Ahmad Tohari,
dulu nama kecilnya adalah Jarot. Jarot dalam kamus Jawa Kawi berarti perkasa,
kuat. Karena sejak lahir, tulang yang menyusun tubuhnya besar dan dia juga dianugerahi
daging yang tebal. Seperti ikan tongkol dalam bahasa ikan. Masa kecil Jarot begitu
menyenangkan. Dia sering dibelikan mainan kesukaannya mulai dari truk pasir
dari kayu, layang-layang, kelereng, bola sepak hingga robot yang mampu berjalan
sendiri. Belum ada mobil remote control ketika itu, tetapi mobil dengan
baterai sudah cukup menghiburnya ketika itu. Dia juga sering diajak jalan-jalan
ke kebun binatang, candi-candi dan juga wisata air oleh orang tuanya.
Sayangnya, sejak pertengkaran antara ayah dan ibunya memuncak (masalah nafkah
kurang karena terbiasa hidup mewah dan terguncang krisis moneter ‘98),
kebahagiaan Jarot tercerabut hingga ke akarnya. Yang Jarot dengar di rumahnya hanyalah
cek-cok yang tiada habisnya. Piring-piring yang jatuh akibat dibanting dari rak
ke lantai. Luka goresan atau tamparan yang melayang di pipi ibunya sering dia
lihat. Bahkan terkadang dia juga menjadi korban penganiyaaan. Membuat Jarot
remaja mengambil kesimpulan bahwa dia harus mendapatkan cinta, apapun jalan yang
harus ditempuh olehnya.
Maka dalam
perjalananan hidupnya sampai orangtuanya diceraikan oleh pihak pengadilan, dan
dia dititipkan di pesantren Al-Huda, dia mencoba untuk cari perhatian dengan
segala usaha. Mulai dari menjadi tukang cuci pakaian santri hingga menjadi
tukang kebun seperti sekarang ini. Pekerjaan yang dijalaninya hingga kini mengantarkan
dia melihat sekaligus mengenal Umi Kulsum dari jauh, gadis idaman hatinya itu.
Jarot, menurut
Abah adalah nama yang kurang pas untuk pribadi lembut seperti dia. Dia sering
membantu santriwati menyiram bunga mawar di depan teras pesantren. Dia juga
sering membawakan belanja berupa sayuran dan sembako jika Neng Fatimah tampak
letih. Dia juga sering membantu abah untuk mengisi air di bak mandi santri
putri. Meski begitu, dia tidak pernah mengaji bersama para santri lain dan
tidak pernah menaruh hati pada Neng Fatimah. Baginya, mungkin aib jika
mencintai putri abah.
Maka di suatu
hari yang baik karena membarengi hajatan akhirussanah pesantren, Abah
Rasyid memberikannya nama: Ahmad Tohari agar menjadi pribadi yang mulia dan
terpuji. Tetapi apakah dia akan seperti yang diinginkan oleh abah berdasarkan
namanya yang bagus itu? Wallohu a’lam. Setiap orang berharap dia akan
menjadi anak yang baik.
1.
Dari Kantin Pesantren hingga ke Kamar Mandi
Warung makan
Bang Tegar senantiasa menjadi gula bagi semut-semut kecil yang imut itu.
Termasuk aku yang menjadi ghonthengnya. Karena keenakan dan kesedapan
resep masakannya, Bang Tegar juga terkenal ramah dan penuh perhatian terhadap
masalah-masalah yang lagi ngehits di kalangan pelajar atau pemuda/i. Apa itu?
Cinta. Aku sering curhat padanya. Tidak lain yang kubicarakan adalah dua gadis
yang ada di sekitarku, mereka adalah Neng Fatimah dan Dik Umi. Akan tetapi aku
lebih sering cerita tentang Neng Fatimah. Karena bagiku, Dik Umi hanyalah
rekan
kerja. Meskipun kuakui dia juga memiliki paras yang cantik natural dan tidak
kalah shalihah jika dibandingkan dengan Neng Fatimah. Bedanya hanya tipis, Dik
Umi itu lulusan S1 yang juga sedang menjalani studi S2 program Ekonomi Syari’ah
semester dua di sebuah institut Islam di Salatiga sementara Neng Fatimah
lulusan pesantren ternama di Indonesia, Lirboyo Kediri. Keduanya wawasan
keagamaannya hampir sama, bedanya, Neng Fatimah lebih dalam masalah pemahaman
keislaman dan Dik Umi lebih dalam masalah muamalah Islam.
“Gimana bang,
saya harus pilih yang mana?” itulah pertanyaanku yang pertama keluar dari lisan
ini di pagi hari itu kepada Bang Tegar, yang sedang mengaduk gula di kopi.
Lagi-lagi gula. Gula itu manis seperti wajah Nduk Hajar, si adik kecil yang manja
dibelikan es krim setiap seminggu sekali itu.
“Lha kamu cocok
yang mana? Shalat istikharahlah dulu! Kamu sudah mapan di sisi ekonomi,
sudah mondok cukup lama. Bekal resepsi sudah siap, tinggal kedekatanmu pada
Sang Maha Cinta, tho?” jawabnya sambil meletakkan secangkir kopi susu di atas
meja tempat aku bersandaran tangan. Bang Tegar yang juga nyambi di
perpustakaan kota itu tersenyum kemudian terkekeh seraya menghaturkan hidangan
ke meja samping tempat aku makan.
“Terimakasih,
bang! Iya juga sih. Tetapi setiap saya melihat Dik Umi, ada pula getaran di
hati. Padahal saya tidak menaruh cinta padanya.” Aku mulai ragu tetapi kalimat
itu begitu lancarnya keluar dari lisan ini.
“Tergetar itu adalah
salah satu bukti cinta itu sendiri. Hatimu tidak bisa berbohong meskipun
lisanmu memungkirinya. Sudah, minta ampun sana pada Allah, jangan mudah tergoda
dengan perhiasan dunia! Kembalilah pada kehendak-Nya!” Aku terkejut pada
kalimat itu meskipun sederhana didengar, tetapi begitu bernas jika dipikirkan.
Memang benar, selama ini aku telah melupakan Allah. Bagiku, Bang Tegar
sebenarnya lebih layak menjadi seorang kiai bukan pedagang di kantin seperti
ini. Sebab, selain berjualan, dia juga ngaji dengan Abah Rasyid dan Kyai
Shalih. Meski usia Kyai Shalih tidak terpaut jauh dengannya, beda dua tahun, jadi
berkat tempaan ilmu itu, pantas saja kalau dia begitu bijaksana.
<Oke, aku akan coba. Aku mungkin saja
sudah keliru dalam menguji pergolakan cinta di hati ini.> teriakku lirik
dalam hati. Masih ada yang mengawasiku di sana, Allah Swt.
“Terimakasih, ya
bang.” Kataku kemudian sambil menyendok sesuap nasi dan mencampurnya dengan
kuah sup buatan Bang Tegar.
“Buat apa nih?”
Tanya Bang Tegar terlihat bingung. Aku memasukkan beberapa butir es batu ke
cangkir kopi tadi.
“Buat es kopi,
sup buahnya dan nasehat bijaknya.” Jawabku seraya tersenyum manis. Dia membalas
senyumku. Kopi ini menyegarkan pikiran untuk memulai aktivitas baruku: mengajar
anak-anak MI kelas 6 yang akan ujian nasional minggu depan. Hari ini ada jam
tambahan untuk mata pelajaran agama yang harus aku isi di sore hari pukul 02.30
WIB hingga adzan ashar nanti. Waktuku tidak banyak, aku harus bergegas
menghabiskan es kopi dan sup buah ini.
Aku mulai
beranjak dari kursi dan memakai jaketku. Cuaca di sekitar mulai dingin dan
berangin. Mungkin ini efek dari sup buah buatan Bang Tegar kali ya? Sewaktu
hendak melangkah ke kasir, Bang Tegar menghentikan langkahku. “Ada bingkisan
buat Dik Umi, hehe.” Katanya.
“Bingkisan apa,
Bang?” dia menyerahkan sebuah kardus yang berat isinya lumayan.
“Ada pokoknya.”
Jawabnya ragu-ragu. Aku menerimanya dan menaruh di motorku kemudian berbalik
untuk membayar menu yang kupesan tadi.
“Ya sudah, saya
berangkat dulu, Bang!” kataku sambil berjalan menjauh dari warung itu setelah
semuanya beres. Bang Tegar masih tersenyum saat aku menoleh ke belakang. <Bingkisan
apa ya?> dalam hati aku curiga. Tetapi itu kan urusan Bang Tegar dan Dik
Umi. Tugasku hanya mengantarkan amanah ini saja. Aku nangkring di atas jok, menstarter
motor Beat matic terbaruku dan segera tancap gas ke sekolah.
******
Di lain tempat,
di rumah yang didesain begitu natural. Di mana kusen-kusennya terbuat dari kayu
jati berukir dan dipolitur halus. Dihiasi dengan taman bunga di depan terasnya,
ditambah dengan balutan kolam ikan koi dan emas mirip sekali dengan akuarium
besar. Menambah sejuk pandangan setiap tamu yang sowan. Meskipun
minimalis dan tidak memiliki pohon rindang di depan rumah, tetapi rumput jepang
yang dipangkas dengan begitu rapi di teras itu, cukup untuk membuat Umi betah
mampir ke rumah tersebut. Umi Kulsum segera menceritakan kisah asmaranya kepada
pamannya yang bernama Didi. Paman yang paling baik hati di mata dan kalbu
sucinya itu, sekaligus sebagai pendengar setia akan kisah-kisah hidupnya sejak
kecil. Karena memang Umi adalah pendongeng terbaik bagi Paman Didi. Terkadang
cerita yang disampaikan membuat terpingkal-pingkal, haru dan juga sebaliknya,
Paman Didi bisa menangis atau marah besar jika ada yang melukai hati sang
keponakan. Hati memang begitu, mudah terbolak-balik di setiap detiknya.
“Paman, ada
cerita yang tidak biasa lho..!” ajak Umi sambil senyum-senyum persuasif. Paman
Didi yang tadinya sedang membolak-balikkan koran jadi bersemangat untuk mulai
mendengarkan. Kacamata plus miliknya dibenahi ke atas ujung hidungnya. Kacamata
seorang kutu buku. Diseruputnya teh hangat buatan istrinya perlahan lalu
diletakkan cangkir itu kembali ke cawan yang putih bersih dari porselen, yang
terletak di atas meja bundar yang terbuat dari kayu mahoni muda, dipolitur
halus, tanpa ada motif ukiran.
“Lekaslah
berceloteh, nduk! Pakdhemu sudah lama tidak mendengarnya. Sudah nggak sabar mau
kasih apresiasi.” Kata Paman Didi seraya meletakkan cangkirnya ke cawan putih
menghadap Umi. Uap berkepul muncul dari permukaan airnya. Masih hangat.
“Ini bukan
untuk dinilai Pakdhe, tetapi kasih solusi lho njeh!” jawab Umi sambil
tersenyum malu-malu. Terpancar dari kedua matanya, sinar pelangi.
“Wah, aku tahu.
Kamu sedang jatuh hati ya? Hehe. Ayo-ayo sini curhat! Pakdhemu paling
pengalaman masalah cinta.” Canda Paman Didi yang sudah pengalaman di bidang
pra-nikah itu. Lagipula dia sering mengisi dauroh pra-nikah, jadi tahu
gejala-gejala kasmaran.
“Kok Pakdhe
bisa tahu sih? Jadi begini pakdhe,…” Umi mulai berkisah tentang pertemuannya
dengan Hanif hingga dia termehek-mehek dan jarang bisa tidur tenang di setiap
malamnya karena kepikiran terus akan wajah tampan dan budi baik si Hanif.
“Begitu
rupanya,… lalu apa yang dimasalahkan? Coba kamu utarakan kriteria padanya,
mungkin saja Allah akan bukakan hatinya untuk melengkapinya. Jadi seorang imam
keluarga!” jawab Paman Didi menjelaskan. Umi menggeser kursinya, mendekat ke
pamannya dan menatap ke pekarangan, pipinya mulai merona dan menjawab,
“Ah, malu
pakdhe. Masak saya harus mengatakannya, saya kan seorang gadis! Pamali
untuk mengatakan duluan”
“Lha kamu cinta
apa tidak? Allah ridha jika kalian jalani dengan halal.” Kata-kata “halal”
membuat Umi terbuka pikirannya dan kemudian dia menunduk tersenyum. Jilbabnya
terbuai angin senja, menambah kecantikannya yang alami itu. Sepertinya ada sebuah
jalan terang yang harus dia lalui di depan.
******
Suatu pagi yang
mendung, di sudut halte bis yang ramai, Umi berdiri. Dalam hatinya dia berkata,
<Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Fyuuh..tidak membawa payung lagi>.
Benar, pada waktu itu rintik-rintik hujan mulai turun. Umi bergegas berlari menuju
toko payung terdekat dan memilih salah satu. Warna biru, kesukaannya. Kemudian
dia keluar dari toko tersebut, menoleh kanan-kiri dan mulai menyeberang ketika
suasana memungkinkan. Umi dengan payungnya berjalan perlahan menuju kantor.
Rencana utamanya adalah memberikan sederet persyaratan yang mungkin saja Hanif
mampu melengkapinya. Sama seperti apa yang telah dinasehatkan oleh Paman Didi
padanya. Mungkin saja rencana ini menjadi sejarah dalam hidupnya, yang tidak mungkin
akan terlupakan sepanjang masa. Kantor yang menjadi tempat bekerja sejak tiga
bulan yang lalu itu tampak sepi dan lebih buruk dari biasanya. Menakutkan
karena sunyi seperti film horor saja. Keringat dinginnya mulai merembes dari
balik jilbab biru yang dikibas-kibaskan angin sepoi. <Berani tidak ya,
maju nggak ya, atau besok saja? Ah, aku malu jika nanti Mas Hanif tahu
maksudku. Nanti aku harus mulai darimana? Ini kan demi masa depanku dan
terhindar dari dosa, apa salahnya?> Isi pikiran Umi Kulsum mulai kacau
ketika teringat wajah tampan Hanif. Saat hendak membuka pintu kantor ada suara
dari dalam. Sama-sama membuka pintu. Jodoh mungkin. Tampak Hanif terkejut
melihat gadis itu di depan matanya. Kedua pasang mata itu tertegun lalu
masing-masing menundukkan diri.
“Astaghfirullah.
Oh, Bu Umi, maaf. Silakan, saya mau keluar sebentar, cari cemilan. Bu Umi mau?
Nanti saya bagi deh.” Sapa Hanif dengan bahasa santunnya itu membuat pipi Umi
semakin memerah. Hanif tersenyum melihat perubahan itu. Tentu saja semakin
cantik tetapi segera Hanif melemparkan pandangan.
“Terserah Pak
Hanif saja asal tidak pedas.” Jawab Umi malu-malu kucing.
“Oh, suka yang
tidak pedas ya? Baiklah nanti saya carikan, Bu Umi jangan pergi dulu lho! Saya
khawatir nanti cemilannya saya habiskan sendiri. Hehe.” Canda Hanif kurang
bermutu sambil berjalan pelan menjauhinya. Agaknya dia salah tingkah. Umi terus
menundukkan pandangannya ke lantai. Takut kalau Hanif tahu akan maksudnya ke
kantor. Sejenak saja tubuh Hanif menghilang dari pandangan dan sekejap pula
balik ke kantor. Setelah cemilan diletakkan di meja dan keduanya mulai makan,
terasa hening sejenak. Keduanya ragu untuk memulai percakapan karena canggung,
sama–sama masih jomblo juga. Takut ada resiko berarti dalam hati mereka. Akan
tetapi, Hanif memberanikan diri untuk membuka percakapan.
“Menurut Bu
Umi, seorang laki-laki yang hendak mempersunting seorang gadis itu harus
bagaimana?” Dada Umi serasa dihantam halilintar besar. <Ini sih namanya
bunuh diri, bukankah ini yang akan kubeberkan pada Mas Hanif? Apakah situasi
seperti ini memungkinkan untuk diutarakan?> Pikirnya sederhana. Hanif
masih saja menunggu jawaban Umi yang masih menundukkan kepalanya. Umi
mengepalkan tangan kirinya untuk membulatkan tekad dan menjadi pemberani, agar
tidak gemetaran saat bicara.
“Maksud Pak
Hanif, syarat-syarat seorang laki-laki sebagai imam keluarga?”
“Ya, karakter
dan sikap dia harus bagaimana?” jawab Hanif sambil menatap ndalem yang
berjarak cukup dekat dengan kantor MI. Hanif mulai serius menanti jawaban.
Dalam hatinya tidak terbersit apapun untuk PDKT dengan gadis ‘alim itu.
“Ya, dia harus
bertanggung jawab, baik pada istrinya dan yang paling penting adalah lebih
mencintai Allah swt daripada dirinya sendiri.” Ini dia persyaratan yang akan
dia ungkapkan ke Hanif. Sambil mendongak berharap Hanif tahu pancaran matanya
yang menyimbolkan cinta.
“Oh, begitu ya.
Mungkin saya harus lebih mencintai Allah swt mulai dari sekarang.” Lanjut Hanif
mengambil separuh cemilan sambil duduk ke mejanya.
<Begitu
saja? Ah tidak, mengapa secepat ini?> dalam hati Umi menyesal, tetapi
mungkin ini adalah gerbang awal bagi mereka. Terlebih lagi, hanya dia yang
diberi cemilan cinta itu. Guru-guru lain mulai berdatangan. Bersalaman dengan
keduanya kemudian canda tawa menghilangkan suasana mencekam di hati keduanya
dan sepertinya Hanif sudah tidak lagi terpikirkan oleh pertanyaannya tadi.
Berbeda dengan Umi yang terus terbayang dengan wajah Hanif yang shalih.
Memancarkan aura seorang ‘abid yang tekun menggapai cita-cita. <Mungkin
benar juga kata Bu Riska, dia adalah lelaki idaman para gadis>. Pikirnya
seraya tersenyum dan membuka laptopnya. Mengetik sesutau, diary cinta
mungkin. Kicau burung di pekarangan sekolah semakin menambah keasyikannya dalam
mengetik. Membubuhkan beberapa karakter di layar monitor dan menemukan
diksi-diksi puitis untuk ditorehkan. Tidak pernah dia sadari jika Tohari terus
saja memandangi wajahnya sedari tadi seraya tersenyum dari taman sekolah, tidak
jauh darinya. Kebetulan ada kaca yang tembus pandang menampakkan diorama
keadaan di kantor. Tohari menancapkan sekopnya ke tanah dengan keras. <Inilah
saatnya!> pikir Tohari mantap. Saat untuk apa?
********
Ketika itu di
kamar mandi sedang antre panjang. Antre untuk mandi karena sore tadi setelah
dikuras oleh kang Shodiq, salah satu santri yang dijadwal untuk menguras kamar
mandi induk tiap hari Minggu. Air baru bisa meluber di malam hari pukul 21.00
WIB. Yang seharusnya para santri mandi pukul 17.00 WIB. Kali ini yang antre
adalah para santri putri (mungkin karena mereka lebih ingin dikatakan bersih
dibandingkan dengan santri putra atau memang mereka pada dasarnya sudah
merasakan gerah yang sangat sebab terik matahari di siang hari tadi sudah
mencapai 39 derajat celcius. Cukup panas untuk daerah dataran tinggi). Sementara
untuk santri putra banyak yang kurang peduli mau mandi jam berapa sebab santri
putra tidak peduli dengan mandi malam jika kamar mandi sedang dikuras. Mereka
sudah terbiasa begitu, bahkan kadang ada yang tidak mandi sore. Di kamar mandi
nomer 21, berdiri Umi Kulsum dan beberapa teman adik tingkatnya. Umi baru saja
mendaftar menjadi santri pagi tadi. Dia memilih nyantri karena merasa ilmu
agama yang dia pelajari di perkuliahan strata 2 dan kajian-kajian yang
diikutinya di kampus, masih jauh dari pemahaman ilmu agama lelaki idamannya,
Hanif. Muncullah percakapan diantara mereka (para santri untuk mengusir
kejenuhan dalam antre).
“Mbak Umi,
gimana kabar cintanya Kang Hanif?” Tanya Sifa, salah seorang santri yang
berdiri imut di belakangnya persis. Seorang santri yang cukup gaul dibandingkan
teman santri lainnya. Masalah pacaran, dia sudah terbiasa semenjak SMP. Tetapi
semenjak dia dipindahkan ke pesantren, dia sudah membiasakan diri untuk tidak
pacaran. Dia memulai pertobatannya di pesantren. Anak itu sekarang sudah kelas
3 ‘aliyah. Dan tahun depan (kira-kira enam bulan kemudian), dia akan menyambut
kelulusannya. Dia juga dari tadi siang belajar terus soal-soal pre-UNBK yang
akan diselenggarakan serentak di bulan April 2018. Anak yang rajin untuk
kalangan santri.
“Ah, kamu ini apaan. Masih kecil mbahas
begituan.” Karena Sifa merasa sudah dewasa dengan hal seperti itu, dia sedikit
kesal mendengar jawaban datar kakak tingkatnya itu. Mungkin Mbak Umi tidak tahu
kalau dia sudah SMA, dikiranya masih duduk di kelas satu MTs saja. Sementara di
pesantren itu memang banyak yang masih MTs. Jadi mungkin menurut Mbak Umi belum
saatnya membahas tentang percintaan orang dewasa.
“Jujur saja
Mbak, Mbak suka kan sama Kang Hanif?” usil Sifa menambah gerah suasana sambil
menyenggol manja siku tangan Mbak Umi, seniornya itu. Mendadak degub jantung
Umi bertambah cepat. Dia enggan menjawab tetapi pada kenyataannya memang
seperti yang dikatakan Sifa. Sementara santri-santri yang lain menyoraknya
manja: “Ciee…, Mbak Umi jatuh cinta nih yee…”
“Kang Hanif itu
yang mana tho orangnya?” Tanya Nadya, yang berdiri di belakang Sifa. Pertanyaan
Nadya membuat pipi Umi memerah malu. Nadya, santri kalem yang masih duduk di
kelas 3 Tsanawiyah ikut-ikutan kepo.
“Itu lho yang
sering murotalan di masjid setelah shalat shubuh.!” Jawab Sifa seraya
meringis dan melirik ke kompleks masjid, menggoda Mbak Uminya yang cantik.
“Ah, aku mah
hanya tahu suaranya saja. Orangnya nggak tahu. Tapi kalo didengar dari suaranya
yang lembut itu pasti orangnya ngganteng.” Tambah Nadya yang ngefans banget
dengan suara laki-laki yang sedang mengaji atau menjadi vokalis rebana.
“Pastinya,
nggak ngganteng lagi, tampan kali!” kata Sifa sambil melirik Umi. Umi segera
masuk kamar mandi setelah seorang santri selesai mandi dan pintu dibuka. Pipinya
memerah sekali lagi.
<Benar-benar
anak-anak itu. Aku jadi terbisu karena ingat lagi akan wajah Mas Hanif.
Astaghfirullah!> Pikir Umi dalam hati. Malam itu menjadi malam yang
panjang bagi Umi karena hatinya mulai berdebar bukan hanya karena wajah Hanif,
guru idaman para gadis itu. Tetapi mungkin akan ada sesuatu yang lebih dahsyat
dari ingatan itu. Kira-kira apa yang akan terjadi ke depan ini ya?
******
Kejadian di
kamar mandi tadi membuat semangat Umi dalam mengejar Hanif semakin besar saja.
Dalam sujudnya, dia senantiasa memohon pada Tuhan Sang Maha Cinta, dalam
rangkaian puisi di tengah tahajjudnya di malam yang bergemintang indah,
dia berbisik pelan di sudut masjid yang teduh dan dingin karena hembusan angin
malam itu…
“Ya Allah, sang
pencipta alam raya. Engkau Maha Tahu apa yang ada dalam kalbuku. Cinta ini
menggetarkan selalu. Wajahnya terlalu indah untuk kulupakan. Namanya selalu
kusebutkan di hadapan-Mu sebab Engkau tahu aku telah jatuh hati padanya. Jika
Engkau cemburu padaku, maka kulepaskan dia. Namun jika Engkau meridhaiku….”
Hening sejenak, dia menyeka keringat dingin yang menetes dari dahinya dengan
tisu yang dia sediakan persis di samping dia duduk. Kemudian dia melanjutkan do’a
munajatnya,…
“Ya Rabbul
Izzati, Engkaulah Sang Penggenggam kondisi hati. Yang Maha
membolak-balikkan hati, Yang menganugerahkan cinta pada setiap manusia di bumi
ini. Jika memang Mas Hanif adalah jalan cintaku, maka dekatkanlah dia padaku.
Namun jika dia bukanlah imam bagiku, maka jadikan dia sahabat terbaik dalam
hidupku yang sebentar ini. Aku cinta dia, Ya Allah. Ridhailah kami meniti jalan
ini jika ini yang terbaik! Semoga saja, Engkau ridla, Ya Allah.” Umi
sesenggukan dalam sujud syukurnya. Dia menarik nafas dalam-dalam kemudian
bangkit dari sujudnya.
Di luar masjid,
tepatnya di serambi, tampak Hanif berjalan ke menuju tempat wudhu masjid. Umi
hanya bisa memperhatikannya dari dalam masjid yang tidak seorangpun berada di
sana karena terlelap tidur dan saking dinginnya malam. Perlahan dia beringsut
dan menempelkan telinga yang ditutupi oleh baju rukuhnya itu ke sekat pembatas
jama’ah putra dengan putri. Selesai wudhu dan shalat, Hanif berdo’a pelan
sekali dan dalam do’anya itu, Umi yang menempelkan telinganya itu ingin sekali mengetahui
isi hajat do’a Hanif. Umi menangis pelan kemudian berjalan perlahan keluar
masjid. Kira-kira apa isi do’a Hanif ya?
Entahlah,
itulah jawaban hatinya. Teringatlah Umi akan pembicaraan dua jam ketika di
lapangan olahraga ketika mereka mengajak anak-anak ke lapangan untuk main
dasar-dasar sepakbola. Saat itulah kedua mata Hanif menatap mata Umi yang sipit
dan indah seperti kucing Persia itu.
“Bu Umi,
biasanya wanita itu bagaimana sih ketika jatuh cinta?” Deg, jantungnya mulai
tak karuan. Dalam hati Umi berteriak perih,
<Kenapa Mas Hanif bertanya hal ini?
> Hanif lagi-lagi bertanya tentang suatu hal yang sedang dirasakannya itu?
Mendengar hal itu, Umi langsung menghela nafas panjang kemudian mengeluarkannya
sekali hentak seakan seperti hendak pemanasan saja.
“Masak pak Hanif
belum tahu?” Dalam hati Umi berbisik, <Ini lho mas sudah ada di depanmu.
Masak kamu tidak peka sih dengan perasaan ini?>
“Belum. Jujur
baru kali ini saya jatuh hati pada seseorang.” Jawab Hanif dengan polosnya.
<Seseorang
ya. Siapa? Akukah itu, mas?>
Hati Umi terus berbisik lemah menimpali. Khawatir bukan dirinya yang ditunjuk
itu.
“Pertama, dia
akan malu. Lalu akan terbayang-bayang selama mungkin. Itu membekas di hati,
pak. Akhirnya, semua terserah di tangan si pria…sih..” jawab Umi ingin
meyakinkan dirinya terhadap jawaban itu dan meyakinkan pada Hanif bahwa dia
merasakan hal itu, sama seperti jawabannya.
“Oh, begitu ya
rupanya. Kalau begitu, saya harus berhati-hati dan selebihnya saya akan
serius.” Jawaban itu sedikit menghibur Umi dan Umi berharap Hanif dapat segera
mengungkapkan perasaan itu padanya dan mulai serius untuk membina mahligai
cinta, yakni pernikahan. Tentunya dengannya, meskipun baru menjadi harapan dari
do’anya selama ini. <Tetapi apa yang dimaksud dengan berhati-hati? Apakah
hati-hati terhdapa ajakan nafsu, atau berhati-hati dalam bertindak agar para
wanita tidak baper?> Umi jadi tersenyum memikirkan hal itu. Dia tersenyum
seraya melihat Hanif dan Hanif membalas senyuman itu. Mereka berdua sedang
jatuh cinta meskipun keduanya tidak tahu akan perasaan masing-masing. Dan
langitpun mulai menangis mengetahui isi hati mereka yang tidak dapat disatukan
sementara itu. Hujan akan deras sepuluh menit lagi. Akhirnya mereka bergegas
kembali ke sekolah karena melihat langit yang mendung gelap. Hanif mulai meniup
peluit tanda permainan selesai. Anak-anak mulai berkumpul, berbaris rapi dan mulai
berjalan beriringan bersama pak Hanif, guru yang selalu bahagia dengan
anak-anak MI di sampingnya itu. Begitu pula dengan Bu Umi, guru favorit mereka
yang cantik dan lugu itu. Dua guru itu adalah yang mencintai anak-anak dan
dicintai oleh anak-anak.
********
Di lain tempat,
di sebuah tempat wudlu di mushola kecil madrasah Tohari sedang membersihkan
diri. Rencananya pada hari ini adalah melaksanakan shalat hajat. Agar Allah
memudahkannya dalam rangka mendekati Umi, sang bunga desa. Dia shalat dan
berdo’a dengan khusyuk, tidak seperti biasanya. Ya meskipun dengan menduakan
Allah Swt, tetapi dia yakin bahwa Umi adalah jalan takdirnya. Setelah selesai
menunaikan shalat dua raka’at, dia berjalan ke sembari mushala. Kemudian
bergegas keluar setelah dia memakai sandal jepitnya yang baru dia beli tadi,
sebelum shalat hajat. Masih berpakaian koko dan berpeci dia menstarter motor
GL-Pro nya dengan kasar. Menjalankan motor dengan jarak 200 meter, tidaklah
lama. Dia dengan segera merapat ke pasar bunga terdekat. Dia akan memilih bunga
terbaik untuk gadis idamannya itu.
<Cintaku pasti
akan kesampaian>. Teriaknya dalam hati kePDan. Tohari selalu saja ingin
setiap impiannya terwujud. Motivasinya cukup tinggi mulai dari ingin kuliah
saja, dia nekat berjuang menjadi tukang kebun di sekolah pesantren tempat Umi
mengajar. Sekalian mengawasi gadis idamannya itu dan hasilnya kini dia sudah
menginjak semester dua. Itulah tekad sucinya untuk meraih cinta yang halal. Dan
sekarang dia sudah meraih impian pertamanya, kuliah. Duduk di semester dua di
sebuah universitas terkemuka di kota pelajar: UNY, Yogyakarta. Ya meskipun
telat tiga tahun untuk mengawalai kuliah S1. Tetapi Allah tidak akan
menyia-nyiakan usaha Hamba-Nya ketika hamba itu berusaha merubah nasibnya
sendiri.
Dengan mengegas
motor laki-lakinya itu, dia segera meluncur ke salah satu kios bunga di pasar
dan mendapatkan bunga terbaik versi dirinya, anggrek liar berwarna putih
bersih. Seputih wajah Umi yang tersinari hafalan Al-Qur’an dan tahajjud
itu. Lalu setiap dia teringat wajah ayu itu, dia semakin bersemangat untuk
tancap gas ke rumah Umi. Perjalanannya di jalan kota selancar impiannya memburu
rumah berdinding batako yang belum diplester itu. Dan setiba di rumah gadis
idamannya itu, dia mengetuk pintu tiga kali dan mengucapkan salam. Ada suara
dari dalam menjawab salamnya dan ternyata adalah ibunya. Disusul Umi berjalan
di belakangnya untuk memastikan siapa yang hadir di siang hari yang panas itu.
Kebetulan hanya
Umi dan ibunya yang ada di rumah. Ayah Umi sedang pergi ke sawah. Setelah
mengetahui yang sowan ke situ adalah orang yang familiar di madrasah…
“Ada keperluan
apa Kang Tohari?” Tanya ibu Umi sambil mengambil sesuatu dari dapur. Ibu
Juwairiyah, berusia 45 tahun dan kondisi fisiknya masih tampak bugar meskipun
Umi sudah dewasa. Dan memang hanyalah Umi putri tunggal di rumah sederhananya
itu. Ibu itu membawakan cemilan kacang telur dalam toples. Wajah ibu Umi tidak
tampak senang karena seringnya Tohari main ke rumah bahkan sejak SD hingga
bongsor, segedhe ini.
“Uminya ada
bu?” Tanya Tohari sambil garuk-garuk rambut. Padahal kenyataannya tidak gatal
dan jelas-jelas melihat di belakang ibu itu. Sebuah simbol malu-malu atau
semacam pura-pura bodoh.
“Uminya sedang
pergi ke kampus. Katanya sedang mengurus legalisir ijazah. Ada pesan yang bisa
ibu kasihkan dia?” Dikiranya adalah Umi Hafidzoh, keponakan Umi Kultsum yang
ikut menumpang di rumahnya karena jarak kampus dengan rumah itu sungguh dekat. Kebetulan
nama panggilannya juga Umi. Mengingat keponakannya ini berasal dari Lamongan,
Jawa Timur. Jadi dengan besar hati dan secara terbuka, ibu itu menerima siapa
saja yang ingin tinggal serumah dengannya, termasuk dari saudara sendiri.
“Oh, bukan Umi
yang itu bu! Maksud saya Umi Kultsum. Oh, ya ini bu, Bunga kesukaan Umi. Salam
saya untuk Umi, njeh. Maaf ini boleh saya makan bu?” jawab Tohari teringat
wajah Umi Hafidzoh yang jerawatan karena kurang perawatan itu, sambil menunjuk
toples. Bu Juwairiyah menutup mukanya malu sambil terkekeh. Dikiranya keponakan
ternyata anaknya sendiri.
“Iya.” Jawab
ibu Umi sambil menoleh ke wajah anaknya yang malas-malasan menuju kamar tanpa
menjumpai Tohari bahkan semenitpun. Ibunya merasa iba pada anak itu. Sudah
jauh-jauh dari rumah untuk mengantar bunga anggrek setiap hari, masih saja
ditolak. Kurang apa dia? Tohari itu tulus cintanya, wajahnya juga tidak jelek. Bersih
dan rapi potongan rambutnya. Sementara Umi tidak merasakan cinta sama sekali
pada anak itu.
Setelah memakan
beberapa cidukan snack dari toples bening itu, Tohari lekas pamitan. Sebab
merasa risih jika hanya bercakap-cakap dengan ibunya Umi. Yang dia butuhkan
adalah Umi, bukan ibunya! Tohari melangkah keluar rumah dengan langkah lemas.
Hari ini dia hanya dapat menatap sekilas gadis idamannya itu. Sementara itu, dari
balik tirai kamar, Umi mengintip. Mengawasi Tohari keluar dari rumahnya sampai
benar-benar menghilang. Di bawah jendela kamarnya, belasan hingga puluhan
kelopak bunga anggrek mati layu berserakan. Dibiarkan begitu saja, tidak
dirawat. Itulah kondisi hati Umi pada Tohari. <Kenapa Bang Tohari tidak
bosan setelah aku melakukan semua ini padanya?> Pikir Umi dalam hati
semakin resah dan semakin bertambah seiring hari berganti. Seakan kedatangan
Tohari adalah neraka kehidupan baginya. Dia sudah jenuh menghadapi laki-laki
satu ini. Agaknya, dia perlu shalat istikharah kembali.
*******
Pagi hari di
sekolah, tepatnya di taman sekolah, yang sedang diadakan penghijauan kemarin. Waktu
itu pukul 07.00 WIB. Bunga-bunga ditanam sedemikian rapinya di tengah-tengah.
Dibalut dengan pohon-pohon seperti oak, pucuk merah dan kersen di tepinya. Jadi
suasana taman di pagi hari itu tampak lebih asri dan teduh dari biasanya. Kegiatan
penanaman itu berakhir pada pukul 11.20 WIB setelah taman sekolah diresmikan
oleh Dinas Lingkungan Hidup kota setempat dengan pelepasan burung dara ke
udara.
Terjadi
percakapan antara guru dan muridnya yang berimbas pada kesedihan yang dalam.
“Kenapa sih Bu
Umi selalu tersenyum saat Pak Hanif mengajar?” Tanya Nduk Hajar yang saat itu
sudah duduk di kelas tiga, polos. Saat itu sedang pulang sekolah dan Umi
bersedia menemani Hajar di taman sebab Hanif sedang ada tugas di luar kota.
“Bu Umi jatuh cinta
pada Pak Hanif, Nduk.”
Nduk Hajar
kaget ketika mendengar pernyataan gurunya, Bu Umi yang cantik dan selalu jujur itu.
“Masak? Sejak
kapan, bu?” tanyanya centil imut. Di wajahnya hanya tersisa bayangan senyuman
kakaknya yang juga cantik, Neng Fatimah.
“Ya sejak ibu
mendaftar di sekolah ini, Nduk!” jawab Umi sambil menahan air mata yang hampir
jatuh, tetapi tertahan oleh senyum palsunya itu. Umi segera mengelap pelupuk
matanya.
“Bu Umi, kalau
Hajar mau ngomong. Bu Umi nggak marah kan?” kalimat Nduk Hajar semakin dalam
dan serius ala anak-anak.
“Ngomong aja
lagi, kenapa harus marah segala sih?” jawab Umi sambil mencoba tersenyum lebih
alami dari senyum yang pertama. Meskipun begitu, matanya semakin berkaca-kaca.
“Sebenarnya Pak
Hanif itu….” Nduk Hajar jadi agak ragu. Ragu yang tidak begitu membebani karena
pada kenyataanya dia juga masih anak kecil.
“Kenapa dengan
Pak Hanif?” Tanya Umi semakin penasaran saja dia.
“Pak Hanif itu…
Bener Bu Umi nggak bakalan marah?” pinta Hajar meyakinkan. Kali ini raut wajah
lebih serius. Umi segera menekuk jari kelingking. Simbol janji tidak akan
marah. Mereka berdua menautkan kelingkingnya.
“Pak Hanif itu
lebih suka dengan Mbak Fatimah.” Deg. Jantung Umi sementara berhenti detaknya.
Air mata yang ditahanpun akhirnya jatuh jua. Serasa kaca yang retak dibiarkan
untuk pecah karena suhu yang begitu panas.
“Kenapa Bu Umi
menangis? Sedih ya? Atau aku nakal?” pertanyaan Hajar semakin membuat Umi
kacau. Umi tak dapat menyembunyikan emosinya kala itu. Dia segera mencari
tissue di dalam dompetnya dan menyeka air mata yang turun begitu deras.
Membanjiri pipinya yang bersih itu. Air mata semakin deras saja, Umi
sesenggukan jadinya dan ketika sudah tenang melepas semua air matanya, Umi
mencoba menjawab dengan santai,
“Bu Umi hanya
terharu saja mendengarnya. Ternyata ada yang disukai Pak Hanif dibanding Bu
Umi.” Jawab Umi jujur daripada biasanya.
Hajar menyeka sisa air mata gurunya itu. Mencoba untuk empati kepada gurunya
yang cantik.
“Maaf telah
membuat Bu Umi sedih. Semua pasti ada hikmahnya. Itu kan yang selalu Bu Umi
ajarkan pada Hajar?” Hajar yang masih kecil memotivasi Umi untuk menghentikan
tangis dan kemudian Umi mencoba tersenyum lebih lebar. Dia sadar masih
mempunyai Allah swt yang senantiasa bertajalli di hatinya dan di lubuk
hatinya sana. Pasti ada pelangi di ujung senja. Seribu kemudahan setelah satu kesusahan,
Umi selalu meyakini hal itu selama hidupnya. Semenjak saat itu, tidak ada lagi
percakapan tentang Hanif. Tidak ada lagi pertanyaan tentang Fatimah dan tidak
ada hasrat lagi untuk memikirkan cinta. Daun telah gugur dari rantingnya tanpa
meninggalkan luka ataupun kepedihan. Pohon selalu merelakan kepergian daun dan
daun tak pernah marah pada pohon yang melepaskannya. Semua sudah sesuai
kehendak-Nya yang agung. Sepertinya
sudah saatnya Umi menenangkan diri dan memasrahkan dirinya pada Allah Swt.
Barangkali jodohnya nanti lebih baik dari Hanif. Dia harus move up.
********
Yang
diceritakan oleh Umi dan Hanif kepada orang yang dicurhati intinya adalah sama.
Mereka berdua menceritakan sisi positif dari orang yang dicintai. Maka tidak
heran jika orang yang dicurhati memberikan beberapa nasehat penting dalam
menjaga kualitas cinta. Apalagi yang menasehati juga sudah berkeluarga, jadi
pastinya berpengalaman. Di saat Hanif menuju warung makan, dia akan mulai
berceloteh tentang segala kebaikan yang dia rasakan atau dia dengar dari
seseorang mengenai Neng Fatimah. Misalnya saja begini:
“Bang, lagi
tidak sibuk kan?” sapa Hanif pada Tegar, si pemilik warung makan yang sedari
tadi sibuk menyiapkan menu masakan.
“Tidak juga,
akhir-akhir ini pelanggan masih tetap. Tidak berkurang atau bertambah. Apa?
Neng Fatimah lagi nih?” Bang Tegar langsung paham apa yang akan diceritakan
oleh Hanif. Hanif hanya tersenyum malu sambil menganggukkan kepalanya. Dia
mengambil beberapa kerupuk dari toples hijau di sampingnya kemudian mulailah dia
bercerita,
“Iya. Dia itu
shalihah ya, Bang. Sejak kelas dua SD sudah mondok. Pantas saja sekarang jadi
kalem dan berwibawa seperti itu.”
“Tahukah kamu
kalau dia ketika MTs sudah gonta-ganti pacar?” Bang Tegar mencoba untuk menguji
mental Hanif meski kenyataannya juga demikian.
“Ah, namanya
juga remaja SMP, gonta-ganti pacar sudah wajar, Bang. Apalagi kan remaja SMP
itu lagi awal puber. Awal pencarian cinta kan?” Hanif mencoba mengelak,
mendukung Fatimah, gadis pujaan hatinya. Meskipun dalam hati dia trenyuh
mendengarkan kabar tersebut. Tetapi salahkah jika seseorang memiliki masa lalu
yang kelam? Setiap perjalanan hidup harus memiliki liku-liku, agar didapatkan pembenahan
dan evaluasi untuk masa depannya.
“Ah, itu kan
pendapatmu. Masak kamu mau dengan seorang gadis yang pernah bersentuhan tangan
dengan lelaki lain. Bukannya kamu menginginkan gadis yang baik dan suci dari
maksiat?” Kalimat Bang Tegar mensmash otak dan hati Hanif agar mau
berpikir lebih dewasa dan jernih. Di sisi lain, Hanif memang bermimpi untuk
mendapatkan gadis yang baik-baik sejak lahir. <Tetapi bukankah
keshalihahan seseorang tidak memperhatikan sejarah kelam masa lalu. Yang
penting kan sekarang dan hari esok>. Pikirnya membela.
“Menurutku sih,
Bang. Seseorang itu… eh, setiap orang pasti memiliki masa lalu dan entah kelam
atau tidak, yang penting dia berusaha untuk memperbaiki dirinya sejak sekarang
ini demi masa depan yang lebih baik, karena masa depan itu suci untuk
diperjuangkan dan dirubah.”
<Anak ini
pinter ngeles juga.> Pikir
Bang Tegar. Maka Bang Tegar mulai berpesan, “Hanif, kamu harus bijaksana dalam
berbuat segala hal. Apalagi itu terkait dengan masa depanmu dan keluargamu.
Jika kamu mau bersungguh-sungguh menjalani hal ini hingga kalian nanti
ditakdirkan untuk menikah misalnya, kamu intinya adalah satu, niatkan semua
kembali kepada ridla orang tua dan ridla-Nya. Niscaya hidupmu akan bahagia
dengan cinta yang suci itu.”
“Oh ya satu
lagi, pilihlah yang terbaik! Sebab mencari jodoh itu haruslah yang terbaik
meskipun tidak ada pasangan yang sempurna di dunia ini. Karena
ketidaksempurnaan itulah masing-masing saling melengkapi. Yang terbaik itu maksudnya
akhlaqnya, wawasan agamanya, keilmuan umumnya, perilaku sosialnya, ataupun
nasab dan ekonominya. Jangan sampai kamu seenaknya sendiri menentukan pasangan
hidup. Ini ada kaitannya dengan masa depan anakmu juga kelak. Jadi jangan
main-main dengan urusan ‘setengah agama’ ini!” dalam hati, Hanif bergumam, <Bang
Tegar memang nomor satu untuk hal yang satu ini. Tak salah jika aku terus
meminta nasehat darinya!> Tegar memandangi anak muda itu dan kemudian
dia tersenyum sambil meletakkan menu di atas meja Hanif.
“Terimakasih,
Bang untuk nasi dan nasehatnya!” Hanif tersenyum lebar seraya mengambil sendok
dan garpu. Nasi rames yang disiapkan oleh Bang Tegar di hadapannya membuat
perutnya minta diisi. Aroma sayurnya benar-benar sedap. Lauk-pauknya meski
sederhana (tempe dan tahu) tetapi masih hangat semua. Dilahapnya sajian itu
dengan penuh semangat. Entah karena hatinya membuncah atau memang perutnya yang
teramat lapar.
“Sama-sama.”
Jawab Bang Tegar seraya menyambut kedatangan isterinya dari pasar. Dia segera
merebut barang-barang yang dibeli oleh isterinya. Lalu mengambil tisu dan
mengelap keringat isteri tercinta kemudian memijiti pundak isterinya. Hanif
tersenyum teduh melihat kejadian romantis itu. Semoga dia juga mampu untuk
membahagiakan isterinya kelak.
*******
Sementara di
kediaman Paman Didi, Umi Kulsum mulai bercerita,
“Paman, sedang
sibuk?” sebuah pertanyaan yang persis dengan yang diutarakan Hanif pada Bang
Tegar.
“Tidak, kenapa?
Soal Hanif ya?” Sudah hafal Paman Didi itu kalau setiap Umi ke rumah asri itu
ya pasti hanya untuk cerita tentang santri putra yang mengajar di MI pesantren
tersebut.
“Hehe, Paman
kok tahu sih?” Tanya Umi basa-basi sambil cengar-cengir.
“Ya dari pipimu
yang merah itu, paman hafal akan cerita tentang dia. Apa kamu tidak hati-hati
dengan dia? Lelaki itu yang dituju hanya satu lho seshalih apapun dia.” Serobot
Paman Didi menggoda keponakannya yang polos itu.
“Ah, Paman Didi
sok tahu. Dia itu guru paling ‘alim di yayasan kami. Selalu shalat jama’ah
di masjid. Rajin shalat tahajjud juga.” Umi langsung sewot ngeles dan
membeberkan segala kelebihan Hanif tanpa menyertakan sisi kelemahannya. Ah,
wanita mah selalu begitu kalau sedang dilanda cinta pertamanya. Tetapi hati
kecilnya seakan memberontak dengan kejadian tempo hari saat bersama Nduk Hajar.
“ Memangnya
Paman tidak tahu, kalau setiap lelaki itu di otaknya hanya ada satu hal kotor:
nafsu terhadap gadis. Di otaknya itu ada dua gadis. Satu di hadapannya (yang
dicintai) dan yang satu lagi yang diimajinasikan dalam khayalannya itu.
Hati-hati kamu!” ungkap Paman Didi yang sudah sangat berpengalaman untuk hal
satu ini.
“Ah, Paman Didi
nggak seru! Ya, walaupun aku tahu yang dicintainya itu Neng Fatimah kakaknya
Hajar, tetapi masih ada peluang kan dia mencintai aku. Aku juga kuliah sama
dengan dirinya. Jadi kita sekufu kan?” ungkap Umi masih berusaha membela
idaman hatinya itu. Tak dia sadari dia keceplosan menyebut nama Neng Fatimah.
Paman Didi mengkernyitkan kulit dahinya, berpikir dan mencoba menuturkan humor
ringannya:
“Hemm.
Laki-laki itu tidak hanya masalah ijazah sang gadis yang dipedulikan. Tetapi
shalatnya, hatinya, wajahnya, dan yang penting itu tubuhnya.” Paman Didi
terkekeh saat melihat istrinya keluar membawa buah pepaya yang sudah rajin
diiris sepotong-sepotong di atas piring bening berwarna hijau tua. Istrinya
jadi melotot menyiratkan pesan agar Paman Didi menjaga omongannya.
“Jangan
dengarkan nasehat Paman Didi! Kamu bisa-bisa tersesat nanti, dik.” Cegah istri
Paman Didi sambil tersenyum menatap gadis berparas ayu itu.
“Hehe, Paman
Didi itu yang berpikiran tidak jelas. Pokoknya Mas Hanif itu lelaki yang berhati
malaikat. Kayaknya kalau dihitung maksiatnya nol persen!” yakin Umi
seyakin-yakinnya.
“Kamu seyakin
itu? Kok pake kata kayaknya? Berarti masih ada keraguan lho ya?” goda istri
Paman Didi membuat hati Umi semakin ser-seran. Segera dia menanggapi kalimat
bibinya itu:
“Ya, bagamana
ya Bi, kan aku nggak bisa terus-terusan mengawasinya. Kan dia di pondok putra.”
Jawab Umi tertunduk malu, teringat kalimatnya yang baru saja keluar tadi.
Khawatir yang dikatakan oleh bibinya ada benarnya juga.
“Berarti kamu
ragu itu. Jadilah dirimu yang senantiasa berusaha untuk menjadi lebih baik
selama menunggu jodohmu hadir di depan mata! Pilihlah seorang imam keluarga
yang mampu istiqamah dalam mengarahkan kamu ke jalan-Nya! Insya Allah,
jika kamu menjadi lebih baik dari hari kemarin dan terus kamu upayakan, ya
Hanif bisa saja menoleh kepadamu dan akan menjadikan kamu sebagai makmum
hidupnya.” Jawab Paman Didi menenteramkan hati Umi yang tampak kalut semenjak
dia bercerita tentang pernyataan Nduk Hajar mengenai perasaan Hanif terhadap
Neng Fatimah kemarin itu.
Langit yang
mendung digantikan dengan sinar mentari senja yang indah. Umi tersenyum damai. Bibinya
yang ikut nimbrung duduk juga tersenyum lebar. Mempersilakannya menikmati
hidangan buah pepaya ‘Jinggo’ yang terkenal padat dagingnya dan sangat manis
itu. Seindah hati mereka berdua. Umi dan Hanif mengenai cinta mereka
masing-masing. Entahlah takdir yang digariskan dari Tuhan seperti apa jadinya.
Tetapi dalam hati mereka yakin, akan sampai pada tujuan cinta mereka
masing-masing.
2.
Kejahatan
Waktu itu senja
menjelang maghrib. Mungkin sekitar jam lima, di mana burung kelelawar sudah
mulai hilir-mudik di atas genteng warga dan mega merah oranye terlukis di ufuk
barat. Seorang gadis berjalan ke arah barat juga. Dialah Umi yang memberanikan
diri masuk ke kompleks pesantren putri. Hanya untuk menemui Neng Fatimah, rival
cintanya dalam memperebutkan hati Hanif. Kebetulan pas waktu itu Neng Fatimah
selesai mengajar Alfiyah Ibnu Malik kepada para santri. Wajah lelah Neng
Fatimah yang tampak buram perlahan pudar oleh kecantikannya. Sehingga tidak
terlihat begitu capek. Melihat Umi Kulsum yang tiba di gazebo paling depan
seraya melambaikan tangan, Neng Faimah segera mendekat. Langkah gemulai khas
gadis shalihah ditunjukkan kepada sarjana sekaligus guru MI itu. <Gadis
ini benar-benar cantik!> pikir Umi dalam hati. Umi sedikit iri dengan
gadis yang Abah satu ini. Tetapi dia berusaha untuk menahannya di saat Fatimah sudah
dekat dengan dirinya. Umi yang jago curhat mulai mengeluarkan kebiasaan
lamanya, bercerita.
“Neng, maaf
sebelumnya. Saya mau ngomong ini, tapi njenengan jangan marah ya?” Tanpa
menyapa seperti biasanya, Umi langsung to the point.
“Ngomong saja,
Mbak!” jawab Neng Fatimah sambil tersenyum. Fatimah menarik bangku panjang
dekat taman pesantren dan mempersilakan Umi untuk duduk di sebelahnya.
Sementara santri-santri dari jauh mengamati mereka berdua. Bertanya-tanya.
<Fhuh,
lagi-lagi dia menunjukkan Senyum bidadari>, pikir Umi kecut.
Umi mulai
bercerita. Raut muka Neng Fatimah berubah gelap perlahan. Yang tadinya sudah
pudar oleh kecantikan menampakkan keseriusan mendalam. Dia menutup bibirnya
sambil meletakkan tangan kirinya di dada. Namun sesekali dia menjawab
pertanyaan dari Umi dengan tegas, tak seperti biasanya pula. Akhirnya dia
menangis pelan kemudian minta ijin masuk ke ndalem. Kira-kira apa yang
telah diutarakan oleh Umi sehingga Fatimah menangis sedemikian rupa? Santri-santri
semakin bertanya-tanya, tetapi hati kecil mereka mengatakan ini pertanda buruk.
Sementara itu,
setelah bercakap-cakap dengan Neng Fatimah, Umi berjalan ke masjid untuk
pesiapan Shalat Maghrib. Umi kemudian berpikir dalam hati bahwa besok dia akan
berjalan ke kampung untuk menuju sebuah rumah.
********
Waktu itu pagi
hari, Paman Didi sedang menyemprot bunga-bunga di depan teras rumahnya. Alhamdulillah
hari ini dia libur kerja dua hari karena kantornya sangat toleran kepada umat
Muslim yang sedang memasuki tahun baru Hijriyah. Meskipun pemilik perusahaan
tempat dia bekerja sambilan pimpinan Pak Ju Jin Hyo yang asli Korea itu
beragama Katholik. Saat asyik memberikan pupuk di atas bunga sembojanya, tampak
Umi berlari ke rumahnya seraya menangis. <Wah, mulai lagi nih anak!>
Katanya dalam hati turut sedih. Paman Didi meletakkan semprotan bunganya di
atas sanggan kemudian mencuci tangannya, menghandukinya dan segera berjalan menyambut
keponakannya itu.
“Assalamu’alaikum!
Paman aku mau cerita.” Pinta Umi to the point sambil mengusap air
matanya dengan tisu. Terlihat sekali dia sangat sedih. Hidungnya memerah begitu
pula matanya terlihat sembab, cembung oleh air.
“Wa’alaikumsalam
warahmatullahi wabarakatuh. Ayo duduk dulu! Bu, ada Nduk Umi! Tolong
buatkan es susu cokelat!” seru Paman Didi ke dalam rumah. Terdengar ada suara langkah
Bu Asih yang menuju dapur sambil menyahut, “Oh Nduk Umi, ya tunggu sebentar!”
“Tenanglah dulu
sebentar, Nduk! Biar pikiranmu tidak kacau. Kalau perlu tarik nafas
dalam-dalam. Itu air matanya sampai banjir ke mana-mana.” Paman Didi berusaha
menasehati. Dia tampak seperti ayah kandung Umi saja. Umi mulai menarik nafas
dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Dia menyeka seluruh air matanya
dengan tisu baru. Tisu yang sudah basah dibuang ke tempat sampah dekat kursi
tempat dia menyandarkan punggung. Ketika dia mulai tenang, es susu cokelat
datang di atas nampan panjang berwarna hijau tua menuju meja di depannya. Warna
kesukaan Umi. Bu Asih tahu apa yang disukai Umi. Hati Umi tambah tenang
dibuatnya.
“Monggo
diminum Nduk Umi. Bibi ke dapur dulu. Baru nggoreng ikan. Kalau ibu ikut di
sini takutnya malah gosong.” Kata Bu Asih, istri Paman Didi yang murah senyum
itu. Umi mengangguk pelan. Bahkan ketika menangispun dia masih terihat cantik
dan imut, seperti boneka dari negeri Jepang saja.
“Begini Pakdhe,
ini masih soal Kang Hanif. Dia ternyata …..” Umi mulai bercerita soal Hanif
ketika tahajjud dan memohonkan do’a pada Sang Pemilik Hati Manusia. Dan
itulah yang membuatnya sedih. Maka Umi meninggalkan pesan kepada Paman Didi
sebelum dia pamitan kepada dua orang tua yang tinggal di rumah sederhana itu.
Kemudian Umi bergegas ke tepi sungai.
Saat itu hujan turun mulai dari rintik hingga deras sekali. Kala itu Umi
tidak membawa payung. Dia berteriak melengking ke langit sambil menghujat
dirinya yang berani menentang cinta seorang Neng Fatimah. Seorang yang
berpengaruh di pesantren Al-Huda. Sementara dia juga mengutuk Hanif yang kurang
peka akan kerinduannya. Rindu di kala hujan turun dan dia memberikan payung
pada lelaki tampan itu. Tetapi apa yang dia dapat? Hanyalah luka yang teramat dalam.
Memang takdir tak pernah mau melihat perasaan. Apakah dia bahagia atau justru
tertusuk seribu duri. Cinta yang sayap-sayapnya patah, tidak imbang atau berat
sebelah. Berat baginya dan ringan bagi Hanif. Hanif tidak membalas cintanya
yang suci itu. Umi menangis kemudian duduk sendirian. Dia tidak menyadari ada
sesosok tubuh mendekatinya dengan membawa pisau daging. Hujan juga menyamarkan
suara langkah yang mendekatinya dan tiba-tiba …..
*******
Di pojok desa,
ada sesuatu yang salah dengan tempat itu. Banyak warga yang berlarian ke arah
sana. Sebab tadi warga mendengar ada suara teriakan seorang wanita dan seperti
suara sabetan senjata tajam pada daging. Seperti suara Mbok Ijah, pedagang
daging di pasar saat memotong-motong daging sapi. Ngeri jika mendengarnya
secara langsung. Sebelumnya alam menyaksikan kalimat yang dilontarkan oleh
seseorang:
“Demi dirimu aku melakukan hal ini, Umi!” kata Ahmad Tohari. Dia
terus berbicara pada mayat yang terbaring kaku itu. Tiada suara balasan. Hanya
hening dan darah dingin mengalir di sekujur tubuh laki-laki setengah baya itu.
“Kau tahu, aku mencintaimu bahkan sejak kau masih SD kelas dua!
Waktu itu kau bermain pasir di belakang rumah Abah Rasyid saat beliau
meninggikan bangunan masjid pesantren. Aku berhenti bekerja saat itu karena
terpesona akan imutnya wajahmu, Umi. Tetapi karena kau berani menolak cintaku,
inilah yang kau dapatkan sekarang. Hehe, mencintai Hanif katamu? Dia juga akan
mengalami hal naas sepertimu saat ini” Lanjut Ahmad sambil meratakan darah ke
kaos yang dipakainya. Air hujan yang deras juga tidak melunturkan warna merah
itu. Dia puas meskipun warga mulai mengerubunginya.
Namun tiada
jawaban pasti dari mayat itu. Orang-orang mulai berdatangan kemudian mencekal
Tohari. Beberapa orang mengangkat jasad Umi menuju ambulans yang sudah
dihubungi. Rencananya mayatnya akan divisum atau diautopsi. Entahlah. Beberapa
orang geleng-geleng kepala melihat Tohari yang tidak merasa bersalah itu.
Wajahnya menyunggingkan senyum lebar seperti seorang koruptor di TV. Tak punya
malu! Langit yang menyaksikan kejadian di hari itu menjadi mendung. Awanpun
menangis meratapi kepergian kembang desa yang dibanggakan warga selama ini.
Alam pun tahu bahwa ruh gadis ini akan mi’raj ke langit dengan kesyahidan
cintanya.
*******
Paman Didi yang
melihat Hanif berjalan ke pemakaman saat para jama’ah takziyah telah pulang,
segera menghampiri dan kemudian memulai percakapan.
“Assalamu’alaikum Kang Hanif.” Sapa Paman Didi sambil
tersenyum. Hanif yang masih dirundung duka menoleh, mengecek siapa yang
menyapanya di kesendirian itu.
“Wa’alaikumsalam warohmah. Oh, Paman Didi. Ada apa ya?”
Hanif tampak menyeka air mata di pipinya yang akan jatuh pelan ke tanah. Malu
dilihat seorang yang bijaksana itu.
“Eh, maaf. Setelah Kang Hanif selesai tahlil. Saya tunggu di
surau. Ada yang ingin saya sampaikan terkait pesan terakhir dari Nduk Umi.” Kalimat
itu seakan mengguntur di hati Hanif. Sesak sekali terasa.
“Oh, iya. Paman, silakan duluan. Saya ingin di sini sebentar.” Kemudian
segera Paman Didi berbalik dan berjalan ke surau dekat pemakaman, takut
menambah kacaunya hati Hanif.
Setelah duduk di samping pusara, Hanif mulai berdo’a dan membacakan
tahlil. Kemudian Hanif berkata pada pathok yang bertuliskan nama:
Umi Kulsum.
“Dik, kenapa kamu begitu cepat meninggalkanku, meninggalkan kami.
Aku baru tahu kalau kamu itu ternyata telah lama jatuh hati padaku. Tetapi
untuk ta’aruf denganmu membutuhkan ketinggian ilmu dan waktu yang tidak
sebentar. Maaf jika aku lebih memilih Neng Fatimah, karena dalam istikharahku
mengatakan begitu. Seharusnya kamu mendapatkan suami yang lebih baik dariku,
tetapi kamu malah meninggal sebelum menikah. Bahagialah di sana! Bertemu dengan
Sang Maha Cinta. Aku janji akan selalu mengunjungi makammu dan berdo’a untukmu.
Aku harus menemui Paman Didi sekarang untuk mengetahui apa isi pesanmu untukku,
tersenyumlah di syurga, Dik Umi dan maafkan aku yang bodoh ini! Semoga saja
kita dipertemukan di syurga-Nya yang suci. Aamiin.”
Hanif
meregangkan otot-ototnya yang kaku karena lama duduk di makam, kemudian
berjalan ke surau. Dia melihat Paman Didi melambaikan tangan padanya sambil
tersenyum Sepertinya cerita yang akan disampaikan tidak seindah senyumnya.
Firasat Hanif mulai menderu. Ada bisikan aneh untuk tutup telinga. Tetapi kaki
Hanif terus melangkah dan masuk ke surau meski langkahnya berat untuk
meninggalkan pusara Umi. Membuktikan bahwa dia adalah lelaki yang bertanggung
jawab.
Setelah duduk di samping Paman Didi, Paman Didi mulai bicara,
“Kang, sebelumnya paman mau tanya, kamu sudah tahu apa yang
dirasakan Nduk Umi?”
“Perasaan? Cinta maksud paman?” Tanya Hanif mengkonfirmasi.
Jangan-jangan bukan itu yang dimaksudkan atau memang itu yang akan diutarakan
oleh orang bijak itu.
“Ya, sesuai dugaanku. Kamu sudah tahu. Aku mulai memperhatikannya
dan serius mendengarkan. “Begini, aku mulai dari kisah Nduk Umi waktu
kecil:
“Dia adalah gadis periang, senyum selalu terukir di wajahnya yang
putih bersih. Dia adalah gadis cilik tercantik yang pernah aku lihat. Shalihah
dan suka membantu ibunya. Dia juga tergolong murid yang cerdas. Sejak SD hingga
SMA dia selalu mendapat rangking satu atau dua. Banyak menyabet penghargaan dan
pandai mendongeng. Dongengnya selalu kudengar dan tidak ada yang membosankan.
Semua lucu dengan ekspresi wajah yang cocok ketika bercerita. Tergantung
ceritanya, sedih, ceria, netral ataupun saat cerita remaja. Hehe. (sejenak
mengumbar senyum kecut lalu menghempaskan nafas panjang yang berat. Kemudian
Paman Didi melanjutkan dialognya). Dia layak mendapatkan penghargaan
sebanyak-banyaknya sebagai pendongeng terhebat di desa ini, kang!”
Hanif ikut
tersenyum mendengarnya. Ternyata Dik Umi bertalenta di balik pribadinya yang
pendiam. Dilihatnya raut muka Paman Didi berubah serius, Hanif tetap menyimak ceritanya.
Mungkin bakat berceritanya muncul dari kebiasaan Dik Umi mendongeng kali ya?
“Kemudian tidak
lama kemudian dia masuk kuliah. Ini perjuangan perdana baginya tanpa orang tua
yang mendukungnya. Dia membiayai kuliahnya sendiri dengan berjuang sebagai guru
les privat di kota. Kadang dia juga berjualan mulai dari pulsa hingga makanan
kecil. Pernah dia juga menjual jasa di fotokopi sehingga dia bisa meraih gelar
sarjana dan melamar kerja di MI itu. Tak lama kemudian, dia melanjutkan studi
S2 di Jogjakarta dan nimbrung nyantri di pesantren Abah. Masalahnya adalah …..”
Paman Didi menghela nafas panjang seraya menatap lurus ke pemakaman. Persis ke
pusara Dik Umi.
“Apa paman?” Hanif
mencoba untuk berempati meskipun seperti juga sia-sia.
“Dia malu untuk
mengungkapkan cintanya padamu. Pernah suatu hari dia lari seraya menangis ke
rumah, cuma untuk cerita kalau saat kamu shalat tahajjud dan memohon
untuk bisa didekatkan dengan Neng Fatimah. Padahal saat itu dia juga sehabis tahajjud
agar bisa didekatkan denganmu. Dia sangat terluka saat itu. Kemudian dia curhat
ke Neng Fatimah juga. Neng Fatimah ketika itu tutur Nduk Umi diam saja
kemudian masuk ke kamar. Mungkin malu kepada Nduk Umi. Dan akhirnya dia
pergi ke tepi sungai. Jika aku mengejarnya pastilah peristiwa yang tidak
seharusnya terjadi dapat dicegah. Namun sepertinya rancangan Tuhan satu itu
terjadi begitu saja. Dan bodohnya aku jika menceritakan hal ini padamu
sekarang. Tetapi mungkin Nduk Umi juga maklum jika aku melakukannya
sekarang.”
Hanif terbisu
seperti saat langit mendung, dia bertanya, “Kenapa Dik Umi pergi tanpa ijin?” Paman
Didi hanya tercenung lama tanpa suara. Sejak pertemuan itu dengan Paman Didi
hingga hari ini terasa begitu kelam baginya. Sampai-sampai empat hari dia tidak
bisa tidur nyenyak semenjak kematian Dik Umi.
<Inikah
cintaku padanya? Tetapi semua sudah terlambat kusadari.> dalam hati
Hanif berontak menyesal pada dirinya sendiri. Tetapi takdir Tuhan yang terbaik
atau entahlah dia sendiri semakin terbisu ketika menyempatkan diri untuk
berziarah ke pusara Umi. Dia selalu menangis dibuatnya. Tetapi dia berjanji di
tahun depan, ketika berziarah, dia akan berusaha untuk tidak menangis dan
mengambil hikmah dari peristiwa kematian Umi. Dia berharap, dia tidak akan mengulangi
peristiwa itu pada Neng Fatimah. Itulah lecutan semangat sehingga dia bertambah
tegar dan kukuh dalam cinta sucinya.
3.
Sajak-Sajak Cinta Kedua
Di warung Bang Tegar. Sore hari dengan sepuhan emas dari-Nya di
ufuk barat membuat hari semakin indah dipandang. Kira-kira pukul 17.30 WIB.
Setengah jam lagi maghrib akan dikumandangkan oleh sang bilal. Hanif masih
duduk di warung itu, memulai percakapan dengan si-empunya warung yang mana di warung
itu kini tinggal dua-tiga pelanggan yang duduk makan atau sekadar minum.
“Aku
sedih sekali Bang. Aku tidak habis pikir kalau itu bisa terjadi pada Dik Umi.
Seharusnya aku disana ketika itu. Bukannya malah sibuk pada pekerjaanku.”
Kataku lirih. Bang Tegar berhenti mengaduk kopi yang Hanif pesan tadi, kemudian
berkata, “Kamu tidak salah, mas. Kematian itu sudah menjadi takdir setiap
manusia. Kita harus menerimanya dengan tabah. Mungkin ada hikmah dari ini
semua. Mas Hanif jangan terlalu larut dalam kesedihan!” Setelah mengatakan
kalimat itu, Bang Tegar meletakkan kopi di atas meja. Menarik sebuah kursi untuk
mendekat ke meja tempat Hanif bersandar dan duduk mendengarkan apa yang
dikatakan oleh Hanif kemudian.
“Terimakasih
sudah mau mendengarkan keluhan ku, bang. Lega rasanya setelah semua
dikeluarkan. Oh ya, Bang, ini uang untuk membayar makan siang yang kemarin.
Maaf agak telat karena dana BOS belum cair, tadi pagi baru gajian. Ya, Bang
Tegar juga tahu kan gaji seorang guru MI honorer itu seperti apa?” kata Hanif
sambil menundukkan wajah malu.
“Tidak
perlu merendah seperti itu Mas! Yang penting pekerjaan Mas Hanif halal, itu
sudah baik bagi saya. Daripada saya yang lulus D3 hanya jadi entrepreneur
gagal seperti sekarang ini. Tetapi lumayan lah, bisa buat membangun rumah dan
menyekolahkan dua anak. Haha, rencana tahun depan saya mau lanjut S1 dan S2 di
tiga tahun depannya lagi mas. Silakan kopinya mas, mumpung masih panas!”
Katanya sambil meletakkan kopi yang satunya di atas meja. Mempersilakan Pak
Thohir, teman Hanif yang juga duduk di sebelah anak muda itu.
Datang beberapa pelanggan yang lain. Mereka duduk tenang sambil
melihat menu yang disediakan di atas rak hidangan. “Ramesnya tiga bang, sama es
teh dua. Es jeruknya satu. Yang es teh esnya dibanyakin ya bang..! Jangan lupa
sambel terasinya.“ pesan salah satu diantara mereka. Sepertinya dia sedang
bahagia, mungkin sedang ulang tahun sehingga sepertinya yang dua ditraktir
olehnya.
“Oke, siapp!” sahut Bang Tegar yang mulai sibuk meracik hidangan.
Siang ini tampak udaranya panas sekali. Hanif berdiri dan mengambil cawan untuk
kopinya agar tidak nyanthang di lidah. Aroma yang kental. Rasa dari kopi
yang khas dari Banaran, Ungaran ini benar-benar membuatnya lupa sejenak dengan
ceritanya pada Bang Tegar tadi. Dia seruput kopi hitamnya itu dan kemudian
menuju kasir untuk membayar menu tadi. Dia akan bersiap-siap menuju masjid
untuk iktikaf. Suatu aktivitas yang biasa dia lakukan. Sebab kata Abah, seorang
pemuda yang hatinya senantiasa terpaut pada masjid, akan mendapatkan naungan
kelak di Padang Mahsyar. Hanif mempercayai hal itu. Jadi dia starter
motornya dan ngegas ke masjid terdekat di Desa Bawen yang dicat hijau oleh
pepohonan kopi itu.
********
-Catatan Diary Hanif-
19 Juni 2017. Di aula majelis pesantren, tertata beberapa almari
tempat menaruh Al-Qur’an dan kitab-kitab yang sering dikaji bakda shubuh. Berderet
mulai dari Kitab Bulughul Maram, Subulussalam, Alfiyah Ibnu Malik,
Jurumiyyah, Nashaihul ‘Ibad, Durrotun Nasihin dan Sahih Bukhari. Tergeletak
pula beberapa orang santri di atas karpet tebal, di samping almari tersebut.
Pasti hangat sekali karpet itu jika disesuaikan dengan kondisi alam pada pukul
05.30 WIB. Apalagi hari ini sedang libur usai penutupan pengajian Ramadhan tadi
malam. Para santri yang tertidur benar-benar menikmati tidurnya yang tertunda
beberapa jam gara-gara harus ro’an menguras bak mandi yang digunakan
selama 25 hari yang lalu. Di pojok aula, dekat tiang tempat para santri
bersandar sambil menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, aku duduk sendiri.
Aku masih saja merenungkan
kata-kata Bang Tegar tadi pagi. Benar juga bahwa kematian itu adalah takdir
yang sudah dipastikan-Nya dan aku tidak boleh larut dalam kesedihan. Maka aku
harus yakin kalau kebahagiaan akan hadir setelah kesedihan. Keduanya bersifat
sementara saja. Di tengah lamunanku, tampak Neng Fatimah sedang menjemur
pakaian. Aku dapat melihatnya dari jendela kaca aula. Dia tampak cantik sekali
siang ini. Dengan gaun hijau muda, panjang menutupi seluruh badannya. Khas
gadis shalihah. Saat menyadari aku menatapnya, dia tersenyum dan
mendekat.
<Dia mendekat? Duh gawat nih!> Pikirku
berbisik. Langkahnya dipercepat ketika aula majelis tidak ada- siapa-siapa yang
terjaga kecuali aku sendiri di dekat tiang sandaran. Bertambah degub jantungku
saat ini.
“Kang Hanif lagi mikirin apa?” tanyanya ditambah dengan senyumannya
yang indah itu. Senyuman yang dapat meluluhkan hati siapa saja yang melihatnya,
termasuk aku. <Sepertinya dia tahu kalau aku sedang memikirkannya. Gawat
nih!> bisikku dalam hati.
“Ah, tidak. Permisi, neng!” kataku seraya melarikan diri darinya
menuju ke jalan ke arah pondok putra. Aku belum siap menghadapinya.
<Maaf ya neng, jangan sekarang ngobrolnya! Nggak enak jika
ada yang melihat kita.>kataku dalam hati menasehatinya meskipun dia
tidak dapat mendengarnya. Dia terus saja menatap punggungku yang semakin
menjauh. Ada siratan kecewa di wajahnya. Aku dapat melihatnya dari kejauhan.
Dari kamar sempit berukuran 4x4 meter untuk 5 orang per kamar, tempat aku
berhenti sekarang. Meski kecewa dia tertawa geli melihat kelucuan dan
kepolosanku itu.
Jelas aku belum siap berhadapan dengannya selain karena kesedihan
yang kurasakan pasca kematian Dik Umi juga karena ilmuku masih dangkal.
Sementara Neng Fatimah sejak kecil sudah mondok di Jombang dan Kediri Jawa
Timur. Yang katanya orang, kalau pengen pinter agama, ya larinya ke timur! Dia
geleng-geleng kepala kemudian masuk ke ndalem sambil tersenyum sekali
lagi.
<Kenapa dia selalu hadir di saat yang tidak tepat? Entah apa
ini takdir dari-Nya?> Aku merutuki takdir yang selalu tidak bertanya
apakah aku siap atau tidak. Jadi sepertinya ke depan aku pasrah saja untuk
menjalaninya.
*******
Dalam sudut
dapur Nyai Rohmah mendekati Neng Fatimah yang sedang meletakkan gula pasir ke
dalam toples. Sepertinya ada yang aneh dari wajah Neng Fatimah. Senyum-senyum
dari tadi, sedikit-sedikit melihat ke atap. Gula pun banyak yang tercecer tanpa
disadarinya.
“Lagi mikirin
apa kamu, nduk?” Tanya Nyai Rohmah sambil mencubit lembut lengan putrinya yang
cantik bersih itu. Seketika itu, Neng Fatimah menyadari ada sengatan aneh di
lengannya. Dia baru saja sadar dari mimpi indahnya itu lantas menoleh ke
samping. Melihat masih ada bundanya menemaninya menuang gula di dapur ndalem.
“Oh, bunda.
Tidak ada.” Pipi Neng Fatimah mulai memerah menahan malu. Dia kemudian dengan
langsung bertanya pada Nyainya itu, “Bunda, bolehkah kita mencintai seseorang
bunda?”
“Tentu saja.
Setiap manusia boleh saling mencintai. Karena itu adalah fitrah, naluri manusia
dan anugerah dari-Nya.” Jawab Nyai Rohmah secara reflek. Nyai Rohmah terdiam
sejenak, mencerna pertanyaan putrinya itu kemudian menyelidik, “Kamu sedang
jatuh cinta ya?” jawab Nyai Rohmah seraya meletakkan piring di dekat tangan
kanan Neng Fatimah.
“Enggak,
memangnya nanda kelihatan seperti itu?” jawab Neng Fatimah ngeles. Tatapannya
dipindahkan ke luar, menuju aula majelis pesantren. Tempat Hanif bersandar pada
tiang kemudian berlari dengan lucunya.
“Jangan bohong.
Kamu suka dengan santri yang suka shalat tahajjud di masjid itu ya?”
Nyai Rohmah memberikan kode pada Neng Fatimah akan wajah Hanif yang tampan dan shalih
itu. Seorang santri yang tak pernah pacaran sekalipun itu.
“Siapa, Hanif?
Enggak ah. Fatimah mau mondok dulu. Tidak mau mikirin yang begituan bunda!”
“Jangan suka
bohong, tuh ada buktinya.” Bunda Rohmah menunjuk pada gula yang tercecer. Neng
Fatimah yang masih di bawah alam sadarnya itu terkejut ketika melihat di atas
meja ada gula-gula yang tercecer tidak rapi. Neng Fatimah segera merapikannya
ke dalam piring lalu dimasukkan ke toples. Dia begitu malu dibuatnya kemudian
tersenyum dan tertawa kecil lalu masuk ke kamar tidur. Nyai Rohmah
geleng-geleng kepal seraya berkata dalam hati:
<Dasar,
mau bohong sama bundanya! Tatapan matamu yang tak fokus itu tak mampu
membohongi diriku yang melahirkanmu, nduk!>
********.
-Diary Hanif-
20 Juni 2017. Dalam
khayalanku aku berjalan beriringan dengan Neng Fatimah di taman bunga-bunga
yang luas. Kami ditemani oleh kupu-kupu berwarna-warni dan langit birupun
dikelilingi oleh pelangi dan awan putih yang indah sekali. Aku tersentak ketika
Abah berdiri di depanku. Saat itu selesai mengaji Kitab Qomi’ut Thughyan.
<Ya Rabb, bencana apa lagi ini, aku malah melamun di tengah pelajaran?>
“Nang, nanti
tolong antar Neng Fatimah ke rumah Abah Ndakir! Katanya dia mau setor hafalan
juz 2. Kamu sudah ditunggu di depan gapura pesantren sejak lima menit yang
lalu. Pakai saja motor supra yang kuparkir di belakang rumah. Ini kuncinya!” aku
terkejut dari lamunanku ketika Abah memerintah dengan kata-kata meluncur tanpa
rem lantas pergi sebelum aku menyatakan kalimat penolakan. Dan saat kutengok
kiri-kananku, sudah tak ada santri yang duduk bersimpuh di aula mengaji.
Ya itulah kiai.
Dhawuhnya harus dilaksanakan para santri sebagai akibat dari ketawadlu’an.
Kunci aku terima dan kumasukkan ke dalam saku. Belum jauh Abah berjalan aku berkata,
“Njeh bah!” Abah masuk ke ndalem. Sementara aku mencari jalan
pintas menuju belakang rumah di mana motor beliau yang diparkir dengan deretan
motor santri kalong.
Aku merasa
seluruh sendi jadi lemas dan dingin. Padahal selama ini Kang Sulaiman yang
biasa disuruh mengantar.
<Tetapi
kenapa harus aku? Ya, benar juga sih. Kang Sulaiman kan sudah boyong,
jadi sekarang giliran aku yang mengantar. Atau jangan-jangan aku akan terus
mengantarnya, Masya Allah, gawat ini!> pikiranku mulai kacau sembari aku
menepuk jidat sendiri merasa konyol.
<Aku
segera menuju ke motor atau kemana dulu ini?> Aku bingung. Akhirnya aku
mampir ke kamar Kang Sulaiman untuk mengkonfirmasi mengapa aku yang harus
mengantarkan Neng Fatimah. Jawab Ibrahim, adik Kang Sulaiman cukup pendek dan
sangat jelas:
“Mungkin Abah
ingin tahu seberapa setianya engkau pada pesantren ini, kang!” Aku seperti
dihujani batu kata-kata. Apalagi setelah berkata begitu dik Kang Sulaiman
menutup pembicaraan dengan mengatakan, “Saya ke pasar dulu, kang. Disuruh bu
Nyai untuk membeli beras untuk makan malam nanti.” <Yah, aku ditinggal
lagi.> Aku merasa diabaikan olehnya. Mentang-mentang dia tahu tentang
hubunganku dengan Kang Sulaiman yang agak kres tahun lalu. Sifatnya mirip
sekali dengan kakaknya. Bikin jengah saja.
Aku berjalan ke
parkiran dan menemukan motor yang dimaksud oleh Abah Rasyid dan seketika itu
pula aku memasukkan kunci ke slotnya dan mulai memanaskan mesin. Kemudian
terlihat Neng Fatimah yang cantik itu, dibalut baju kurung berwarna biru tua
berjalan dari gapura pesantren menuju parkiran. Tanpa dandan dia sudah seperti
bidadari yang memakai helm. Kemudian dia tersenyum di hadapanku dan berkata,
“Sudah siap? Ayo berangkat, kang!”
“Njeh,
neng.” Jawabku sambil tertunduk kepala karena kikuk. Dia langsung melompat ke
jok belakang kemudian menatap ke depan dengan penuh kepercayaan.
<Gadis
ini benar-benar berani. Tidak seperti neng biasanya yang tertutup.>
Setelah semua dirasa
siap, kami meluncur ke rumah Abah Ndakir di Banyubiru. Sepanjang perjalanan,
aku tidak berani melihat spion dan jantungku berdegub lebih kencang dari
biasanya. Dalam hati, aku terus saja beristighfar dan bersholawat.
Begitu pula ketika pulang dan tidak ada kalimat yang aku tanyakan kepadanya
apalagi berbincang-bincang. Neng Fatimah juga tidak ngobrol, kudengar dia hanya
melantunkan ayat-ayat yang disetorkan kepada Abah Ndakir. Setiba di ndalem,
dia tersenyum dan mengucapkan terimakasih.
“Maaf neng. Iya
sama-sama.” Jawabku pelan.
“Lain kali aku
minta diantar kamu saja kang. Lebih cepat dari Kang Sulaiman soalnya.” Katanya
sambil memperhatikan wajahku yang malu-malu. Dia tersenyum manja. Aku seperti
disambar petir saat mendengar kalimat barusan itu.
“Pareng,
neng!” kataku sambil menyerahkan kunci padanya lalu meninggalkannya yang masih
menatapku cukup lama. Aku berlari ke kamar kemudian banyak beristighfar
di dalam. Dalam hatiku masih berbisik, <Lebih cepat katanya. Ya, Tuhan.
Kenapa selalu berakhir seperti ini?> Aku langsung menutup bantal ke
mukaku dan berusaha untuk tidur meskipun pada akhirnya juga tidak dapat tidur
dengan nyenyak. Sebab adzan ashar segera dikumandangkan oleh Ibrahim. Ibrahim
sudah pulang dari pasar. Suaranya begitu merdu. Lebih merdu dari suara Kang
Sulaiman. <Ah, aku jadi rindu Kang Sulaiman. Kapan ya dia akan mengajar
di sini lagi?> kataku dalam hati.
<Yah,
lagi-lagi suara dari santri itu!> Ada bisikan syetan yang melintas di
hati mengingatkanku pada wajah Ibrahim yang sewot. Hatiku tambah berderu
jengkel mengingat kata-katanya tadi waktu pagi. <Sebaiknya aku segera
wudlu untuk mengusir bisikan tak baik ini dan meminta maaf pada Ibrahim.>
kata bisikan baik di hatiku. Aku segera bersiap-siap ke kamar mandi untuk
wudlu. Kemudian berjalan menuju masjid, saksi cintaku pada Neng Fatimah yang
baik hati itu.
*******
-Diary Hanif-
28 Juni 2017. Suatu
saat Neng Fatimah mengirim sms ke handphoneku. Ini baru pertama kalinya
aku mendapat sms darinya. Intinya adalah: “Tolong antar saya ke kediaman Abah
Ndakir lagi, saya mau setor hafalan juz 3.” Saat itu juga masih dalam program
liburan menjelang hari raya Idul Fitri. Tidak biasanya Neng Fatimah setoran
menjelang lebaran. Kali ini adalah bulan ke-2 semenjak dia setoran ke pesantren
Abah Ndakir. Aku yang menjadi santri hanya sendhiko dhawuh dan tidak
berani menolak permintaannya sebab Abah Rasyid juga mengiyakan jika Neng
Fatimah meminta apapun. Apalagi dengan begini, aku bisa sekaligus proses ta’aruf
dengannya. Meskipun niatanku begitu tetap saja aku tidak berani ngobrol lama
apalagi pacaran seperti kebanyakan orang.
Berkali-kali
dia sms konfirmasi padaku. Aku hanya membalas: “Masih mengajar di kelas neng,
sebentar lagi juga keluar.” Atau “Malah diajak rapat PPDB bu Wakil Kepala
Sekolah, neng. Sebentar lagi, ngapuntene ditenggo sekedhap njeh!”
Akhirnya setelah menunggu dua jam, aku bisa meluncur ke dapur, tempat dia
menaruh beberapa barang yang harus dibawa. Tetapi setiba di sana aku ngamplu,
tidak ada seorang Neng Fatimah sekalipun. Yang ada hanya Mbok Painah yang
tersenyum kecut, mungkin mengejekku yang telat ini.
“Orangnya sudah
diantar Kang Sholeh, kang!” katanya membuatku sangat malu, kecewa bercampur
takut jika sewaktu-waktu Abah Rasyid murka karena tahu aku lalai seperti ini. Mbok
Painah segera meneruskan kegiatan mencuci piringnya dan bersenandung lagu
Malaysia. Lagu yang galau dia nyanyikan, menambah irisan luka di hatiku meskipun
aku tak bersuara sedikitpun.
Aku kemudian
berbalik jalan. Kudengar burung ikut berkicau sendu mengiringi langkahku. Langkahku
menjadi semakin tidak bersemangat mengingat kondisi langit juga muram, hendak
menangiskan rinai. Selama perjalananku menuju kamar, sedikit-sedikit aku mengumpat
pada diri sendiri dan akhirnya, aku berpikir dalam benak, <Toh aku ini
siapa? Kenyataannya kan bukan siapa-siapanya Neng Fatimah. Dan levelku berbeda
dengannya yang hafidzoh itu. Bagaimana aku menyatakan diri menjadi imam sementara
aku juga belum mampu menjaga hafalannya ketika kujadikan pendamping hidup.>
Aku merasakan
tulang-tulangku melemas karena merendahkan diri, dan mendung senja ini
membuatku bertambah kalut saja. <Kang Sholeh? Yang pekerjaannya
mencangkuli pupuk kandang belakang pesantren itu? Kenapa harus dia?>
sejenak aku membanding-bandingkan diri dengan orang itu lalu aku beristighfar
ketika ada lintasan hati untuk bertaubat. Aku mengambil air wudhu dan berjalan
ke masjid. Ada beberapa santri putri juga sudah bersiap di shaf pertama.
Berbeda dengan santri putra yang hanya beberapa saja. Mungkin sudah pada boyong
menyambut mipik lebaran. Adzan maghrib dikumandangkan. Lantunan suara
merdu Ibrahim yang biasanya aku benci mendengarnya, kini merasuk menuju hatiku
yang terdalam, menusuk-nusuk di angan. Sehingga tak sengaja merembeslah
bulir-bulir air mataku yang bening menuju pipiku yang tirus. Aku melaksanakan
shalat qabliyah maghrib meskipun tak sekhusyu’ biasanya. Tetapi
aku lakukan sampai selesai. Hanya selepas shalatlah hatiku menjadi agak tenang
dan kepalaku mulai dingin dari masalah-masalah seharian ini. Ah, cinta mah
selalu begini, bikin sakit hati saja! Barisan shaf mulai rapi dengan
majunya beberapa orang santri dan warga setempat di shaf terdepan. Sang
imam mulai menuju ke mimbar dan shalat maghrib pun dilaksanakan dengan khidmat.
Dzikir bakda maghrib menambah kesejukan di hati ini. Mungkin benar, jika salah
satu solusi dari permasalahan manusia adalah kembali menuju pada-Nya, Sang
Pencipta Masalah agar diberikan solusi dari masalah yang telah diciptakan-Nya.
Bukan malah memukuli diri sendiri dengan masalah itu sendiri.
4.
Berpisahnya Dua Saung
-Diary Hanif-
Saat itu
tanggal 11 Juli 2017 di bulan Syawal akhir. Terkadang aku cukup bodoh (diam
seribu bahasa) ketika berhadapan dengan Neng Fatimah. Suatu hari ketika panen
padi tiba, Abah Rasyid meminta para santri untuk membantu memanen atau sekedar
menyelep beras. Dan istirahat bersama di saung untuk makan siang dari punjungan
yang dibuat oleh Mbok Painah dan Neng Fatimah. Makanan itu terasa nikmat
selepas lelah panen setengah hari. Makanan seperti nasi putih dan sayur tumpang
terasa sangat lezat ketika disantap bersama. Inilah bentuk keberkahan dari
makan bersama. Sesaat para santri menempatkan diri di beberapa saung, aku
memilih berada di samping Abah di saung paling pojok dan jauh dari pesantren
putra tetapi lebih dekat jaraknya dengan pesantren putri sehingga aku lebih
kerap bertemu dengan Neng Fatimah. Itupun yang meminta Abah sendiri tanpa aku
meminta dan niat untuk mendekati Abah dalam rangka PDKT dengan Neng Fatimah.
Aku tidak punya niat sejahat itu sehingga membuat iri santri lainnya. Tetapi
pada kenyataannya aku menikmati setiap pertemuan ini.
“ Assalamu’alaikum,
Bah, ini punjungannya. Lekas dimakan, selagi hangat! Monggo Kang
Hanif!” sambut Neng Fatimah menatapku sambil tersenyum. Matanya yang berkedip
pelan itu sangat cantik menurut hatiku.
<Astaghfirullah,
pemikiran macam apa ini? Kenapa aku dengan begitu mudahnya terpesona pada gadis
Abah?> Hatiku mulai berkecamuk, sejenak aku ndomblong dibuatnya.
Sementara dia masih tersenyum menatapku.
“Wa’alaikumsalam
warohmah. Njeh, Neng. Monggo sekalian makan!” jawab Abah
Rasyid sambil melirikku seakan menyindirku tajam. Seakan-akan itu adalah
jawaban yang harus kukatakan pada gadis itu.
“…….” Aku hanya
diam menunduk, khawatir Abah akan marah jika kujawab yang ternyata sepertinya
Abah malah mendukung putrinya dalam berta’aruf denganku.
“Abah, makan
duluan saja. Nanda mau ke dapur, nyuci piring.” Kalimat-kalimatnya selalu saja
disertai tatapan kepadaku dan juga diselingi lukisan senyuman yang cantik di
parasnya.
“Monggo,
Kang Hanif! Pareng riyen…” Lanjut Neng Fatimah. Mungkin dia berusaha menggodaku
atau sekedar menyapa. Toh siapa aku, hanya santri biasa tidak setara dengan
Kang Sulaiman yang shalih dan lebih cocok jika disandingkan dengannya.
Aku masih belum berani menatap lama, hanya mengangguk memberikan kode. Selalu
saja menjadi pengecut, tidak berani mengematchkan chemistry dengan
pembicaraan yang lama. Burung-burung emprit ikut berkicau membuyarkan tatapanku
ke tanah.
Alam di sekitar
sawah Abah benar-benar indah. Langit yang cerah dengan awan seperti sisik ikan
berwarna putih, pohon-pohon hijau di kejauhan menambah syahdunya makan bersama
di sini. Bagiku saung adalah tempat yang sweet memories selama aku
nyantri di sini, termanis sepanjang masa. Apalagi kalau ditambah dengan kehadiran
Neng Fatimah yang setia mengantarkan punjungan ke sawah setiap panen
tiba. Sejenak melepaskan lelah dengan senyuman-senyuman ramahnya ke para santri
yang lelah bekerja. Benar-benar calon istri idaman!
Sejam kemudian,
kami dikomando oleh Abah untuk bersiap-siap untuk membersihkan diri, mandi dan
berwudhu untuk persiapan shalat dhuhur. Sementara Abah Rasyid memimpin do’a
tahlil dalam rangka syukur bersama atas nikmat panen yang dianugerahkan
oleh-Nya. Kemudian beliau membagi ambeng ke beberapa warga yang ikut
andil dalam penyelepan gabah. Acara berlangsung khidmat, tanpa harus rebutan
mereka semua makan dengan lahapnya dan berterimakasih pada Abah Rasyid. Ada
pula yang menciumi tangan beliau mengharapkan do’a keberkahan. Suasana saat itu
benar-benar menggembirakan. Memori ini tidak akan pernah aku lupakan. Alhamdulillah.
Syukur kami persembahkan pada-Nya, di setiap hembusan nafas kami.
*******
21 Juli 2017. Kala
itu Neng Fatimah pamitan pada Abah untuk kembali ke pondok Tambak Beras
Jombang, Jawa Timur. Katanya ada program konsentrasi dauroh fikih mar’atus
sholihah. Apa daya aku harus merelakan dia pergi meskipun dalam hati ada
sepercik kerinduan untuk bercakap-cakap kembali seperti dulu. Pihak keluarga
melepaskan keberangkatannya dengan suka cita. Bahkan Nyai sampai menangis
terharu karena bangga memiliki anak gadis yang seshalihah Neng Fatimah.
Sangat berbeda denganku yang sedih atas kepergiannya. Tetapi dalam lubuk hatiku
mengatakan, <Toh itu untuk kebaikan dia di masa depan juga. Kenapa juga harus
khawatir?>
Bus yang
diparkir di terminal mulai berangkat pukul 10.00 WIB dengan laju yang cepat,
mengantarkan Neng Fatimah menuju tujuan. Kami perwakilan santri segera kembali
ke kompleks pesantren.
Aku berjalan
begitu loyo menuju kantin. Tetapi saat berada di kantin, Bang Tegar dengan
senyuman lebarnya menyapaku, “Masak calon pemimpin yayasan seloyo itu, makan
dulu gih!” Aku sempat kaget dibuatnya. <Ah, pasti dia bercanda.
Pemimpin yayasan katanya.> Aku sedikit tertawa dalam hati. Bang Tegar
memang paling lihai dalam menghibur para santri yang kalut.
Joko, salah satu
santri senior yang menjadi teman sekamar bilang, “Masak kamu biarkan dia pergi
begitu saja?” Joko adalah santri yang berasal dari Kampung Melayu, Jakarta.
Perawakannya sedang, kulitnya cokelat dan yang paling kusukai dari dirinya
adalah perhatiannya yang besar pada temannya di kala sedih. Dia juga jago
meluluhkan hati yang sedang kesepian dengan gombalan-gombalan yang bermutu dan
terkadang memicu gelak tawa sekamar. Dia adalah orang yang baik hati. Seorang
santri baru yang masuk dua bulan yang lalu. Dia adalah pindahan dari pesantren
Krapyak Jogjakarta. Di pesantren abah, dia belajar ushul hadits. Aku
suka cara bicaranya yang berapi-api, mirip presiden RI pertama, Ir. Soekarno.
Tapi wajahnya tak setampan ayah Megawati itu, hehe.
“Ya mau
bagaimana lagi Bang, itu kan keputusan Neng Fatimah sendiri.” Jawabku lemah,
seperti tidak ada perubahan. Tatapanku ke sebuah bunga kaktus makin sayu. Dia
menangkap kesedihanku dengan berkata: “Aku turut prihatin padamu.” Aku jadi
tersenyum hambar dibuatnya.
“Kamu sudah tidak
cinta dia apa?” Nada Bang Tegar tidak seperti biasanya. Dia mulai serius dan
berhenti memecah es untuk pelanggan yang memesan es teh. Dia menatapaku tajam
seakan tidak percaya jika aku cuek akan peristiwa yang kupaparkan di
hadapannya. Joko ikut mengernyitkan dahinya, seakan tak percaya dengan apa yang
barus saja kuucapkan.
“Kamu serius,
Han?” Tanya mereka berbarengan.
“Maksud Bang
Tegar dan Bang Joko apa?” Tanyaku pura-pura bodoh atau lebih disebut pura-pura
tidak peduli. Mungkin mereka mampu menangkap kegelisahan hatiku di balik raut
bohong wajahku yang tenang.
“Kalau untuk
kebaikan dan pengembangan diri Neng Fatimah kan bagus.” Tambahku ngeles.
Padahal hatiku sebenarnya sedih sekali sejak mengantar Neng Fatimah keluar dari
ndalem menuju gerbang pesantren.
“Ah kau sok
bijak, apa kamu bisa kuat menahan rindu kelak selama 5 bulan tuh?” Joko mulai
bertingkah. Dia kini meledekku. Puas karena dia lebih pengalaman dibandingkan
aku di bidang percintaan. <Apa lima bulan, Gawat. Tuhan, kenapa jadinya
begini. Kok aku tidak diberitahu Abah kalau masa programnya selama itu!>
rutukku pada diri sendiri.
“Paling-paling
nafsu makannya jadi berkurang.” Sahut Bang Tegar sambil memajukan bibirnya,
kecewa. Lalu dia meninggalkan pembicaraan ini dan mulai melayani para pelanggan
yang sedari tadi menunggu pesanan makanan dan minuman.
“ ………”
Aku terdiam
sembari menatap bunga anggrek yang dipasang di tiang kantin. Sangat meneduhkan
dan aku mulai merenungkan kalimat Bang Tegar tersebut. Dalam hati aku masih
saja berbisik: <Apa aku kuat menahan rindu nantinya. Tidak berjumpa
sehari aku bisa stres, lha ini 5 bulan! Ah, entahlah. Jika jodoh kan dia akan
kembali> pikirku menasehati. Aku disibukkan oleh pikiranku sendiri
hingga tidak sadar jika kopi choco creamy sudah habis kuseruput. Aku
menuju ke kasir untuk membayar menu yang kusantap. Joko dan Bang Tegar
geleng-geleng kepala melihat tingkah dan langkahku yang loyo ini. Tidak ada
semangat lagi. Tidak ada senyuman lagi. Pasti mereka turut merasakan kondisi
hatiku yang hambar rasanya seperti saat ini.
*******
Suatu hari di ruang
dapur, seminggu pasca keberangkatan Neng Fatimah ke Jawa Timur, saat aku
mengambilkan jatah makan santri-santri kamar yang berada di bawah
kepemimpinanku. Maklum kebanyakan santri di kamarku masih baru (masih siswa
baru SMP/SMA), jadi belum berani mengambil sendiri. Biasanya jika dilatih dua
tiga kali maka mereka akan segera mandiri dan mungkin akan balapan mengambil
nasi meski baru diangkat dari tungku (sangat panas). Aku melihat Mbok Painah merengut
melihat kedatanganku. Aku heran kenapa dia, biasanya senyum-senyum kalau ada
santri datang ke dapur. Atau dia menggoda dengan kalimat “Wes ngeleh tho
kang?” sambil terkekeh. Lha kali ini malah sebaliknya.
“Ada apa tho
Mbok? Kok merengut dari tadi?” tanyaku penasaran seraya menciduk nasi ke
beberapa piring.
“ Gimana tidak merengut,
Kang Hanif ini gimana, Neng Fatimah mau pergi jauh kok ya didiamin.” Jawaban
dari Mboh Painah juga sengal-sengol. Aku tahu dia sedang marah. Aku
harus membujuknya agar tersenyum, tetapi bagaimana caranya? Lagipula kalimat
itu juga terasa menyengat seluruh sendi tubuhku yang sudah menganggap hal itu
adalah kelumrahan dari neng Fatimah. Pergi untuk masa depan dan pengembangan
wawasan keilmuannya. Aku mengambil nafas dalam-dalam, menatap Mbok Painah dan
menyahut,
“Lha kulo
kedhahe pripun tho, Mbok?”
“Ya dikejar
kek, nanya kenapa terburu-buru kek, atau gimana gitu.” Dia mulai tersenyum
sedikit.
“Ya udah, kalo kamu mau nenemin Mbok Painah di
sini apa gimana, wong biasanya Neng Fatimah yang bantu-bantu meracik
masakan.” Tambahnya dengan nada meninggi. Aku jadi teringat wajah Neng Fatimah
yang kadang lelah karena seharian memasakkan para santri.
“Lha kulo
tidak bisa masak je.” Aku mencoba tawadhu’ di depannya. Agar dia
bisa tersenyum lebih banyak lagi.
“Latihan tho,
jadi saat istrinya nanti sakit, kan bisa masakin.” Jawabnya semakin meninggi
saja nada bicaranya. Urat-urat nadi di lehernya juga semakin membesar. Seperti
mau marah saja. <Membantu istri masak ketika dia sakit? Belum pernah
terbayang oleh pikiranku jika ada hal seperti itu. Atau mungkin akunya yang
kurang peka ya?> Aku bertanya pada diri sendiri sambil meletakkan jari
telunjuk ke dagu. Mataku menatap langit-langit untuk kemudian. .
Aku termenung menyaksikan
Mbok Painah yang ulet dalam meracik bumbu-bumbu. Sedikit-sedikit dia rasakan.
Jika sudah pas rasanya, dia akan tersenyum bangga. Mungkin selama ini aku
kurang peka akan perasaan seorang wanita. Maka aku mulai membantunya
mengiris-iris sayuran sebisanya setelah mengantarkan makanan ke kamar. Meskipun
sebentar-sebentar dia mengatur caraku dalam mengiris sayuran yang baik. Kalau
sudah pas posisinya, dia mengangguk-angguk senang.
Lalu dalam diam
selama mengiris sayuran, aku mulai memberanikan diri untuk bertanya pada Mbok
Painah, “Mbok, memang harus gitu ya, wanita kalau jatuh hati?”
“Maksudnya?”
Dia hanya bertanya satu frase saja, menyebalkan tetapi mungkin karena sibuk
menggoreng tempe. Takut gosong kali ya jika harus meladeni pertanyaanku.
“Ya pakai
bahasa isyarat gitu. Nggak langsung ngomong apa yang diinginkannya.” Tanyaku
memperjelas agar dia memahami jawaban apa yang aku inginkan.
“Hati wanita
itu dalam banget, kang. Jadi jangan pernah dimainin, cepet kesal nanti dan
akhirnya sakit hati. Gawatnya, kalau sakit hati pasti tidak akan bisa melupakan
yang pernah menyakitinya alias dibawa sampai mati.” Aku mengangkat alis seakan
tidak percaya dengan kalimatnya. Serius sekali hal satu ini? Hati seorang
wanita memang benar-benar unik.
“Ha, separah
itu ya?” tanyaku pura-pura bodoh.
“Ya begitulah.”
Dia meneruskan menyisir gula untuk sayur osengnya yang mulai mendidih.
Aromanyapun mulai tercium sedap. Khas masakan Jawa. Perutku mulai goyang ingin
diselimuti sayur itu.
“Mbok, punya
nomer handphone Neng Fatimah yang baru? Yang lama sudah dinonaktifkan.”
tanyaku ragu. Tetapi kalimatku begitu deras meluncur begitu saja.
“Tentu saja.
Mbok Painah yang tua ini nggak boleh kalah sama yang masih muda. Mbok juga bisa
facebookan.” Jawabnya bangga. Aku langsung tertawa, lha kalau facebookan
mau dengan siapa dia berinteraksi? Paling-paling sama tukang kebun pesantren.
“Malah ketawa
lagi. Ini, dicatet ya! 0857xxxxxxxxx” dia menuliskan nomor yang dia hafalkan di
otaknya. Otak orang jaman dulu memang fresh, sebab memang tidak ada flashdisk
yang digunakan untuk menyimpan data sih.
“Langsung
telfon saja! Kalau di pesantren Jawa Timur dilarang keras pake handphone,
jadi tidak bisa sms an.” Terangnya menambahkan.
“Oke. Mbok
Painah memang bisa diandalkan!” Jawabku memujinya singkat. Dia tersenyum
seperti dibuai oleh pujian tadi. Aku terkekeh dibuatnya. Setelah semua masakan
selesai, aku pamitan ke kamar pengurus dan meminjam telefon pesantren dan
memencet nomer yang di atas kertas belanjaan Mbok Painah tadi. Aku ragu akan
ngomnong apa. Tetapi di kejauhan sana terdengar suara lembut, “Assalamu’alaikum.
Niki sinten njeh…?” Dia memakai bahasa kromo inggil,
hatiku langsung dingin, merinding mendengarnya kelembutannya.
“……” Aku
beranikan diri ini bertanya, meskipun keringat dingin mulai menetes pelan. Grogi
mungkin. Baru kali ini aku menelfon Neng Fatimah. Biasanya sih hanya sekedar
sms.an, itupun terkait dengan tugasku untuk mengantarkan dia setoran ke Abah
Mudzakir. <Apa yang harus kutanyakan? Apa menunggu dia bicara kali ya?>
Hatiku menuntun untuk kembali ragu.
“Apa kabar,
neng? Ini Hanif, kapan pulang?” hanya itu yang dapat kutanyakan.
“Alhamdulillah
sehat, Wah suwantene Kang Hanif radi benten njeh. Lembut nak theng handphone.
Kaleh minggu malih, kang. Pripun tho?” Suara kalem di kejauhan itu
menenteramkan hatiku, apalagi kromo inggilnya itu membuat dingin telinga
yang mendengarnya.
“Eeem, mriki
mboten wonten Neng Fatimah mboten seru!” Aku beranikan diri untuk mengakrabkan.
Di sana justru terkekeh sesaat kemudian diam sejenak. Aku jadi tidak sabar
menunggu jawaban.
“Halo?” tanyaku
dengan nada agak manja. Mirip anak kecil yang minta dibelikan es krim. Mirip
sekali dengan bahasa Nduk Hajar, adiknya Neng Fatimah yang suka merengek minta
es krim itu.
“Njeh, taseh
mirengaken kok kang…” Suara di sana semakin jelas. Aku lega, meskipun aku
sadar pulsaku makin berlari mengejar putusnya hubungan telepon.
Akan tetapi
semakin lama sejauh percakapan, dia malah cerita banyak tentang dauroh fikihnya
di sana hingga telingaku panas mendengar saking lamanya. Dalam hatiku, ternyata
dia jauh ramah dibandingkan di pesantren ini. Meskipun di sana tidak ada suara
tawa sedikitpun. Saat diam dari percakapan, dia melantunkan kembali ayat-ayat
yang dihafalkannya. Hatiku mulai was-was entah kenapa. Aku jadi serba salah,
takut mengganggu waktunya.
“Sudah begitu
saja, neng. Ini sudah mau mulai jam ngaji. Assalamu’alaikum!” aku
menutup gagang telfon.
#Padahal di
lain tempat, Neng Fatimah begitu bahagia bisa bercakap-cakap dengan pria
idamannya itu. Hatinya membuncah dan ingin segera menutup hari-harinya di sana.
Pulang untuk selamanya ke pesantren Al-Huda. Tetapi apalah daya, ini masih
seminggu dia belajar dauroh di sana. Dan programnya sendiri berlangsung
selama 5 bulan. <5 bulan, dapatkah dia dipercepat, Tuhan?> pekik
Fatimah di dalam hatinya, berharap dan bergantung hanya pada-Nya, Sang Pengabul
Do’a.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar