
Saran
penyusun makalah kepada pembaca semuanya adalah mari kita bersama-sama
melakukan tindakan belajar, memahami makna falsafah negara, dan keislaman! Agar
kita semakin terarah dalam mensinergikan keduanya demi tercapainya masyarakat
madani yang dicita-citakan oleh founding father kita.
Daftar pustaka
Baidhawy, Zakiyuddin.
2011. Studi Islam: Pendekatan dan Metode. Jogjakarta: Insan Madani.
Hashemi, Nader.
2011. Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi
dalam Masyarakat Muslim. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar