SANG MALAIKAT PENJAGA CINTA
Ana berjalan menyusuri rel kereta api ini hanya demi sesuap nasi.
Ia berjalan sendiri tanpa penunjuk jalan. Ia hanya menatap ke depan, ke satu
titik yang semakin lama merabunkan matanya yang sayu, kurang makan. Tiba-tiba
ia melihat sebuah mutiara bagi perutnya yang mungil itu, sebungkus nasi yang
sudah dikerubungi oleh lalat-lalat hijau tak berdosa. Ia menghampirinya dan
mencoba mengusir lalat-lalat dari nasi rames itu. Ia menangis mengingat masa
kecilnya yang bahagia diantara dua orangtua yang selama ini membesarkannya.
Tetapi apa yang ia dapat sekarang? Hanyalah kehinaan di tengah keramaian kota
metropolitan.
Ana mengunyah nasi yang sudah basi itu dengan perasaan yang kaku.
Seakan mulutnya ingin muntah sekuat-kuatnya. Ia memandang sekeliling. Ilalang
menari di depan wajahnya yang sendu. “Heh, andaikan aku seperti ilalang-ilalang
itu, pasti aku akan bahagia tertiup angin dan terbang ke negeri-negeri yang aku
sukai.” Katanya lunglai seraya membuang bungkusan yang telah ia habiskan isinya
sedari tadi. Ia melihat sebuah mobil Toyota melintasi rel kereta. Anak itu
melambaikan tangannya sambil bernyanyi, “Ilalang-ilalang, benar nasibku
malang…Ilalang-ilalang, sejak dulu ku ditendang orang”.
Nyanyiannya tersedot oleh bayu yang berhembus di pesawahan sehingga
hening kembali menyelimuti anak itu. Ana kembali berjalan seusai menghabiskan
nasi. Berjalan menuju sudut kota yang kotor dan kumuh. Sendirian. Mega merah
diselimuti mendung tipis terukir di angkasa. Adzan maghrib pun berkumandang
mesra. Menyejukkan kalbu yang lena oleh kesibukan dunia.
********************
Bapak Muslim Abdul Ghofur adalah seorang pendakwah yang aktif di
sebuah yayasan pendidikan islam model (Ahbaabun Nabawy) di Kota
Surakarta. Ia sangat ramah kepada semua orang. Baik itu anak-anak, remaja
bahkan pada orang yang lebih tua, kenal ataupun tidak ia selalu menyapa, sapa
dan senyum. Meski usianya masih muda, tetapi ia sangat dihormati oleh warga
kampung. Dulunya waktu masih kuliah, ia aktif dalam UKM dakwah. Ia aktif
berdakwah sejak kuliah hingga sekarang ia sudah memiliki yayasan ilmu yang
dikelola bersama masyarakat sekitar. Santrinya mencapai ratusan. Ia mendirikan
yayasan itu dengan niat menyekolahkan anak-anak yatim kampung dan para pengamen
jalanan agar kelak menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. Kini yang nyantri
di yayasannya tidak hanya dari kalangan menengah ke bawah akan tetapi juga
anak-anak pejabat daerah dan pusat. Rencananya, yayasan itu akan meraih ISO
pada tahun ini.
Pak Abdul Ghofur masih sering keliling Stasiun Balapan untuk
mengajak para gelandangan remaja agar ikut belajar di yayasannya, sebuah
yayasan yang ia kelola bersama para tetua dan rohis gabungan dari
sekolah-sekolah sekitar dan para aktifis dakwah dari kampus Surakarta. Mereka
yang disekolahkan disana akan mendapat fasilitas pendidikan gratis hingga SMA.
Hari ini sama seperti hari biasanya, ia mencari gadis kecil yang kemarin
berlari saat ia hendak menghampirinya.
************
Ilalang berhenti bergoyang, awan pun kelabu. Gadis kecil yang
selalu berada di rel kereta api itu tidak ada. Pak Abdul Ghofur menyusuri rel
itu hingga ujung terminal, namun
tidak ada yang didapatinya kecuali hanyalah
angin kaku. Maka setelah menyusuri jalan sempit di kerumunan pemukiman kumuh,
ia menemukan baju yang terkoyak. Baju yang sering dikenakan oleh gadis kecil.
Pak Abdul Ghofur pun menggigil dan terhuyung-huyung langkahnya. Air matanya
mengalir, “Kemana kamu nduk, masa depanmu masih panjang. Aku ingin
melihatmu sekolah hingga SMA.” Katanya seraya menyingkirkan baju itu ke tempat
sampah.
“Bapak mencari apa disini?” kata seseorang di belakangnya. Bapak
abdul pun menoleh. Ternyata suara itu berasal dari seorang nenek yang biasa
mengemis lampu hijau. “Oh, nenek. Nenek tahu anak kecil yang suka berjalan
menyusuri rel kereta api itu?” “Gadis kecil itu?” “ Ya, nek. Seorang gadis yang
biasa mengenakan baju itu.” Kata Pak Abdul seraya menunjuk pada tempat sampah
yang penuh sampah organik.
“Ana sekarang pindah ke bawah jembatan sejak tiga hari yang lalu.”
“Oh, jadi namanya Ana.” Gumam Pak abdul. “Baik, terimakasih nek. Boleh antar
saya ke bawah jembatan nek?” “Jembatannya tidak jauh dari sini nak. Kau tinggal
berjalan sejenak ke sisi timur, nanti kalau sudah ketemu dengan kali, kau akan
lihat jembatan.” “Jembatan di atas kali?” pikir Pak Abdul dalam hati. “Bukankah
itu berbahaya bagi anak seusia itu? Lagipula itu sangat dingin ketika malam.
Akankah gadis itu dapat menahan dingin dan bertahan hidup disana?” Sejumlah
bayang-bayang hitam mengitari pikiran Pak Abdul. “Kalau begitu saya kesana
dulu, nek. Terimakasih atas petunjuknya.” “Sama-sama, nak.” Jawab nenek sambil
tersenyum ramah.
Setelah menyisir jalan, akhirnya ketemu juga kali itu. Ada sebuah
seng-seng ditata rapi di bawah sungai. Tidak seperti yang ada di pemukiman
tadi. Pak abdul melihat gadis itu sedang menjemur pakaiannya sendiri. “Hai, Saya
Abdul. Mana Orang tuamu, nduk?” gadis itu terkejut dan segera berlari ke
gubug, seraya mengintip dari celah-celah seng yang bolong dimana-mana itu.
“Buat apa kau cari mereka? Mereka sudah pergi jauh! Mereka tidak peduli Ana.”
Teriak gadis itu sambil menangis terisak. “Nduk, keluarlah barang
sebentar, saya pengen bicara sama kamu.” Kata Pak Abdul dengan sabarnya.
Semula Ana mundur-mundur, tetapi melihat sikap pak Abdul yang tidak
mencurigakan dan tenang membuat Ana keluar juga.
“Aku takut, om. Takut mereka.” Katanya polos. “Sudahlah, mereka
sudah jauh kan? Saya mau Tanya, kamu pagi ini tidak sekolah?” Tanya Pak Abdul.
“Aku sudah lama tidak sekolah, om. Sejak mereka berpisah.”
“Oh begitu, ngomong-ngomong kamu pengen nggak sekolah lagi?”
kata Pak Abdul sambil membelai jilbab kecil Ana.
“Emm, emm,,gimana ya, om. Buat
makan aja aku harus ngamen di stasiun. Boro-boro mau makan dan sekolah.”
Katanya dengan tawadlu’nya. Dalam benak, Pak abdul berkata, “Anak
segini sudah sekritis itu, hebat.”
“Ya udah, gimana kalau ikut om ke saung pinggir kota, disana
teman-temanmu belajar bersama.”
“Emm, terus gubug ini yang
jaga siapa om?”
“Kamu boleh kesini tiap
sore, gimana?”
“Aku.,,boleh deh..” Tangan Pak Abdul meraih tangan kecil itu,
menyusuri jalan sempit bergang-gang di sekitar Stasiun Tirtonadi. Lalu masuk ke
mobil. Mobil melesat ke pinggir kota. Mega di ufuk memerah. Adzan maghrib
berkumandang, mengisi sanubari. Mengangungkan asma Allah. Sejuk di telinga. Subhanallah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar