Sabtu, 13 Januari 2018

Romansa Cinta 1

1.      Pertemuan Dua Hati
(terinspirasi dari perjalananku 3 bulan lalu ke PP. Al-Husain, Magelang)

Aku masih teringat dengan kejadian lima tahun yang lalu ketika aku mendaftar di pesantren ini. Ketika itu aku duduk di sekretariat dan melihat-lihat administrasi masuk pesantren. Begitu banyak dan membuatku lemas. Birokrasi di Indonesia masih saja berbelit-belit jika ingin menuju puncak kesuksesan. Ingin derajat diangkat? Ya harus berjuang mati-matian guna mendapatkannya. Lalu yang kulakukan waktu itu adalah berjuang melengkapi persyaratan baik yang administratif maupun akademis. Semua kelar dalam kurun waktu seminggu. Alhamdulillah, alam masih mendukungku untuk tetap bertahan di atas bumi ini.
 Satu hal yang masih terus bersarang di otakku adalah ketika itu pagi hari. Awan begitu sedikit di langit yang biru. Anginpun berhembus sepoi pelan. Burung-burung lebih memilih berkicau di dahan pepohonan yang rindang itu. Hawa waktu itu sedikit hangat, sehingga bunga-bunga sedia untuk mekar. Aroma harum tercium sebentar-sebentar jika tertiup angin. Segar di hidung yang sempit ini. Ada bidadari lewat: Neng Fatimah. Dia adalah cahaya dalam hari ini. Kupu-kupu dengan sayap yang warna-warni. Seperti ingin ditangkap saja. Dia bagaikan salju bersih yang belum mendarat ke tanah. Dialah angin yang bersama awan kemanapun. Mungkin akulah awannya. Entah kenapa degub jantung ini bertembah ritmenya dan aku bisa sepuitis ini padahal aku tidak belajar sastra secara intens. Entahlah rasa cinta ini sepertinya yang akan memperkuat segalanya di hidupku di hari-hari selanjutnya.
*******
Hari Senin pagi, adalah awal dari aktivitas setiap manusia di bumi ini. Aktivitas apapun mulai dari bermain bagi anak-anak PAUD, belajar bagi kaum pelajar dan mahasiswa-santri, serta seorang pekerja yang seperti aku ini. Begitu pula bagi dewan pengasuh PP. Al-Huda, mereka mengabdikan diri untuk mencerdaskan bangsa demi persiapan masa depan negeri yang lebih baik. Hari Senin adalah hari teristimewa bagiku. Karena dapat satu majelis ilmu dengan Neng Fatimah (hatiku kala itu masih dipenuhi oleh ego rendah). Majelis tafsir hadits bersama Abah Yai Rasyid. Mata pelajaran terfavorit di pesantrem bagi kami para santri yang ingin mengkorelasikan dunia nyata dengan hukum-hukum klasik, atau menganalisa hikmah yang terungkap dalam kisah-kisah riwayat Rasulullah sebagai pedoman hidup dan pelita dalam berjuang di dunia ini.
Pagi ini cerah berawan. Kata berita cuaca di TV saat aku sarapan setelah mengikuti majelis ilmu. Ya, mungkin secerah hatiku saat ini. Aku bisa melihat sekilas wajah Neng Fatimah yang lewat di dapur saat aku melahap masakan buatannya. Ini adalah menu untuk calon suami, dan akan menguatkanku saat mengajar nanti hingga sore hari. <pikirku kePDan kala itu>. Wajah ayu bersih yang meneduhkan dan menundukkan nafsu itu sangat kurindui. Jilbab kurung berwarna biru tua, favoritku. Wajah yang memancarkan cahaya bekas wudhu. Benar-benar shalihah gadis satu ini. Jika aku bisa menjadi suaminya, pasti aku akan bahagia dunia akhirat. Intinya, aku akan menjadi semakin baik pula berkat dukungannya. Cinta adalah anugerah dari-Nya yang cukup besar bagiku. Jadi tak perlu kutolak mentah-mentah dong.
Tetapi pikiranku kembali mengakar, aku mah siapa atuh? Hanya debu yang siap diterbangkan angin di padang sahara yang sangat luas. Bahkan jika disamakan dengan debu neraka saja aku tak sebanding. Tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengannya. Nyaliku kembali ciut dan kemudian aku perbanyak membaca kalimah istighfar pada-Nya. Sang Maha Cinta. Aku harus banyak-banyak refleksi, muhasabah dan memperbaiki akhlak dan ilmu agama serta bekal diri jika ingin mendapatkan istri semulia dia, “ Ah Neng Fatimah… kamu membuatku mabuk cinta.” Aku mulai mengigau karena aku sadar aku kesiangan. Baru bangun dari tidur panjangku. Aku ingat semalam aku begadang bersama Kang Sulaiman membahas masa depan bangsa dan agama ini. Aku berkesempatan tidur baru pada pukul 02.00 WIB dini hari.
“Wah gawat, sudah bakda shubuh!” teriakku saat terbangun kesiangan. Aku harus segera menarik handuk dari tali jemuran pakaian menuju kamar mandi. Aku mandi, berwudhu, menunaikan shalat shubuh di kamar dan menstater motorku (memanaskan mesinnya) guna persiapan berangkat ke MI!” kataku tergesa-gesa mengambil sandal dari longan kasur. <Bodoh, bodoh, bodoh! Dibodohi oleh mimpi tentang cinta abstrak!> Bisik syetan mengejekku dari bilik hati sebelah kiri. Aku merengut sambil kembali ke kamar untuk melipati selimut dan jaket tidur.
MasyaAllah, tidak ada yang berani membangunkanku!” teriakku kesal meski terdengar pelan sambil melihat sekeliling. Para santri sudah siap dengan seragam SMP dan SMKnya. Sementara aku yang diamanahi sebagai lurah kamar masih enak-enakan tidur sedari tadi. Innalillah! Ini mah bukan pagi yang cerah, tetapi awal dari sialnya aku kelak di akhirat. Pikirku mencaci diriku sendiri. Beginilah jadinya jika terlalu dalam tenggelam dalam telaga merah jambu ketika berdakwah di pesantren.
“Aku harus bertaubat mulai sekarang. Kalau perlu taubat yang nashuha. Aku harus selesaikan dulu tujuan impianku terdekat ini. Tidak boleh lagi terpikirkan oleh abstraksi cinta.” Tekadku dalam hati. Aku berjalan ke motorku yang baru: Vixion. Dalam shalat shubuhku tadi aku pasrah. Dalam do’aku aku memohon:
“Ya Allah Yang Maha Pengampun, Ampuni dosa-dosa Hamba, hapus segala kesalahan Hamba, kuatkanlah Hamba di jalan dakwah ini, tegarkanlah dan bersih hati dalam membentengi diri dari hal-hal yang menggoyahkan terutama cinta ini! Karena hanya kepada Engkau Hamba meratap dan memohon ampunan. Semoga ke depan lebih baik. Amiin.” Aku mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahku yang masih tersisa bekas tidur kesiangan. Aku kusut dan merasa tenang ketika mulai berdzikir “Ya Lathif” sebanyak seribu kali sambil mengoperasikan motor ini ke jalanan yang padat kendaraan. Tidak ada yang mengganggu meski aku
di keramaian. Semua kukembalikan pada-Nya.
********
Suatu pagi, setelah mandi dan sarapan jatah para santri berakhir, aku segera berjalan menuju ke sekolah tempat aku mengajar, MI Al-Huda. Sebuah sekolah kecil dengan enam kelas minimalis. Atau bisa dikatakan satu kelas rata-rata terdiri dari sepuluh anak. Karena 80% murid adalah santri pesantren dan sisanya warga desa. Seperti kebiasaan para santri, murid-murid yang kuajar mudah lelah dan mengantuk karena jadwal mengaji juga dari siang hingga ashar. Kemudian lanjut madrasah diniyah hingga jam 5 sore. Malamnya sehabis maghrib dan sehabis isya hingga pukul 10 malam ada kajian kitab turats. Kemudian bakda shubuh juga hingga pukul 6 pagi ada kajian tadabbur Al-Qur’an atau hadits tarbawi. Padat sekali untuk porsi waktu kelas anak MI. Kebiasaan buruk lainnya adalah seringnya mereka nyokor atau minimal memakai sandal ketika pembelajaran berlangsung di kelas. Terkadang juga seragam yang dipakai tidak sesuai jadwal dan alasannya sangat klasik: masih basah, baru dicuci tadi pagi. Bodoh kan? Belajar manajemen waktunya gimana kalau seperti itu? Jadi jika menginginkan kemajuan dari sekolah ini harus bertahap dan seorang guru harus ekstra bersabar jika ingin menerapkan peraturan di sekolah ini.
Hari ini pelajaran pertama adalah matematika. Anak-anak begitu antusias mengikutinya karena mereka dituntut oleh pesantren untuk mendalami ilmu sains dan matematika. Dan hal ini menjadi kurikulum wajib dari kemendikbud sejak lahirnya UU Sisdiknas. Aku sangat bersemangat dalam mengajar mereka karena mereka juga aktif menanggapi dan menjawab soal-soal yang ada dari soal yang mereka hadapi sehari-hari. Bukan soal dari buku.
Assalamu’alaikum!” sapa seseorang di muka pintu. Wajahku menoleh pelan dan deg, jantungku berhenti pelan sejenak. Kutatap mata bulat yang indah itu. Siapa dia?
Wa’alaikum salam warohmah…” jawab para murid serentak. Aku terkejut dan ikut di belakang jawaban mereka. Ada murid baru. Matanya itu lho, indah banget.
“Mulai hari ini Pak Hanif, ada murid pindahan dari kota. Ayo beri salam!” tutur kepala sekolah kepadaku dan kepada gadis kecil itu. Kepala sekolah mengantarkannya ke dalam kelas sambil tersenyum menggoda kepadaku.
“Selamat pagi Pak guru! Perkenalkan nama saya Hajar Istiqamah” katanya fasih sekali. Dia mulai perkenalan dan menyebutkan identitasnya hingga ada kalimat seperti ini: “Aku sangat bahagia jika mempunyai kakak ipar yang suka belikan es krim tiap harinya.”
<Ih, imut sekali gadis satu ini>. Hatiku bergumam, <Kakak ipar? Berarti dia mempunyai kakak perempuan dong. Siapa ya?>. Muncul dari belakang pintu seorang kakak perempuan yang tidak asing bagiku. Neng Fatimah! Aku terbelalak seakan tidak percaya kalau dia masih punya adik. Karena semenjak aku mendaftar di pesantren ini, Bu Nyai Rohmah tidak pernah mengajak Nduk Hajar satu ini ke kompleks pesantren. Tetapi setelah kuamati wajah Nduk Hajar ini kembar dengan wajah kakaknya. Imut.
“Mohon dibimbing adik saya, Pak Hanif” katanya seraya terenyum malu-malu.
<Ah, dia memanggil namaku bukan profesiku. Betapa bahagianya diriku pagi ini! Ini adalah kenangan termanis dalam hidup.> pekikku dalam hati, riang sekali.
 “Iya, mbak!” jawabku teramat kikuk. Kepala sekolah menangkap hal itu. Pipiku memerah dan konsentrasiku benar-benar pecah hari itu. Hari yang tidak dapat kulupakan dalam seumur hidupku.
2.      Tadabbur yang Mengharukan
Aku baru sadar setelah sekian lama ini menjalani studi di pesantren bahwa hidup itu membutuhkan ilmu agama beserta perluasan dan pendalaman. Ini sudah tiga tahun pertama aku studi di pesantren ini. Baru kali ini aku menikmati salah satu pelajaran yakni tadabbur Al-Qur’an yang diajarkan oleh salah satu ustadz yang bernama Dr. Karim, Lc. MA (lulusan S3 UGM yang juga mengajar sebagai dosen tetap di UIN Semarang). Beliau yang merupakan anak sulung dari Abah Rasyid, pemilik sekaligus pengasuh utama pesantren ini mampu menselaraskan tafsir dengan realita kehidupan ditambah lagi beliau mampu menggunakan alat peraga dan hasil penelitian di jaman kini. Penjelasannya juga sangat rinci bahkan hingga tafsir per kata setiap ayatnya dengan pendekatan multi bidang ilmu. Aku suka itu, beliaupun menggunakan bahasa kaum remaja jadi asyik ketika diikuti.
Salah satu materi yang kuingat adalah saat menyampaikan tentang Islam Nusantara yang rahmatan lil ‘alamin meskipun masih menjadi perdebatan ulama khalaf masa kini. Yah, Islam yang menawarkan perdamaian dan kasih sayang seluruh semesta ini menjadi problem ketika orang-orang kemudian berpemikiran skeptis bahwa Islam Nusantara hanya dibatasi kewilayahan. Sehingga nanti dikhawatirkan akan muncul istilah Islam Malaysia, Islam Arab, Islam Amerika, dan kawan-kawannya. Tetapi  Mas Karim mengatakan yang dimaksud dengan Islam Nusantara itu adalah yang mengakar pada budaya luhur dan bersifat mendamaikan dunia. Dia bisa ditinjau dari berbagai disiplin ilmu dan menjadi mata kuliah wajib S2 di jurusan Islam Nusantara UNU Jakarta.
 Jika ditinjau dari segi fikih saja dalil-dalil Al-Qur’an ada yang bersifat qath’iiyat dan dhonniyat. Yang qath’iyyat contohnya adalah perintah shalat. Bahwa shalat itu wajib ‘ain hukumnya. Sementara cara memahami hadits fi’liyah menurut masing-masing madzhab adalah bersifat ijtihadiyat/dhonniyat itu sendiri. Kemudian ditinjau dari segi bahasa pula, Islam Nusantara adalah yang mampu berinteraksi dengan budaya setempat. Karena sebelum Islam suatu daerah sangat pasti kental dengan ajaran luhur dan budaya filosofis yang dapat saling bersinergi dan terus disempurnakan oleh Islam. Karena berislam tidak mengharuskan proses arabisasi dan begitu pula sebaliknya, orang Arab tidak harus beragama Islam meski prose berIslam itu sangat perlu untuk semua manusia. Itulah keindahan Islam Nusantara, tidak memaksa. Kata beliau, Islam Nusantara ini dapat disinergikan dengan paham ahlussunnah wal jama’ah. Dengan begitu setiap orang yang hadir dalam majelis mampu berkesimpulan bahwa Islam ahlussunnah wal jama’ah sungguh mendamaikan setiap pola kehidupan dengan menerima adat istiadat setempat bukan kontradiktif. Begitulah isi penjelasan materi tentang Islam Nusantara menurut perspektif beliau.
Dengan ditutupnya majelis dengan do’a kafaratul majlis oleh beliau, waktu yang berdetak hingga dua jam terasa masih kurang bagi para santri karena masih ada banyak pertanyaan yang harus dijawab. Tetapi mau bagaimana lagi karena waktulah yang memisahkan kami, jadi pertanyaan itu ditampung untuk dijawab di pertemuan minggu depan. “Begitu dalam dan luas sekali ilmu dan wawasan Mas Karim akan tafsir ayat-ayat rahmatan lil ‘alamin itu.” Kata Bakaruddin, salah satu santri yang duduk di shaf depan. Sedari tadi dia begitu khusyu’ mendengarkan setiap pemaparan Gus Karim.
 Aku menjadi terinspirasi untuk mengkaji lebih jauh dan lebih dalam akan makna-makna tersirat dari suatu ilmu. Mungkin waktu 7 tahun di sini belum dapat membuka semua rahasia yang disebarkan oleh-Nya di muka bumi. Wallohu a’lam bisshowwab.
*****
Pertemuan kedua dalam satu minggu terakhir ini pun terjadi. Majelis tadabbur Al-Qur’an kembali mengangkat tema yang top: kehidupan Rasulullah. Saw perspektif pendekatan komparatif qashashul Qur’an.
Gus Karim berpendapat, “Dan ketika dipikir-pikir kembali, kita hidup di dunia ini belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan hidup yang dijalani oleh Rasulullah, yang berjuang sangat susah payah dalam memperjuangkan syi’ar Islam. Beliau rela disakiti, diejek, dilempari kotoran bahkan diboikot keluarganya.” Seluruh santri memperhatikan dengan khidmat, meski hal itu sering mereka dengar di kajian PAI di madrasah. Tetapi mendengar dengan bonus penjelasan yang rinci, membuat mereka betah duduk berjam-jam. Mungkin karena dipengaruhi oleh kecintaan mereka akan ilmu.
Membaca kitab Siroh Nabawiyah (nilai-nilai filosofis dari Tarikh Nabi Muhammad Saw) yang dikaitkan dengan majelis tadabbur Al-Qur’an ini sepertinya membuat kita semua patut menjadikan beliau sebagai the best of idol. Idola yang terbaik diantara idola yang baik-baik. Karena beliau adalah cahaya di atas cahaya-pelangi kehidupan manusia, seorang lelaki yang luar biasa. Pemimpin yang terpuji. Beliaulah yang dimuliakan dengan panggilan Nabiyullah Muhammad Saw. Semoga dengan keajeganku menghadiri majelis yang mulia ini, aku mampu memperbaiki diri dan meneladani beliau dalam segala bidang meskipun tidak mampu sempurna seperti para ahlul bayt. Dan yang terpenting dari semua materi di hari ini adalah: Menjadi imam keluarga yang baik kelak ketika bertemu dengan jodohku.
Materi yang disampaikan oleh Mas Karim benar-benar menghujam kuat di kalbuku. Seakan tidak mau lepas dan begitu membekas dalam. Kalimat demi kalimat penuh hikmah dia tanamkan begitu kuat dan berkesan. Tidak sembarang ilmu yang diwariskan tetapi juga penalaran dan analisis dalil yang dapat dijadikan argumen ketika ada yang mendebat kebenaran ini.
“Begitulah Rasulullah berdakwah. Biarkan lelah ini bersarang di tulang-tulang kita. Allahlah yang mengganjar kita semua. Ubahlah kata lelah menjadi lillah! Maka dari itu, tetapkanlah langkah kita di jalan ini, jangan pernah lari darinya! Karena Allah akan menyambut cinta kita kelak ketika kita kembali dalam keadaan fitrah dan bermodalkan dakwah, baik itu dakwah fardiyah maupun perluasan dakwah ke ummat manusia.” Kalimat penutup yang mampu menggelorakan semangat para santri untuk berjuang lii’lali kalimatillah.
Allohu Akbar!” pekik beberapa santri yang duduk di shaf belakang. Menggemuruhkan dada kami semuanya, yang berada di serambi masjid ini.
*********
Pertemuan ketiga majelis tadabbur di minggu ketiga terjadi di hari ini. Tadabbur Al-Qur’an tidak pernah sepi dari jama’ah majelis ilmu yang haus akan samudera ilmu Allah. Tak terasa seminggu telah berlalu, waktu terasa begitu cepat bergulir akhir-akhir ini. Kali ini jama’ah pecinta ilmu yang hadir di majelis penuh hingga meluber di serambi masjid, ada pula yang menggelar tikar di halaman dan area parkir. Tidak hanya santri yang hadir, tetapi warga sekitar dan beberapa jama’ah dari luar kota juga ikut meramaikan masjid. Tema yang diangkat kali ini sebenarnya tidak begitu rumit: yakni tentang hubbul wathan (cinta nusantara) tetapi penjelasannya begitu kompleks hingga ke tataran substansi pancasila yang islami dan menghujam hingga kalbu para jama’ah berdesir bergelora. Seakan hendak mengaktivasi semacam energi pembaharuan untuk negeri.
“Jadi, para ulama’ kala itu, para pahlawan dan para pelajar berdarah-darah demi persatuan bangsa yang hingga kini masih kita nikmati! Maka apakah kita pernah mengisi kemerdekaan dengan berkarya untuk membalas jasa mereka? Apakah kita pernah mengajak anak cucu kita, mendoakan di sisi kubur mereka. Mempunyai foto-foto mereka di rumah? Apa coba yang kita berikan kepada negeri tercinta ini, bisa para jama’ah menjawab? Apa!” Kata Mas Karim menyentak para hadirin ambil berdiri menegakkan telunjuknya ke langit seperti seorang da’i saja. Kemudian dia tersenyum sembari duduk kembali. Jama’ah semua terdiam menunduk. Beberapa mengucapkan takbir keras membahana ruang, ikut menggetarkan partikel udara yang turut bertasbih pada-Nya.
“Maka dari itu, saudaraku seiman, mari kita cintai pahlawan-pahlawan kita, kita hargai perjuangan mereka! Marilah kita bekerja keras demi kemajuan bangsa kita, marilah kita berkarya yang positif dan mendoakan mereka! Agar mereka tersenyum di alam sana akan jerih payah kita mengisi kemerdekaan negeri ini. Jadilah solusi untuk negeri!” Lanjutnya lebih pelan. Air matanya menetes deras. Hati kami menjadi tersentuh dibuatnya. Ya, kami adalah pembaharu negeri, harus siap untuk memperbaiki negeri ini dengan hal-hal yang bermanfaat.
Allohumma sholli ‘ala Muhammad!” teriak para santri yang duduk di belakang. Serentak jama’ah menjawab, “Sholli ‘alaihi wa ‘ala ailhi.”
 .”……” Aku terbisu sejenak pasca menjawab shalawat tersebut, mengutuk diriku yang selama ini belum mampu menyumbangkan karya produktif untuk negeri ini. Tetapi aku berjanji suatu saat setelah keluar dari masjid ini aku harus berkarya sesuai minat-bakatku dan demi negeri tercinta ini. Merdeka! Teriakku melengking di hati. Baru kali ini aku menemukan seorang ustadz kontemporer yang begitu mengharukan dan meninggalkan atsar di kalbu.  Dialah Gus Karim.
3.      Sajak-Sajak Cinta Pertama
Umi Kulsum, seorang lulusan S1 PAI, mantan mahasiswi yang aktif di organisasi dakwah di kampus ternama: IAIN Salatiga. Dia kini mencoba melamar pekerjaan di sebuah sekolah yang ternama dan menjadi favorit di kota juga: MI Al-Huda. Kebetulan sekali saat Umi Kulsum mendaftarkan diri ke MI di Pesantren Al-Huda, apa yang diharapkan selama ini telah terwujud juga. Dia bertemu degan pangeran dalam hidupnya. Dasar singlelillah, seorang wanita yang mengharapkan destinasi cinta yang suci dari hawa nafsu. Cinta yang menyejukkan kalbu dan membersihkan kotoran-kotoran dan penyakit hati. Cinta yang menenteramkan. Pastilah diidam-idamkan seluruh wanita, tidak terkecuali dirinya.
Nama pemuda idamannya itu adalah Muhammad Hanif. Seorang lelaki tampan dan juga sopan. Seorang guru yang juga mengajar di MI tersebut, seorang pemuda yang baru satu tahun mengajar sekaligus nyantri di yayasan pendidikan Islam tersebut. Jadi jarak usia senioritas antara dia dengan Hanif tidak begitu jauh. Saat bertemu tatap adalah ketika dia menjalani tes wawancara kerja di sekretariat yayasan. Saat itu, Hanif terburu-buru masuk dan berkata pada Pak Janu, petugas bagian personalia yayasan itu: “Maaf pak, ada yang tertinggal.” Unggah-ungguhnya, senyum di wajahnya, dan kelembutan suaranya menawan hati Umi. Kesan pertama yang terlihat adalah pemuda itu terlampau sangat baik. Seakan-akan hati Umi dipenuhi oleh bunga, kupu-kupu dan pelangi yang menyejukkan jiwa.
“Apa pak yang tertinggal?” Tanya Pak Janu singkat dan tegas. Tidak bercanda ataupun bermain-main. Itulah watak bawaan Pak Janu semenjak beliau bekerja sebagai guru maple Matematika di sana. Hal inilah yang menegangkan dalam wawancara selama sejam tadi bagi Umi.
“Silabi.” Jawaban singkat dari Hanif tetapi sungguh imut di telinga Umi. Suara-suara kelinci. Lembut menyentuh dinding hatinya.
“Eh,, ada tamu. Assalamu’alaikum, maaf ya Bu (formal). Mari pak!” kata Hanif menyapa Umi dengan membungkukkan punggungnya sedikit dan mohon permisi pada Pak Janu. Keduanya mengangguk. Dalam hati yang terdalam, sebenarnya Umi tidak ingin wajah itu hilang darinya. Diikuti pandangan mengawasi olehnya meskipun tak seliar wanita pada umumnya. Wanita berjilbab kurung itu menjaga dirinya dari segala yang menyesatkan dirinya dalam jurang kemaksiatan.
<Sebuah kelas atau kantor? Kantor guru.  Mungkin dia adalah guru di sini ya?> Tanya Umi dalam hati.
Wa’alaikum salam. Iya.” Jawaban Umi sangat telat mengingat dia menjawab salam itu setelah sosok itu hilang dari matanya. Dia sungguh terkesima. Tidak banyak lelaki yang dia temui seperti Hanif. Bahkan sangat langka. Lelaki yang biasa saja, sederhana dan sopannya itu lho tidak ketulungan.
“Baiklah mari kita lanjutkan pertanyaannya.” Tegas Pak Janu membuyarkan lamunan Umi. Umi tersenyum malu dan untuk sesaat kemudian dia mengangguk pelan. Sungguh shalihah wanita satu ini.
********
Aku Hanif. Seorang pemuda yang dikenal oleh warga yayasan sebagai orang yang lembut dan sangat baik hati. Tetapi pada kenyataannya, mereka tetap tak mengetahui aibku yang sebenarnya. Karena ditutupi oleh-Nya. Di hatiku ada sesuatu yang mengganggu. Entahlah kenapa setiap Neng Fatimah didekati oleh Kang Sulaiman hatiku seperti terbakar. Di manapun dan pada saat suasana apapun. Inikah yang dianamakan cemburu itu? Cemburu adalah gejala dari cinta dan harus ada di dalamnya, itu kata seorang pujangga. Tetapi buat apa aku cemburu segala sementara aku hanyalah santri biasa dan bukan siapa-siapa di sini. Aku hanya seorang guru yang diangkat oleh Abah karena sering tidur di pagi hari. Abah berpikir itu adalah kegiatan yang kurang produktif, maka dari itu aku disuruh beliau untuk mengajar di madrasah ibtidaiyah.
Akulah debu yang masuk ke rongga hidung dan harus dikeluarkan melalui bersin. Akulah debu yang siap diterbangkan oleh angin di padang sahara yang luas. Masih banyak mutiara dan permata yang lebih unggul dariku yang hanya batu kali. Dialah Kang Sulaiman yang selalu menjadi the best of santri di sini. Lha aku mah siapa atuh?
“Neng, sayurannya mau di taruh di dapur sekalian atau di taruh di teras?” tegur Kang Sulaiman pada Neng Fatimah di depan teras ndalem abah yai, membuyarkan lamunanku. Dia berdiri tepat di depanku.
 <Huh, seperti itu saja masih nanya. Udah turunkan di teras saja. Biar aku yang mengantarkan ke dapur sekalian ngobrol bebas dengan Neng Fatimah!> dalam hatiku berontak bisikan syetan yang masyuk. Dalam cerita cinta, pasti ada tokoh lelaki dan wanita. Dan ada juga penjahatnya, maaf maksudku orang ketiga. Bagiku Kang Sulaiman lah orangnya. Tetapi malaikat kembali menuntunku untuk sadar, aku mah siapa atuh? Aku jadi tertunduk ke bumi. Tempat aku kelak dikebumikan.
“Taruh di teras aja kang! Terimakasih ya udah mau bantu bawakan.” Jawab Neng Fatimah seraya tersenyum. Senyum yang membuatku semakin terbakar meskipun indahnya benar-benar meneduhkan setiap pandangan lelaki. Senyum yang seharusnya ditujukan untukku. Setelah melihat ke arahku, Neng Fatimah juga tersenyum padaku lalu menundukkan wajah. Simbol penghormatan, kemudian masuk ke ndalem. <Ah, aku juga disenyumi ternyata! Aku masih berguna ternyata! Aku masih dianggap ada ternyata!> dalam hatiku aku galau sekali dan bercampur bahagia. Ternyata Neng Fatimah bukan tipe wanita yang selektif dalam bergaul. Aku salah selama ini mengira bahwa dia jatuh hati pada Kang Sulaiman. Atau memang adakah bibit cinta yang tertanam dalam hatinya? Entahlah, hanya Allah Swt dan dirinya yang tahu.
Njeh, neng!” jawab Kang Sulaiman semangat sambil senyum-senyum pula.
<Hih, kalau bukan karena aku seorang Muslim pasti sudah kutampar wajahnya itu! Kenapa juga aku yang diajaknya ke sini? Mau memanas-manasi hatiku?> Syetan kembali merasuk mengompori hatiku untuk membenci Kang Sulaiman.
<Astaghfirullah. Sadar, memangnya siapa aku?> Dalam hatiku malaikat ganti memimpin pembicaraan, mengingatkan diri-sendiri. Kang Sulaiman berjalan ke kamarnya sambil mengusap wajahnya sesekali seakan telah mendapat durian runtuh saja. Dia hanya menyapa saja, bukan membawakan sayuran sebanyak setomblok ini. Lalu buat apa basa-basi segala tadi? Cari perhatian? Dasar kurang kerjaan!
 Sementara aku menuju teras dan mengambil sayuran untuk kubawa ke dalam dapur. Saatnya beraksi, menyambut cinta atau sekedar menawarkan bantuan pada Neng Fatimah. Tetapi setiba di dapur, ternyata tidak ada seorangpun. Aku telat dalam mengejar putri Abah itu, mungkin Neng Fatimah terlalu capek dari pasar dan langsung ke kamarnya. Entahlah kenapa aku sial di hari ini. Mungkin di hari lain, aku punya kesempatan yang lebih baik dan hal itu harus kuyakini lebih kuat lagi. Kulihat langit penuh dengan mendung, barangkali sinyal handphone ataupun data akan sulit terbaca. Jadi lebih baik muraja’ah hafalan Al-Qur’an saja di siang hari ini. Aku berjalan kembali ke kamar setelah menata sayuran di amben beton tempat meracik makanan para ibu embannya bu Nyai. Aku rebahkan punggungku sejenak untuk mengembalikan kelurusannya lantas mengambil Al-Qur’an. Membuka halaman demi halaman kemudian mulai mengulang-ulang bacaan. Terasa nyaman di dadaku meskipun kepalaku akhir-akhir ini agak pusing rasanya. Bagiku, Al-Qur’an mampu mengobatinya, karena dia adalah syifa’ lil mukminin wal mukminat.  
*******
Persaingan cintaku dengan kang Sulaiman semakin hari semakin parah dan berujung perkelahian. Aku akui karena meskipun pengaruh gaya hidup warga di sini sudah madani tetapi bisikan syetan dalam dada semakin kuat dan mengalahkanku pada dilema hati. Di lain sisi aku menghormatinya sebagai lurah ma’had, di sisi lain aku menganggapnya sebagai rival dalam meraih cinta Neng Fatimah, bahkan mungkin sebagai musuh besar dalam hidup.
Sampai suatu hari, aku beranikan diri untuk masuk ke kamarnya dan mulai bercakap-cakap, awalnya tema pembicaraan hanya sebatas tentang dalil-dalil ahlussunnah wal jama’ah, tujuan awal hanya ingin menguji apakah dia sanggup menjawab problem yang dihadapi oleh Kaum Wahabbi yang menolak keras terhadap dalail saat purna majelis tadabbur Al-Qur’an binaan Gus Karim malam senin itu. Tetapi kemudian pertahanan argumenku justru merembet pada pertengkaran karena masalah kemarin. Sayuran. Padahal ya tidak ada kaitannya sama sekali.
“Kang, katanya kemarin nawarin mau taruh mana sayurannya. Eh, kok nyelonong pulang!” aku mulai pembicaraan langsung dengan rasa pedas level 3 sembari berjalan ke kamar kami.
“Memangnya kenapa, tidak boleh masuk hingga ke dapur?” tanyanya balik menantangku. Dia terkekeh juga, tanpa meneloeh sedikitpun ke wajahku. Menambah panasnya pedas kalbuku.
“Kang, kita ini santri. Punya etika, masak hanya karena seorang neng meminta bantuan untuk membawakan belanjaan dari pasar, kemudian sampeyan menawarkan diri terlalu jauh. Alibi yang sempurna.” Jawabku seperti kereta yang berjalan. Lancar, tak kuduga aku juga dapat panjang-lebar seperti itu. Agaknya syetan sudah merasuki otakku lebih mahir. Gara-gara cinta monyet. Ah, kenapa juga menyalahkan syetan, ini kan hawa nafsu amarahku sendiri?
“Alibi katamu? Bukankah seorang santri harus mengabdi penuh pada keluarga Abah?” jawabnya semakin membuatku panas saja, dia benar di satu sisi. Tetapi kalbuku semakin sakit terhadap dalil pembenarannya itu. Alih-alih mengabdi penuh, ada maunya tuh! Dia masuk kamar langsung membuka kitab turats dan mulai muraja’ah arti pegon. Aku tak berani lagi meneruskan pernyataan jengkelku padanya. Dan esoknya setelah lelah mengajar MI, aku mulai kembali perdebatan itu:
“Kang, apakah karena nafsu yang menuntun sampeyan hingga menawarkan bantuan itu?” aku mulai menyekaknya. Hawa di sekitar juga mulai gerah karena terik di siang hari. Dia diam sebentar. Mungkin menata kalimat yang pas untuk menyerangku.
“Nafsu? Hemm, apakah dirimu marah seperti ini karena cemburu dan bernafsu untuk memiliki Neng Fatimah? ……..” Dia diam sejenak memberi waktu padaku, kemudian beristighfar, dadaku bergemuruh mendengarnya, kemudian kami menunduk, merasa terlalu jauh dalam membahas ini. Dia menuju kamar mandi untuk berwudhu dan kemudian bersalaman padaku. Pertempuran dalam urusan cinta monyet berakhir di sini. Para santri yang lain hanya mengintip dari kamar. Tidak berani mencampuri urusan kami, takut dihukum mungkin, karena kami yang senior ini. Meskipun dalam sikap kami lebih kekanak-kanakan.
“Apakah karena ini kita membahas lebih jauh? Aku minta maaf jika selama ini merusak hubungan kalian. Aku tahu kamu suka padanya. Dan lebih baik aku mengalah saja.” Kata Kang Sulaiman mengakhiri pembicaraan. Dia berjalan menuju masjid untuk bersiap-siap adzan dhuhur.
“Maaf, kang. Aku berlebihan.” Kataku sambil menatap punggungnya, menyesal. Dia berhenti melangkah, berbalik dan mencoba tersenyum ramah. Kemudian menyambutku dalam pelukan seorang sahabat. Itulah yang terjadi di pesantren selama ini. Masalah kecil selalu dapat terselesaikan segera karena peran akhlaq. Akhlaq senantiasa diutamakan di setiap pesantren.
“Kamu santai saja, tadi pagi aku sudah pamit Abah karena di kampungku membutuhkan tenaga dakwah. Jadi mulai besok, aku akan kemas-kemas dan meninggalkan pesantren ini. Dan pesanku hanya satu: jika kamu jatuh hati dan serius pada Neng Fatimah, janganlah kamu sakiti hatinya dengan harapan kosong. Nikahilah dia!” Aku terbisu hingga dia berlari ke masjid sambil menahan tangis. Oh Tuhan, dia menangis! Air matanya itu kuanggap sebagai kekalahan bagiku dan kemenangan sejati baginya, lelaki sejati. Dia benar-benar santri yang shalih, pikirku menghujat diri sendiri. Kalimat amar untuk menikahi Neng Fatimah membuatku bergetar. Sedalam inikah nanti endingnya? Entahlah, hanya Dia yang tahu skenario terbaik untuk kami berdua.
*********
Ternyata benar, esok harinya, Kang Sulaiman berkemas-kemas pamit boyong. Dia melangkah ke arah ndalem. Dia disalami oleh beberapa santri yang berbaris di luar halaman ndalem dengan setia dan takdzim padanya. Adapula yang menyuarakan takbir. Aku malu sekali akan ingatan tentang kejadian kemarin. Bagiku, peristiwa ini benar-benar menohokku sebagai manusia yang benar-benar khilaf. Sementara dia berjalan begitu santai dengan pandangan ke bumi, tawadlu’. Mulai hari ini dia dianggap sebagai kiyai di desanya sendiri.
<Selamat berjuang Kang Sulaiman! Semoga perjuangan dakwahmu mampu membangun bangsa ini menjadi lebih baik>. Jeritku dalam hati.
Jelas aku tidak berani mendekat padanya. Air mataku menetes deras karena kepergiannya. Apalagi setelah dia tampak ngobrol sebentar dengan Neng Fatimah. Neng Fatimah menatapku sambil tersenyum. Bertambah malu aku dibuatnya. Seakan dia tahu apa yang ada di hatiku selama ini. Aku memalingkan muka dan mengusap air mata ini. Betapa memalukannya aku, toh aku mah siapa atuh? Aku tundukkan kepala ke bumi. Dia kemudian melanjutkan obrolannya. Kulihat langkah Kang Sulaiman mendekatiku. Langkahnya tersa berat dan semakin membebani hatiku. Aku salahkan diri ini gara-gara kejadian kemarin itu.
“Sudahlah, tidak usah dipikirkan! Gusthi Allah sudah menentukan takdir, dan takdir itu pasti baik untukmu.” Katanya kini semakin berwibawa.
Njeh, kang.” Jawabku pelan. Air mataku mulai terkumpul kembali di pelupuk mata. Siap-siap untuk terjun parasut bebas.
“Kapan-kapan aku akan main ke sini dan menjengukmu, kawan.” Lanjutnya sambil tersenyum seperti tidak ada dendam padaku. Aku justru mengutuk diriku yang rapuh oleh amarah kemarin itu.
Njeh kang, terimakasih.” Jawabanku masih saja datar karena sesal ini masih bersarang di dada.
“Yang lalu biarlah berlalu. Sambutlah cintamu dengan perjuangan dan berakhir dalam kebahagiaan!” Dia masih tersenyum dengan kalimat bijaknya itu dan bersalaman denganku begitu ramah. Sekali lagi aku memeluknya erat. Ada gemuruh hebat di dadaku. Aku menangis sesenggukan penuh sesal.
“Maafkan aku njeh, kang, huhu!” kataku sambil menangis.
“Sudah-sudah, jangan menangis, malu tahu dilihat keluarga Abah! Iya, kawan. Sama-sama.” Dia menepuk pundakku. Kulihat Neng Fatimah tersenyum melihat kami baikan kembali. Aku tidak tahu apakah dia tahu masalah kemarin. Tetapi husnudhanku berkata bahwa dia tahu kami sahabatan sejak kecil dan mondok di sini. Inilah fakta akhlak yang diwariskan oleh ajaran Islam yang luhur. Saling berkompetisi tetapi saling mengisi satu sama lain, bukan malah menjegal kawan atau mitra hidup seperti yang dipertontonkan dalam sinetron yang katanya islami. Itu mah hanya ada di FTV. Dia menyalami Abah Rasyid untuk kesekian kalinya. Mencium punggung tangannya dan bergegas berjalan menuju jalan raya. Menuju terminal dakwahnya. Langit begitu cerah menyambutnya. Mungkin hanya awan mendung yang bersarang di hatiku kini. Dia mah cerah sekali. Kami seperti langit dan bumi saja di hari ini.
******
Tidak ada saingan dalam mengejar cinta bukan berarti masalah telah berakhir. Aku harus memulainya dari awal kembali, dari nol. Mengenal Neng Fatimah lebih jauh dan lebih mendalam, itulah yang dinamakan serius dalam meraih cinta. Kalau kemarin, aku ke mana-mana di belakang Kang Sulaiman, sehingga tidak ketahuan gelagat jatuh cinta. Kini timbul pertanyaan dalam hatiku: <Darimana aku memulai, itulah masalahnya. Bagaimana caranya? Masak alasannya sama, mengantar sayuran ke dapur? Ah, itu mah klasik dan membosankan bagiku. Cara lain, mungkin apa ya?> Aku yang dari tadi berbaring di kamar untuk terus saja berpikir keras untuk ta’aruf dengan baik-baik. Lama-lama jadi sumpek juga. Aku beringsut dari kasur dan berjalan ke luar.
Mencari inspirasi untuk mendekati Neng Fatimah, itulah salah satu kalimat yang terus terngiang dalam otakku. <Aduh, bagaimana caranya agar aku dapat mendekati Abah dan memilih momen terbaik agar kami (aku dan Neng Fatimah) lebih dekat?> Aku pergi ke dapur setelah segala kegiatan pembelajaran di pesantren berakhir dan kebetulan ini adalah hari minggu. Libur mengajar meskipun kegiatan mengaji masih tetap dijalankan. Jadwal mengaji santri sudah selesai di pukul 22.00 WIB.  Jadi Mbok Painah, khadimah Abah yang selama ini bekerja di dapur, mungkin juga sudah selesai memasak dan menyajikannya untuk para santri di kantin. Mungkin aku harus ke sana untuk meminta satu hal. Barangkali ada inspirasi baru.
Saat pintu dapur terbuka, aku mengucap salam dan mendekat ke Mbok Painah.
“Ada apa kang, nyari-nyari simbok? Ada yang bisa Mbok bantu?” katanya sambil tersenyum, mungkin dia sudah lebih paham apa maksud kedatanganku malam itu, karena sudah banyak santri yang melakukannya demi bisa dekat dengan si gadis Abah itu.
“Begini mbok, saya butuh ……”
“Nomor handphone Neng Fatimah kan?” belum selesai aku mengutarakan niatku, Mbok Painah sudah menyela dengan cepat sambil tersenyum menggoda. Aku tertunduk, tersenyum malu.
“Ah, simbok ini. Saya kan belum mengutarakan apa maksud sebenarnya.” Kataku membela diri. Meski dalam hati aku berteriak hebat dan meski dia belum memberikan kejelasannya.
“Santai saja, belum ada yang mbok kasih selain kamu kok.” Aku terkejut dengan jawaban itu. Tetapi ketika kutanya alasan kenapanya, dia hanya menjawab, “Karena Neng Fatimah hanya inginkan komunikasi aktif darimu. Semenjak Kang Sulaiman boyong, dia tidak punya teman curhat. Paling-paling Mbak Umi. Itupun dia gadis yang lugu. Belum tahu hal beginian.” Aku merasa ada air sejuk mengalir di hatiku dan mungkin dadaku agak mengembang karena sombong. Ah, aku dapatkan segera kini. Tetapi sedekat itukah Neng Fatimah dengan Bu Umi? Hal itu menjadi pertanyaan baru yang terus terngiang di otakku.
“Jadi selama ini Kang Sulaiman sering dicurhati Neng Fatimah, mbok? Mbak Umi? Mbak Umi yang mana sih mbok?” tanyaku nyerocos saja untuk mengkorfirmasi pernyataannya. Dia malah bicara dengan mengarahkan telapak tangannya seakan berbisik:
“Iya, kamu belum tahu tho. Tidak usah mbok kasih tahu penjelasan panjang lebarnya ya. Tapi untuk Mbak Umi itu… itu lho, yang santri baru. Yang mendaftar di MI tempat sampeyan ngajar itu.”
“Hah? Mbak yang berjilbab kurung itu? Oh..” jawabku sambil mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti. Tetapi apa hubungannya denganku. Sepertinya tidak atau sementara ini belum ada.
“Jadi minta nomer telepon nggak nih?” tanyanya persuasif sekali sambil mengetuk-ketukkan jari telunjuk kanannya ke dagunya yang mulai berkeriput itu.
“Wah, lain kali saja, mbok. Tetapi, kalau Neng Fatimahnya butuh saya, mbok langsung saja panggil saya, ya!” jawabku sambil cengengesan.
“Ye, ada maunya ajah!” kata simbok centil. Wah, usia tua memang tidak membatasi seseorang untuk tampil trendy ya, kayaknya. Aku bergegas kembali ke kamar. Kerisauanku untuk PDKT sudah tercover oleh pernyataan Simbok Painah. Semoga saja ke depannya lebih baik. Aamiin.
*****
Aku Hanif. Waktu terus berlalu dan hal yang kutakutkan muncul juga. Entahlah apa yang kupikirkan sekarang ini setelah mendapat nomor telepon dari Mbok Painah kemarin itu. Seminggu setelah Mbok Painah menawarkan nomer handphone Neng Fatimah, dia benar-benar memberikannya padaku. Hatiku tambah kacau, pikiranku menjadi tak karuan. Menghafalkan Al-Qur’an jadi belibet.
<Apakah ini rasanya setelah mendapati cinta yang belum jelas terbalaskan?> kataku dalam hati sambil deg-degan hatiku dibuatnya. Ketika melihat wajahnya, bergemuruh hatiku seperti ada beban seberat 500 kilogram menimpuk di bahuku. Dan ketika wajah itu menjauh, hatiku sangat merindu dan kalut sekali. Tubuhku serasa beku seketika. Berharap sekali aku memiliki cintanya tetapi aku sadar bahwa aku belum siap menjalani cinta ini. Berkali-kali aku pertimbangkan untuk memencet tombol hijau di handphone pesantren ini, atau menghapus setiap kalimat yang sudah kuketik sebagai sms permulaan. Kapan aku mengirimkan kepadanya? Aku belum berani.
Aku galau, terlalu terlena pada keanggunan Neng Fatimah.
<Sekedar menyenangkan nafsuku saja.> mungkin ada bisikan syetan yang masuk. Tapi tetap saja kutepis ajakan itu. Aku ingin sembuh dari kegalauan ini. Setiap kali kupanjatkan do’a untuk menguatkan diri dalam menshalihkan diri ini dan atau agar dia senantiasa dianugerahi kebahagiaan. Itu saja yang kulakukan selama ini: berdo’a di tengah malam yang sepi, ke hadirat-Nya.
<Mungkin aku harus segera mencari teman yang dapat aku curhati. Kalau santri-santri, sepertinya mustahil karena mereka semua lebih muda dariku bahkan jaraknya ada yang lima tahun atau sepuluh tahun lebih muda. Benar-benar cinta monyet jika aku curhat kepada mereka. Lalu siapa ya? Kalau sowan kepada Abah, mungkin Abah akan tahu perasaanku pada Neng Fatimah. Apalagi kepada Bu Nyai yang tegas itu. Apa itu tidak gawat namanya? Bagaimana kalau beliau-beliau ini murka mendengarnya? Tidak, jangan sekarang. Mbok Painah? Ah, dia mah malah akan membumbui curhatanku jika dia kujadikan makcomblang. Bang Tohari? Ah, dia terlalu pendiam. Bagaimana kalau dia malah senyum-senyum doang? Bang Tegar pemilik warung makan seberang jalan itu? Ah ya, mungkin saja dia akan mendengarku. Mungkin suatu saat aku akan curhat padanya saja. Semoga saja dimudahkan, amiin!> dalam hatiku bisikan-bisikan seperti hadir begitu saja.
Aku terhenyak dari lamunanku ketika para santri madrasah diniyah mengajakku makan ke ndalem. Mereka ingin kupesankan makanan. Apalagi Sul, yang paling kecil. Merengek karena sudah merasa lapar melilit perutnya. Hampir saja dia menangis, tapi kakaknya, Zulfa menenangkannya dengan menunjukkannya pelangi di langit yang mendung itu. Jadi aku segera bangkit dari kamar dan mengambil beberapa piring untuk mereka dan berjalan ke dapur.
<Semoga saja bisa sekalian bertemu Neng Fatimah>. Pikirku lemah.
Setiba di dapur, aku melongok ke sana kemari. Tidak ada sosok Neng Fatimah. Mbok Painah langsung nyeletuk, “Nengnya sedang keluar. Mungkin nanti malam baru pulang. Katanya ada acara studi banding pesantren bersama dewan pengasuh di pondok-pondok luar kota. Santai saja kali, sebentar lagi kan malam!” Aku hanya tersenyum sambil mengambil jatah makan para santri, dalam hatiku aku berteriak: <Ah, tahu saja yang kupikirkan Mbok!> Sementara itu santri-santri sudah menunggu di saung-saung di tepi pesantren. Aku melangkah keluar tanpa kata menuju tempat mereka menunggu jatah makanan. Setiba di tepi pesantren, kami mencari tempat yang tepat untuk nongkrong. Dan kami sepakat untuk duduk di salah satu saung terbesar. Mumpung masih kosong dan kamipun makan bersama. Bersama dalam kebahagiaan. Aku memandang di sekeliling sambil memangku Sul yang masih kelas TK kecil itu. Tidak ada siapa-siapa kecuali kami berempat: aku, Sul, Zulfa dan Shalih. Shalih adalah yang tertua dari Sul dan Zulfa. Dia kini sudah duduk di kelas 1 SMP. Sebentar lagi dia akan naik kelas. Dan aku adalah pengurus kamar untuk mereka. Mereka bertiga makan dengan lahapnya. Aku memandang jauh ke depan sambil tersenyum. Adakah jawabannya di sana?

4.      Sajadah Cinta-Mu
Dalam malam yang indah. Dalam malam yang dingin dan di dalam malam yang sepi senyap, di mana segala partikel yang terbang di udara berdzikir pada-Nya membuat masjid pesantren terasa sungguh damai. Apalagi jika tempat tersebut digunakan sebagai tempat tuk merenung. Begitu halnya dengan yang dilakukan oleh Ustadzah Umi. Seorang ustadzah baru yang mendaftar di MI Al-Huda itu. Dingin tak menjadi alasan baginya tuk surut dalam sujudnya. Bahkan sedingin apapun air yang digunakan untuk berwudhu, dia tetap menciduknya dan membasuh ke wajahnya yang ayu itu. Itulah keteguhan imannya pada Allah Swt.
Dalam do’anya, dia meminta: “Ya Rabb, tunjukkanlah hamba-Mu ini, calon imam hamba! Agar hamba dapat mengukuhkan hati tuk menggapai ridha-Mu! Yang mencintai hamba sepenuh hatinya. Yang mampu melindungi hamba dari segala coba dan bahaya dengan kekuasaan-Mu. Dan dia yang mau menerima segala kesalahan hamba dan dicarikan solusinya. Dia yang mau menuntun hamba untuk semakin taat dan mencintai-Mu dan Rasul kekasih-Mu.” Munajat Umi dalam tahajjudnya. Tentunya hatinya tergetar hebat ketika dalam hening dia teringat wajah Hanif. <Ya semoga saja pria itu adalah jawaban yang dia cari selama ini>, pikirnya dalam kalbu yang terdalam. Manusia hanya dapat berharap, Tuhan yang bertindak.
Terdengar suara jengkerik bernyanyi riang mendengar do’a-do’a rindunya di luar kamarnya yang berukuran 5x5 meter. Cukup lebar untuk kamar seorang gadis.
Amin-amin ya Allah.” Umi menutup munajatnya seraya mengusap wajahnya kemudian melepas rukuhnya dan beringsut ke kasur. Dalam hatinya, hanya wajah Hanif yang terlintas. “Astaghfirullah, kenapa aku terus terbayang wajah Mas Hanif, Ya Allah? Ampuni hamba, njeh!” Tanpa sepengetahuan Umi, ada seseorang dengan menenteng sapu melihat ke arah kamarnya itu, penuh harap. Sekelebat lalu bayangan orang itu pergi. Entah hendak berniat apa. Gadis itu sejenak berfikir tetapi dia merasa hal itu tidak apa-apa. Maka dia kembali ke kasur dan memejamkan mata sejenak seraya menunggu adzan shubuh berkumandang. Di mana bedug dan kenthongan akan bertalu-talu setelah ayam berkokok begitu membahana di udara.
******
Hari ini pagi begitu cerah. Tidak ada satupun awan cumulus yang dilukis oleh Malaikat Mikail. Tetapi tetap saja ia menampilkan kebiruan langit yang terasa sejuk dipandang mata. Jalan-jalan di sekitar pesantrenpun juga bersih dari kotoran maupun dedaunan kering. Yang biasanya beterbangan setelah terik sang mentari di musim kemarau panjang ini. Sebab di pagi buta sudah disapu warga dan juga oleh para santri putri. Itulah sebab lingkungan pesantren senantiasa nyaman dihuni dan dilihat warga setempat maupun wali santri yang berkunjung tanpa harus menunggu adanya tamu yang hadir. Para tamupun akan betah berlama-lama ketika sowan ke ndalem Abah yai jika seperti ini kondisinya.
Sayangnya, keindahan pagi ini tidak sama indahnya dengan hati dan pikiranku yang kacau. Aku, Hanif sang guru MI, terus terpikirkan akan wajah Dik Umi karena berpapasan kemarin di sekolah. Dia adalah guru magang yang baru mendaftar tiga bulan lalu. Aku hanya sekedar kenal namanya dari seorang rekan sekantor, tetapi kata teman-teman di kantor, Dik Umi sangat mengenal kepribadianku hanya dengan ngobrol selama setengah hari dengan Bu Riska, guru Biologi 2 hari yang lalu. Aku memanggilnya Dik Umi karena dia sangat muda, usianya kira-kira sekitar 24 tahun. Lima tahun di bawahku. Tetapi ketika kami di kantor, aku tetap memanggilnya Bu Umi. Agar terkesan profesionalitaslah. Sementara Bu Riska adalah guru senior berusia 45 tahun dan sudah mengabdi di sekolah tempat aku mengajar selama 20 tahun. Jadi beliau sangat kenal sekali dengan tingkah laku maupun cara bicaraku yang masih junior ini. Kesan seperti ini bahaya sekali ketika kesalahan-kesalahan naifku terbongkar di hadapan Dik Umi. Aku sedikit menguping pembahasan mereka, karena kantor kami disekat jadi mungkin mereka tidak tahu kalau aku di sini sebab sejak pagi baru aku saja yang sudah berangkat, sementara mereka baru saja tiba. Awalnya pembahasan mereka masih formal mengenai kurikulum terbaru yang diterapkan di sekolah ini. Tetapi kemudian apa yang kutakutkan muncul juga.
“Memangnya Pak Hanif orangnya begitu bu?” Tanya Dik Umi pada salah satu guru yang berbarengan dengannya masuk ke kantor.
“Iya, dia itu aktif mengajar TPA, sering shalat berjama’ah dan menjadi muadzin di masjid jami’. Masak Bu Umi belum tahu? Dia itu keren sebagai santri maupun guru. Kurang apa coba? Gadis mana yang tidak mau sama dia. Mungkin saja Neng Fatimah juga menaruh hati padanya, tho?” kata guru itu berlagak menjelaskan ala ibu-ibu gitu.
“Neng Fatimah ya? Yang cantik itu kan?” Tanya Dik Umi polos tetapi pandangannya tertunduk lesu. Seperti ada semacam energi kuat menusuk dirinya.
“Iya, Neng Fatimah putri Abah Rasyid!” Kalimat terakhir membuatku serasa tersambar petir. Masak Neng Fatimah menyukaiku? Aku tersenyum bahagia sekaligus merasa berdosa. Tersenyum karena aku juga jatuh cinta padanya serasa mendapatkan angin segar di padang sahara, merasa berdosa karena aku hanyalah santri bodoh yang mungkin tidak masuk dalam kriteria Abah. Sangat kontras dengan apa yang telah diperjuangkan oleh Kang Sulaiman. Lurah pondok yang dulu itu.
<Ah ini kan cuma gosip, buat apa kubuat serius>. Pikirku dalam hati. Saat aku keluar dari kantor, kedua guru itu tersentak dan diam. Dik Umi menundukkan pandangan semakin dalam dan pipinya memerah, mungkin takut atau malu. Sementara Bu Riska, guru yang kumaksud sedari tadi, yang menjelaskan segalanya pada Dik Umi, menyapa, “Selamat pagi, Pak Hanif. Tumben masuk pagi.” Dengan senyum palsunya, wajah munafik innocentnya itu membuatku geregetan itu, aku tahu kalau dia menutupi pembicaraan tadi atau malu akan apa yang dia bahas barusan? Ah, sepertinya mustahil sebab dia itu tidak tahu malu. Aku tersenyum dan berkata renyah, “Pagi juga Bu Riska, Bu Umi. Mari saya duluan masuk, ada jam pelajaran pagi jam pertama soalnya. Saya masuk duluan ya!” Kulihat sekilas pipi Bu Umi semakin memerah. Mungkin dia juga malu padaku. Kemudian segera aku masuk ke kelas, mengajar seperti biasanya. Tetapi dalam dadaku, masih ada gemuruh marah karena mereka tadi membahasku. Terlintas di pikiranku: <Ada apa sih, apa pentingnya aku bagi mereka hingga menganggapku baik coba?>. Manusia selalu begitu, yang dilihat hanya yang dhahir saja. Jika mereka mengetahui aibku selama ini, maka mereka tidak akan menganggapku sebagai orang yang baik bahkan diidamkan.
******
Senja hari yang indah. Tampak matahari berwarna merah keemasan berlari ke ufuk barat. Menyiratkan warna oranye serta jingga pada awan di sekitarnya. Awan dan langit sedikit terkena dampak lukisan sinarnya. Burung-burung kelelawar mulai menari bolak-balik di atas kebun pisang milik Abah Rasyid. Sholawat Tarhim mulai dikumandangkan oleh sang muadzin. Tanda waktu menjelang shalat maghrib. Para santri putra mulai bersiap-siap memakai koko, surban atau sajadah di pundak, kitab suci di tangan dan tak lupa pecis berwarna putih bersih. Ada pula yang masih mengantre mandi. Sementara santri putri sudah berbondong-bondong berjalan menuju pelataran masjid, ada pula yang sudah shalat tahiyyatul masjid atau sekedar berdzikir, iktikaf di sana sambil menunggu Abah memimpin shalat berjama’ah. Intinya mereka segera ke masjid jami’ yang terletak persis di samping pesantren. Masjid yang dikelilingi oleh pohon-pohon rindang membuat setiap jama’ah nyaman di dalamnya karena kaya akan oksigen di pagi hingga senja hari. Masjid hijau yang sengaja dibangun untuk dipakai warga dan para santri ini selalu saja membludak jama’ahnya baik itu shalat maghrib, isya’ maupun shubuh. Sungguh pemandangan yang indah ketika melihat persatuan dan kekentalan spiritualitas warga di sini. Jadi teringat kampungku dulu yang selalu setia berjama’ah di surau kecil tepi jalan. Meskipun sederhana bangunannya tetapi ramai sekali jama’aahnya. Berbeda dengan masjid-masjid pada umumnya yang bagus bangunannya tetapi sepi jama’ah yang shalat di dalamnya.
Setelah sesaat adzan dikumandangkan dan beberapa jama’ah shalat qabliyah maghrib, datanglah Kang Sulaiman ke beranda masjid sambil mengikuti para santri yang tersisa berjalan. Ini sudah beberapa tahun semenjak Kang Sulaiman pergi meninggalkan pesantren ini. Tetapi berkat kebijakan dari Abah, dia kembali untuk mengabdi dan ceritanya, dia sudah menikah dengan seorang hafidzoh di desanya dan dianugerahi satu putri yang cantik, mewarisi wajahnya yang tampan. Orang yang baik akan mendapatkan jodoh yang baik pula.
Sudah menjadi kewajiban bagi santri untuk shalat berjama’ah terutama shalat maghrib dan Isya’. Sehingga yang tersisa di pesantren hanyalah security yakni Mas Karman dan staf dapur alias Mbok Painah. Kebetulan keduanya beragama Budha. Lho agamanya Budha kok mengabdi di pesantren? Sudah menjadi hal yang wajar karena di desa ini toleransi beragama masih kuat dan 30% warga masih beragama Budha. Pesantren ini menjadi benteng akidah sekaligus titik dakwah Islam. Kegiatan-kegiatan dapat disatukan dalam satu bingkai jika masih dalam tataran muamalah. Selama kegiatan ibadah tidak mengganggu maka warga juga santai menanggapinya karena sudah menjadi adat setempat untuk menghormati ritual keagamaan yang dijalankan.
Saat Kang Sulaiman masuk ke dalam masjid, mata para santri putri, tidak semuanya sih yang menatapnya tanpa kedipan. <Memang seorang santri yang tampan>. Pikirku melemah. Seandainya wajah dan aura ketampanan itu dipinjamkan sejenak padaku pasti santri-santri putri juga akan berbuat sama padaku. Itulah anugerah yang diberikan pada Kang Sulaiman. Shalat maghrib segera dilakukan. Selepas itu, ada yang membaca wirid, ada yang berdo’a, ada yang tadarus Al-Qur’an, ada warga yang tiduran menunggu shalat Isya’ dan ada yang mengikuti majelis hadits bersama Bu Nyai Rohmah, termasuk aku. Dengan dibatasi satir pemisah antara santri putra dan putri, kami mendengarkan ceramah Bu Nyai sebagai rutinitas selepas maghrib. Materi yang dibawakan adalah hadis-hadis di Kitab Arba’in Nawawi yang disyarahi dengan bahasa Jawa Kawi. Alhamdulillah kandungannya dapat menghibur hati yang gundah dan semakin mendekatkan kami pada sang Khaliq. Kegiatan majelis ilmu selalu kurindukan dan akan menjadi kawan seumur hidup kelak. Itulah yang dinamakan barakah ilmu. Bermanfaat dunia-akhirat.
*******
Malam hari, di saat langit mulai menghitam. Namun tetap dengan hiasan bintang-gemintangnya. Aku, Hanif. Di dalam masjid, tahajjudku aku bermunajat, mengharap belas cinta kasihnya, mengemis pada-Nya. Karena selama ini aku merasa kesepian dalam mengarungi hidup. Tidur sendirian di kamar sebab santri yang sudah mengajar di MI/MTs wajib tinggal di kamar pribadi selama satu sampai dua tahun masa pengabdian. Setelah itu baru boleh dilaju (berangkat dari rumah, itupun bagi guru yang sudah berkeluarga). Sementara aku sudah tiga tahun menghuni kamar ini dan belum berkeluarga. Dan parahnya, nomor handphone yang diberikan oleh Mbok Painah dulu itu hanya kugunakan untuk bertanya tentang hal-hal seputar kegiatan mengaji dan manajemen pesantren belaka, tidak kurang tidak lebih dan pastinya tidak ada sangkut pautnya dengan hati. Galau rasanya pasti hatiku.
“Ya Rabb, tunjukkanlah pada Hamba jalan cinta yang Kau ridhai! Hanya Engkaulah yang mengetahui isi kalbu Hamba.” Dalam do’aku aku menangis. Hening malam terasa di atas sajadah ini. Dingin menyelimuti kulit yang terbasahi air wudhu yang dingin serasa es ini. Tetapi tidak menyurutkan kekhusyukan munajat cintaku. Terlintas wajah Neng Fatimah dan Dik Umi. Dalam hati kuberbisik lirih: <Mengapa harus dua wajah ini sih yang muncul dalam otakku?>
“Tunjukkanlah diantara dua orang ini Ya Ilahii! Mana yang pantas bersanding dengan Hamba. Yang paling shalihah diantara keduanya.” Pintaku, mengingat dalam hidupku, aku tergetar oleh keberadaan mereka berdua. Kupikir Bu Umi juga menaruh rasa padaku. Karena dia sering tersenyum salah tingkah ketika aku bertanya soal keluarganya atau pekerjaannya. Tetapi aku lebih kuat dan mengarahkan do’a ini terutama pada Neng Fatimah. Air mataku tak habis berderai, pelan meluncur ke sajadah di atas bumi. Kemudian rasa kantuk mulai menyerang kelopak mataku. Aku membaringkan punggung ke tembok dan mulai tertidur karena kecapekan setelah mengajar seharian tadi pagi hingga senja hari. Malam bertambah sepi dan burung-burung satu per satu mulai berkicau termasuk ayam-ayam jago mulai berkokok. Jam empat akan segera hadir dan adzan shubuh menanti para jama’ah pejuang shubuh. Aku yakin bahwa seorang yang bangun sebelum shubuh dan istiqamah bermunajat akan dinaikkan derajatnya oleh Allah Swt.
*******
Di sore hari yang indah dengan siratan mega syafaq merah oranye. Di mana mega merah yang melukiskan diri di langit dan burung-burung kesana-kemari bersiap-siap menuju sarangnya, tampak Abah Rasyid sedang bercakap-cakap dengan anak gadisnya.
“Pak Rahmat, yang anggota dewan komite madrasah, menyuruh kita untuk menyelesaikan surat-surat terkait akreditasi pesantren. Kamu bantu ya, neng!” ujar beliau pada Neng Fatimah kemudian bergegas ke ndalem kembali. Gadis itu mengangguk seraya tersenyum manis. Dia berjalan menuju teras untuk mengambil beberapa dokumen yang diminta oleh abahnya tadi. Setumpuk silabi dan kurikulum ditumpuk di meja. Dia memanggil beberapa santri putra senior untuk membantu membawakan. Oleh beberapa santri putrid disediakan makanan seperti jajanan pasar dan gorengan untuk melepas lelah, tak lupa beberapa iris buah semangka untuk kesegaran. Sudah terhitung dua kali ini pesantren modern itu diakreditasi. Kemudian tak lupa sejumlah sertifikat dan juga piala dijejerkan di teras ndalem untuk dibersihkan dari debu karena telah lama disimpan dalam almari. Hal yang biasa dilakukan oleh semua lembaga pendidikan ketika tim assessor dari Jakarta datang.
“Kang, tolong cekkan dokumen-dokumen itu. Urutkan dari mana yang paling penting sampai yang agak penting. Saya tidak begitu paham.” Pinta Neng Fatimah padaku, Hanif. Kebetulan sekali hari ini aku kosong mengajar, hanya kebagian piket guru saja. Jadi, aku fokuskan untuk membantu Neng Fatimah menata dokumen-dokumen dan arsip dari tahun 1999 hingga 2015. Cukup sulit juga ketika memilah mana yang paling penting ke agak penting. Karena saking banyaknya dokumen yang harus dikeluarkan kemudian ditata kembali. Dan kami hanya berdua yang memahami dokumen berdasarkan tahun dikeluarkannya. Dan yang dicatat adalah 5 tahun terakhir.
“Neng, saya boleh keluar sebentar?” pintaku berbalas padanya. Dia hanya menundukkan kepala sepertinya memasang wajah yang sibuk. Padahal biasanya dia tersenyum dahulu baru menunduk. Aku segera bergegas ke kamar pengurus dan meminta Kang Sholeh, salah satu pengurus senior untuk membantu.
“Kang, tolong dibantu ya!” pintaku padanya.
“Siap, kang. Mumpung belum ada kegiatan.” Balasnya sambil terkekeh. Kulihat Neng Fatimah masih saja memilih berkas-berkas dan tidak menoleh sedikitpun. Toh mengajak bicara ketika matanya menemukan sesuatu yang harus ditata dan bersifat penting. Dia benar-benar shalihah sekali. Sementara Kang Sholeh selesai menyirami bunga di depan kamar segera menyabet sarung dan dipakainya. Dia lari menuju ndalem dan aku mengikutinya dari belakang dengan berjalan biasa.
“Kang, tolong pisahkan antara berkas santri dengan para ustadz! Nanti kalau tercampur tim assessor akan kesulitan dalam menilai.” Perintah Neng Fatimah pada Kang Sholeh. Kang Sholeh yang sudah sangat siap membantu segera melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Neng Fatimah.
<Dari mana dia bisa tahu skema penilaian akreditasi ya? Hem, entahlah, yang penting sendhiko dhawuh saja>. Kataku dalam hati terkesima. Aku sedari tadi hanya mendengarkan instruksinya yang makin lama makin membuatku capek saja. Giring ke sana, tata di sini. Pilih yang ini, buang yang itu. Hatiku makin berat menahan emosi ketka harus menggeser lokasi lemari besar-besar yang ada di perpustakaan pesantren bersama santri senior yang lainnya.
“Kang Sholeh, terimakasih atas bantuannya. Sampeyan bisa kembali ke kamar.” Kata Neng Fatimah tegas sambil mengangkat alisnya yang mulai berkeringat kecil-kecil itu. Meskipun begitu, dia tetap saja cantik.
Njeh, neng. Pareng riyin!” kata kang Sholeh segera berjalan kembali ke kamarnya setelah dia selesai membantu gadis itu diikuti oleh santri yang lain seusai makan bersama. <Loh kok, Kang Sholeh saja?> dalam hatiku memberontak. Khawatir akan terjadi hal yang tak terduga dan aku jelas belum siap menerimanya.
“Ya!” jawab Neng Fatimah tak sedikitpun menoleh pada Kang Sholeh. Aku masih berdiri di depannya menunggu perintah yang baru. Dia kemudian mengambil sesuatu dari sakunya. Tisu kering. Dia mulai mengelap keringatnya sendiri dan kemudian melihatku yang sepertinya sudah banjir keringat. Dia sodorkan tisu yang lain kemudian tersenyum. Senyum itulah yang kurindukan.
“Capek kang?” tanyanya agak manja.
“Belum, neng.” Jawabku malu-malu. Sepertinya dia tahu kalau tubuh ini sudah pegal semua. <Kalau dia jadi istriku pasti nanti malam sudah kusuruh untuk memijat sendi-sendi ini> jeritku dalam hati kesetanan.
Njenengan tinggal menyusun kuesioner untuk para ustadz. Temanya tentang peningkatan SDM. Untuk para santri, biar saya yang urus. Terimakasih atas bantuannya, njeh kang! Jangan ke kamar dulu, ada sesuatu di dapur yang bisa dimakan.” Katanya terang sekali dan mendamaikan perut ini yang dari tadi keroncongan. <Tapi kok hanya aku yang ditawari? Padahal Kang Sholeh ikut membantu.> Aku masih saja memberontak dari hati meski hati kecilku riang bahagia.
Sebutan njenengan dan upah kerjaku berupa makanan sangat berbeda levelnya dengan Kang Soleh yang hanya dipanggil dengan Sampeyan dan beberapa santri yang sehabis makan jajanan pasar lalu langsung ke kamar masing-masing itu. Aku tersenyum dan berterimakasih pada Neng Fatimah yang pilih kasih itu.
Ketika aku bergegas ke dapur, benar-benar Masya Allah. Daging ayam dibakar dan dibalut dengan bumbu yang sedap, kecapnya juga hitam legam dan kuahnya wow. Sepertinya bisa memuaskan perutku yang lapar ini. Aku memakannya dengan lahap. Tidak lupa kuiriskan sedikit untuk Kang Sholeh yang sudah membantuku. Meskipun seberat apapun tugas yang ditumpukkan oleh Neng Fatimah kepadaku, tetapi jika semua ini demi cinta maka akan kulakukan. Dan melalui perantaraan makanan ini, semoga menjadi langkah  awal yang memuluskan cinta Neng Fatimah padaku. Amiin Ya Rabb! Neng Fatimah segera ke kamarnya dan seusai makan aku pamitan Bu Nyai untuk kembali ke kamar, persiapan shalat maghrib.

5.      Sekolah Cintaku
Aku Hanif, berangkat ke kantor agak siang karena hari ini akan ada agenda bongkar pesantren lama untuk kemudian direnovasi menjadi empat lantai. Tentunya, material yang masih dapat dipakai tetap digunakan agar pahala infaq para sesepuh pesantren tetap mengalir pahalanya. Aku melihat Nduk Hajar berlari-lari kecil sambil memakan es krim rasa vanilla yang dibeli dari Pak Dudung, penjual es langganan pondok. Kebiasaan semenjak TK dimanjakan dengan es krim, terbawa hingga MI.
<Dasar anak manja!>, pikirku dalam hati sambil terkekeh pelan. Aku juga melihat Neng Fatimah berjalan di belakangnya sambil membuntuti adiknya. Mungkin berjaga-jaga kalau-kalau Nduk Hajar jalan ke tengah jalan raya. Karena pesantren dan sekolah tempat aku mengajar tidak jauh jaraknya dan kedua lokasi terletak persis di tepi jalan utama yang ramai kendaraan. Jadi perlu perhatian ekstra untuk murid seumuran Nduk Hajar. Neng Fatimah dibalut dengan jilbab hijau muda dan baju panjang khas neng pondok berwarna hijau daun. Anggun dan cantik, sesuai dengan akhlaknya. Aku terkesima dibuatnya.
<Ah, aku ini mah siapa?>, apalagi kalau teringat pembicaraan Dik Umi dan Bu Riska ketika itu. Aku masih berdiri di pos satpam sambil menunggu anak-anak didikku semuanya bersalaman dengan guru-guru dan gerbang segera ditutup oleh pak Manto, security yang setia menunggu dan berjaga demi keamanan anak-anak MI. Saat melintas di hadapanku Neng Fatimah berpesan, “Kang, tolong jagakan adik saya njeh. Dia agak manja dan nakal, kalau nakal, boleh dijewer kok.” Sambil melirik adiknya yang berhenti makan es krim karena tersentil pesan itu. Langsung cemberut lucu.
Njeh, neng. Saya akan menjaganya, begitu pula anak-anak yang lain.” Aku jawab dengan bijaknya mengingat yang dididik di sini bukan hanya keluarga ndalem saja, melainkan penduduk sekitar pesantren dan luar kota juga. Aku mengatakan hal itu seraya tersenyum hormat padanya. Lalu gerbang mulai ditutup perlahan oleh Pak Manto, Neng Fatimah tersenyum simpul lalu meninggalkanku yang terkesima memandangnya dari sekolah hingga dia masuk gerbang pondok putri.
<Andai saja aku sanggup mempersuntingnya, maka dunia akhirat akan bahagia>. Pikirku dalam hati. Tak kusangka ternyata Pak Manto sedari tadi memperhatikan ekspresiku. Dia menyenggol siku tanganku dan berujar, “Mas, awas, gerbangnya tak bisa ditutup kalo mas masih bengong aja di situ!” Akupun jadi salah tingkah karena lamunan ini terbuyarkan karena suara itu. Aku tersenyum malu dan segera keluar dari teras sekolah sambil menundukkan kepala. Dia malah terbahak-bahak sambil berujar keras, “Kalo cinta mah, langsung aja lamar, mas!” Aku berlari, malu sekali akan kejujurannya itu. Suaranya itu lho! Kenapa hidupku menjadi serba cinta seperti ini ya? Berbunga-bunga.
********
Di hari selanjutnya, di dalam kelas tempat aku mengajar saat itu, aku masih saja terbawa bayang wajah Neng Fatimah yang bersih dan ayu itu. Sesaat lamunanku terbaca oleh salah satu murid kesayanganku, Thole Ibrahim.
“Pak guru, melamun ya? Hayo ngelamunin siapa?” sambil tunjuk-tunjuk seperti di sinetron saja. Aku langsung duduk memperhatikan wajahnya yang masih polos itu.
“Pak guru sedang berpikir, apa kamu sudah mengerjakan PR, hemm?” segera kujawab dengan mengalihkan perhatian. Dia langsung cengengesan lalu menjawab:
“Sudah Pak guru. Yang PR matematika sudah selesai. Tinggal tugas PKN saja.” Ya kebetulan dia adalah yang paling cerdas diantara teman-teman seusianya. Seharusnya dia masih duduk di kelas satu, tetapi karena kecerdasannya itulah dia masuk kelas akselerasi, sehingga duduk di kelas tiga. Kasihan anak-anak sekarang harus menjalani sistem pendidikan seperti ini. Sebenarnya, aku tidak setuju dengan hal seperti ini, memeras otak saja! Lebih baik anak juga dididik akhlaq dan adab bukan intelenjensia saja.
“Ya sudah, Pak guru meminta kamu duduk kembali! Anak-anak mari buka buku paket kalian halaman 50. Andre, coba dibaca paragrap pertama!” perintahku pada anak-anak seraya memimpin jalannya pembelajaran.
“Susi sedang membantu ibunya belanja di pasar. Dia ditemani oleh kakaknya yang bernama Didi. Dia sangat senang membantu ibunya. Mereka berdua pulang membawa semua daftar belanja dan mengembalikan uang sisa kepada ibunya. Karena berkat kejujuran mereka berdua, akhirnya ibunya membelikan roti lapis kepada mereka berdua sebagai imbalan.” Baca Andre, salah satu muridku yang meraih rangking dua di kelasnya. Kelas berjalan seperti biasanya, kondusif dan antusias sekali anak-anak dalam menerima pelajaran dan berinteraksi di kelas. Sampai akhirnya bel pergantian mata pelajaran dibunyikan. Bu Umi sudah berada di depan kelas menunggu. Kami berjalan berpapasan. Dia tersenyum kemudian menundukkan pandangan. Dalam hati Umi, sebenarnya gelora cintanya sedang tampak bergemuruh. Sebelum memulai pelajaran, dia tersenyum kembali sambil menatap anak-anak didiknya. Sementara aku, Hanif, sudah sampai di kantor tanpa mengetahui apa sebenarnya yang sedang ada di hati Umi.
*******
Saat itu waktu siang menjelang senja di bulan ramadhan. Matahari sudah agak dingin kali ini menenteramkan dahaga orang-orang yang sedang berpuasa. Tidak seperti saat jam sebelas lalu ketika aku berada di kantor saat pergantian jam yang panasnya minta ampun. Bahkan debu-debu yang beterbangan menjadi saksi akan teriknya sang surya sekaligus membuat kerongkongan menjadi serak. Tetapi kini sudah tidak lagi. Apalagi ditambah dengan masuknya Bu Umi ke kantor, tambah dingin karena teduhnya pandangannya dalam memandang teman-teman sekantor dan keanggunan cara jalannya itu menyihir suasana yang awalnya panas menjadi biasa saja. Guru-guru laki-laki sejenak menatapnya, termasuk aku-Hanif, tetapi aku perhatikan dia sebentar saja sebab aku masih tertuju pada komputer kantor untuk entry data nilai anak-anak sebelum UTS dilaksanakan. Shalah, seorang guru di sebelahku berbisik pada guru yang ada di depannya, “Itu guru cantik ya. Seharusnya dia jadi pramugari saja!” aku jadi tersenyum dibuatnya.
“Betul, Pak Shalah. Jadi pramugrari saja.” Jawab Pak Shomad sambil nyerocos mulutnya, menahan air liur.
“Ah, Pak Shomad bisa saja. Iya, cantik sih. Gimana Mas Fikri, ada seger-seger tuh!” Kata Pak Thohir menimpali.
 “Ah, semenjak Bu Umi mengajar di sini, tidak habis-habisnya bapak-bapak ini membahasnya. Tetapi apa tidak salah kalau Pak Thohir berbisik pada orang tua seperti saya?” ujar Pak Fikri sambil cengar-cengir. Seorang operator data sekolah juga sepertiku. Usianya 37 tahun. Belum beristri.
“Ya, mbok menowo jodoh kan nggak ke mana. Kalau kita mah sudah teramat tua. Hahaha.” Kata Pak Thohir yang terkekeh di pojok meja sambil mengusap kepalanya yang botak itu.
Pak Shomad adalah guru Bahasa Jawa kelas enam. Dia berperawakan pendek dengan kulit cokelat sawo matang. Mungkin sudah kematengan kali ya. Hehe. Dia cukup cerdas jika dihadapkan dengan urusan menggoda tetapi sayangnya dia belum pernah berhasil untuk mengungkapkan perasaan cinta kepada gadis manapun. Buktinya? Ya, Pak Shomad memang masih membujang di usianya yang sudah kepala 4! Dan wajahnya tidak cukup tampan jika dijodohkan dengan Bu Umi, jadi tidak cocok. Apalagi Pak Shalah, wajahnya jangan dikatakan lagi sebab usianya sudah menginjak kepala 5. Dia sudah beristri dua kali. Pertama dia ceraikan gara-gara masalah nafkah yang kurang banyak. Dan baru empat bulan kemudian, dia menikah lagi dengan seorang santriwati kelas 3 ‘ulya setingkat mahasiswi semester 6 lah. Kasihan jika Bu Umi mendapatkan dia. Tetapi jika Allah yang menghendaki, apalah daya kan? Sementara Pak Thohir, dia adalah guru IPA kelas lima. Orangnya cukup tampan untuk bapak-bapak seusia 50 tahun. Dia sudah memiliki 4 anak dan semuanya sudah lulus SMP dan SMA. Sehingga tidak begitu tertarik untuk membahas cinta. Yang ada di otaknya ya hanya ibadah, kebutuhan rumah dan investasi.
“Ya, tidaklah. Paling tidak kan bapak bisa menghibur saya dengan nasehat-nasehat untuk nanti saya persiapkan guna meminangnya (Umi).” Terkekehlah Pak Shomad sambil mengeraskan kalimat tadi dan melirik Dik Umi.
<Kalian terlalu berharap! Memangnya dunia ini seperti yang terjadi di film FTV atau film Korea?Langsung jatuh cinta dalam sekejap pandang?> pikirku sambil sedikit-sedikit melihat iba ke wajah Bu Umi. Bu Umi tampak malu-malu kemudian menatapku pelan. Aku tidak tahu apa yang diinginkannya. Perhatian atau meminta pertolongan agar membungkam mulut mereka berdua atau yang lain. Maka aku mulai bersuara juga saking jengkelnya, “Bu Umi, ada yang bisa saya bantu?” Bu Umi kaget dan kemudian menunduk pelan sambil geleng-geleng kepala. Kasihan dia. Suasana di kantor cukup memanas dua derajat karena kejadian ini. Dan semua diam ketika Bu Kepala Sekolah masuk ke kantor dan menyodorkan kepada mereka tugas yang yang harus diselesaikan: monitoring guru. Semua diam dan mulai mengeluhkan keriwinan tugas tersebut. <Rasakan!> Pikirku meledek.
Di tengah percakapan mereka, ada sesosok yang mengawasi dari luar, Dia adalah Ahmad Tohari. Tukang kebun sekolah itu. Tohari mengepalkan tangan. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Tetapi hal itu tak kubuat pusing meskipun ada gemuruh kecil di dadaku. <Perasaan apa ini? Kok tidak enak?> pekikku dalam hati.

*******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar