1.
Pertemuan Dua Hati
(terinspirasi dari perjalananku 3 bulan lalu ke PP. Al-Husain,
Magelang)
Aku masih
teringat dengan kejadian lima tahun yang lalu ketika aku mendaftar di pesantren
ini. Ketika itu aku duduk di sekretariat dan melihat-lihat administrasi masuk
pesantren. Begitu banyak dan membuatku lemas. Birokrasi di Indonesia masih saja
berbelit-belit jika ingin menuju puncak kesuksesan. Ingin derajat diangkat? Ya
harus berjuang mati-matian guna mendapatkannya. Lalu yang kulakukan waktu itu
adalah berjuang melengkapi persyaratan baik yang administratif maupun akademis.
Semua kelar dalam kurun waktu seminggu. Alhamdulillah, alam masih
mendukungku untuk tetap bertahan di atas bumi ini.
Satu hal yang masih terus bersarang di otakku
adalah ketika itu pagi hari. Awan begitu sedikit di langit yang biru. Anginpun
berhembus sepoi pelan. Burung-burung lebih memilih berkicau di dahan pepohonan
yang rindang itu. Hawa waktu itu sedikit hangat, sehingga bunga-bunga sedia
untuk mekar. Aroma harum tercium sebentar-sebentar jika tertiup angin. Segar di
hidung yang sempit ini. Ada bidadari lewat: Neng Fatimah. Dia adalah cahaya
dalam hari ini. Kupu-kupu dengan sayap yang warna-warni. Seperti ingin
ditangkap saja. Dia bagaikan salju bersih yang belum mendarat ke tanah. Dialah
angin yang bersama awan kemanapun. Mungkin akulah awannya. Entah kenapa degub
jantung ini bertembah ritmenya dan aku bisa sepuitis ini padahal aku tidak
belajar sastra secara intens. Entahlah rasa cinta ini sepertinya yang akan
memperkuat segalanya di hidupku di hari-hari selanjutnya.
*******
Hari Senin
pagi, adalah awal dari aktivitas setiap manusia di bumi ini. Aktivitas apapun
mulai dari bermain bagi anak-anak PAUD, belajar bagi kaum pelajar dan
mahasiswa-santri, serta seorang pekerja yang seperti aku ini. Begitu pula bagi
dewan pengasuh PP. Al-Huda, mereka mengabdikan diri untuk mencerdaskan bangsa
demi persiapan masa depan negeri yang lebih baik. Hari Senin adalah hari
teristimewa bagiku. Karena dapat satu majelis ilmu dengan Neng Fatimah (hatiku
kala itu masih dipenuhi oleh ego rendah). Majelis tafsir hadits bersama Abah
Yai Rasyid. Mata pelajaran terfavorit di pesantrem bagi kami para santri yang
ingin mengkorelasikan dunia nyata dengan hukum-hukum klasik, atau menganalisa
hikmah yang terungkap dalam kisah-kisah riwayat Rasulullah sebagai pedoman
hidup dan pelita dalam berjuang di dunia ini.
Pagi ini cerah
berawan. Kata berita cuaca di TV saat aku sarapan setelah mengikuti majelis
ilmu. Ya, mungkin secerah hatiku saat ini. Aku bisa melihat sekilas wajah Neng
Fatimah yang lewat di dapur saat aku melahap masakan buatannya. Ini adalah
menu untuk calon suami, dan akan menguatkanku saat mengajar nanti hingga
sore hari. <pikirku kePDan kala itu>. Wajah ayu bersih yang
meneduhkan dan menundukkan nafsu itu sangat kurindui. Jilbab kurung berwarna
biru tua, favoritku. Wajah yang memancarkan cahaya bekas wudhu. Benar-benar
shalihah gadis satu ini. Jika aku bisa menjadi suaminya, pasti aku akan bahagia
dunia akhirat. Intinya, aku akan menjadi semakin baik pula berkat dukungannya.
Cinta adalah anugerah dari-Nya yang cukup besar bagiku. Jadi tak perlu kutolak
mentah-mentah dong.
Tetapi
pikiranku kembali mengakar, aku mah siapa atuh? Hanya debu yang siap
diterbangkan angin di padang sahara yang sangat luas. Bahkan jika disamakan
dengan debu neraka saja aku tak sebanding. Tidak berarti apa-apa jika
dibandingkan dengannya. Nyaliku kembali ciut dan kemudian aku perbanyak membaca
kalimah istighfar pada-Nya. Sang Maha Cinta. Aku harus banyak-banyak
refleksi, muhasabah dan memperbaiki akhlak dan ilmu agama serta bekal
diri jika ingin mendapatkan istri semulia dia, “ Ah Neng Fatimah… kamu
membuatku mabuk cinta.” Aku mulai mengigau karena aku sadar aku kesiangan. Baru
bangun dari tidur panjangku. Aku ingat semalam aku begadang bersama Kang
Sulaiman membahas masa depan bangsa dan agama ini. Aku berkesempatan tidur baru
pada pukul 02.00 WIB dini hari.
“Wah gawat, sudah
bakda shubuh!” teriakku saat terbangun kesiangan. Aku harus segera menarik
handuk dari tali jemuran pakaian menuju kamar mandi. Aku mandi, berwudhu,
menunaikan shalat shubuh di kamar dan menstater motorku (memanaskan mesinnya)
guna persiapan berangkat ke MI!” kataku tergesa-gesa mengambil sandal dari longan
kasur. <Bodoh, bodoh, bodoh! Dibodohi oleh mimpi tentang cinta abstrak!>
Bisik syetan mengejekku dari bilik hati sebelah kiri. Aku merengut sambil kembali
ke kamar untuk melipati selimut dan jaket tidur.
“MasyaAllah,
tidak ada yang berani membangunkanku!” teriakku kesal meski terdengar pelan
sambil melihat sekeliling. Para santri sudah siap dengan seragam SMP dan
SMKnya. Sementara aku yang diamanahi sebagai lurah kamar masih enak-enakan
tidur sedari tadi. Innalillah! Ini mah bukan pagi yang cerah, tetapi
awal dari sialnya aku kelak di akhirat. Pikirku mencaci diriku sendiri.
Beginilah jadinya jika terlalu dalam tenggelam dalam telaga merah jambu ketika
berdakwah di pesantren.
“Aku harus
bertaubat mulai sekarang. Kalau perlu taubat yang nashuha. Aku harus
selesaikan dulu tujuan impianku terdekat ini. Tidak boleh lagi terpikirkan oleh
abstraksi cinta.” Tekadku dalam hati. Aku berjalan ke motorku yang baru: Vixion.
Dalam shalat shubuhku tadi aku pasrah. Dalam do’aku aku memohon:
“Ya Allah Yang
Maha Pengampun, Ampuni dosa-dosa Hamba, hapus segala kesalahan Hamba, kuatkanlah
Hamba di jalan dakwah ini, tegarkanlah dan bersih hati dalam membentengi diri
dari hal-hal yang menggoyahkan terutama cinta ini! Karena hanya kepada Engkau
Hamba meratap dan memohon ampunan. Semoga ke depan lebih baik. Amiin.”
Aku mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahku yang masih tersisa bekas tidur
kesiangan. Aku kusut dan merasa tenang ketika mulai berdzikir “Ya Lathif”
sebanyak seribu kali sambil mengoperasikan motor ini ke jalanan yang padat
kendaraan. Tidak ada yang mengganggu meski aku
di keramaian. Semua kukembalikan
pada-Nya.
********
Suatu pagi, setelah
mandi dan sarapan jatah para santri berakhir, aku segera berjalan menuju ke
sekolah tempat aku mengajar, MI Al-Huda. Sebuah sekolah kecil dengan enam kelas
minimalis. Atau bisa dikatakan satu kelas rata-rata terdiri dari sepuluh anak.
Karena 80% murid adalah santri pesantren dan sisanya warga desa. Seperti
kebiasaan para santri, murid-murid yang kuajar mudah lelah dan mengantuk karena
jadwal mengaji juga dari siang hingga ashar. Kemudian lanjut madrasah
diniyah hingga jam 5 sore. Malamnya sehabis maghrib dan sehabis isya hingga
pukul 10 malam ada kajian kitab turats. Kemudian bakda shubuh juga
hingga pukul 6 pagi ada kajian tadabbur Al-Qur’an atau hadits tarbawi.
Padat sekali untuk porsi waktu kelas anak MI. Kebiasaan buruk lainnya adalah
seringnya mereka nyokor atau minimal memakai sandal ketika pembelajaran
berlangsung di kelas. Terkadang juga seragam yang dipakai tidak sesuai jadwal
dan alasannya sangat klasik: masih basah, baru dicuci tadi pagi. Bodoh kan? Belajar
manajemen waktunya gimana kalau seperti itu? Jadi jika menginginkan kemajuan
dari sekolah ini harus bertahap dan seorang guru harus ekstra bersabar jika
ingin menerapkan peraturan di sekolah ini.
Hari ini
pelajaran pertama adalah matematika. Anak-anak begitu antusias mengikutinya
karena mereka dituntut oleh pesantren untuk mendalami ilmu sains dan
matematika. Dan hal ini menjadi kurikulum wajib dari kemendikbud sejak lahirnya
UU Sisdiknas. Aku sangat bersemangat dalam mengajar mereka karena mereka juga
aktif menanggapi dan menjawab soal-soal yang ada dari soal yang mereka hadapi
sehari-hari. Bukan soal dari buku.
“Assalamu’alaikum!”
sapa seseorang di muka pintu. Wajahku menoleh pelan dan deg, jantungku berhenti
pelan sejenak. Kutatap mata bulat yang indah itu. Siapa dia?
“Wa’alaikum
salam warohmah…” jawab para murid serentak. Aku terkejut dan ikut di
belakang jawaban mereka. Ada murid baru. Matanya itu lho, indah banget.
“Mulai hari ini
Pak Hanif, ada murid pindahan dari kota. Ayo beri salam!” tutur kepala sekolah
kepadaku dan kepada gadis kecil itu. Kepala sekolah mengantarkannya ke dalam
kelas sambil tersenyum menggoda kepadaku.
“Selamat pagi
Pak guru! Perkenalkan nama saya Hajar Istiqamah” katanya fasih sekali. Dia
mulai perkenalan dan menyebutkan identitasnya hingga ada kalimat seperti ini:
“Aku sangat bahagia jika mempunyai kakak ipar yang suka belikan es krim tiap
harinya.”
<Ih, imut
sekali gadis satu ini>. Hatiku bergumam, <Kakak ipar? Berarti dia
mempunyai kakak perempuan dong. Siapa ya?>. Muncul dari belakang pintu
seorang kakak perempuan yang tidak asing bagiku. Neng Fatimah! Aku terbelalak
seakan tidak percaya kalau dia masih punya adik. Karena semenjak aku mendaftar
di pesantren ini, Bu Nyai Rohmah tidak pernah mengajak Nduk Hajar satu ini ke
kompleks pesantren. Tetapi setelah kuamati wajah Nduk Hajar ini kembar dengan
wajah kakaknya. Imut.
“Mohon
dibimbing adik saya, Pak Hanif” katanya seraya terenyum malu-malu.
<Ah, dia
memanggil namaku bukan profesiku. Betapa bahagianya diriku pagi ini! Ini adalah
kenangan termanis dalam hidup.> pekikku dalam hati, riang sekali.
“Iya, mbak!” jawabku teramat kikuk. Kepala
sekolah menangkap hal itu. Pipiku memerah dan konsentrasiku benar-benar pecah
hari itu. Hari yang tidak dapat kulupakan dalam seumur hidupku.
2.
Tadabbur yang Mengharukan
Aku baru sadar
setelah sekian lama ini menjalani studi di pesantren bahwa hidup itu
membutuhkan ilmu agama beserta perluasan dan pendalaman. Ini sudah tiga tahun
pertama aku studi di pesantren ini. Baru kali ini aku menikmati salah satu
pelajaran yakni tadabbur Al-Qur’an yang diajarkan oleh salah satu ustadz
yang bernama Dr. Karim, Lc. MA (lulusan S3 UGM yang juga mengajar sebagai dosen
tetap di UIN Semarang). Beliau yang merupakan anak sulung dari Abah Rasyid,
pemilik sekaligus pengasuh utama pesantren ini mampu menselaraskan tafsir
dengan realita kehidupan ditambah lagi beliau mampu menggunakan alat peraga dan
hasil penelitian di jaman kini. Penjelasannya juga sangat rinci bahkan hingga
tafsir per kata setiap ayatnya dengan pendekatan multi bidang ilmu. Aku suka
itu, beliaupun menggunakan bahasa kaum remaja jadi asyik ketika diikuti.
Salah satu
materi yang kuingat adalah saat menyampaikan tentang Islam Nusantara yang rahmatan
lil ‘alamin meskipun masih menjadi perdebatan ulama khalaf masa
kini. Yah, Islam yang menawarkan perdamaian dan kasih sayang seluruh semesta
ini menjadi problem ketika orang-orang kemudian berpemikiran skeptis bahwa
Islam Nusantara hanya dibatasi kewilayahan. Sehingga nanti dikhawatirkan akan
muncul istilah Islam Malaysia, Islam Arab, Islam Amerika, dan kawan-kawannya.
Tetapi Mas Karim mengatakan yang
dimaksud dengan Islam Nusantara itu adalah yang mengakar pada budaya luhur dan
bersifat mendamaikan dunia. Dia bisa ditinjau dari berbagai disiplin ilmu dan
menjadi mata kuliah wajib S2 di jurusan Islam Nusantara UNU Jakarta.
Jika ditinjau dari segi fikih saja dalil-dalil
Al-Qur’an ada yang bersifat qath’iiyat dan dhonniyat. Yang qath’iyyat
contohnya adalah perintah shalat. Bahwa shalat itu wajib ‘ain hukumnya.
Sementara cara memahami hadits fi’liyah menurut masing-masing madzhab
adalah bersifat ijtihadiyat/dhonniyat itu sendiri. Kemudian ditinjau
dari segi bahasa pula, Islam Nusantara adalah yang mampu berinteraksi dengan
budaya setempat. Karena sebelum Islam suatu daerah sangat pasti kental dengan
ajaran luhur dan budaya filosofis yang dapat saling bersinergi dan terus disempurnakan
oleh Islam. Karena berislam tidak mengharuskan proses arabisasi dan begitu pula
sebaliknya, orang Arab tidak harus beragama Islam meski prose berIslam itu
sangat perlu untuk semua manusia. Itulah keindahan Islam Nusantara, tidak
memaksa. Kata beliau, Islam Nusantara ini dapat disinergikan dengan paham ahlussunnah
wal jama’ah. Dengan begitu setiap orang yang hadir dalam majelis mampu berkesimpulan
bahwa Islam ahlussunnah wal jama’ah sungguh mendamaikan setiap pola
kehidupan dengan menerima adat istiadat setempat bukan kontradiktif. Begitulah
isi penjelasan materi tentang Islam Nusantara menurut perspektif beliau.
Dengan
ditutupnya majelis dengan do’a kafaratul majlis oleh beliau, waktu yang
berdetak hingga dua jam terasa masih kurang bagi para santri karena masih ada
banyak pertanyaan yang harus dijawab. Tetapi mau bagaimana lagi karena waktulah
yang memisahkan kami, jadi pertanyaan itu ditampung untuk dijawab di pertemuan
minggu depan. “Begitu dalam dan luas sekali ilmu dan wawasan Mas Karim akan
tafsir ayat-ayat rahmatan lil ‘alamin itu.” Kata Bakaruddin, salah satu
santri yang duduk di shaf depan. Sedari tadi dia begitu khusyu’
mendengarkan setiap pemaparan Gus Karim.
Aku menjadi terinspirasi untuk mengkaji lebih
jauh dan lebih dalam akan makna-makna tersirat dari suatu ilmu. Mungkin waktu 7
tahun di sini belum dapat membuka semua rahasia yang disebarkan oleh-Nya di
muka bumi. Wallohu a’lam bisshowwab.
*****
Pertemuan kedua
dalam satu minggu terakhir ini pun terjadi. Majelis tadabbur Al-Qur’an
kembali mengangkat tema yang top: kehidupan Rasulullah. Saw perspektif
pendekatan komparatif qashashul Qur’an.
Gus Karim berpendapat,
“Dan ketika dipikir-pikir kembali, kita hidup di dunia ini belum ada apa-apanya
jika dibandingkan dengan hidup yang dijalani oleh Rasulullah, yang berjuang
sangat susah payah dalam memperjuangkan syi’ar Islam. Beliau rela disakiti,
diejek, dilempari kotoran bahkan diboikot keluarganya.” Seluruh santri
memperhatikan dengan khidmat, meski hal itu sering mereka dengar di kajian PAI
di madrasah. Tetapi mendengar dengan bonus penjelasan yang rinci, membuat
mereka betah duduk berjam-jam. Mungkin karena dipengaruhi oleh kecintaan mereka
akan ilmu.
Membaca kitab Siroh
Nabawiyah (nilai-nilai filosofis dari Tarikh Nabi Muhammad Saw) yang
dikaitkan dengan majelis tadabbur Al-Qur’an ini sepertinya membuat kita
semua patut menjadikan beliau sebagai the best of idol. Idola yang
terbaik diantara idola yang baik-baik. Karena beliau adalah cahaya di atas
cahaya-pelangi kehidupan manusia, seorang lelaki yang luar biasa. Pemimpin yang
terpuji. Beliaulah yang dimuliakan dengan panggilan Nabiyullah Muhammad Saw.
Semoga dengan keajeganku menghadiri majelis yang mulia ini, aku mampu
memperbaiki diri dan meneladani beliau dalam segala bidang meskipun tidak mampu
sempurna seperti para ahlul bayt. Dan yang terpenting dari semua materi
di hari ini adalah: Menjadi imam keluarga yang baik kelak ketika bertemu dengan
jodohku.
Materi yang
disampaikan oleh Mas Karim benar-benar menghujam kuat di kalbuku. Seakan tidak
mau lepas dan begitu membekas dalam. Kalimat demi kalimat penuh hikmah dia
tanamkan begitu kuat dan berkesan. Tidak sembarang ilmu yang diwariskan tetapi
juga penalaran dan analisis dalil yang dapat dijadikan argumen ketika ada yang
mendebat kebenaran ini.
“Begitulah
Rasulullah berdakwah. Biarkan lelah ini bersarang di tulang-tulang kita.
Allahlah yang mengganjar kita semua. Ubahlah kata lelah menjadi lillah!
Maka dari itu, tetapkanlah langkah kita di jalan ini, jangan pernah lari
darinya! Karena Allah akan menyambut cinta kita kelak ketika kita kembali dalam
keadaan fitrah dan bermodalkan dakwah, baik itu dakwah fardiyah maupun
perluasan dakwah ke ummat manusia.” Kalimat penutup yang mampu menggelorakan
semangat para santri untuk berjuang lii’lali kalimatillah.
“Allohu
Akbar!” pekik beberapa santri yang duduk di shaf belakang.
Menggemuruhkan dada kami semuanya, yang berada di serambi masjid ini.
*********
Pertemuan
ketiga majelis tadabbur di minggu ketiga terjadi di hari ini. Tadabbur
Al-Qur’an tidak pernah sepi dari jama’ah majelis ilmu yang haus akan samudera
ilmu Allah. Tak terasa seminggu telah berlalu, waktu terasa begitu cepat
bergulir akhir-akhir ini. Kali ini jama’ah pecinta ilmu yang hadir di
majelis penuh hingga meluber di serambi masjid, ada pula yang menggelar tikar
di halaman dan area parkir. Tidak hanya santri yang hadir, tetapi warga sekitar
dan beberapa jama’ah dari luar kota juga ikut meramaikan masjid. Tema
yang diangkat kali ini sebenarnya tidak begitu rumit: yakni tentang hubbul
wathan (cinta nusantara) tetapi penjelasannya begitu kompleks hingga ke
tataran substansi pancasila yang islami dan menghujam hingga kalbu para jama’ah
berdesir bergelora. Seakan hendak mengaktivasi semacam energi pembaharuan untuk
negeri.
“Jadi, para ulama’
kala itu, para pahlawan dan para pelajar berdarah-darah demi persatuan bangsa
yang hingga kini masih kita nikmati! Maka apakah kita pernah mengisi
kemerdekaan dengan berkarya untuk membalas jasa mereka? Apakah kita pernah
mengajak anak cucu kita, mendoakan di sisi kubur mereka. Mempunyai foto-foto
mereka di rumah? Apa coba yang kita berikan kepada negeri tercinta ini, bisa
para jama’ah menjawab? Apa!” Kata Mas Karim menyentak para hadirin ambil
berdiri menegakkan telunjuknya ke langit seperti seorang da’i saja.
Kemudian dia tersenyum sembari duduk kembali. Jama’ah semua terdiam
menunduk. Beberapa mengucapkan takbir keras membahana ruang, ikut menggetarkan
partikel udara yang turut bertasbih pada-Nya.
“Maka dari itu,
saudaraku seiman, mari kita cintai pahlawan-pahlawan kita, kita hargai
perjuangan mereka! Marilah kita bekerja keras demi kemajuan bangsa kita,
marilah kita berkarya yang positif dan mendoakan mereka! Agar mereka tersenyum di
alam sana akan jerih payah kita mengisi kemerdekaan negeri ini. Jadilah solusi
untuk negeri!” Lanjutnya lebih pelan. Air matanya menetes deras. Hati kami
menjadi tersentuh dibuatnya. Ya, kami adalah pembaharu negeri, harus siap untuk
memperbaiki negeri ini dengan hal-hal yang bermanfaat.
“Allohumma
sholli ‘ala Muhammad!” teriak para santri yang duduk di belakang. Serentak jama’ah
menjawab, “Sholli ‘alaihi wa ‘ala ailhi.”
.”……” Aku terbisu sejenak pasca menjawab shalawat
tersebut, mengutuk diriku yang selama ini belum mampu menyumbangkan karya produktif
untuk negeri ini. Tetapi aku berjanji suatu saat setelah keluar dari masjid ini
aku harus berkarya sesuai minat-bakatku dan demi negeri tercinta ini. Merdeka!
Teriakku melengking di hati. Baru kali ini aku menemukan seorang ustadz
kontemporer yang begitu mengharukan dan meninggalkan atsar di kalbu. Dialah Gus Karim.
3.
Sajak-Sajak Cinta Pertama
Umi Kulsum,
seorang lulusan S1 PAI, mantan mahasiswi yang aktif di organisasi dakwah di
kampus ternama: IAIN Salatiga. Dia kini mencoba melamar pekerjaan di sebuah
sekolah yang ternama dan menjadi favorit di kota juga: MI Al-Huda. Kebetulan
sekali saat Umi Kulsum mendaftarkan diri ke MI di Pesantren Al-Huda, apa yang
diharapkan selama ini telah terwujud juga. Dia bertemu degan pangeran dalam
hidupnya. Dasar singlelillah, seorang wanita yang mengharapkan destinasi
cinta yang suci dari hawa nafsu. Cinta yang menyejukkan kalbu dan membersihkan
kotoran-kotoran dan penyakit hati. Cinta yang menenteramkan. Pastilah
diidam-idamkan seluruh wanita, tidak terkecuali dirinya.
Nama pemuda
idamannya itu adalah Muhammad Hanif. Seorang lelaki tampan dan juga sopan.
Seorang guru yang juga mengajar di MI tersebut, seorang pemuda yang baru satu
tahun mengajar sekaligus nyantri di yayasan pendidikan Islam tersebut. Jadi
jarak usia senioritas antara dia dengan Hanif tidak begitu jauh. Saat bertemu tatap
adalah ketika dia menjalani tes wawancara kerja di sekretariat yayasan. Saat
itu, Hanif terburu-buru masuk dan berkata pada Pak Janu, petugas bagian
personalia yayasan itu: “Maaf pak, ada yang tertinggal.” Unggah-ungguhnya,
senyum di wajahnya, dan kelembutan suaranya menawan hati Umi. Kesan pertama
yang terlihat adalah pemuda itu terlampau sangat baik. Seakan-akan hati Umi
dipenuhi oleh bunga, kupu-kupu dan pelangi yang menyejukkan jiwa.
“Apa pak yang tertinggal?”
Tanya Pak Janu singkat dan tegas. Tidak bercanda ataupun bermain-main. Itulah
watak bawaan Pak Janu semenjak beliau bekerja sebagai guru maple Matematika di
sana. Hal inilah yang menegangkan dalam wawancara selama sejam tadi bagi Umi.
“Silabi.”
Jawaban singkat dari Hanif tetapi sungguh imut di telinga Umi. Suara-suara
kelinci. Lembut menyentuh dinding hatinya.
“Eh,, ada tamu.
Assalamu’alaikum, maaf ya Bu (formal). Mari pak!” kata Hanif menyapa Umi
dengan membungkukkan punggungnya sedikit dan mohon permisi pada Pak Janu. Keduanya
mengangguk. Dalam hati yang terdalam, sebenarnya Umi tidak ingin wajah itu
hilang darinya. Diikuti pandangan mengawasi olehnya meskipun tak seliar wanita
pada umumnya. Wanita berjilbab kurung itu menjaga dirinya dari segala yang
menyesatkan dirinya dalam jurang kemaksiatan.
<Sebuah kelas atau kantor? Kantor guru. Mungkin dia adalah guru di sini ya?>
Tanya Umi dalam hati.
“Wa’alaikum
salam. Iya.” Jawaban Umi sangat telat mengingat dia menjawab salam itu setelah
sosok itu hilang dari matanya. Dia sungguh terkesima. Tidak banyak lelaki yang
dia temui seperti Hanif. Bahkan sangat langka. Lelaki yang biasa saja,
sederhana dan sopannya itu lho tidak ketulungan.
“Baiklah mari
kita lanjutkan pertanyaannya.” Tegas Pak Janu membuyarkan lamunan Umi. Umi
tersenyum malu dan untuk sesaat kemudian dia mengangguk pelan. Sungguh shalihah
wanita satu ini.
********
Aku Hanif.
Seorang pemuda yang dikenal oleh warga yayasan sebagai orang yang lembut dan
sangat baik hati. Tetapi pada kenyataannya, mereka tetap tak mengetahui aibku
yang sebenarnya. Karena ditutupi oleh-Nya. Di hatiku ada sesuatu yang
mengganggu. Entahlah kenapa setiap Neng Fatimah didekati oleh Kang Sulaiman
hatiku seperti terbakar. Di manapun dan pada saat suasana apapun. Inikah yang
dianamakan cemburu itu? Cemburu adalah gejala dari cinta dan harus ada di
dalamnya, itu kata seorang pujangga. Tetapi buat apa aku cemburu segala
sementara aku hanyalah santri biasa dan bukan siapa-siapa di sini. Aku hanya
seorang guru yang diangkat oleh Abah karena sering tidur di pagi hari. Abah
berpikir itu adalah kegiatan yang kurang produktif, maka dari itu aku disuruh
beliau untuk mengajar di madrasah ibtidaiyah.
Akulah debu
yang masuk ke rongga hidung dan harus dikeluarkan melalui bersin. Akulah debu
yang siap diterbangkan oleh angin di padang sahara yang luas. Masih banyak
mutiara dan permata yang lebih unggul dariku yang hanya batu kali. Dialah Kang
Sulaiman yang selalu menjadi the best of santri di sini. Lha aku mah
siapa atuh?
“Neng,
sayurannya mau di taruh di dapur sekalian atau di taruh di teras?” tegur Kang
Sulaiman pada Neng Fatimah di depan teras ndalem abah yai, membuyarkan
lamunanku. Dia berdiri tepat di depanku.
<Huh, seperti itu saja masih nanya. Udah
turunkan di teras saja. Biar aku yang mengantarkan ke dapur sekalian ngobrol
bebas dengan Neng Fatimah!> dalam hatiku berontak bisikan syetan yang
masyuk. Dalam cerita cinta, pasti ada tokoh lelaki dan wanita. Dan ada juga
penjahatnya, maaf maksudku orang ketiga. Bagiku Kang Sulaiman lah orangnya. Tetapi
malaikat kembali menuntunku untuk sadar, aku mah siapa atuh? Aku jadi
tertunduk ke bumi. Tempat aku kelak dikebumikan.
“Taruh di teras
aja kang! Terimakasih ya udah mau bantu bawakan.” Jawab Neng Fatimah seraya
tersenyum. Senyum yang membuatku semakin terbakar meskipun indahnya benar-benar
meneduhkan setiap pandangan lelaki. Senyum yang seharusnya ditujukan untukku.
Setelah melihat ke arahku, Neng Fatimah juga tersenyum padaku lalu menundukkan
wajah. Simbol penghormatan, kemudian masuk ke ndalem. <Ah, aku
juga disenyumi ternyata! Aku masih berguna ternyata! Aku masih dianggap ada
ternyata!> dalam hatiku aku galau sekali dan bercampur bahagia. Ternyata
Neng Fatimah bukan tipe wanita yang selektif dalam bergaul. Aku salah selama
ini mengira bahwa dia jatuh hati pada Kang Sulaiman. Atau memang adakah bibit
cinta yang tertanam dalam hatinya? Entahlah, hanya Allah Swt dan dirinya yang
tahu.
“Njeh,
neng!” jawab Kang Sulaiman semangat sambil senyum-senyum pula.
<Hih,
kalau bukan karena aku seorang Muslim pasti sudah kutampar wajahnya itu! Kenapa
juga aku yang diajaknya ke sini? Mau memanas-manasi hatiku?> Syetan
kembali merasuk mengompori hatiku untuk membenci Kang Sulaiman.
<Astaghfirullah. Sadar, memangnya siapa aku?> Dalam hatiku malaikat
ganti memimpin pembicaraan, mengingatkan diri-sendiri. Kang Sulaiman berjalan
ke kamarnya sambil mengusap wajahnya sesekali seakan telah mendapat durian
runtuh saja. Dia hanya menyapa saja, bukan membawakan sayuran sebanyak setomblok
ini. Lalu buat apa basa-basi segala tadi? Cari perhatian? Dasar kurang kerjaan!
Sementara aku menuju teras dan mengambil
sayuran untuk kubawa ke dalam dapur. Saatnya beraksi, menyambut cinta atau sekedar
menawarkan bantuan pada Neng Fatimah. Tetapi setiba di dapur, ternyata tidak
ada seorangpun. Aku telat dalam mengejar putri Abah itu, mungkin Neng Fatimah
terlalu capek dari pasar dan langsung ke kamarnya. Entahlah kenapa aku sial di hari
ini. Mungkin di hari lain, aku punya kesempatan yang lebih baik dan hal itu
harus kuyakini lebih kuat lagi. Kulihat langit penuh dengan mendung, barangkali
sinyal handphone ataupun data akan sulit terbaca. Jadi lebih baik muraja’ah
hafalan Al-Qur’an saja di siang hari ini. Aku berjalan kembali ke kamar setelah
menata sayuran di amben beton tempat meracik makanan para ibu embannya
bu Nyai. Aku rebahkan punggungku sejenak untuk mengembalikan kelurusannya
lantas mengambil Al-Qur’an. Membuka halaman demi halaman kemudian mulai
mengulang-ulang bacaan. Terasa nyaman di dadaku meskipun kepalaku akhir-akhir
ini agak pusing rasanya. Bagiku, Al-Qur’an mampu mengobatinya, karena dia
adalah syifa’ lil mukminin wal mukminat.
*******
Persaingan
cintaku dengan kang Sulaiman semakin hari semakin parah dan berujung
perkelahian. Aku akui karena meskipun pengaruh gaya hidup warga di sini sudah madani
tetapi bisikan syetan dalam dada semakin kuat dan mengalahkanku pada dilema
hati. Di lain sisi aku menghormatinya sebagai lurah ma’had, di sisi lain
aku menganggapnya sebagai rival dalam meraih cinta Neng Fatimah, bahkan mungkin
sebagai musuh besar dalam hidup.
Sampai suatu
hari, aku beranikan diri untuk masuk ke kamarnya dan mulai bercakap-cakap,
awalnya tema pembicaraan hanya sebatas tentang dalil-dalil ahlussunnah wal
jama’ah, tujuan awal hanya ingin menguji apakah dia sanggup menjawab
problem yang dihadapi oleh Kaum Wahabbi yang menolak keras terhadap dalail
saat purna majelis tadabbur Al-Qur’an binaan Gus Karim malam senin itu. Tetapi
kemudian pertahanan argumenku justru merembet pada pertengkaran karena masalah
kemarin. Sayuran. Padahal ya tidak ada kaitannya sama sekali.
“Kang, katanya
kemarin nawarin mau taruh mana sayurannya. Eh, kok nyelonong pulang!” aku mulai
pembicaraan langsung dengan rasa pedas level 3 sembari berjalan ke kamar kami.
“Memangnya
kenapa, tidak boleh masuk hingga ke dapur?” tanyanya balik menantangku. Dia
terkekeh juga, tanpa meneloeh sedikitpun ke wajahku. Menambah panasnya pedas
kalbuku.
“Kang, kita ini
santri. Punya etika, masak hanya karena seorang neng meminta bantuan untuk
membawakan belanjaan dari pasar, kemudian sampeyan menawarkan diri
terlalu jauh. Alibi yang sempurna.” Jawabku seperti kereta yang berjalan.
Lancar, tak kuduga aku juga dapat panjang-lebar seperti itu. Agaknya syetan
sudah merasuki otakku lebih mahir. Gara-gara cinta monyet. Ah, kenapa juga
menyalahkan syetan, ini kan hawa nafsu amarahku sendiri?
“Alibi katamu?
Bukankah seorang santri harus mengabdi penuh pada keluarga Abah?” jawabnya
semakin membuatku panas saja, dia benar di satu sisi. Tetapi kalbuku semakin
sakit terhadap dalil pembenarannya itu. Alih-alih mengabdi penuh, ada maunya
tuh! Dia masuk kamar langsung membuka kitab turats dan mulai muraja’ah
arti pegon. Aku tak berani lagi meneruskan pernyataan jengkelku padanya.
Dan esoknya setelah lelah mengajar MI, aku mulai kembali perdebatan itu:
“Kang, apakah
karena nafsu yang menuntun sampeyan hingga menawarkan bantuan itu?” aku
mulai menyekaknya. Hawa di sekitar juga mulai gerah karena terik di siang hari.
Dia diam sebentar. Mungkin menata kalimat yang pas untuk menyerangku.
“Nafsu? Hemm,
apakah dirimu marah seperti ini karena cemburu dan bernafsu untuk memiliki Neng
Fatimah? ……..” Dia diam sejenak memberi waktu padaku, kemudian beristighfar,
dadaku bergemuruh mendengarnya, kemudian kami menunduk, merasa terlalu jauh
dalam membahas ini. Dia menuju kamar mandi untuk berwudhu dan kemudian bersalaman
padaku. Pertempuran dalam urusan cinta monyet berakhir di sini. Para santri
yang lain hanya mengintip dari kamar. Tidak berani mencampuri urusan kami,
takut dihukum mungkin, karena kami yang senior ini. Meskipun dalam sikap kami
lebih kekanak-kanakan.
“Apakah karena
ini kita membahas lebih jauh? Aku minta maaf jika selama ini merusak hubungan
kalian. Aku tahu kamu suka padanya. Dan lebih baik aku mengalah saja.” Kata
Kang Sulaiman mengakhiri pembicaraan. Dia berjalan menuju masjid untuk
bersiap-siap adzan dhuhur.
“Maaf, kang.
Aku berlebihan.” Kataku sambil menatap punggungnya, menyesal. Dia berhenti
melangkah, berbalik dan mencoba tersenyum ramah. Kemudian menyambutku dalam
pelukan seorang sahabat. Itulah yang terjadi di pesantren selama ini. Masalah
kecil selalu dapat terselesaikan segera karena peran akhlaq. Akhlaq senantiasa diutamakan
di setiap pesantren.
“Kamu santai
saja, tadi pagi aku sudah pamit Abah karena di kampungku membutuhkan tenaga
dakwah. Jadi mulai besok, aku akan kemas-kemas dan meninggalkan pesantren ini.
Dan pesanku hanya satu: jika kamu jatuh hati dan serius pada Neng Fatimah,
janganlah kamu sakiti hatinya dengan harapan kosong. Nikahilah dia!” Aku
terbisu hingga dia berlari ke masjid sambil menahan tangis. Oh Tuhan, dia
menangis! Air matanya itu kuanggap sebagai kekalahan bagiku dan kemenangan
sejati baginya, lelaki sejati. Dia benar-benar santri yang shalih,
pikirku menghujat diri sendiri. Kalimat amar untuk menikahi Neng Fatimah
membuatku bergetar. Sedalam inikah nanti endingnya? Entahlah, hanya Dia
yang tahu skenario terbaik untuk kami berdua.
*********
Ternyata benar,
esok harinya, Kang Sulaiman berkemas-kemas pamit boyong. Dia melangkah ke
arah ndalem. Dia disalami oleh beberapa santri yang berbaris di luar
halaman ndalem dengan setia dan takdzim padanya. Adapula yang
menyuarakan takbir. Aku malu sekali akan ingatan tentang kejadian kemarin.
Bagiku, peristiwa ini benar-benar menohokku sebagai manusia yang benar-benar khilaf.
Sementara dia berjalan begitu santai dengan pandangan ke bumi, tawadlu’.
Mulai hari ini dia dianggap sebagai kiyai di desanya sendiri.
<Selamat
berjuang Kang Sulaiman! Semoga perjuangan dakwahmu mampu membangun bangsa ini
menjadi lebih baik>. Jeritku dalam hati.
Jelas aku tidak
berani mendekat padanya. Air mataku menetes deras karena kepergiannya. Apalagi
setelah dia tampak ngobrol sebentar dengan Neng Fatimah. Neng Fatimah menatapku
sambil tersenyum. Bertambah malu aku dibuatnya. Seakan dia tahu apa yang ada di
hatiku selama ini. Aku memalingkan muka dan mengusap air mata ini. Betapa
memalukannya aku, toh aku mah siapa atuh? Aku tundukkan kepala ke bumi. Dia kemudian
melanjutkan obrolannya. Kulihat langkah Kang Sulaiman mendekatiku. Langkahnya
tersa berat dan semakin membebani hatiku. Aku salahkan diri ini gara-gara
kejadian kemarin itu.
“Sudahlah,
tidak usah dipikirkan! Gusthi Allah sudah menentukan takdir, dan takdir
itu pasti baik untukmu.” Katanya kini semakin berwibawa.
“Njeh,
kang.” Jawabku pelan. Air mataku mulai terkumpul kembali di pelupuk mata.
Siap-siap untuk terjun parasut bebas.
“Kapan-kapan
aku akan main ke sini dan menjengukmu, kawan.” Lanjutnya sambil tersenyum
seperti tidak ada dendam padaku. Aku justru mengutuk diriku yang rapuh oleh
amarah kemarin itu.
“Njeh
kang, terimakasih.” Jawabanku masih saja datar karena sesal ini masih bersarang
di dada.
“Yang lalu
biarlah berlalu. Sambutlah cintamu dengan perjuangan dan berakhir dalam
kebahagiaan!” Dia masih tersenyum dengan kalimat bijaknya itu dan bersalaman
denganku begitu ramah. Sekali lagi aku memeluknya erat. Ada gemuruh hebat di
dadaku. Aku menangis sesenggukan penuh sesal.
“Maafkan aku njeh,
kang, huhu!” kataku sambil menangis.
“Sudah-sudah,
jangan menangis, malu tahu dilihat keluarga Abah! Iya, kawan. Sama-sama.” Dia
menepuk pundakku. Kulihat Neng Fatimah tersenyum melihat kami baikan kembali.
Aku tidak tahu apakah dia tahu masalah kemarin. Tetapi husnudhanku
berkata bahwa dia tahu kami sahabatan sejak kecil dan mondok di sini. Inilah
fakta akhlak yang diwariskan oleh ajaran Islam yang luhur. Saling berkompetisi
tetapi saling mengisi satu sama lain, bukan malah menjegal kawan atau mitra
hidup seperti yang dipertontonkan dalam sinetron yang katanya islami. Itu mah
hanya ada di FTV. Dia menyalami Abah Rasyid untuk kesekian kalinya. Mencium
punggung tangannya dan bergegas berjalan menuju jalan raya. Menuju terminal
dakwahnya. Langit begitu cerah menyambutnya. Mungkin hanya awan mendung yang
bersarang di hatiku kini. Dia mah cerah sekali. Kami seperti langit dan bumi
saja di hari ini.
******
Tidak ada
saingan dalam mengejar cinta bukan berarti masalah telah berakhir. Aku harus
memulainya dari awal kembali, dari nol. Mengenal Neng Fatimah lebih jauh dan
lebih mendalam, itulah yang dinamakan serius dalam meraih cinta. Kalau kemarin,
aku ke mana-mana di belakang Kang Sulaiman, sehingga tidak ketahuan gelagat
jatuh cinta. Kini timbul pertanyaan dalam hatiku: <Darimana aku memulai,
itulah masalahnya. Bagaimana caranya? Masak alasannya sama, mengantar sayuran
ke dapur? Ah, itu mah klasik dan membosankan bagiku. Cara lain, mungkin apa ya?>
Aku yang dari tadi berbaring di kamar untuk terus saja berpikir keras untuk ta’aruf
dengan baik-baik. Lama-lama jadi sumpek juga. Aku beringsut dari kasur dan
berjalan ke luar.
Mencari inspirasi
untuk mendekati Neng Fatimah, itulah salah satu kalimat yang terus terngiang
dalam otakku. <Aduh, bagaimana caranya agar aku dapat mendekati Abah dan
memilih momen terbaik agar kami (aku dan Neng Fatimah) lebih dekat?> Aku
pergi ke dapur setelah segala kegiatan pembelajaran di pesantren berakhir dan
kebetulan ini adalah hari minggu. Libur mengajar meskipun kegiatan mengaji
masih tetap dijalankan. Jadwal mengaji santri sudah selesai di pukul 22.00 WIB. Jadi Mbok Painah, khadimah Abah yang
selama ini bekerja di dapur, mungkin juga sudah selesai memasak dan menyajikannya
untuk para santri di kantin. Mungkin aku harus ke sana untuk meminta satu hal.
Barangkali ada inspirasi baru.
Saat pintu
dapur terbuka, aku mengucap salam dan mendekat ke Mbok Painah.
“Ada apa kang,
nyari-nyari simbok? Ada yang bisa Mbok bantu?” katanya sambil tersenyum,
mungkin dia sudah lebih paham apa maksud kedatanganku malam itu, karena sudah
banyak santri yang melakukannya demi bisa dekat dengan si gadis Abah itu.
“Begini mbok,
saya butuh ……”
“Nomor handphone
Neng Fatimah kan?” belum selesai aku mengutarakan niatku, Mbok Painah sudah
menyela dengan cepat sambil tersenyum menggoda. Aku tertunduk, tersenyum malu.
“Ah, simbok
ini. Saya kan belum mengutarakan apa maksud sebenarnya.” Kataku membela diri.
Meski dalam hati aku berteriak hebat dan meski dia belum memberikan
kejelasannya.
“Santai saja,
belum ada yang mbok kasih selain kamu kok.” Aku terkejut dengan jawaban itu.
Tetapi ketika kutanya alasan kenapanya, dia hanya menjawab, “Karena Neng
Fatimah hanya inginkan komunikasi aktif darimu. Semenjak Kang Sulaiman boyong,
dia tidak punya teman curhat. Paling-paling Mbak Umi. Itupun dia gadis yang
lugu. Belum tahu hal beginian.” Aku merasa ada air sejuk mengalir di hatiku dan
mungkin dadaku agak mengembang karena sombong. Ah, aku dapatkan segera kini.
Tetapi sedekat itukah Neng Fatimah dengan Bu Umi? Hal itu menjadi pertanyaan
baru yang terus terngiang di otakku.
“Jadi selama
ini Kang Sulaiman sering dicurhati Neng Fatimah, mbok? Mbak Umi? Mbak Umi yang
mana sih mbok?” tanyaku nyerocos saja untuk mengkorfirmasi pernyataannya. Dia
malah bicara dengan mengarahkan telapak tangannya seakan berbisik:
“Iya, kamu
belum tahu tho. Tidak usah mbok kasih tahu penjelasan panjang lebarnya
ya. Tapi untuk Mbak Umi itu… itu lho, yang santri baru. Yang mendaftar di MI
tempat sampeyan ngajar itu.”
“Hah? Mbak yang
berjilbab kurung itu? Oh..” jawabku sambil mengangguk-anggukan kepala tanda
mengerti. Tetapi apa hubungannya denganku. Sepertinya tidak atau sementara ini
belum ada.
“Jadi minta
nomer telepon nggak nih?” tanyanya persuasif sekali sambil mengetuk-ketukkan
jari telunjuk kanannya ke dagunya yang mulai berkeriput itu.
“Wah, lain kali
saja, mbok. Tetapi, kalau Neng Fatimahnya butuh saya, mbok langsung saja
panggil saya, ya!” jawabku sambil cengengesan.
“Ye, ada maunya
ajah!” kata simbok centil. Wah, usia tua memang tidak membatasi seseorang untuk
tampil trendy ya, kayaknya. Aku bergegas kembali ke kamar. Kerisauanku
untuk PDKT sudah tercover oleh pernyataan Simbok Painah. Semoga saja ke
depannya lebih baik. Aamiin.
*****
Aku Hanif.
Waktu terus berlalu dan hal yang kutakutkan muncul juga. Entahlah apa yang
kupikirkan sekarang ini setelah mendapat nomor telepon dari Mbok Painah kemarin
itu. Seminggu setelah Mbok Painah menawarkan nomer handphone Neng
Fatimah, dia benar-benar memberikannya padaku. Hatiku tambah kacau, pikiranku
menjadi tak karuan. Menghafalkan Al-Qur’an jadi belibet.
<Apakah
ini rasanya setelah mendapati cinta yang belum jelas terbalaskan?>
kataku dalam hati sambil deg-degan hatiku dibuatnya. Ketika melihat wajahnya,
bergemuruh hatiku seperti ada beban seberat 500 kilogram menimpuk di bahuku. Dan
ketika wajah itu menjauh, hatiku sangat merindu dan kalut sekali. Tubuhku
serasa beku seketika. Berharap sekali aku memiliki cintanya tetapi aku sadar bahwa
aku belum siap menjalani cinta ini. Berkali-kali aku pertimbangkan untuk
memencet tombol hijau di handphone pesantren ini, atau menghapus setiap
kalimat yang sudah kuketik sebagai sms permulaan. Kapan aku mengirimkan
kepadanya? Aku belum berani.
Aku galau,
terlalu terlena pada keanggunan Neng Fatimah.
<Sekedar
menyenangkan nafsuku saja.> mungkin ada bisikan syetan yang masuk. Tapi
tetap saja kutepis ajakan itu. Aku ingin sembuh dari kegalauan ini. Setiap kali
kupanjatkan do’a untuk menguatkan diri dalam menshalihkan diri ini dan atau agar
dia senantiasa dianugerahi kebahagiaan. Itu saja yang kulakukan selama ini:
berdo’a di tengah malam yang sepi, ke hadirat-Nya.
<Mungkin
aku harus segera mencari teman yang dapat aku curhati. Kalau santri-santri,
sepertinya mustahil karena mereka semua lebih muda dariku bahkan jaraknya ada
yang lima tahun atau sepuluh tahun lebih muda. Benar-benar cinta monyet jika
aku curhat kepada mereka. Lalu siapa ya? Kalau sowan kepada Abah, mungkin Abah
akan tahu perasaanku pada Neng Fatimah. Apalagi kepada Bu Nyai yang tegas itu. Apa
itu tidak gawat namanya? Bagaimana kalau beliau-beliau ini murka mendengarnya?
Tidak, jangan sekarang. Mbok Painah? Ah, dia mah malah akan membumbui
curhatanku jika dia kujadikan makcomblang. Bang Tohari? Ah, dia terlalu
pendiam. Bagaimana kalau dia malah senyum-senyum doang? Bang Tegar pemilik
warung makan seberang jalan itu? Ah ya, mungkin saja dia akan mendengarku.
Mungkin suatu saat aku akan curhat padanya saja. Semoga saja dimudahkan, amiin!>
dalam hatiku bisikan-bisikan seperti hadir begitu saja.
Aku terhenyak
dari lamunanku ketika para santri madrasah diniyah mengajakku makan ke ndalem.
Mereka ingin kupesankan makanan. Apalagi Sul, yang paling kecil. Merengek
karena sudah merasa lapar melilit perutnya. Hampir saja dia menangis, tapi
kakaknya, Zulfa menenangkannya dengan menunjukkannya pelangi di langit yang
mendung itu. Jadi aku segera bangkit dari kamar dan mengambil beberapa piring
untuk mereka dan berjalan ke dapur.
<Semoga
saja bisa sekalian bertemu Neng Fatimah>. Pikirku lemah.
Setiba di
dapur, aku melongok ke sana kemari. Tidak ada sosok Neng Fatimah. Mbok Painah
langsung nyeletuk, “Nengnya sedang keluar. Mungkin nanti malam baru pulang.
Katanya ada acara studi banding pesantren bersama dewan pengasuh di
pondok-pondok luar kota. Santai saja kali, sebentar lagi kan malam!” Aku hanya
tersenyum sambil mengambil jatah makan para santri, dalam hatiku aku berteriak:
<Ah, tahu saja yang kupikirkan Mbok!> Sementara itu santri-santri
sudah menunggu di saung-saung di tepi pesantren. Aku melangkah keluar tanpa
kata menuju tempat mereka menunggu jatah makanan. Setiba di tepi pesantren,
kami mencari tempat yang tepat untuk nongkrong. Dan kami sepakat untuk duduk di
salah satu saung terbesar. Mumpung masih kosong dan kamipun makan bersama.
Bersama dalam kebahagiaan. Aku memandang di sekeliling sambil memangku Sul yang masih kelas TK
kecil itu. Tidak ada siapa-siapa kecuali kami berempat: aku, Sul, Zulfa dan
Shalih. Shalih adalah yang tertua dari Sul dan Zulfa. Dia kini sudah duduk di
kelas 1 SMP. Sebentar lagi dia akan naik kelas. Dan aku adalah pengurus kamar
untuk mereka. Mereka bertiga makan dengan lahapnya. Aku memandang jauh ke depan
sambil tersenyum. Adakah jawabannya di sana?
4.
Sajadah Cinta-Mu
Dalam malam
yang indah. Dalam malam yang dingin dan di dalam malam yang sepi senyap, di
mana segala partikel yang terbang di udara berdzikir pada-Nya membuat masjid
pesantren terasa sungguh damai. Apalagi jika tempat tersebut digunakan sebagai
tempat tuk merenung. Begitu halnya dengan yang dilakukan oleh Ustadzah Umi.
Seorang ustadzah baru yang mendaftar di MI Al-Huda itu. Dingin tak menjadi
alasan baginya tuk surut dalam sujudnya. Bahkan sedingin apapun air yang
digunakan untuk berwudhu, dia tetap menciduknya dan membasuh ke wajahnya yang
ayu itu. Itulah keteguhan imannya pada Allah Swt.
Dalam do’anya,
dia meminta: “Ya Rabb, tunjukkanlah hamba-Mu ini, calon imam hamba! Agar hamba
dapat mengukuhkan hati tuk menggapai ridha-Mu! Yang mencintai hamba sepenuh
hatinya. Yang mampu melindungi hamba dari segala coba dan bahaya dengan
kekuasaan-Mu. Dan dia yang mau menerima segala kesalahan hamba dan dicarikan
solusinya. Dia yang mau menuntun hamba untuk semakin taat dan mencintai-Mu dan
Rasul kekasih-Mu.” Munajat Umi dalam tahajjudnya. Tentunya hatinya
tergetar hebat ketika dalam hening dia teringat wajah Hanif. <Ya semoga
saja pria itu adalah jawaban yang dia cari selama ini>, pikirnya dalam
kalbu yang terdalam. Manusia hanya dapat berharap, Tuhan yang bertindak.
Terdengar suara
jengkerik bernyanyi riang mendengar do’a-do’a rindunya di luar kamarnya yang
berukuran 5x5 meter. Cukup lebar untuk kamar seorang gadis.
“Amin-amin ya Allah.” Umi menutup munajatnya seraya mengusap
wajahnya kemudian melepas rukuhnya dan beringsut ke kasur. Dalam hatinya, hanya
wajah Hanif yang terlintas. “Astaghfirullah, kenapa aku terus terbayang
wajah Mas Hanif, Ya Allah? Ampuni hamba, njeh!” Tanpa sepengetahuan Umi,
ada seseorang dengan menenteng sapu melihat ke arah kamarnya itu, penuh harap.
Sekelebat lalu bayangan orang itu pergi. Entah hendak berniat apa. Gadis itu
sejenak berfikir tetapi dia merasa hal itu tidak apa-apa. Maka dia kembali ke
kasur dan memejamkan mata sejenak seraya menunggu adzan shubuh berkumandang. Di
mana bedug dan kenthongan akan bertalu-talu setelah ayam berkokok begitu
membahana di udara.
******
Hari ini pagi
begitu cerah. Tidak ada satupun awan cumulus yang dilukis oleh Malaikat Mikail.
Tetapi tetap saja ia menampilkan kebiruan langit yang terasa sejuk dipandang
mata. Jalan-jalan di sekitar pesantrenpun juga bersih dari kotoran maupun
dedaunan kering. Yang biasanya beterbangan setelah terik sang mentari di musim
kemarau panjang ini. Sebab di pagi buta sudah disapu warga dan juga oleh para
santri putri. Itulah sebab lingkungan pesantren senantiasa nyaman dihuni dan
dilihat warga setempat maupun wali santri yang berkunjung tanpa harus menunggu
adanya tamu yang hadir. Para tamupun akan betah berlama-lama ketika sowan
ke ndalem Abah yai jika seperti ini kondisinya.
Sayangnya, keindahan
pagi ini tidak sama indahnya dengan hati dan pikiranku yang kacau. Aku, Hanif
sang guru MI, terus terpikirkan akan wajah Dik Umi karena berpapasan kemarin di
sekolah. Dia adalah guru magang yang baru mendaftar tiga bulan lalu. Aku hanya
sekedar kenal namanya dari seorang rekan sekantor, tetapi kata teman-teman di
kantor, Dik Umi sangat mengenal kepribadianku hanya dengan ngobrol selama
setengah hari dengan Bu Riska, guru Biologi 2 hari yang lalu. Aku memanggilnya
Dik Umi karena dia sangat muda, usianya kira-kira sekitar 24 tahun. Lima tahun
di bawahku. Tetapi ketika kami di kantor, aku tetap memanggilnya Bu Umi. Agar
terkesan profesionalitaslah. Sementara Bu Riska adalah guru senior berusia 45
tahun dan sudah mengabdi di sekolah tempat aku mengajar selama 20 tahun. Jadi
beliau sangat kenal sekali dengan tingkah laku maupun cara bicaraku yang masih
junior ini. Kesan seperti ini bahaya sekali ketika kesalahan-kesalahan naifku
terbongkar di hadapan Dik Umi. Aku sedikit menguping pembahasan mereka, karena
kantor kami disekat jadi mungkin mereka tidak tahu kalau aku di sini sebab
sejak pagi baru aku saja yang sudah berangkat, sementara mereka baru saja tiba.
Awalnya pembahasan mereka masih formal mengenai kurikulum terbaru yang
diterapkan di sekolah ini. Tetapi kemudian apa yang kutakutkan muncul juga.
“Memangnya Pak
Hanif orangnya begitu bu?” Tanya Dik Umi pada salah satu guru yang berbarengan
dengannya masuk ke kantor.
“Iya, dia itu
aktif mengajar TPA, sering shalat berjama’ah dan menjadi muadzin di masjid
jami’. Masak Bu Umi belum tahu? Dia itu keren sebagai santri maupun guru. Kurang
apa coba? Gadis mana yang tidak mau sama dia. Mungkin saja Neng Fatimah juga
menaruh hati padanya, tho?” kata guru itu berlagak menjelaskan ala ibu-ibu
gitu.
“Neng Fatimah
ya? Yang cantik itu kan?” Tanya Dik Umi polos tetapi pandangannya tertunduk
lesu. Seperti ada semacam energi kuat menusuk dirinya.
“Iya, Neng
Fatimah putri Abah Rasyid!” Kalimat terakhir membuatku serasa tersambar petir.
Masak Neng Fatimah menyukaiku? Aku tersenyum bahagia sekaligus merasa berdosa.
Tersenyum karena aku juga jatuh cinta padanya serasa mendapatkan angin segar di
padang sahara, merasa berdosa karena aku hanyalah santri bodoh yang mungkin
tidak masuk dalam kriteria Abah. Sangat kontras dengan apa yang telah
diperjuangkan oleh Kang Sulaiman. Lurah pondok yang dulu itu.
<Ah ini kan
cuma gosip, buat apa kubuat serius>.
Pikirku dalam hati. Saat aku keluar dari kantor, kedua guru itu tersentak dan
diam. Dik Umi menundukkan pandangan semakin dalam dan pipinya memerah, mungkin
takut atau malu. Sementara Bu Riska, guru yang kumaksud sedari tadi, yang menjelaskan
segalanya pada Dik Umi, menyapa, “Selamat pagi, Pak Hanif. Tumben masuk pagi.”
Dengan senyum palsunya, wajah munafik innocentnya itu membuatku
geregetan itu, aku tahu kalau dia menutupi pembicaraan tadi atau malu akan apa
yang dia bahas barusan? Ah, sepertinya mustahil sebab dia itu tidak tahu malu.
Aku tersenyum dan berkata renyah, “Pagi juga Bu Riska, Bu Umi. Mari saya duluan
masuk, ada jam pelajaran pagi jam pertama soalnya. Saya masuk duluan ya!”
Kulihat sekilas pipi Bu Umi semakin memerah. Mungkin dia juga malu padaku.
Kemudian segera aku masuk ke kelas, mengajar seperti biasanya. Tetapi dalam
dadaku, masih ada gemuruh marah karena mereka tadi membahasku. Terlintas di
pikiranku: <Ada apa sih, apa pentingnya aku bagi mereka hingga
menganggapku baik coba?>. Manusia selalu begitu, yang dilihat hanya yang
dhahir saja. Jika mereka mengetahui aibku selama ini, maka mereka tidak akan
menganggapku sebagai orang yang baik bahkan diidamkan.
******
Senja hari yang
indah. Tampak matahari berwarna merah keemasan berlari ke ufuk barat. Menyiratkan
warna oranye serta jingga pada awan di sekitarnya. Awan dan langit sedikit
terkena dampak lukisan sinarnya. Burung-burung kelelawar mulai menari
bolak-balik di atas kebun pisang milik Abah Rasyid. Sholawat Tarhim
mulai dikumandangkan oleh sang muadzin. Tanda waktu menjelang shalat
maghrib. Para santri putra mulai bersiap-siap memakai koko, surban atau sajadah
di pundak, kitab suci di tangan dan tak lupa pecis berwarna putih bersih. Ada
pula yang masih mengantre mandi. Sementara santri putri sudah
berbondong-bondong berjalan menuju pelataran masjid, ada pula yang sudah shalat
tahiyyatul masjid atau sekedar berdzikir, iktikaf di sana sambil
menunggu Abah memimpin shalat berjama’ah. Intinya mereka segera ke masjid jami’
yang terletak persis di samping pesantren. Masjid yang dikelilingi oleh
pohon-pohon rindang membuat setiap jama’ah nyaman di dalamnya karena kaya akan
oksigen di pagi hingga senja hari. Masjid hijau yang sengaja dibangun untuk
dipakai warga dan para santri ini selalu saja membludak jama’ahnya baik itu
shalat maghrib, isya’ maupun shubuh. Sungguh pemandangan yang indah ketika
melihat persatuan dan kekentalan spiritualitas warga di sini. Jadi teringat
kampungku dulu yang selalu setia berjama’ah di surau kecil tepi jalan. Meskipun
sederhana bangunannya tetapi ramai sekali jama’aahnya. Berbeda dengan
masjid-masjid pada umumnya yang bagus bangunannya tetapi sepi jama’ah yang
shalat di dalamnya.
Setelah sesaat
adzan dikumandangkan dan beberapa jama’ah shalat qabliyah maghrib,
datanglah Kang Sulaiman ke beranda masjid sambil mengikuti para santri yang
tersisa berjalan. Ini sudah beberapa tahun semenjak Kang Sulaiman pergi
meninggalkan pesantren ini. Tetapi berkat kebijakan dari Abah, dia kembali
untuk mengabdi dan ceritanya, dia sudah menikah dengan seorang hafidzoh di
desanya dan dianugerahi satu putri yang cantik, mewarisi wajahnya yang tampan. Orang
yang baik akan mendapatkan jodoh yang baik pula.
Sudah menjadi
kewajiban bagi santri untuk shalat berjama’ah terutama shalat maghrib dan
Isya’. Sehingga yang tersisa di pesantren hanyalah security yakni Mas
Karman dan staf dapur alias Mbok Painah. Kebetulan keduanya beragama Budha. Lho
agamanya Budha kok mengabdi di pesantren? Sudah menjadi hal yang wajar karena
di desa ini toleransi beragama masih kuat dan 30% warga masih beragama Budha.
Pesantren ini menjadi benteng akidah sekaligus titik dakwah Islam.
Kegiatan-kegiatan dapat disatukan dalam satu bingkai jika masih dalam tataran muamalah.
Selama kegiatan ibadah tidak mengganggu maka warga juga santai menanggapinya
karena sudah menjadi adat setempat untuk menghormati ritual keagamaan yang
dijalankan.
Saat Kang
Sulaiman masuk ke dalam masjid, mata para santri putri, tidak semuanya sih yang
menatapnya tanpa kedipan. <Memang seorang santri yang tampan>.
Pikirku melemah. Seandainya wajah dan aura ketampanan itu dipinjamkan sejenak
padaku pasti santri-santri putri juga akan berbuat sama padaku. Itulah anugerah
yang diberikan pada Kang Sulaiman. Shalat maghrib segera dilakukan. Selepas
itu, ada yang membaca wirid, ada yang berdo’a, ada yang tadarus
Al-Qur’an, ada warga yang tiduran menunggu shalat Isya’ dan ada yang mengikuti
majelis hadits bersama Bu Nyai Rohmah, termasuk aku. Dengan dibatasi satir
pemisah antara santri putra dan putri, kami mendengarkan ceramah Bu Nyai
sebagai rutinitas selepas maghrib. Materi yang dibawakan adalah hadis-hadis di
Kitab Arba’in Nawawi yang disyarahi dengan bahasa Jawa Kawi. Alhamdulillah
kandungannya dapat menghibur hati yang gundah dan semakin mendekatkan kami pada
sang Khaliq. Kegiatan majelis ilmu selalu kurindukan dan akan menjadi kawan
seumur hidup kelak. Itulah yang dinamakan barakah ilmu. Bermanfaat
dunia-akhirat.
*******
Malam hari, di
saat langit mulai menghitam. Namun tetap dengan hiasan bintang-gemintangnya.
Aku, Hanif. Di dalam masjid, tahajjudku aku bermunajat, mengharap
belas cinta kasihnya, mengemis pada-Nya. Karena selama ini aku merasa kesepian
dalam mengarungi hidup. Tidur sendirian di kamar sebab santri yang sudah
mengajar di MI/MTs wajib tinggal di kamar pribadi selama satu sampai dua tahun
masa pengabdian. Setelah itu baru boleh dilaju (berangkat dari rumah, itupun
bagi guru yang sudah berkeluarga). Sementara aku sudah tiga tahun menghuni
kamar ini dan belum berkeluarga. Dan parahnya, nomor handphone yang
diberikan oleh Mbok Painah dulu itu hanya kugunakan untuk bertanya tentang
hal-hal seputar kegiatan mengaji dan manajemen pesantren belaka, tidak kurang
tidak lebih dan pastinya tidak ada sangkut pautnya dengan hati. Galau rasanya pasti
hatiku.
“Ya Rabb,
tunjukkanlah pada Hamba jalan cinta yang Kau ridhai! Hanya Engkaulah yang
mengetahui isi kalbu Hamba.” Dalam do’aku aku menangis. Hening malam terasa di
atas sajadah ini. Dingin menyelimuti kulit yang terbasahi air wudhu yang dingin
serasa es ini. Tetapi tidak menyurutkan kekhusyukan munajat cintaku.
Terlintas wajah Neng Fatimah dan Dik Umi. Dalam hati kuberbisik lirih: <Mengapa
harus dua wajah ini sih yang muncul dalam otakku?>
“Tunjukkanlah
diantara dua orang ini Ya Ilahii! Mana yang pantas bersanding dengan Hamba.
Yang paling shalihah diantara keduanya.” Pintaku, mengingat dalam hidupku, aku
tergetar oleh keberadaan mereka berdua. Kupikir Bu Umi juga menaruh rasa
padaku. Karena dia sering tersenyum salah tingkah ketika aku bertanya soal
keluarganya atau pekerjaannya. Tetapi aku lebih kuat dan mengarahkan do’a ini
terutama pada Neng Fatimah. Air mataku tak habis berderai, pelan meluncur ke sajadah
di atas bumi. Kemudian rasa kantuk mulai menyerang kelopak mataku. Aku
membaringkan punggung ke tembok dan mulai tertidur karena kecapekan setelah
mengajar seharian tadi pagi hingga senja hari. Malam bertambah sepi dan
burung-burung satu per satu mulai berkicau termasuk ayam-ayam jago mulai
berkokok. Jam empat akan segera hadir dan adzan shubuh menanti para jama’ah
pejuang shubuh. Aku yakin bahwa seorang yang bangun sebelum shubuh dan
istiqamah bermunajat akan dinaikkan derajatnya oleh Allah Swt.
*******
Di sore hari
yang indah dengan siratan mega syafaq merah oranye. Di mana mega merah yang
melukiskan diri di langit dan burung-burung kesana-kemari bersiap-siap menuju
sarangnya, tampak Abah Rasyid sedang bercakap-cakap dengan anak gadisnya.
“Pak Rahmat,
yang anggota dewan komite madrasah, menyuruh kita untuk menyelesaikan
surat-surat terkait akreditasi pesantren. Kamu bantu ya, neng!” ujar beliau
pada Neng Fatimah kemudian bergegas ke ndalem kembali. Gadis itu mengangguk
seraya tersenyum manis. Dia berjalan menuju teras untuk mengambil beberapa
dokumen yang diminta oleh abahnya tadi. Setumpuk silabi dan kurikulum ditumpuk
di meja. Dia memanggil beberapa santri putra senior untuk membantu membawakan. Oleh
beberapa santri putrid disediakan makanan seperti jajanan pasar dan gorengan
untuk melepas lelah, tak lupa beberapa iris buah semangka untuk kesegaran. Sudah
terhitung dua kali ini pesantren modern itu diakreditasi. Kemudian tak lupa
sejumlah sertifikat dan juga piala dijejerkan di teras ndalem untuk
dibersihkan dari debu karena telah lama disimpan dalam almari. Hal yang biasa
dilakukan oleh semua lembaga pendidikan ketika tim assessor dari Jakarta
datang.
“Kang, tolong
cekkan dokumen-dokumen itu. Urutkan dari mana yang paling penting sampai yang
agak penting. Saya tidak begitu paham.” Pinta Neng Fatimah padaku, Hanif.
Kebetulan sekali hari ini aku kosong mengajar, hanya kebagian piket guru saja.
Jadi, aku fokuskan untuk membantu Neng Fatimah menata dokumen-dokumen dan arsip
dari tahun 1999 hingga 2015. Cukup sulit juga ketika memilah mana yang paling
penting ke agak penting. Karena saking banyaknya dokumen yang harus dikeluarkan
kemudian ditata kembali. Dan kami hanya berdua yang memahami dokumen
berdasarkan tahun dikeluarkannya. Dan yang dicatat adalah 5 tahun terakhir.
“Neng, saya
boleh keluar sebentar?” pintaku berbalas padanya. Dia hanya menundukkan kepala
sepertinya memasang wajah yang sibuk. Padahal biasanya dia tersenyum dahulu
baru menunduk. Aku segera bergegas ke kamar pengurus dan meminta Kang Sholeh,
salah satu pengurus senior untuk membantu.
“Kang, tolong
dibantu ya!” pintaku padanya.
“Siap, kang.
Mumpung belum ada kegiatan.” Balasnya sambil terkekeh. Kulihat Neng Fatimah
masih saja memilih berkas-berkas dan tidak menoleh sedikitpun. Toh mengajak
bicara ketika matanya menemukan sesuatu yang harus ditata dan bersifat penting.
Dia benar-benar shalihah sekali. Sementara Kang Sholeh selesai menyirami bunga
di depan kamar segera menyabet sarung dan dipakainya. Dia lari menuju ndalem
dan aku mengikutinya dari belakang dengan berjalan biasa.
“Kang, tolong
pisahkan antara berkas santri dengan para ustadz! Nanti kalau tercampur tim assessor
akan kesulitan dalam menilai.” Perintah Neng Fatimah pada Kang Sholeh. Kang Sholeh
yang sudah sangat siap membantu segera melaksanakan apa yang diperintahkan oleh
Neng Fatimah.
<Dari
mana dia bisa tahu skema penilaian akreditasi ya? Hem, entahlah, yang penting
sendhiko dhawuh saja>. Kataku dalam hati terkesima. Aku sedari tadi hanya
mendengarkan instruksinya yang makin lama makin membuatku capek saja. Giring ke
sana, tata di sini. Pilih yang ini, buang yang itu. Hatiku makin berat menahan
emosi ketka harus menggeser lokasi lemari besar-besar yang ada di perpustakaan
pesantren bersama santri senior yang lainnya.
“Kang Sholeh,
terimakasih atas bantuannya. Sampeyan bisa kembali ke kamar.” Kata Neng
Fatimah tegas sambil mengangkat alisnya yang mulai berkeringat kecil-kecil itu.
Meskipun begitu, dia tetap saja cantik.
“Njeh, neng.
Pareng riyin!” kata kang Sholeh segera berjalan kembali ke kamarnya setelah
dia selesai membantu gadis itu diikuti oleh santri yang lain seusai makan
bersama. <Loh kok, Kang Sholeh saja?> dalam hatiku memberontak.
Khawatir akan terjadi hal yang tak terduga dan aku jelas belum siap
menerimanya.
“Ya!” jawab
Neng Fatimah tak sedikitpun menoleh pada Kang Sholeh. Aku masih berdiri di
depannya menunggu perintah yang baru. Dia kemudian mengambil sesuatu dari
sakunya. Tisu kering. Dia mulai mengelap keringatnya sendiri dan kemudian
melihatku yang sepertinya sudah banjir keringat. Dia sodorkan tisu yang lain
kemudian tersenyum. Senyum itulah yang kurindukan.
“Capek kang?”
tanyanya agak manja.
“Belum, neng.”
Jawabku malu-malu. Sepertinya dia tahu kalau tubuh ini sudah pegal semua. <Kalau
dia jadi istriku pasti nanti malam sudah kusuruh untuk memijat sendi-sendi ini>
jeritku dalam hati kesetanan.
“Njenengan
tinggal menyusun kuesioner untuk para ustadz. Temanya tentang peningkatan SDM.
Untuk para santri, biar saya yang urus. Terimakasih atas bantuannya, njeh
kang! Jangan ke kamar dulu, ada sesuatu di dapur yang bisa dimakan.” Katanya
terang sekali dan mendamaikan perut ini yang dari tadi keroncongan. <Tapi
kok hanya aku yang ditawari? Padahal Kang Sholeh ikut membantu.> Aku masih
saja memberontak dari hati meski hati kecilku riang bahagia.
Sebutan njenengan
dan upah kerjaku berupa makanan sangat berbeda levelnya dengan Kang Soleh yang
hanya dipanggil dengan Sampeyan dan beberapa santri yang sehabis makan
jajanan pasar lalu langsung ke kamar masing-masing itu. Aku tersenyum dan
berterimakasih pada Neng Fatimah yang pilih kasih itu.
Ketika aku
bergegas ke dapur, benar-benar Masya Allah. Daging ayam dibakar dan
dibalut dengan bumbu yang sedap, kecapnya juga hitam legam dan kuahnya wow.
Sepertinya bisa memuaskan perutku yang lapar ini. Aku memakannya dengan lahap.
Tidak lupa kuiriskan sedikit untuk Kang Sholeh yang sudah membantuku. Meskipun
seberat apapun tugas yang ditumpukkan oleh Neng Fatimah kepadaku, tetapi jika
semua ini demi cinta maka akan kulakukan. Dan melalui perantaraan makanan ini,
semoga menjadi langkah awal yang
memuluskan cinta Neng Fatimah padaku. Amiin Ya Rabb! Neng Fatimah segera
ke kamarnya dan seusai makan aku pamitan Bu Nyai untuk kembali ke kamar,
persiapan shalat maghrib.
5.
Sekolah Cintaku
Aku Hanif,
berangkat ke kantor agak siang karena hari ini akan ada agenda bongkar
pesantren lama untuk kemudian direnovasi menjadi empat lantai. Tentunya,
material yang masih dapat dipakai tetap digunakan agar pahala infaq para
sesepuh pesantren tetap mengalir pahalanya. Aku melihat Nduk Hajar berlari-lari
kecil sambil memakan es krim rasa vanilla yang dibeli dari Pak Dudung, penjual
es langganan pondok. Kebiasaan semenjak TK dimanjakan dengan es krim, terbawa
hingga MI.
<Dasar
anak manja!>, pikirku dalam hati sambil terkekeh pelan. Aku juga melihat
Neng Fatimah berjalan di belakangnya sambil membuntuti adiknya. Mungkin
berjaga-jaga kalau-kalau Nduk Hajar jalan ke tengah jalan raya. Karena
pesantren dan sekolah tempat aku mengajar tidak jauh jaraknya dan kedua lokasi
terletak persis di tepi jalan utama yang ramai kendaraan. Jadi perlu perhatian
ekstra untuk murid seumuran Nduk Hajar. Neng Fatimah dibalut dengan jilbab
hijau muda dan baju panjang khas neng pondok berwarna hijau daun. Anggun dan
cantik, sesuai dengan akhlaknya. Aku terkesima dibuatnya.
<Ah, aku
ini mah siapa?>, apalagi kalau teringat pembicaraan Dik Umi dan Bu Riska
ketika itu. Aku masih berdiri di pos satpam sambil menunggu anak-anak didikku semuanya
bersalaman dengan guru-guru dan gerbang segera ditutup oleh pak Manto, security
yang setia menunggu dan berjaga demi keamanan anak-anak MI. Saat melintas
di hadapanku Neng Fatimah berpesan, “Kang, tolong jagakan adik saya njeh.
Dia agak manja dan nakal, kalau nakal, boleh dijewer kok.” Sambil melirik
adiknya yang berhenti makan es krim karena tersentil pesan itu. Langsung
cemberut lucu.
“Njeh,
neng. Saya akan menjaganya, begitu pula anak-anak yang lain.” Aku jawab dengan
bijaknya mengingat yang dididik di sini bukan hanya keluarga ndalem
saja, melainkan penduduk sekitar pesantren dan luar kota juga. Aku mengatakan
hal itu seraya tersenyum hormat padanya. Lalu gerbang mulai ditutup perlahan
oleh Pak Manto, Neng Fatimah tersenyum simpul lalu meninggalkanku yang
terkesima memandangnya dari sekolah hingga dia masuk gerbang pondok putri.
<Andai
saja aku sanggup mempersuntingnya, maka dunia akhirat akan bahagia>.
Pikirku dalam hati. Tak kusangka ternyata Pak Manto sedari tadi memperhatikan
ekspresiku. Dia menyenggol siku tanganku dan berujar, “Mas, awas, gerbangnya
tak bisa ditutup kalo mas masih bengong aja di situ!” Akupun jadi salah tingkah
karena lamunan ini terbuyarkan karena suara itu. Aku tersenyum malu dan segera
keluar dari teras sekolah sambil menundukkan kepala. Dia malah terbahak-bahak
sambil berujar keras, “Kalo cinta mah, langsung aja lamar, mas!” Aku berlari,
malu sekali akan kejujurannya itu. Suaranya itu lho! Kenapa hidupku menjadi
serba cinta seperti ini ya? Berbunga-bunga.
********
Di hari
selanjutnya, di dalam kelas tempat aku mengajar saat itu, aku masih saja
terbawa bayang wajah Neng Fatimah yang bersih dan ayu itu. Sesaat lamunanku
terbaca oleh salah satu murid kesayanganku, Thole Ibrahim.
“Pak guru,
melamun ya? Hayo ngelamunin siapa?” sambil tunjuk-tunjuk seperti di sinetron
saja. Aku langsung duduk memperhatikan wajahnya yang masih polos itu.
“Pak guru sedang
berpikir, apa kamu sudah mengerjakan PR, hemm?” segera kujawab dengan
mengalihkan perhatian. Dia langsung cengengesan lalu menjawab:
“Sudah Pak
guru. Yang PR matematika sudah selesai. Tinggal tugas PKN saja.” Ya kebetulan
dia adalah yang paling cerdas diantara teman-teman seusianya. Seharusnya dia
masih duduk di kelas satu, tetapi karena kecerdasannya itulah dia masuk kelas
akselerasi, sehingga duduk di kelas tiga. Kasihan anak-anak sekarang harus
menjalani sistem pendidikan seperti ini. Sebenarnya, aku tidak setuju dengan
hal seperti ini, memeras otak saja! Lebih baik anak juga dididik akhlaq dan
adab bukan intelenjensia saja.
“Ya sudah, Pak
guru meminta kamu duduk kembali! Anak-anak mari buka buku paket kalian halaman
50. Andre, coba dibaca paragrap pertama!” perintahku pada anak-anak seraya
memimpin jalannya pembelajaran.
“Susi sedang
membantu ibunya belanja di pasar. Dia ditemani oleh kakaknya yang bernama Didi.
Dia sangat senang membantu ibunya. Mereka berdua pulang membawa semua daftar
belanja dan mengembalikan uang sisa kepada ibunya. Karena berkat kejujuran
mereka berdua, akhirnya ibunya membelikan roti lapis kepada mereka berdua
sebagai imbalan.” Baca Andre, salah satu muridku yang meraih rangking dua di
kelasnya. Kelas berjalan seperti biasanya, kondusif dan antusias sekali
anak-anak dalam menerima pelajaran dan berinteraksi di kelas. Sampai akhirnya
bel pergantian mata pelajaran dibunyikan. Bu Umi sudah berada di depan kelas
menunggu. Kami berjalan berpapasan. Dia tersenyum kemudian menundukkan
pandangan. Dalam hati Umi, sebenarnya gelora cintanya sedang tampak bergemuruh.
Sebelum memulai pelajaran, dia tersenyum kembali sambil menatap anak-anak
didiknya. Sementara aku, Hanif, sudah sampai di kantor tanpa mengetahui apa
sebenarnya yang sedang ada di hati Umi.
*******
Saat itu waktu
siang menjelang senja di bulan ramadhan. Matahari sudah agak dingin kali ini
menenteramkan dahaga orang-orang yang sedang berpuasa. Tidak seperti saat jam
sebelas lalu ketika aku berada di kantor saat pergantian jam yang panasnya
minta ampun. Bahkan debu-debu yang beterbangan menjadi saksi akan teriknya sang
surya sekaligus membuat kerongkongan menjadi serak. Tetapi kini sudah tidak
lagi. Apalagi ditambah dengan masuknya Bu Umi ke kantor, tambah dingin karena teduhnya
pandangannya dalam memandang teman-teman sekantor dan keanggunan cara jalannya
itu menyihir suasana yang awalnya panas menjadi biasa saja. Guru-guru laki-laki
sejenak menatapnya, termasuk aku-Hanif, tetapi aku perhatikan dia sebentar saja
sebab aku masih tertuju pada komputer kantor untuk entry data nilai
anak-anak sebelum UTS dilaksanakan. Shalah, seorang guru di sebelahku berbisik
pada guru yang ada di depannya, “Itu guru cantik ya. Seharusnya dia jadi
pramugari saja!” aku jadi tersenyum dibuatnya.
“Betul, Pak
Shalah. Jadi pramugrari saja.” Jawab Pak Shomad sambil nyerocos mulutnya,
menahan air liur.
“Ah, Pak Shomad
bisa saja. Iya, cantik sih. Gimana Mas Fikri, ada seger-seger tuh!” Kata Pak
Thohir menimpali.
“Ah, semenjak Bu Umi mengajar di sini, tidak
habis-habisnya bapak-bapak ini membahasnya. Tetapi apa tidak salah kalau Pak
Thohir berbisik pada orang tua seperti saya?” ujar Pak Fikri sambil
cengar-cengir. Seorang operator data sekolah juga sepertiku. Usianya 37
tahun. Belum beristri.
“Ya, mbok
menowo jodoh kan nggak ke mana. Kalau kita mah sudah teramat tua. Hahaha.”
Kata Pak Thohir yang terkekeh di pojok meja sambil mengusap kepalanya yang
botak itu.
Pak Shomad
adalah guru Bahasa Jawa kelas enam. Dia berperawakan pendek dengan kulit cokelat
sawo matang. Mungkin sudah kematengan kali ya. Hehe. Dia cukup cerdas jika
dihadapkan dengan urusan menggoda tetapi sayangnya dia belum pernah berhasil
untuk mengungkapkan perasaan cinta kepada gadis manapun. Buktinya? Ya, Pak
Shomad memang masih membujang di usianya yang sudah kepala 4! Dan wajahnya
tidak cukup tampan jika dijodohkan dengan Bu Umi, jadi tidak cocok. Apalagi Pak
Shalah, wajahnya jangan dikatakan lagi sebab usianya sudah menginjak kepala 5.
Dia sudah beristri dua kali. Pertama dia ceraikan gara-gara masalah nafkah yang
kurang banyak. Dan baru empat bulan kemudian, dia menikah lagi dengan seorang
santriwati kelas 3 ‘ulya setingkat mahasiswi semester 6 lah. Kasihan
jika Bu Umi mendapatkan dia. Tetapi jika Allah yang menghendaki, apalah daya
kan? Sementara Pak Thohir, dia adalah guru IPA kelas lima. Orangnya cukup
tampan untuk bapak-bapak seusia 50 tahun. Dia sudah memiliki 4 anak dan
semuanya sudah lulus SMP dan SMA. Sehingga tidak begitu tertarik untuk membahas
cinta. Yang ada di otaknya ya hanya ibadah, kebutuhan rumah dan investasi.
“Ya, tidaklah.
Paling tidak kan bapak bisa menghibur saya dengan nasehat-nasehat untuk nanti
saya persiapkan guna meminangnya (Umi).” Terkekehlah Pak Shomad sambil
mengeraskan kalimat tadi dan melirik Dik Umi.
<Kalian
terlalu berharap! Memangnya dunia ini seperti yang terjadi di film FTV atau
film Korea?Langsung jatuh cinta dalam sekejap pandang?> pikirku sambil
sedikit-sedikit melihat iba ke wajah Bu Umi. Bu Umi tampak malu-malu kemudian
menatapku pelan. Aku tidak tahu apa yang diinginkannya. Perhatian atau meminta
pertolongan agar membungkam mulut mereka berdua atau yang lain. Maka aku mulai
bersuara juga saking jengkelnya, “Bu Umi, ada yang bisa saya bantu?” Bu Umi
kaget dan kemudian menunduk pelan sambil geleng-geleng kepala. Kasihan dia.
Suasana di kantor cukup memanas dua derajat karena kejadian ini. Dan semua diam
ketika Bu Kepala Sekolah masuk ke kantor dan menyodorkan kepada mereka tugas
yang yang harus diselesaikan: monitoring guru. Semua diam dan mulai
mengeluhkan keriwinan tugas tersebut. <Rasakan!> Pikirku
meledek.
Di tengah
percakapan mereka, ada sesosok yang mengawasi dari luar, Dia adalah Ahmad
Tohari. Tukang kebun sekolah itu. Tohari mengepalkan tangan. Entah apa yang ada
dalam pikirannya. Tetapi hal itu tak kubuat pusing meskipun ada gemuruh kecil
di dadaku. <Perasaan apa ini? Kok tidak enak?> pekikku dalam hati.
*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar