Sabtu, 30 September 2017

catatan harian Muslim

SANG MALAIKAT PENJAGA CINTA
Ana berjalan menyusuri rel kereta api ini hanya demi sesuap nasi. Ia berjalan sendiri tanpa penunjuk jalan. Ia hanya menatap ke depan, ke satu titik yang semakin lama merabunkan matanya yang sayu, kurang makan. Tiba-tiba ia melihat sebuah mutiara bagi perutnya yang mungil itu, sebungkus nasi yang sudah dikerubungi oleh lalat-lalat hijau tak berdosa. Ia menghampirinya dan mencoba mengusir lalat-lalat dari nasi rames itu. Ia menangis mengingat masa kecilnya yang bahagia diantara dua orangtua yang selama ini membesarkannya. Tetapi apa yang ia dapat sekarang? Hanyalah kehinaan di tengah keramaian kota metropolitan.
Ana mengunyah nasi yang sudah basi itu dengan perasaan yang kaku. Seakan mulutnya ingin muntah sekuat-kuatnya. Ia memandang sekeliling. Ilalang menari di depan wajahnya yang sendu. “Heh, andaikan aku seperti ilalang-ilalang itu, pasti aku akan bahagia tertiup angin dan terbang ke negeri-negeri yang aku sukai.” Katanya lunglai seraya membuang bungkusan yang telah ia habiskan isinya sedari tadi. Ia melihat sebuah mobil Toyota melintasi rel kereta. Anak itu melambaikan tangannya sambil bernyanyi, “Ilalang-ilalang, benar nasibku malang…Ilalang-ilalang, sejak dulu ku ditendang orang”.
Nyanyiannya tersedot oleh bayu yang berhembus di pesawahan sehingga hening kembali menyelimuti anak itu. Ana kembali berjalan seusai menghabiskan nasi. Berjalan menuju sudut kota yang kotor dan kumuh. Sendirian. Mega merah diselimuti mendung tipis terukir di angkasa. Adzan maghrib pun berkumandang mesra. Menyejukkan kalbu yang lena oleh kesibukan dunia.
********************
Bapak Muslim Abdul Ghofur adalah seorang pendakwah yang aktif di sebuah yayasan pendidikan islam model (Ahbaabun Nabawy) di Kota Surakarta. Ia sangat ramah kepada semua orang. Baik itu anak-anak, remaja bahkan pada orang yang lebih tua, kenal ataupun tidak ia selalu menyapa, sapa dan senyum. Meski usianya masih muda, tetapi ia sangat dihormati oleh warga kampung. Dulunya waktu masih kuliah, ia aktif dalam UKM dakwah. Ia aktif berdakwah sejak kuliah hingga sekarang ia sudah memiliki yayasan ilmu yang dikelola bersama masyarakat sekitar. Santrinya mencapai ratusan. Ia mendirikan yayasan itu dengan niat menyekolahkan anak-anak yatim kampung dan para pengamen jalanan agar kelak menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. Kini yang nyantri di yayasannya tidak hanya dari kalangan menengah ke bawah akan tetapi juga anak-anak pejabat daerah dan pusat. Rencananya, yayasan itu akan meraih ISO pada tahun ini.
Pak Abdul Ghofur masih sering keliling Stasiun Balapan untuk mengajak para gelandangan remaja agar ikut belajar di yayasannya, sebuah yayasan yang ia kelola bersama para tetua dan rohis gabungan dari sekolah-sekolah sekitar dan para aktifis dakwah dari kampus Surakarta. Mereka yang disekolahkan disana akan mendapat fasilitas pendidikan gratis hingga SMA. Hari ini sama seperti hari biasanya, ia mencari gadis kecil yang kemarin berlari saat ia hendak menghampirinya.
************
Ilalang berhenti bergoyang, awan pun kelabu. Gadis kecil yang selalu berada di rel kereta api itu tidak ada. Pak Abdul Ghofur menyusuri rel itu hingga ujung terminal, namun
tidak ada yang didapatinya kecuali hanyalah angin kaku. Maka setelah menyusuri jalan sempit di kerumunan pemukiman kumuh, ia menemukan baju yang terkoyak. Baju yang sering dikenakan oleh gadis kecil. Pak Abdul Ghofur pun menggigil dan terhuyung-huyung langkahnya. Air matanya mengalir, “Kemana kamu nduk, masa depanmu masih panjang. Aku ingin melihatmu sekolah hingga SMA.” Katanya seraya menyingkirkan baju itu ke tempat sampah.
“Bapak mencari apa disini?” kata seseorang di belakangnya. Bapak abdul pun menoleh. Ternyata suara itu berasal dari seorang nenek yang biasa mengemis lampu hijau. “Oh, nenek. Nenek tahu anak kecil yang suka berjalan menyusuri rel kereta api itu?” “Gadis kecil itu?” “ Ya, nek. Seorang gadis yang biasa mengenakan baju itu.” Kata Pak Abdul seraya menunjuk pada tempat sampah yang penuh sampah organik.
“Ana sekarang pindah ke bawah jembatan sejak tiga hari yang lalu.” “Oh, jadi namanya Ana.” Gumam Pak abdul. “Baik, terimakasih nek. Boleh antar saya ke bawah jembatan nek?” “Jembatannya tidak jauh dari sini nak. Kau tinggal berjalan sejenak ke sisi timur, nanti kalau sudah ketemu dengan kali, kau akan lihat jembatan.” “Jembatan di atas kali?” pikir Pak Abdul dalam hati. “Bukankah itu berbahaya bagi anak seusia itu? Lagipula itu sangat dingin ketika malam. Akankah gadis itu dapat menahan dingin dan bertahan hidup disana?” Sejumlah bayang-bayang hitam mengitari pikiran Pak Abdul. “Kalau begitu saya kesana dulu, nek. Terimakasih atas petunjuknya.” “Sama-sama, nak.” Jawab nenek sambil tersenyum ramah.
Setelah menyisir jalan, akhirnya ketemu juga kali itu. Ada sebuah seng-seng ditata rapi di bawah sungai. Tidak seperti yang ada di pemukiman tadi. Pak abdul melihat gadis itu sedang menjemur pakaiannya sendiri. “Hai, Saya Abdul. Mana Orang tuamu, nduk?” gadis itu terkejut dan segera berlari ke gubug, seraya mengintip dari celah-celah seng yang bolong dimana-mana itu. “Buat apa kau cari mereka? Mereka sudah pergi jauh! Mereka tidak peduli Ana.” Teriak gadis itu sambil menangis terisak. “Nduk, keluarlah barang sebentar, saya pengen bicara sama kamu.” Kata Pak Abdul dengan sabarnya. Semula Ana mundur-mundur, tetapi melihat sikap pak Abdul yang tidak mencurigakan dan tenang membuat Ana keluar juga.
“Aku takut, om. Takut mereka.” Katanya polos. “Sudahlah, mereka sudah jauh kan? Saya mau Tanya, kamu pagi ini tidak sekolah?” Tanya Pak Abdul.
“Aku sudah lama tidak sekolah, om. Sejak mereka berpisah.”
“Oh begitu, ngomong-ngomong kamu pengen nggak sekolah lagi?” kata Pak Abdul sambil membelai jilbab kecil Ana.
 “Emm, emm,,gimana ya, om. Buat makan aja aku harus ngamen di stasiun. Boro-boro mau makan dan sekolah.” Katanya dengan tawadlu’nya. Dalam benak, Pak abdul berkata, “Anak segini sudah sekritis itu, hebat.”
“Ya udah, gimana kalau ikut om ke saung pinggir kota, disana teman-temanmu belajar bersama.”
 “Emm, terus gubug ini yang jaga siapa om?”
 “Kamu boleh kesini tiap sore, gimana?”

“Aku.,,boleh deh..” Tangan Pak Abdul meraih tangan kecil itu, menyusuri jalan sempit bergang-gang di sekitar Stasiun Tirtonadi. Lalu masuk ke mobil. Mobil melesat ke pinggir kota. Mega di ufuk memerah. Adzan maghrib berkumandang, mengisi sanubari. Mengangungkan asma Allah. Sejuk di telinga. Subhanallah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar