Sabtu, 24 Februari 2018

lanjutan novel: Romansa Cinta

Ahmad Tohari, dulu nama kecilnya adalah Jarot. Jarot dalam kamus Jawa Kawi berarti perkasa, kuat. Karena sejak lahir, tulang yang menyusun tubuhnya besar dan dia juga dianugerahi daging yang tebal. Seperti ikan tongkol dalam bahasa ikan. Masa kecil Jarot begitu menyenangkan. Dia sering dibelikan mainan kesukaannya mulai dari truk pasir dari kayu, layang-layang, kelereng, bola sepak hingga robot yang mampu berjalan sendiri. Belum ada mobil remote control ketika itu, tetapi mobil dengan baterai sudah cukup menghiburnya ketika itu. Dia juga sering diajak jalan-jalan ke kebun binatang, candi-candi dan juga wisata air oleh orang tuanya. Sayangnya, sejak pertengkaran antara ayah dan ibunya memuncak (masalah nafkah kurang karena terbiasa hidup mewah dan terguncang krisis moneter ‘98), kebahagiaan Jarot tercerabut hingga ke akarnya. Yang Jarot dengar di rumahnya hanyalah cek-cok yang tiada habisnya. Piring-piring yang jatuh akibat dibanting dari rak ke lantai. Luka goresan atau tamparan yang melayang di pipi ibunya sering dia lihat. Bahkan terkadang dia juga menjadi korban penganiyaaan. Membuat Jarot remaja mengambil kesimpulan bahwa dia harus mendapatkan cinta, apapun jalan yang harus ditempuh olehnya.
Maka dalam perjalananan hidupnya sampai orangtuanya diceraikan oleh pihak pengadilan, dan dia dititipkan di pesantren Al-Huda, dia mencoba untuk cari perhatian dengan segala usaha. Mulai dari menjadi tukang cuci pakaian santri hingga menjadi tukang kebun seperti sekarang ini. Pekerjaan yang dijalaninya hingga kini mengantarkan dia melihat sekaligus mengenal Umi Kulsum dari jauh, gadis idaman hatinya itu.
Jarot, menurut Abah adalah nama yang kurang pas untuk pribadi lembut seperti dia. Dia sering membantu santriwati menyiram bunga mawar di depan teras pesantren. Dia juga sering membawakan belanja berupa sayuran dan sembako jika Neng Fatimah tampak letih. Dia juga sering membantu abah untuk mengisi air di bak mandi santri putri. Meski begitu, dia tidak pernah mengaji bersama para santri lain dan tidak pernah menaruh hati pada Neng Fatimah. Baginya, mungkin aib jika mencintai putri abah.
Maka di suatu hari yang baik karena membarengi hajatan akhirussanah pesantren, Abah Rasyid memberikannya nama: Ahmad Tohari agar menjadi pribadi yang mulia dan terpuji. Tetapi apakah dia akan seperti yang diinginkan oleh abah berdasarkan namanya yang bagus itu? Wallohu a’lam. Setiap orang berharap dia akan menjadi anak yang baik.

1.      Dari Kantin Pesantren hingga ke Kamar Mandi

Warung makan Bang Tegar senantiasa menjadi gula bagi semut-semut kecil yang imut itu. Termasuk aku yang menjadi ghonthengnya. Karena keenakan dan kesedapan resep masakannya, Bang Tegar juga terkenal ramah dan penuh perhatian terhadap masalah-masalah yang lagi ngehits di kalangan pelajar atau pemuda/i. Apa itu? Cinta. Aku sering curhat padanya. Tidak lain yang kubicarakan adalah dua gadis yang ada di sekitarku, mereka adalah Neng Fatimah dan Dik Umi. Akan tetapi aku lebih sering cerita tentang Neng Fatimah. Karena bagiku, Dik Umi hanyalah
rekan kerja. Meskipun kuakui dia juga memiliki paras yang cantik natural dan tidak kalah shalihah jika dibandingkan dengan Neng Fatimah. Bedanya hanya tipis, Dik Umi itu lulusan S1 yang juga sedang menjalani studi S2 program Ekonomi Syari’ah semester dua di sebuah institut Islam di Salatiga sementara Neng Fatimah lulusan pesantren ternama di Indonesia, Lirboyo Kediri. Keduanya wawasan keagamaannya hampir sama, bedanya, Neng Fatimah lebih dalam masalah pemahaman keislaman dan Dik Umi lebih dalam masalah muamalah Islam.
“Gimana bang, saya harus pilih yang mana?” itulah pertanyaanku yang pertama keluar dari lisan ini di pagi hari itu kepada Bang Tegar, yang sedang mengaduk gula di kopi. Lagi-lagi gula. Gula itu manis seperti wajah Nduk Hajar, si adik kecil yang manja dibelikan es krim setiap seminggu sekali itu.
“Lha kamu cocok yang mana? Shalat istikharahlah dulu! Kamu sudah mapan di sisi ekonomi, sudah mondok cukup lama. Bekal resepsi sudah siap, tinggal kedekatanmu pada Sang Maha Cinta, tho?” jawabnya sambil meletakkan secangkir kopi susu di atas meja tempat aku bersandaran tangan. Bang Tegar yang juga nyambi di perpustakaan kota itu tersenyum kemudian terkekeh seraya menghaturkan hidangan ke meja samping tempat aku makan.
“Terimakasih, bang! Iya juga sih. Tetapi setiap saya melihat Dik Umi, ada pula getaran di hati. Padahal saya tidak menaruh cinta padanya.” Aku mulai ragu tetapi kalimat itu begitu lancarnya keluar dari lisan ini.
“Tergetar itu adalah salah satu bukti cinta itu sendiri. Hatimu tidak bisa berbohong meskipun lisanmu memungkirinya. Sudah, minta ampun sana pada Allah, jangan mudah tergoda dengan perhiasan dunia! Kembalilah pada kehendak-Nya!” Aku terkejut pada kalimat itu meskipun sederhana didengar, tetapi begitu bernas jika dipikirkan. Memang benar, selama ini aku telah melupakan Allah. Bagiku, Bang Tegar sebenarnya lebih layak menjadi seorang kiai bukan pedagang di kantin seperti ini. Sebab, selain berjualan, dia juga ngaji dengan Abah Rasyid dan Kyai Shalih. Meski usia Kyai Shalih tidak terpaut jauh dengannya, beda dua tahun, jadi berkat tempaan ilmu itu, pantas saja kalau dia begitu bijaksana.
 <Oke, aku akan coba. Aku mungkin saja sudah keliru dalam menguji pergolakan cinta di hati ini.> teriakku lirik dalam hati. Masih ada yang mengawasiku di sana, Allah Swt.
“Terimakasih, ya bang.” Kataku kemudian sambil menyendok sesuap nasi dan mencampurnya dengan kuah sup buatan Bang Tegar.
“Buat apa nih?” Tanya Bang Tegar terlihat bingung. Aku memasukkan beberapa butir es batu ke cangkir kopi tadi.
“Buat es kopi, sup buahnya dan nasehat bijaknya.” Jawabku seraya tersenyum manis. Dia membalas senyumku. Kopi ini menyegarkan pikiran untuk memulai aktivitas baruku: mengajar anak-anak MI kelas 6 yang akan ujian nasional minggu depan. Hari ini ada jam tambahan untuk mata pelajaran agama yang harus aku isi di sore hari pukul 02.30 WIB hingga adzan ashar nanti. Waktuku tidak banyak, aku harus bergegas menghabiskan es kopi dan sup buah ini.
Aku mulai beranjak dari kursi dan memakai jaketku. Cuaca di sekitar mulai dingin dan berangin. Mungkin ini efek dari sup buah buatan Bang Tegar kali ya? Sewaktu hendak melangkah ke kasir, Bang Tegar menghentikan langkahku. “Ada bingkisan buat Dik Umi, hehe.” Katanya.
“Bingkisan apa, Bang?” dia menyerahkan sebuah kardus yang berat isinya lumayan.
“Ada pokoknya.” Jawabnya ragu-ragu. Aku menerimanya dan menaruh di motorku kemudian berbalik untuk membayar menu yang kupesan tadi.
“Ya sudah, saya berangkat dulu, Bang!” kataku sambil berjalan menjauh dari warung itu setelah semuanya beres. Bang Tegar masih tersenyum saat aku menoleh ke belakang. <Bingkisan apa ya?> dalam hati aku curiga. Tetapi itu kan urusan Bang Tegar dan Dik Umi. Tugasku hanya mengantarkan amanah ini saja. Aku nangkring di atas jok, menstarter motor Beat matic terbaruku dan segera tancap gas ke sekolah.
******
Di lain tempat, di rumah yang didesain begitu natural. Di mana kusen-kusennya terbuat dari kayu jati berukir dan dipolitur halus. Dihiasi dengan taman bunga di depan terasnya, ditambah dengan balutan kolam ikan koi dan emas mirip sekali dengan akuarium besar. Menambah sejuk pandangan setiap tamu yang sowan. Meskipun minimalis dan tidak memiliki pohon rindang di depan rumah, tetapi rumput jepang yang dipangkas dengan begitu rapi di teras itu, cukup untuk membuat Umi betah mampir ke rumah tersebut. Umi Kulsum segera menceritakan kisah asmaranya kepada pamannya yang bernama Didi. Paman yang paling baik hati di mata dan kalbu sucinya itu, sekaligus sebagai pendengar setia akan kisah-kisah hidupnya sejak kecil. Karena memang Umi adalah pendongeng terbaik bagi Paman Didi. Terkadang cerita yang disampaikan membuat terpingkal-pingkal, haru dan juga sebaliknya, Paman Didi bisa menangis atau marah besar jika ada yang melukai hati sang keponakan. Hati memang begitu, mudah terbolak-balik di setiap detiknya.
“Paman, ada cerita yang tidak biasa lho..!” ajak Umi sambil senyum-senyum persuasif. Paman Didi yang tadinya sedang membolak-balikkan koran jadi bersemangat untuk mulai mendengarkan. Kacamata plus miliknya dibenahi ke atas ujung hidungnya. Kacamata seorang kutu buku. Diseruputnya teh hangat buatan istrinya perlahan lalu diletakkan cangkir itu kembali ke cawan yang putih bersih dari porselen, yang terletak di atas meja bundar yang terbuat dari kayu mahoni muda, dipolitur halus, tanpa ada motif ukiran.
“Lekaslah berceloteh, nduk! Pakdhemu sudah lama tidak mendengarnya. Sudah nggak sabar mau kasih apresiasi.” Kata Paman Didi seraya meletakkan cangkirnya ke cawan putih menghadap Umi. Uap berkepul muncul dari permukaan airnya. Masih hangat.
“Ini bukan untuk dinilai Pakdhe, tetapi kasih solusi lho njeh!” jawab Umi sambil tersenyum malu-malu. Terpancar dari kedua matanya, sinar pelangi.
“Wah, aku tahu. Kamu sedang jatuh hati ya? Hehe. Ayo-ayo sini curhat! Pakdhemu paling pengalaman masalah cinta.” Canda Paman Didi yang sudah pengalaman di bidang pra-nikah itu. Lagipula dia sering mengisi dauroh pra-nikah, jadi tahu gejala-gejala kasmaran.
“Kok Pakdhe bisa tahu sih? Jadi begini pakdhe,…” Umi mulai berkisah tentang pertemuannya dengan Hanif hingga dia termehek-mehek dan jarang bisa tidur tenang di setiap malamnya karena kepikiran terus akan wajah tampan dan budi baik si Hanif.
“Begitu rupanya,… lalu apa yang dimasalahkan? Coba kamu utarakan kriteria padanya, mungkin saja Allah akan bukakan hatinya untuk melengkapinya. Jadi seorang imam keluarga!” jawab Paman Didi menjelaskan. Umi menggeser kursinya, mendekat ke pamannya dan menatap ke pekarangan, pipinya mulai merona dan menjawab,
“Ah, malu pakdhe. Masak saya harus mengatakannya, saya kan seorang gadis! Pamali untuk mengatakan duluan”
“Lha kamu cinta apa tidak? Allah ridha jika kalian jalani dengan halal.” Kata-kata “halal” membuat Umi terbuka pikirannya dan kemudian dia menunduk tersenyum. Jilbabnya terbuai angin senja, menambah kecantikannya yang alami itu. Sepertinya ada sebuah jalan terang yang harus dia lalui di depan.
******
Suatu pagi yang mendung, di sudut halte bis yang ramai, Umi berdiri. Dalam hatinya dia berkata, <Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Fyuuh..tidak membawa payung lagi>. Benar, pada waktu itu rintik-rintik hujan mulai turun. Umi bergegas berlari menuju toko payung terdekat dan memilih salah satu. Warna biru, kesukaannya. Kemudian dia keluar dari toko tersebut, menoleh kanan-kiri dan mulai menyeberang ketika suasana memungkinkan. Umi dengan payungnya berjalan perlahan menuju kantor. Rencana utamanya adalah memberikan sederet persyaratan yang mungkin saja Hanif mampu melengkapinya. Sama seperti apa yang telah dinasehatkan oleh Paman Didi padanya. Mungkin saja rencana ini menjadi sejarah dalam hidupnya, yang tidak mungkin akan terlupakan sepanjang masa. Kantor yang menjadi tempat bekerja sejak tiga bulan yang lalu itu tampak sepi dan lebih buruk dari biasanya. Menakutkan karena sunyi seperti film horor saja. Keringat dinginnya mulai merembes dari balik jilbab biru yang dikibas-kibaskan angin sepoi. <Berani tidak ya, maju nggak ya, atau besok saja? Ah, aku malu jika nanti Mas Hanif tahu maksudku. Nanti aku harus mulai darimana? Ini kan demi masa depanku dan terhindar dari dosa, apa salahnya?> Isi pikiran Umi Kulsum mulai kacau ketika teringat wajah tampan Hanif. Saat hendak membuka pintu kantor ada suara dari dalam. Sama-sama membuka pintu. Jodoh mungkin. Tampak Hanif terkejut melihat gadis itu di depan matanya. Kedua pasang mata itu tertegun lalu masing-masing menundukkan diri.
Astaghfirullah. Oh, Bu Umi, maaf. Silakan, saya mau keluar sebentar, cari cemilan. Bu Umi mau? Nanti saya bagi deh.” Sapa Hanif dengan bahasa santunnya itu membuat pipi Umi semakin memerah. Hanif tersenyum melihat perubahan itu. Tentu saja semakin cantik tetapi segera Hanif melemparkan pandangan.
“Terserah Pak Hanif saja asal tidak pedas.” Jawab Umi malu-malu kucing.
“Oh, suka yang tidak pedas ya? Baiklah nanti saya carikan, Bu Umi jangan pergi dulu lho! Saya khawatir nanti cemilannya saya habiskan sendiri. Hehe.” Canda Hanif kurang bermutu sambil berjalan pelan menjauhinya. Agaknya dia salah tingkah. Umi terus menundukkan pandangannya ke lantai. Takut kalau Hanif tahu akan maksudnya ke kantor. Sejenak saja tubuh Hanif menghilang dari pandangan dan sekejap pula balik ke kantor. Setelah cemilan diletakkan di meja dan keduanya mulai makan, terasa hening sejenak. Keduanya ragu untuk memulai percakapan karena canggung, sama–sama masih jomblo juga. Takut ada resiko berarti dalam hati mereka. Akan tetapi, Hanif memberanikan diri untuk membuka percakapan.
“Menurut Bu Umi, seorang laki-laki yang hendak mempersunting seorang gadis itu harus bagaimana?” Dada Umi serasa dihantam halilintar besar. <Ini sih namanya bunuh diri, bukankah ini yang akan kubeberkan pada Mas Hanif? Apakah situasi seperti ini memungkinkan untuk diutarakan?> Pikirnya sederhana. Hanif masih saja menunggu jawaban Umi yang masih menundukkan kepalanya. Umi mengepalkan tangan kirinya untuk membulatkan tekad dan menjadi pemberani, agar tidak gemetaran saat bicara.
“Maksud Pak Hanif, syarat-syarat seorang laki-laki sebagai imam keluarga?”
“Ya, karakter dan sikap dia harus bagaimana?” jawab Hanif sambil menatap ndalem yang berjarak cukup dekat dengan kantor MI. Hanif mulai serius menanti jawaban. Dalam hatinya tidak terbersit apapun untuk PDKT dengan gadis ‘alim itu.
“Ya, dia harus bertanggung jawab, baik pada istrinya dan yang paling penting adalah lebih mencintai Allah swt daripada dirinya sendiri.” Ini dia persyaratan yang akan dia ungkapkan ke Hanif. Sambil mendongak berharap Hanif tahu pancaran matanya yang menyimbolkan cinta.
“Oh, begitu ya. Mungkin saya harus lebih mencintai Allah swt mulai dari sekarang.” Lanjut Hanif mengambil separuh cemilan sambil duduk ke mejanya.
<Begitu saja? Ah tidak, mengapa secepat ini?> dalam hati Umi menyesal, tetapi mungkin ini adalah gerbang awal bagi mereka. Terlebih lagi, hanya dia yang diberi cemilan cinta itu. Guru-guru lain mulai berdatangan. Bersalaman dengan keduanya kemudian canda tawa menghilangkan suasana mencekam di hati keduanya dan sepertinya Hanif sudah tidak lagi terpikirkan oleh pertanyaannya tadi. Berbeda dengan Umi yang terus terbayang dengan wajah Hanif yang shalih. Memancarkan aura seorang ‘abid yang tekun menggapai cita-cita. <Mungkin benar juga kata Bu Riska, dia adalah lelaki idaman para gadis>. Pikirnya seraya tersenyum dan membuka laptopnya. Mengetik sesutau, diary cinta mungkin. Kicau burung di pekarangan sekolah semakin menambah keasyikannya dalam mengetik. Membubuhkan beberapa karakter di layar monitor dan menemukan diksi-diksi puitis untuk ditorehkan. Tidak pernah dia sadari jika Tohari terus saja memandangi wajahnya sedari tadi seraya tersenyum dari taman sekolah, tidak jauh darinya. Kebetulan ada kaca yang tembus pandang menampakkan diorama keadaan di kantor. Tohari menancapkan sekopnya ke tanah dengan keras. <Inilah saatnya!> pikir Tohari mantap. Saat untuk apa?
********
Ketika itu di kamar mandi sedang antre panjang. Antre untuk mandi karena sore tadi setelah dikuras oleh kang Shodiq, salah satu santri yang dijadwal untuk menguras kamar mandi induk tiap hari Minggu. Air baru bisa meluber di malam hari pukul 21.00 WIB. Yang seharusnya para santri mandi pukul 17.00 WIB. Kali ini yang antre adalah para santri putri (mungkin karena mereka lebih ingin dikatakan bersih dibandingkan dengan santri putra atau memang mereka pada dasarnya sudah merasakan gerah yang sangat sebab terik matahari di siang hari tadi sudah mencapai 39 derajat celcius. Cukup panas untuk daerah dataran tinggi). Sementara untuk santri putra banyak yang kurang peduli mau mandi jam berapa sebab santri putra tidak peduli dengan mandi malam jika kamar mandi sedang dikuras. Mereka sudah terbiasa begitu, bahkan kadang ada yang tidak mandi sore. Di kamar mandi nomer 21, berdiri Umi Kulsum dan beberapa teman adik tingkatnya. Umi baru saja mendaftar menjadi santri pagi tadi. Dia memilih nyantri karena merasa ilmu agama yang dia pelajari di perkuliahan strata 2 dan kajian-kajian yang diikutinya di kampus, masih jauh dari pemahaman ilmu agama lelaki idamannya, Hanif. Muncullah percakapan diantara mereka (para santri untuk mengusir kejenuhan dalam antre).
“Mbak Umi, gimana kabar cintanya Kang Hanif?” Tanya Sifa, salah seorang santri yang berdiri imut di belakangnya persis. Seorang santri yang cukup gaul dibandingkan teman santri lainnya. Masalah pacaran, dia sudah terbiasa semenjak SMP. Tetapi semenjak dia dipindahkan ke pesantren, dia sudah membiasakan diri untuk tidak pacaran. Dia memulai pertobatannya di pesantren. Anak itu sekarang sudah kelas 3 ‘aliyah. Dan tahun depan (kira-kira enam bulan kemudian), dia akan menyambut kelulusannya. Dia juga dari tadi siang belajar terus soal-soal pre-UNBK yang akan diselenggarakan serentak di bulan April 2018. Anak yang rajin untuk kalangan santri.
 “Ah, kamu ini apaan. Masih kecil mbahas begituan.” Karena Sifa merasa sudah dewasa dengan hal seperti itu, dia sedikit kesal mendengar jawaban datar kakak tingkatnya itu. Mungkin Mbak Umi tidak tahu kalau dia sudah SMA, dikiranya masih duduk di kelas satu MTs saja. Sementara di pesantren itu memang banyak yang masih MTs. Jadi mungkin menurut Mbak Umi belum saatnya membahas tentang percintaan orang dewasa.
“Jujur saja Mbak, Mbak suka kan sama Kang Hanif?” usil Sifa menambah gerah suasana sambil menyenggol manja siku tangan Mbak Umi, seniornya itu. Mendadak degub jantung Umi bertambah cepat. Dia enggan menjawab tetapi pada kenyataannya memang seperti yang dikatakan Sifa. Sementara santri-santri yang lain menyoraknya manja: “Ciee…, Mbak Umi jatuh cinta nih yee…”
“Kang Hanif itu yang mana tho orangnya?” Tanya Nadya, yang berdiri di belakang Sifa. Pertanyaan Nadya membuat pipi Umi memerah malu. Nadya, santri kalem yang masih duduk di kelas 3 Tsanawiyah ikut-ikutan kepo.
“Itu lho yang sering murotalan di masjid setelah shalat shubuh.!” Jawab Sifa seraya meringis dan melirik ke kompleks masjid, menggoda Mbak Uminya yang cantik.
“Ah, aku mah hanya tahu suaranya saja. Orangnya nggak tahu. Tapi kalo didengar dari suaranya yang lembut itu pasti orangnya ngganteng.” Tambah Nadya yang ngefans banget dengan suara laki-laki yang sedang mengaji atau menjadi vokalis rebana.
“Pastinya, nggak ngganteng lagi, tampan kali!” kata Sifa sambil melirik Umi. Umi segera masuk kamar mandi setelah seorang santri selesai mandi dan pintu dibuka. Pipinya memerah sekali lagi.
<Benar-benar anak-anak itu. Aku jadi terbisu karena ingat lagi akan wajah Mas Hanif. Astaghfirullah!> Pikir Umi dalam hati. Malam itu menjadi malam yang panjang bagi Umi karena hatinya mulai berdebar bukan hanya karena wajah Hanif, guru idaman para gadis itu. Tetapi mungkin akan ada sesuatu yang lebih dahsyat dari ingatan itu. Kira-kira apa yang akan terjadi ke depan ini ya?
******
Kejadian di kamar mandi tadi membuat semangat Umi dalam mengejar Hanif semakin besar saja. Dalam sujudnya, dia senantiasa memohon pada Tuhan Sang Maha Cinta, dalam rangkaian puisi di tengah tahajjudnya di malam yang bergemintang indah, dia berbisik pelan di sudut masjid yang teduh dan dingin karena hembusan angin malam itu…
“Ya Allah, sang pencipta alam raya. Engkau Maha Tahu apa yang ada dalam kalbuku. Cinta ini menggetarkan selalu. Wajahnya terlalu indah untuk kulupakan. Namanya selalu kusebutkan di hadapan-Mu sebab Engkau tahu aku telah jatuh hati padanya. Jika Engkau cemburu padaku, maka kulepaskan dia. Namun jika Engkau meridhaiku….” Hening sejenak, dia menyeka keringat dingin yang menetes dari dahinya dengan tisu yang dia sediakan persis di samping dia duduk. Kemudian dia melanjutkan do’a munajatnya,…
“Ya Rabbul Izzati, Engkaulah Sang Penggenggam kondisi hati. Yang Maha membolak-balikkan hati, Yang menganugerahkan cinta pada setiap manusia di bumi ini. Jika memang Mas Hanif adalah jalan cintaku, maka dekatkanlah dia padaku. Namun jika dia bukanlah imam bagiku, maka jadikan dia sahabat terbaik dalam hidupku yang sebentar ini. Aku cinta dia, Ya Allah. Ridhailah kami meniti jalan ini jika ini yang terbaik! Semoga saja, Engkau ridla, Ya Allah.” Umi sesenggukan dalam sujud syukurnya. Dia menarik nafas dalam-dalam kemudian bangkit dari sujudnya.
Di luar masjid, tepatnya di serambi, tampak Hanif berjalan ke menuju tempat wudhu masjid. Umi hanya bisa memperhatikannya dari dalam masjid yang tidak seorangpun berada di sana karena terlelap tidur dan saking dinginnya malam. Perlahan dia beringsut dan menempelkan telinga yang ditutupi oleh baju rukuhnya itu ke sekat pembatas jama’ah putra dengan putri. Selesai wudhu dan shalat, Hanif berdo’a pelan sekali dan dalam do’anya itu, Umi yang menempelkan telinganya itu ingin sekali mengetahui isi hajat do’a Hanif. Umi menangis pelan kemudian berjalan perlahan keluar masjid. Kira-kira apa isi do’a Hanif ya?
Entahlah, itulah jawaban hatinya. Teringatlah Umi akan pembicaraan dua jam ketika di lapangan olahraga ketika mereka mengajak anak-anak ke lapangan untuk main dasar-dasar sepakbola. Saat itulah kedua mata Hanif menatap mata Umi yang sipit dan indah seperti kucing Persia itu.
“Bu Umi, biasanya wanita itu bagaimana sih ketika jatuh cinta?” Deg, jantungnya mulai tak karuan. Dalam hati Umi berteriak perih,
 <Kenapa Mas Hanif bertanya hal ini? > Hanif lagi-lagi bertanya tentang suatu hal yang sedang dirasakannya itu? Mendengar hal itu, Umi langsung menghela nafas panjang kemudian mengeluarkannya sekali hentak seakan seperti hendak pemanasan saja.
“Masak pak Hanif belum tahu?” Dalam hati Umi berbisik, <Ini lho mas sudah ada di depanmu. Masak kamu tidak peka sih dengan perasaan ini?>
“Belum. Jujur baru kali ini saya jatuh hati pada seseorang.” Jawab Hanif dengan polosnya.
<Seseorang ya. Siapa? Akukah itu, mas?> Hati Umi terus berbisik lemah menimpali. Khawatir bukan dirinya yang ditunjuk itu.
“Pertama, dia akan malu. Lalu akan terbayang-bayang selama mungkin. Itu membekas di hati, pak. Akhirnya, semua terserah di tangan si pria…sih..” jawab Umi ingin meyakinkan dirinya terhadap jawaban itu dan meyakinkan pada Hanif bahwa dia merasakan hal itu, sama seperti jawabannya.
“Oh, begitu ya rupanya. Kalau begitu, saya harus berhati-hati dan selebihnya saya akan serius.” Jawaban itu sedikit menghibur Umi dan Umi berharap Hanif dapat segera mengungkapkan perasaan itu padanya dan mulai serius untuk membina mahligai cinta, yakni pernikahan. Tentunya dengannya, meskipun baru menjadi harapan dari do’anya selama ini. <Tetapi apa yang dimaksud dengan berhati-hati? Apakah hati-hati terhdapa ajakan nafsu, atau berhati-hati dalam bertindak agar para wanita tidak baper?> Umi jadi tersenyum memikirkan hal itu. Dia tersenyum seraya melihat Hanif dan Hanif membalas senyuman itu. Mereka berdua sedang jatuh cinta meskipun keduanya tidak tahu akan perasaan masing-masing. Dan langitpun mulai menangis mengetahui isi hati mereka yang tidak dapat disatukan sementara itu. Hujan akan deras sepuluh menit lagi. Akhirnya mereka bergegas kembali ke sekolah karena melihat langit yang mendung gelap. Hanif mulai meniup peluit tanda permainan selesai. Anak-anak mulai berkumpul, berbaris rapi dan mulai berjalan beriringan bersama pak Hanif, guru yang selalu bahagia dengan anak-anak MI di sampingnya itu. Begitu pula dengan Bu Umi, guru favorit mereka yang cantik dan lugu itu. Dua guru itu adalah yang mencintai anak-anak dan dicintai oleh anak-anak.
********
Di lain tempat, di sebuah tempat wudlu di mushola kecil madrasah Tohari sedang membersihkan diri. Rencananya pada hari ini adalah melaksanakan shalat hajat. Agar Allah memudahkannya dalam rangka mendekati Umi, sang bunga desa. Dia shalat dan berdo’a dengan khusyuk, tidak seperti biasanya. Ya meskipun dengan menduakan Allah Swt, tetapi dia yakin bahwa Umi adalah jalan takdirnya. Setelah selesai menunaikan shalat dua raka’at, dia berjalan ke sembari mushala. Kemudian bergegas keluar setelah dia memakai sandal jepitnya yang baru dia beli tadi, sebelum shalat hajat. Masih berpakaian koko dan berpeci dia menstarter motor GL-Pro nya dengan kasar. Menjalankan motor dengan jarak 200 meter, tidaklah lama. Dia dengan segera merapat ke pasar bunga terdekat. Dia akan memilih bunga terbaik untuk gadis idamannya itu.
<Cintaku pasti akan kesampaian>. Teriaknya dalam hati kePDan. Tohari selalu saja ingin setiap impiannya terwujud. Motivasinya cukup tinggi mulai dari ingin kuliah saja, dia nekat berjuang menjadi tukang kebun di sekolah pesantren tempat Umi mengajar. Sekalian mengawasi gadis idamannya itu dan hasilnya kini dia sudah menginjak semester dua. Itulah tekad sucinya untuk meraih cinta yang halal. Dan sekarang dia sudah meraih impian pertamanya, kuliah. Duduk di semester dua di sebuah universitas terkemuka di kota pelajar: UNY, Yogyakarta. Ya meskipun telat tiga tahun untuk mengawalai kuliah S1. Tetapi Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha Hamba-Nya ketika hamba itu berusaha merubah nasibnya sendiri.
Dengan mengegas motor laki-lakinya itu, dia segera meluncur ke salah satu kios bunga di pasar dan mendapatkan bunga terbaik versi dirinya, anggrek liar berwarna putih bersih. Seputih wajah Umi yang tersinari hafalan Al-Qur’an dan tahajjud itu. Lalu setiap dia teringat wajah ayu itu, dia semakin bersemangat untuk tancap gas ke rumah Umi. Perjalanannya di jalan kota selancar impiannya memburu rumah berdinding batako yang belum diplester itu. Dan setiba di rumah gadis idamannya itu, dia mengetuk pintu tiga kali dan mengucapkan salam. Ada suara dari dalam menjawab salamnya dan ternyata adalah ibunya. Disusul Umi berjalan di belakangnya untuk memastikan siapa yang hadir di siang hari yang panas itu.
Kebetulan hanya Umi dan ibunya yang ada di rumah. Ayah Umi sedang pergi ke sawah. Setelah mengetahui yang sowan ke situ adalah orang yang familiar di madrasah…
“Ada keperluan apa Kang Tohari?” Tanya ibu Umi sambil mengambil sesuatu dari dapur. Ibu Juwairiyah, berusia 45 tahun dan kondisi fisiknya masih tampak bugar meskipun Umi sudah dewasa. Dan memang hanyalah Umi putri tunggal di rumah sederhananya itu. Ibu itu membawakan cemilan kacang telur dalam toples. Wajah ibu Umi tidak tampak senang karena seringnya Tohari main ke rumah bahkan sejak SD hingga bongsor, segedhe ini.
“Uminya ada bu?” Tanya Tohari sambil garuk-garuk rambut. Padahal kenyataannya tidak gatal dan jelas-jelas melihat di belakang ibu itu. Sebuah simbol malu-malu atau semacam pura-pura bodoh.
“Uminya sedang pergi ke kampus. Katanya sedang mengurus legalisir ijazah. Ada pesan yang bisa ibu kasihkan dia?” Dikiranya adalah Umi Hafidzoh, keponakan Umi Kultsum yang ikut menumpang di rumahnya karena jarak kampus dengan rumah itu sungguh dekat. Kebetulan nama panggilannya juga Umi. Mengingat keponakannya ini berasal dari Lamongan, Jawa Timur. Jadi dengan besar hati dan secara terbuka, ibu itu menerima siapa saja yang ingin tinggal serumah dengannya, termasuk dari saudara sendiri.
“Oh, bukan Umi yang itu bu! Maksud saya Umi Kultsum. Oh, ya ini bu, Bunga kesukaan Umi. Salam saya untuk Umi, njeh. Maaf ini boleh saya makan bu?” jawab Tohari teringat wajah Umi Hafidzoh yang jerawatan karena kurang perawatan itu, sambil menunjuk toples. Bu Juwairiyah menutup mukanya malu sambil terkekeh. Dikiranya keponakan ternyata anaknya sendiri.
“Iya.” Jawab ibu Umi sambil menoleh ke wajah anaknya yang malas-malasan menuju kamar tanpa menjumpai Tohari bahkan semenitpun. Ibunya merasa iba pada anak itu. Sudah jauh-jauh dari rumah untuk mengantar bunga anggrek setiap hari, masih saja ditolak. Kurang apa dia? Tohari itu tulus cintanya, wajahnya juga tidak jelek. Bersih dan rapi potongan rambutnya. Sementara Umi tidak merasakan cinta sama sekali pada anak itu. 
Setelah memakan beberapa cidukan snack dari toples bening itu, Tohari lekas pamitan. Sebab merasa risih jika hanya bercakap-cakap dengan ibunya Umi. Yang dia butuhkan adalah Umi, bukan ibunya! Tohari melangkah keluar rumah dengan langkah lemas. Hari ini dia hanya dapat menatap sekilas gadis idamannya itu. Sementara itu, dari balik tirai kamar, Umi mengintip. Mengawasi Tohari keluar dari rumahnya sampai benar-benar menghilang. Di bawah jendela kamarnya, belasan hingga puluhan kelopak bunga anggrek mati layu berserakan. Dibiarkan begitu saja, tidak dirawat. Itulah kondisi hati Umi pada Tohari. <Kenapa Bang Tohari tidak bosan setelah aku melakukan semua ini padanya?> Pikir Umi dalam hati semakin resah dan semakin bertambah seiring hari berganti. Seakan kedatangan Tohari adalah neraka kehidupan baginya. Dia sudah jenuh menghadapi laki-laki satu ini. Agaknya, dia perlu shalat istikharah kembali.
*******
Pagi hari di sekolah, tepatnya di taman sekolah, yang sedang diadakan penghijauan kemarin. Waktu itu pukul 07.00 WIB. Bunga-bunga ditanam sedemikian rapinya di tengah-tengah. Dibalut dengan pohon-pohon seperti oak, pucuk merah dan kersen di tepinya. Jadi suasana taman di pagi hari itu tampak lebih asri dan teduh dari biasanya. Kegiatan penanaman itu berakhir pada pukul 11.20 WIB setelah taman sekolah diresmikan oleh Dinas Lingkungan Hidup kota setempat dengan pelepasan burung dara ke udara.
Terjadi percakapan antara guru dan muridnya yang berimbas pada kesedihan yang dalam.
“Kenapa sih Bu Umi selalu tersenyum saat Pak Hanif mengajar?” Tanya Nduk Hajar yang saat itu sudah duduk di kelas tiga, polos. Saat itu sedang pulang sekolah dan Umi bersedia menemani Hajar di taman sebab Hanif sedang ada tugas di luar kota.
“Bu Umi jatuh cinta pada Pak Hanif, Nduk.”
Nduk Hajar kaget ketika mendengar pernyataan gurunya, Bu Umi yang cantik dan selalu jujur itu.
“Masak? Sejak kapan, bu?” tanyanya centil imut. Di wajahnya hanya tersisa bayangan senyuman kakaknya yang juga cantik, Neng Fatimah.
“Ya sejak ibu mendaftar di sekolah ini, Nduk!” jawab Umi sambil menahan air mata yang hampir jatuh, tetapi tertahan oleh senyum palsunya itu. Umi segera mengelap pelupuk matanya.
“Bu Umi, kalau Hajar mau ngomong. Bu Umi nggak marah kan?” kalimat Nduk Hajar semakin dalam dan serius ala anak-anak.
“Ngomong aja lagi, kenapa harus marah segala sih?” jawab Umi sambil mencoba tersenyum lebih alami dari senyum yang pertama. Meskipun begitu, matanya semakin berkaca-kaca.
“Sebenarnya Pak Hanif itu….” Nduk Hajar jadi agak ragu. Ragu yang tidak begitu membebani karena pada kenyataanya dia juga masih anak kecil.
“Kenapa dengan Pak Hanif?” Tanya Umi semakin penasaran saja dia.
“Pak Hanif itu… Bener Bu Umi nggak bakalan marah?” pinta Hajar meyakinkan. Kali ini raut wajah lebih serius. Umi segera menekuk jari kelingking. Simbol janji tidak akan marah. Mereka berdua menautkan kelingkingnya.
“Pak Hanif itu lebih suka dengan Mbak Fatimah.” Deg. Jantung Umi sementara berhenti detaknya. Air mata yang ditahanpun akhirnya jatuh jua. Serasa kaca yang retak dibiarkan untuk pecah karena suhu yang begitu panas.
“Kenapa Bu Umi menangis? Sedih ya? Atau aku nakal?” pertanyaan Hajar semakin membuat Umi kacau. Umi tak dapat menyembunyikan emosinya kala itu. Dia segera mencari tissue di dalam dompetnya dan menyeka air mata yang turun begitu deras. Membanjiri pipinya yang bersih itu. Air mata semakin deras saja, Umi sesenggukan jadinya dan ketika sudah tenang melepas semua air matanya, Umi mencoba menjawab dengan santai,
“Bu Umi hanya terharu saja mendengarnya. Ternyata ada yang disukai Pak Hanif dibanding Bu Umi.”  Jawab Umi jujur daripada biasanya. Hajar menyeka sisa air mata gurunya itu. Mencoba untuk empati kepada gurunya yang cantik.
“Maaf telah membuat Bu Umi sedih. Semua pasti ada hikmahnya. Itu kan yang selalu Bu Umi ajarkan pada Hajar?” Hajar yang masih kecil memotivasi Umi untuk menghentikan tangis dan kemudian Umi mencoba tersenyum lebih lebar. Dia sadar masih mempunyai Allah swt yang senantiasa bertajalli di hatinya dan di lubuk hatinya sana. Pasti ada pelangi di ujung senja. Seribu kemudahan setelah satu kesusahan, Umi selalu meyakini hal itu selama hidupnya. Semenjak saat itu, tidak ada lagi percakapan tentang Hanif. Tidak ada lagi pertanyaan tentang Fatimah dan tidak ada hasrat lagi untuk memikirkan cinta. Daun telah gugur dari rantingnya tanpa meninggalkan luka ataupun kepedihan. Pohon selalu merelakan kepergian daun dan daun tak pernah marah pada pohon yang melepaskannya. Semua sudah sesuai kehendak-Nya yang agung.  Sepertinya sudah saatnya Umi menenangkan diri dan memasrahkan dirinya pada Allah Swt. Barangkali jodohnya nanti lebih baik dari Hanif. Dia harus move up.
********
Yang diceritakan oleh Umi dan Hanif kepada orang yang dicurhati intinya adalah sama. Mereka berdua menceritakan sisi positif dari orang yang dicintai. Maka tidak heran jika orang yang dicurhati memberikan beberapa nasehat penting dalam menjaga kualitas cinta. Apalagi yang menasehati juga sudah berkeluarga, jadi pastinya berpengalaman. Di saat Hanif menuju warung makan, dia akan mulai berceloteh tentang segala kebaikan yang dia rasakan atau dia dengar dari seseorang mengenai Neng Fatimah. Misalnya saja begini:
“Bang, lagi tidak sibuk kan?” sapa Hanif pada Tegar, si pemilik warung makan yang sedari tadi sibuk menyiapkan menu masakan.
“Tidak juga, akhir-akhir ini pelanggan masih tetap. Tidak berkurang atau bertambah. Apa? Neng Fatimah lagi nih?” Bang Tegar langsung paham apa yang akan diceritakan oleh Hanif. Hanif hanya tersenyum malu sambil menganggukkan kepalanya. Dia mengambil beberapa kerupuk dari toples hijau di sampingnya kemudian mulailah dia bercerita,
“Iya. Dia itu shalihah ya, Bang. Sejak kelas dua SD sudah mondok. Pantas saja sekarang jadi kalem dan berwibawa seperti itu.”
“Tahukah kamu kalau dia ketika MTs sudah gonta-ganti pacar?” Bang Tegar mencoba untuk menguji mental Hanif meski kenyataannya juga demikian.
“Ah, namanya juga remaja SMP, gonta-ganti pacar sudah wajar, Bang. Apalagi kan remaja SMP itu lagi awal puber. Awal pencarian cinta kan?” Hanif mencoba mengelak, mendukung Fatimah, gadis pujaan hatinya. Meskipun dalam hati dia trenyuh mendengarkan kabar tersebut. Tetapi salahkah jika seseorang memiliki masa lalu yang kelam? Setiap perjalanan hidup harus memiliki liku-liku, agar didapatkan pembenahan dan evaluasi untuk masa depannya.
“Ah, itu kan pendapatmu. Masak kamu mau dengan seorang gadis yang pernah bersentuhan tangan dengan lelaki lain. Bukannya kamu menginginkan gadis yang baik dan suci dari maksiat?” Kalimat Bang Tegar mensmash otak dan hati Hanif agar mau berpikir lebih dewasa dan jernih. Di sisi lain, Hanif memang bermimpi untuk mendapatkan gadis yang baik-baik sejak lahir. <Tetapi bukankah keshalihahan seseorang tidak memperhatikan sejarah kelam masa lalu. Yang penting kan sekarang dan hari esok>. Pikirnya membela.
“Menurutku sih, Bang. Seseorang itu… eh, setiap orang pasti memiliki masa lalu dan entah kelam atau tidak, yang penting dia berusaha untuk memperbaiki dirinya sejak sekarang ini demi masa depan yang lebih baik, karena masa depan itu suci untuk diperjuangkan dan dirubah.”
<Anak ini pinter ngeles juga.> Pikir Bang Tegar. Maka Bang Tegar mulai berpesan, “Hanif, kamu harus bijaksana dalam berbuat segala hal. Apalagi itu terkait dengan masa depanmu dan keluargamu. Jika kamu mau bersungguh-sungguh menjalani hal ini hingga kalian nanti ditakdirkan untuk menikah misalnya, kamu intinya adalah satu, niatkan semua kembali kepada ridla orang tua dan ridla-Nya. Niscaya hidupmu akan bahagia dengan cinta yang suci itu.”
“Oh ya satu lagi, pilihlah yang terbaik! Sebab mencari jodoh itu haruslah yang terbaik meskipun tidak ada pasangan yang sempurna di dunia ini. Karena ketidaksempurnaan itulah masing-masing saling melengkapi. Yang terbaik itu maksudnya akhlaqnya, wawasan agamanya, keilmuan umumnya, perilaku sosialnya, ataupun nasab dan ekonominya. Jangan sampai kamu seenaknya sendiri menentukan pasangan hidup. Ini ada kaitannya dengan masa depan anakmu juga kelak. Jadi jangan main-main dengan urusan ‘setengah agama’ ini!” dalam hati, Hanif bergumam, <Bang Tegar memang nomor satu untuk hal yang satu ini. Tak salah jika aku terus meminta nasehat darinya!> Tegar memandangi anak muda itu dan kemudian dia tersenyum sambil meletakkan menu di atas meja Hanif.
“Terimakasih, Bang untuk nasi dan nasehatnya!” Hanif tersenyum lebar seraya mengambil sendok dan garpu. Nasi rames yang disiapkan oleh Bang Tegar di hadapannya membuat perutnya minta diisi. Aroma sayurnya benar-benar sedap. Lauk-pauknya meski sederhana (tempe dan tahu) tetapi masih hangat semua. Dilahapnya sajian itu dengan penuh semangat. Entah karena hatinya membuncah atau memang perutnya yang teramat lapar.
“Sama-sama.” Jawab Bang Tegar seraya menyambut kedatangan isterinya dari pasar. Dia segera merebut barang-barang yang dibeli oleh isterinya. Lalu mengambil tisu dan mengelap keringat isteri tercinta kemudian memijiti pundak isterinya. Hanif tersenyum teduh melihat kejadian romantis itu. Semoga dia juga mampu untuk membahagiakan isterinya kelak.
*******
Sementara di kediaman Paman Didi, Umi Kulsum mulai bercerita,
“Paman, sedang sibuk?” sebuah pertanyaan yang persis dengan yang diutarakan Hanif pada Bang Tegar.
“Tidak, kenapa? Soal Hanif ya?” Sudah hafal Paman Didi itu kalau setiap Umi ke rumah asri itu ya pasti hanya untuk cerita tentang santri putra yang mengajar di MI pesantren tersebut.
“Hehe, Paman kok tahu sih?” Tanya Umi basa-basi sambil cengar-cengir.
“Ya dari pipimu yang merah itu, paman hafal akan cerita tentang dia. Apa kamu tidak hati-hati dengan dia? Lelaki itu yang dituju hanya satu lho seshalih apapun dia.” Serobot Paman Didi menggoda keponakannya yang polos itu.
“Ah, Paman Didi sok tahu. Dia itu guru paling ‘alim di yayasan kami. Selalu shalat jama’ah di masjid. Rajin shalat tahajjud juga.” Umi langsung sewot ngeles dan membeberkan segala kelebihan Hanif tanpa menyertakan sisi kelemahannya. Ah, wanita mah selalu begitu kalau sedang dilanda cinta pertamanya. Tetapi hati kecilnya seakan memberontak dengan kejadian tempo hari saat bersama Nduk Hajar.
“ Memangnya Paman tidak tahu, kalau setiap lelaki itu di otaknya hanya ada satu hal kotor: nafsu terhadap gadis. Di otaknya itu ada dua gadis. Satu di hadapannya (yang dicintai) dan yang satu lagi yang diimajinasikan dalam khayalannya itu. Hati-hati kamu!” ungkap Paman Didi yang sudah sangat berpengalaman untuk hal satu ini.
“Ah, Paman Didi nggak seru! Ya, walaupun aku tahu yang dicintainya itu Neng Fatimah kakaknya Hajar, tetapi masih ada peluang kan dia mencintai aku. Aku juga kuliah sama dengan dirinya. Jadi kita sekufu kan?” ungkap Umi masih berusaha membela idaman hatinya itu. Tak dia sadari dia keceplosan menyebut nama Neng Fatimah. Paman Didi mengkernyitkan kulit dahinya, berpikir dan mencoba menuturkan humor ringannya:
“Hemm. Laki-laki itu tidak hanya masalah ijazah sang gadis yang dipedulikan. Tetapi shalatnya, hatinya, wajahnya, dan yang penting itu tubuhnya.” Paman Didi terkekeh saat melihat istrinya keluar membawa buah pepaya yang sudah rajin diiris sepotong-sepotong di atas piring bening berwarna hijau tua. Istrinya jadi melotot menyiratkan pesan agar Paman Didi menjaga omongannya.
“Jangan dengarkan nasehat Paman Didi! Kamu bisa-bisa tersesat nanti, dik.” Cegah istri Paman Didi sambil tersenyum menatap gadis berparas ayu itu.
“Hehe, Paman Didi itu yang berpikiran tidak jelas. Pokoknya Mas Hanif itu lelaki yang berhati malaikat. Kayaknya kalau dihitung maksiatnya nol persen!” yakin Umi seyakin-yakinnya.
“Kamu seyakin itu? Kok pake kata kayaknya? Berarti masih ada keraguan lho ya?” goda istri Paman Didi membuat hati Umi semakin ser-seran. Segera dia menanggapi kalimat bibinya itu:
“Ya, bagamana ya Bi, kan aku nggak bisa terus-terusan mengawasinya. Kan dia di pondok putra.” Jawab Umi tertunduk malu, teringat kalimatnya yang baru saja keluar tadi. Khawatir yang dikatakan oleh bibinya ada benarnya juga.
“Berarti kamu ragu itu. Jadilah dirimu yang senantiasa berusaha untuk menjadi lebih baik selama menunggu jodohmu hadir di depan mata! Pilihlah seorang imam keluarga yang mampu istiqamah dalam mengarahkan kamu ke jalan-Nya! Insya Allah, jika kamu menjadi lebih baik dari hari kemarin dan terus kamu upayakan, ya Hanif bisa saja menoleh kepadamu dan akan menjadikan kamu sebagai makmum hidupnya.” Jawab Paman Didi menenteramkan hati Umi yang tampak kalut semenjak dia bercerita tentang pernyataan Nduk Hajar mengenai perasaan Hanif terhadap Neng Fatimah kemarin itu.
Langit yang mendung digantikan dengan sinar mentari senja yang indah. Umi tersenyum damai. Bibinya yang ikut nimbrung duduk juga tersenyum lebar. Mempersilakannya menikmati hidangan buah pepaya ‘Jinggo’ yang terkenal padat dagingnya dan sangat manis itu. Seindah hati mereka berdua. Umi dan Hanif mengenai cinta mereka masing-masing. Entahlah takdir yang digariskan dari Tuhan seperti apa jadinya. Tetapi dalam hati mereka yakin, akan sampai pada tujuan cinta mereka masing-masing.

2.      Kejahatan
Waktu itu senja menjelang maghrib. Mungkin sekitar jam lima, di mana burung kelelawar sudah mulai hilir-mudik di atas genteng warga dan mega merah oranye terlukis di ufuk barat. Seorang gadis berjalan ke arah barat juga. Dialah Umi yang memberanikan diri masuk ke kompleks pesantren putri. Hanya untuk menemui Neng Fatimah, rival cintanya dalam memperebutkan hati Hanif. Kebetulan pas waktu itu Neng Fatimah selesai mengajar Alfiyah Ibnu Malik kepada para santri. Wajah lelah Neng Fatimah yang tampak buram perlahan pudar oleh kecantikannya. Sehingga tidak terlihat begitu capek. Melihat Umi Kulsum yang tiba di gazebo paling depan seraya melambaikan tangan, Neng Faimah segera mendekat. Langkah gemulai khas gadis shalihah ditunjukkan kepada sarjana sekaligus guru MI itu. <Gadis ini benar-benar cantik!> pikir Umi dalam hati. Umi sedikit iri dengan gadis yang Abah satu ini. Tetapi dia berusaha untuk menahannya di saat Fatimah sudah dekat dengan dirinya. Umi yang jago curhat mulai mengeluarkan kebiasaan lamanya, bercerita.
“Neng, maaf sebelumnya. Saya mau ngomong ini, tapi njenengan jangan marah ya?” Tanpa menyapa seperti biasanya, Umi langsung to the point.
“Ngomong saja, Mbak!” jawab Neng Fatimah sambil tersenyum. Fatimah menarik bangku panjang dekat taman pesantren dan mempersilakan Umi untuk duduk di sebelahnya. Sementara santri-santri dari jauh mengamati mereka berdua. Bertanya-tanya.
<Fhuh, lagi-lagi dia menunjukkan Senyum bidadari>, pikir Umi kecut.
Umi mulai bercerita. Raut muka Neng Fatimah berubah gelap perlahan. Yang tadinya sudah pudar oleh kecantikan menampakkan keseriusan mendalam. Dia menutup bibirnya sambil meletakkan tangan kirinya di dada. Namun sesekali dia menjawab pertanyaan dari Umi dengan tegas, tak seperti biasanya pula. Akhirnya dia menangis pelan kemudian minta ijin masuk ke ndalem. Kira-kira apa yang telah diutarakan oleh Umi sehingga Fatimah menangis sedemikian rupa? Santri-santri semakin bertanya-tanya, tetapi hati kecil mereka mengatakan ini pertanda buruk.
Sementara itu, setelah bercakap-cakap dengan Neng Fatimah, Umi berjalan ke masjid untuk pesiapan Shalat Maghrib. Umi kemudian berpikir dalam hati bahwa besok dia akan berjalan ke kampung untuk menuju sebuah rumah.
********
Waktu itu pagi hari, Paman Didi sedang menyemprot bunga-bunga di depan teras rumahnya. Alhamdulillah hari ini dia libur kerja dua hari karena kantornya sangat toleran kepada umat Muslim yang sedang memasuki tahun baru Hijriyah. Meskipun pemilik perusahaan tempat dia bekerja sambilan pimpinan Pak Ju Jin Hyo yang asli Korea itu beragama Katholik. Saat asyik memberikan pupuk di atas bunga sembojanya, tampak Umi berlari ke rumahnya seraya menangis. <Wah, mulai lagi nih anak!> Katanya dalam hati turut sedih. Paman Didi meletakkan semprotan bunganya di atas sanggan kemudian mencuci tangannya, menghandukinya dan segera berjalan menyambut keponakannya itu.
Assalamu’alaikum! Paman aku mau cerita.” Pinta Umi to the point sambil mengusap air matanya dengan tisu. Terlihat sekali dia sangat sedih. Hidungnya memerah begitu pula matanya terlihat sembab, cembung oleh air.
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Ayo duduk dulu! Bu, ada Nduk Umi! Tolong buatkan es susu cokelat!” seru Paman Didi ke dalam rumah. Terdengar ada suara langkah Bu Asih yang menuju dapur sambil menyahut, “Oh Nduk Umi, ya tunggu sebentar!”
“Tenanglah dulu sebentar, Nduk! Biar pikiranmu tidak kacau. Kalau perlu tarik nafas dalam-dalam. Itu air matanya sampai banjir ke mana-mana.” Paman Didi berusaha menasehati. Dia tampak seperti ayah kandung Umi saja. Umi mulai menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Dia menyeka seluruh air matanya dengan tisu baru. Tisu yang sudah basah dibuang ke tempat sampah dekat kursi tempat dia menyandarkan punggung. Ketika dia mulai tenang, es susu cokelat datang di atas nampan panjang berwarna hijau tua menuju meja di depannya. Warna kesukaan Umi. Bu Asih tahu apa yang disukai Umi. Hati Umi tambah tenang dibuatnya.
Monggo diminum Nduk Umi. Bibi ke dapur dulu. Baru nggoreng ikan. Kalau ibu ikut di sini takutnya malah gosong.” Kata Bu Asih, istri Paman Didi yang murah senyum itu. Umi mengangguk pelan. Bahkan ketika menangispun dia masih terihat cantik dan imut, seperti boneka dari negeri Jepang saja.
“Begini Pakdhe, ini masih soal Kang Hanif. Dia ternyata …..” Umi mulai bercerita soal Hanif ketika tahajjud dan memohonkan do’a pada Sang Pemilik Hati Manusia. Dan itulah yang membuatnya sedih. Maka Umi meninggalkan pesan kepada Paman Didi sebelum dia pamitan kepada dua orang tua yang tinggal di rumah sederhana itu. Kemudian Umi bergegas ke tepi sungai.  Saat itu hujan turun mulai dari rintik hingga deras sekali. Kala itu Umi tidak membawa payung. Dia berteriak melengking ke langit sambil menghujat dirinya yang berani menentang cinta seorang Neng Fatimah. Seorang yang berpengaruh di pesantren Al-Huda. Sementara dia juga mengutuk Hanif yang kurang peka akan kerinduannya. Rindu di kala hujan turun dan dia memberikan payung pada lelaki tampan itu. Tetapi apa yang dia dapat? Hanyalah luka yang teramat dalam. Memang takdir tak pernah mau melihat perasaan. Apakah dia bahagia atau justru tertusuk seribu duri. Cinta yang sayap-sayapnya patah, tidak imbang atau berat sebelah. Berat baginya dan ringan bagi Hanif. Hanif tidak membalas cintanya yang suci itu. Umi menangis kemudian duduk sendirian. Dia tidak menyadari ada sesosok tubuh mendekatinya dengan membawa pisau daging. Hujan juga menyamarkan suara langkah yang mendekatinya dan tiba-tiba …..
*******
Di pojok desa, ada sesuatu yang salah dengan tempat itu. Banyak warga yang berlarian ke arah sana. Sebab tadi warga mendengar ada suara teriakan seorang wanita dan seperti suara sabetan senjata tajam pada daging. Seperti suara Mbok Ijah, pedagang daging di pasar saat memotong-motong daging sapi. Ngeri jika mendengarnya secara langsung. Sebelumnya alam menyaksikan kalimat yang dilontarkan oleh seseorang:
“Demi dirimu aku melakukan hal ini, Umi!” kata Ahmad Tohari. Dia terus berbicara pada mayat yang terbaring kaku itu. Tiada suara balasan. Hanya hening dan darah dingin mengalir di sekujur tubuh laki-laki setengah baya itu.
“Kau tahu, aku mencintaimu bahkan sejak kau masih SD kelas dua! Waktu itu kau bermain pasir di belakang rumah Abah Rasyid saat beliau meninggikan bangunan masjid pesantren. Aku berhenti bekerja saat itu karena terpesona akan imutnya wajahmu, Umi. Tetapi karena kau berani menolak cintaku, inilah yang kau dapatkan sekarang. Hehe, mencintai Hanif katamu? Dia juga akan mengalami hal naas sepertimu saat ini” Lanjut Ahmad sambil meratakan darah ke kaos yang dipakainya. Air hujan yang deras juga tidak melunturkan warna merah itu. Dia puas meskipun warga mulai mengerubunginya.
Namun tiada jawaban pasti dari mayat itu. Orang-orang mulai berdatangan kemudian mencekal Tohari. Beberapa orang mengangkat jasad Umi menuju ambulans yang sudah dihubungi. Rencananya mayatnya akan divisum atau diautopsi. Entahlah. Beberapa orang geleng-geleng kepala melihat Tohari yang tidak merasa bersalah itu. Wajahnya menyunggingkan senyum lebar seperti seorang koruptor di TV. Tak punya malu! Langit yang menyaksikan kejadian di hari itu menjadi mendung. Awanpun menangis meratapi kepergian kembang desa yang dibanggakan warga selama ini. Alam pun tahu bahwa ruh gadis ini akan mi’raj ke langit dengan kesyahidan cintanya.

*******
Paman Didi yang melihat Hanif berjalan ke pemakaman saat para jama’ah takziyah telah pulang, segera menghampiri dan kemudian memulai percakapan.
Assalamu’alaikum Kang Hanif.” Sapa Paman Didi sambil tersenyum. Hanif yang masih dirundung duka menoleh, mengecek siapa yang menyapanya di kesendirian itu.
Wa’alaikumsalam warohmah. Oh, Paman Didi. Ada apa ya?” Hanif tampak menyeka air mata di pipinya yang akan jatuh pelan ke tanah. Malu dilihat seorang yang bijaksana itu.
“Eh, maaf. Setelah Kang Hanif selesai tahlil. Saya tunggu di surau. Ada yang ingin saya sampaikan terkait pesan terakhir dari Nduk Umi.” Kalimat itu seakan mengguntur di hati Hanif. Sesak sekali terasa.
“Oh, iya. Paman, silakan duluan. Saya ingin di sini sebentar.” Kemudian segera Paman Didi berbalik dan berjalan ke surau dekat pemakaman, takut menambah kacaunya hati Hanif.
Setelah duduk di samping pusara, Hanif mulai berdo’a dan membacakan tahlil. Kemudian Hanif berkata pada pathok yang bertuliskan nama: Umi Kulsum.
“Dik, kenapa kamu begitu cepat meninggalkanku, meninggalkan kami. Aku baru tahu kalau kamu itu ternyata telah lama jatuh hati padaku. Tetapi untuk ta’aruf denganmu membutuhkan ketinggian ilmu dan waktu yang tidak sebentar. Maaf jika aku lebih memilih Neng Fatimah, karena dalam istikharahku mengatakan begitu. Seharusnya kamu mendapatkan suami yang lebih baik dariku, tetapi kamu malah meninggal sebelum menikah. Bahagialah di sana! Bertemu dengan Sang Maha Cinta. Aku janji akan selalu mengunjungi makammu dan berdo’a untukmu. Aku harus menemui Paman Didi sekarang untuk mengetahui apa isi pesanmu untukku, tersenyumlah di syurga, Dik Umi dan maafkan aku yang bodoh ini! Semoga saja kita dipertemukan di syurga-Nya yang suci. Aamiin.”
Hanif meregangkan otot-ototnya yang kaku karena lama duduk di makam, kemudian berjalan ke surau. Dia melihat Paman Didi melambaikan tangan padanya sambil tersenyum Sepertinya cerita yang akan disampaikan tidak seindah senyumnya. Firasat Hanif mulai menderu. Ada bisikan aneh untuk tutup telinga. Tetapi kaki Hanif terus melangkah dan masuk ke surau meski langkahnya berat untuk meninggalkan pusara Umi. Membuktikan bahwa dia adalah lelaki yang bertanggung jawab.
Setelah duduk di samping Paman Didi, Paman Didi mulai bicara,
“Kang, sebelumnya paman mau tanya, kamu sudah tahu apa yang dirasakan Nduk Umi?”
“Perasaan? Cinta maksud paman?” Tanya Hanif mengkonfirmasi. Jangan-jangan bukan itu yang dimaksudkan atau memang itu yang akan diutarakan oleh orang bijak itu.
“Ya, sesuai dugaanku. Kamu sudah tahu. Aku mulai memperhatikannya dan serius mendengarkan. “Begini, aku mulai dari kisah Nduk Umi waktu kecil:
“Dia adalah gadis periang, senyum selalu terukir di wajahnya yang putih bersih. Dia adalah gadis cilik tercantik yang pernah aku lihat. Shalihah dan suka membantu ibunya. Dia juga tergolong murid yang cerdas. Sejak SD hingga SMA dia selalu mendapat rangking satu atau dua. Banyak menyabet penghargaan dan pandai mendongeng. Dongengnya selalu kudengar dan tidak ada yang membosankan. Semua lucu dengan ekspresi wajah yang cocok ketika bercerita. Tergantung ceritanya, sedih, ceria, netral ataupun saat cerita remaja. Hehe. (sejenak mengumbar senyum kecut lalu menghempaskan nafas panjang yang berat. Kemudian Paman Didi melanjutkan dialognya). Dia layak mendapatkan penghargaan sebanyak-banyaknya sebagai pendongeng terhebat di desa ini, kang!”
Hanif ikut tersenyum mendengarnya. Ternyata Dik Umi bertalenta di balik pribadinya yang pendiam. Dilihatnya raut muka Paman Didi berubah serius, Hanif tetap menyimak ceritanya. Mungkin bakat berceritanya muncul dari kebiasaan Dik Umi mendongeng kali ya?
“Kemudian tidak lama kemudian dia masuk kuliah. Ini perjuangan perdana baginya tanpa orang tua yang mendukungnya. Dia membiayai kuliahnya sendiri dengan berjuang sebagai guru les privat di kota. Kadang dia juga berjualan mulai dari pulsa hingga makanan kecil. Pernah dia juga menjual jasa di fotokopi sehingga dia bisa meraih gelar sarjana dan melamar kerja di MI itu. Tak lama kemudian, dia melanjutkan studi S2 di Jogjakarta dan nimbrung nyantri di pesantren Abah. Masalahnya adalah …..” Paman Didi menghela nafas panjang seraya menatap lurus ke pemakaman. Persis ke pusara Dik Umi.
“Apa paman?” Hanif mencoba untuk berempati meskipun seperti juga sia-sia.
“Dia malu untuk mengungkapkan cintanya padamu. Pernah suatu hari dia lari seraya menangis ke rumah, cuma untuk cerita kalau saat kamu shalat tahajjud dan memohon untuk bisa didekatkan dengan Neng Fatimah. Padahal saat itu dia juga sehabis tahajjud agar bisa didekatkan denganmu. Dia sangat terluka saat itu. Kemudian dia curhat ke Neng Fatimah juga. Neng Fatimah ketika itu tutur Nduk Umi diam saja kemudian masuk ke kamar. Mungkin malu kepada Nduk Umi. Dan akhirnya dia pergi ke tepi sungai. Jika aku mengejarnya pastilah peristiwa yang tidak seharusnya terjadi dapat dicegah. Namun sepertinya rancangan Tuhan satu itu terjadi begitu saja. Dan bodohnya aku jika menceritakan hal ini padamu sekarang. Tetapi mungkin Nduk Umi juga maklum jika aku melakukannya sekarang.”
Hanif terbisu seperti saat langit mendung, dia bertanya, “Kenapa Dik Umi pergi tanpa ijin?” Paman Didi hanya tercenung lama tanpa suara. Sejak pertemuan itu dengan Paman Didi hingga hari ini terasa begitu kelam baginya. Sampai-sampai empat hari dia tidak bisa tidur nyenyak semenjak kematian Dik Umi.
<Inikah cintaku padanya? Tetapi semua sudah terlambat kusadari.> dalam hati Hanif berontak menyesal pada dirinya sendiri. Tetapi takdir Tuhan yang terbaik atau entahlah dia sendiri semakin terbisu ketika menyempatkan diri untuk berziarah ke pusara Umi. Dia selalu menangis dibuatnya. Tetapi dia berjanji di tahun depan, ketika berziarah, dia akan berusaha untuk tidak menangis dan mengambil hikmah dari peristiwa kematian Umi. Dia berharap, dia tidak akan mengulangi peristiwa itu pada Neng Fatimah. Itulah lecutan semangat sehingga dia bertambah tegar dan kukuh dalam cinta sucinya.

3.      Sajak-Sajak Cinta Kedua

Di warung Bang Tegar. Sore hari dengan sepuhan emas dari-Nya di ufuk barat membuat hari semakin indah dipandang. Kira-kira pukul 17.30 WIB. Setengah jam lagi maghrib akan dikumandangkan oleh sang bilal. Hanif masih duduk di warung itu, memulai percakapan dengan si-empunya warung yang mana di warung itu kini tinggal dua-tiga pelanggan yang duduk makan atau sekadar minum.
“Aku sedih sekali Bang. Aku tidak habis pikir kalau itu bisa terjadi pada Dik Umi. Seharusnya aku disana ketika itu. Bukannya malah sibuk pada pekerjaanku.” Kataku lirih. Bang Tegar berhenti mengaduk kopi yang Hanif pesan tadi, kemudian berkata, “Kamu tidak salah, mas. Kematian itu sudah menjadi takdir setiap manusia. Kita harus menerimanya dengan tabah. Mungkin ada hikmah dari ini semua. Mas Hanif jangan terlalu larut dalam kesedihan!” Setelah mengatakan kalimat itu, Bang Tegar meletakkan kopi di atas meja. Menarik sebuah kursi untuk mendekat ke meja tempat Hanif bersandar dan duduk mendengarkan apa yang dikatakan oleh Hanif kemudian.
“Terimakasih sudah mau mendengarkan keluhan ku, bang. Lega rasanya setelah semua dikeluarkan. Oh ya, Bang, ini uang untuk membayar makan siang yang kemarin. Maaf agak telat karena dana BOS belum cair, tadi pagi baru gajian. Ya, Bang Tegar juga tahu kan gaji seorang guru MI honorer itu seperti apa?” kata Hanif sambil menundukkan wajah malu.
“Tidak perlu merendah seperti itu Mas! Yang penting pekerjaan Mas Hanif halal, itu sudah baik bagi saya. Daripada saya yang lulus D3 hanya jadi entrepreneur gagal seperti sekarang ini. Tetapi lumayan lah, bisa buat membangun rumah dan menyekolahkan dua anak. Haha, rencana tahun depan saya mau lanjut S1 dan S2 di tiga tahun depannya lagi mas. Silakan kopinya mas, mumpung masih panas!” Katanya sambil meletakkan kopi yang satunya di atas meja. Mempersilakan Pak Thohir, teman Hanif yang juga duduk di sebelah anak muda itu.
Datang beberapa pelanggan yang lain. Mereka duduk tenang sambil melihat menu yang disediakan di atas rak hidangan. “Ramesnya tiga bang, sama es teh dua. Es jeruknya satu. Yang es teh esnya dibanyakin ya bang..! Jangan lupa sambel terasinya.“ pesan salah satu diantara mereka. Sepertinya dia sedang bahagia, mungkin sedang ulang tahun sehingga sepertinya yang dua ditraktir olehnya.
“Oke, siapp!” sahut Bang Tegar yang mulai sibuk meracik hidangan. Siang ini tampak udaranya panas sekali. Hanif berdiri dan mengambil cawan untuk kopinya agar tidak nyanthang di lidah. Aroma yang kental. Rasa dari kopi yang khas dari Banaran, Ungaran ini benar-benar membuatnya lupa sejenak dengan ceritanya pada Bang Tegar tadi. Dia seruput kopi hitamnya itu dan kemudian menuju kasir untuk membayar menu tadi. Dia akan bersiap-siap menuju masjid untuk iktikaf. Suatu aktivitas yang biasa dia lakukan. Sebab kata Abah, seorang pemuda yang hatinya senantiasa terpaut pada masjid, akan mendapatkan naungan kelak di Padang Mahsyar. Hanif mempercayai hal itu. Jadi dia starter motornya dan ngegas ke masjid terdekat di Desa Bawen yang dicat hijau oleh pepohonan kopi itu.

********

-Catatan Diary Hanif-
19 Juni 2017. Di aula majelis pesantren, tertata beberapa almari tempat menaruh Al-Qur’an dan kitab-kitab yang sering dikaji bakda shubuh. Berderet mulai dari Kitab Bulughul Maram, Subulussalam, Alfiyah Ibnu Malik, Jurumiyyah, Nashaihul ‘Ibad, Durrotun Nasihin dan Sahih Bukhari. Tergeletak pula beberapa orang santri di atas karpet tebal, di samping almari tersebut. Pasti hangat sekali karpet itu jika disesuaikan dengan kondisi alam pada pukul 05.30 WIB. Apalagi hari ini sedang libur usai penutupan pengajian Ramadhan tadi malam. Para santri yang tertidur benar-benar menikmati tidurnya yang tertunda beberapa jam gara-gara harus ro’an menguras bak mandi yang digunakan selama 25 hari yang lalu. Di pojok aula, dekat tiang tempat para santri bersandar sambil menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, aku duduk sendiri.
 Aku masih saja merenungkan kata-kata Bang Tegar tadi pagi. Benar juga bahwa kematian itu adalah takdir yang sudah dipastikan-Nya dan aku tidak boleh larut dalam kesedihan. Maka aku harus yakin kalau kebahagiaan akan hadir setelah kesedihan. Keduanya bersifat sementara saja. Di tengah lamunanku, tampak Neng Fatimah sedang menjemur pakaian. Aku dapat melihatnya dari jendela kaca aula. Dia tampak cantik sekali siang ini. Dengan gaun hijau muda, panjang menutupi seluruh badannya. Khas gadis shalihah. Saat menyadari aku menatapnya, dia tersenyum dan mendekat.
<Dia mendekat? Duh gawat nih!> Pikirku berbisik. Langkahnya dipercepat ketika aula majelis tidak ada- siapa-siapa yang terjaga kecuali aku sendiri di dekat tiang sandaran. Bertambah degub jantungku saat ini.
“Kang Hanif lagi mikirin apa?” tanyanya ditambah dengan senyumannya yang indah itu. Senyuman yang dapat meluluhkan hati siapa saja yang melihatnya, termasuk aku. <Sepertinya dia tahu kalau aku sedang memikirkannya. Gawat nih!> bisikku dalam hati.
“Ah, tidak. Permisi, neng!” kataku seraya melarikan diri darinya menuju ke jalan ke arah pondok putra. Aku belum siap menghadapinya.
<Maaf ya neng, jangan sekarang ngobrolnya! Nggak enak jika ada yang melihat kita.>kataku dalam hati menasehatinya meskipun dia tidak dapat mendengarnya. Dia terus saja menatap punggungku yang semakin menjauh. Ada siratan kecewa di wajahnya. Aku dapat melihatnya dari kejauhan. Dari kamar sempit berukuran 4x4 meter untuk 5 orang per kamar, tempat aku berhenti sekarang. Meski kecewa dia tertawa geli melihat kelucuan dan kepolosanku itu.
Jelas aku belum siap berhadapan dengannya selain karena kesedihan yang kurasakan pasca kematian Dik Umi juga karena ilmuku masih dangkal. Sementara Neng Fatimah sejak kecil sudah mondok di Jombang dan Kediri Jawa Timur. Yang katanya orang, kalau pengen pinter agama, ya larinya ke timur! Dia geleng-geleng kepala kemudian masuk ke ndalem sambil tersenyum sekali lagi.
<Kenapa dia selalu hadir di saat yang tidak tepat? Entah apa ini takdir dari-Nya?> Aku merutuki takdir yang selalu tidak bertanya apakah aku siap atau tidak. Jadi sepertinya ke depan aku pasrah saja untuk menjalaninya.
*******

Dalam sudut dapur Nyai Rohmah mendekati Neng Fatimah yang sedang meletakkan gula pasir ke dalam toples. Sepertinya ada yang aneh dari wajah Neng Fatimah. Senyum-senyum dari tadi, sedikit-sedikit melihat ke atap. Gula pun banyak yang tercecer tanpa disadarinya.
“Lagi mikirin apa kamu, nduk?” Tanya Nyai Rohmah sambil mencubit lembut lengan putrinya yang cantik bersih itu. Seketika itu, Neng Fatimah menyadari ada sengatan aneh di lengannya. Dia baru saja sadar dari mimpi indahnya itu lantas menoleh ke samping. Melihat masih ada bundanya menemaninya menuang gula di dapur ndalem.
“Oh, bunda. Tidak ada.” Pipi Neng Fatimah mulai memerah menahan malu. Dia kemudian dengan langsung bertanya pada Nyainya itu, “Bunda, bolehkah kita mencintai seseorang bunda?”
“Tentu saja. Setiap manusia boleh saling mencintai. Karena itu adalah fitrah, naluri manusia dan anugerah dari-Nya.” Jawab Nyai Rohmah secara reflek. Nyai Rohmah terdiam sejenak, mencerna pertanyaan putrinya itu kemudian menyelidik, “Kamu sedang jatuh cinta ya?” jawab Nyai Rohmah seraya meletakkan piring di dekat tangan kanan Neng Fatimah.
“Enggak, memangnya nanda kelihatan seperti itu?” jawab Neng Fatimah ngeles. Tatapannya dipindahkan ke luar, menuju aula majelis pesantren. Tempat Hanif bersandar pada tiang kemudian berlari dengan lucunya.
“Jangan bohong. Kamu suka dengan santri yang suka shalat tahajjud di masjid itu ya?” Nyai Rohmah memberikan kode pada Neng Fatimah akan wajah Hanif yang tampan dan shalih itu. Seorang santri yang tak pernah pacaran sekalipun itu.
“Siapa, Hanif? Enggak ah. Fatimah mau mondok dulu. Tidak mau mikirin yang begituan bunda!”
“Jangan suka bohong, tuh ada buktinya.” Bunda Rohmah menunjuk pada gula yang tercecer. Neng Fatimah yang masih di bawah alam sadarnya itu terkejut ketika melihat di atas meja ada gula-gula yang tercecer tidak rapi. Neng Fatimah segera merapikannya ke dalam piring lalu dimasukkan ke toples. Dia begitu malu dibuatnya kemudian tersenyum dan tertawa kecil lalu masuk ke kamar tidur. Nyai Rohmah geleng-geleng kepal seraya berkata dalam hati:
<Dasar, mau bohong sama bundanya! Tatapan matamu yang tak fokus itu tak mampu membohongi diriku yang melahirkanmu, nduk!>
********.
-Diary Hanif-
20 Juni 2017. Dalam khayalanku aku berjalan beriringan dengan Neng Fatimah di taman bunga-bunga yang luas. Kami ditemani oleh kupu-kupu berwarna-warni dan langit birupun dikelilingi oleh pelangi dan awan putih yang indah sekali. Aku tersentak ketika Abah berdiri di depanku. Saat itu selesai mengaji Kitab Qomi’ut Thughyan. <Ya Rabb, bencana apa lagi ini, aku malah melamun di tengah pelajaran?>
“Nang, nanti tolong antar Neng Fatimah ke rumah Abah Ndakir! Katanya dia mau setor hafalan juz 2. Kamu sudah ditunggu di depan gapura pesantren sejak lima menit yang lalu. Pakai saja motor supra yang kuparkir di belakang rumah. Ini kuncinya!” aku terkejut dari lamunanku ketika Abah memerintah dengan kata-kata meluncur tanpa rem lantas pergi sebelum aku menyatakan kalimat penolakan. Dan saat kutengok kiri-kananku, sudah tak ada santri yang duduk bersimpuh di aula mengaji.
Ya itulah kiai. Dhawuhnya harus dilaksanakan para santri sebagai akibat dari ketawadlu’an. Kunci aku terima dan kumasukkan ke dalam saku. Belum jauh Abah berjalan aku berkata, “Njeh bah!” Abah masuk ke ndalem. Sementara aku mencari jalan pintas menuju belakang rumah di mana motor beliau yang diparkir dengan deretan motor santri kalong.
Aku merasa seluruh sendi jadi lemas dan dingin. Padahal selama ini Kang Sulaiman yang biasa disuruh mengantar.
<Tetapi kenapa harus aku? Ya, benar juga sih. Kang Sulaiman kan sudah boyong, jadi sekarang giliran aku yang mengantar. Atau jangan-jangan aku akan terus mengantarnya, Masya Allah, gawat ini!> pikiranku mulai kacau sembari aku menepuk jidat sendiri merasa konyol.
<Aku segera menuju ke motor atau kemana dulu ini?> Aku bingung. Akhirnya aku mampir ke kamar Kang Sulaiman untuk mengkonfirmasi mengapa aku yang harus mengantarkan Neng Fatimah. Jawab Ibrahim, adik Kang Sulaiman cukup pendek dan sangat jelas:
“Mungkin Abah ingin tahu seberapa setianya engkau pada pesantren ini, kang!” Aku seperti dihujani batu kata-kata. Apalagi setelah berkata begitu dik Kang Sulaiman menutup pembicaraan dengan mengatakan, “Saya ke pasar dulu, kang. Disuruh bu Nyai untuk membeli beras untuk makan malam nanti.” <Yah, aku ditinggal lagi.> Aku merasa diabaikan olehnya. Mentang-mentang dia tahu tentang hubunganku dengan Kang Sulaiman yang agak kres tahun lalu. Sifatnya mirip sekali dengan kakaknya. Bikin jengah saja.
Aku berjalan ke parkiran dan menemukan motor yang dimaksud oleh Abah Rasyid dan seketika itu pula aku memasukkan kunci ke slotnya dan mulai memanaskan mesin. Kemudian terlihat Neng Fatimah yang cantik itu, dibalut baju kurung berwarna biru tua berjalan dari gapura pesantren menuju parkiran. Tanpa dandan dia sudah seperti bidadari yang memakai helm. Kemudian dia tersenyum di hadapanku dan berkata, “Sudah siap? Ayo berangkat, kang!”
Njeh, neng.” Jawabku sambil tertunduk kepala karena kikuk. Dia langsung melompat ke jok belakang kemudian menatap ke depan dengan penuh kepercayaan.
<Gadis ini benar-benar berani. Tidak seperti neng biasanya yang tertutup.>
Setelah semua dirasa siap, kami meluncur ke rumah Abah Ndakir di Banyubiru. Sepanjang perjalanan, aku tidak berani melihat spion dan jantungku berdegub lebih kencang dari biasanya. Dalam hati, aku terus saja beristighfar dan bersholawat. Begitu pula ketika pulang dan tidak ada kalimat yang aku tanyakan kepadanya apalagi berbincang-bincang. Neng Fatimah juga tidak ngobrol, kudengar dia hanya melantunkan ayat-ayat yang disetorkan kepada Abah Ndakir. Setiba di ndalem, dia tersenyum dan mengucapkan terimakasih.
“Maaf neng. Iya sama-sama.” Jawabku pelan.
“Lain kali aku minta diantar kamu saja kang. Lebih cepat dari Kang Sulaiman soalnya.” Katanya sambil memperhatikan wajahku yang malu-malu. Dia tersenyum manja. Aku seperti disambar petir saat mendengar kalimat barusan itu.
Pareng, neng!” kataku sambil menyerahkan kunci padanya lalu meninggalkannya yang masih menatapku cukup lama. Aku berlari ke kamar kemudian banyak beristighfar di dalam. Dalam hatiku masih berbisik, <Lebih cepat katanya. Ya, Tuhan. Kenapa selalu berakhir seperti ini?> Aku langsung menutup bantal ke mukaku dan berusaha untuk tidur meskipun pada akhirnya juga tidak dapat tidur dengan nyenyak. Sebab adzan ashar segera dikumandangkan oleh Ibrahim. Ibrahim sudah pulang dari pasar. Suaranya begitu merdu. Lebih merdu dari suara Kang Sulaiman. <Ah, aku jadi rindu Kang Sulaiman. Kapan ya dia akan mengajar di sini lagi?> kataku dalam hati.
<Yah, lagi-lagi suara dari santri itu!> Ada bisikan syetan yang melintas di hati mengingatkanku pada wajah Ibrahim yang sewot. Hatiku tambah berderu jengkel mengingat kata-katanya tadi waktu pagi. <Sebaiknya aku segera wudlu untuk mengusir bisikan tak baik ini dan meminta maaf pada Ibrahim.> kata bisikan baik di hatiku. Aku segera bersiap-siap ke kamar mandi untuk wudlu. Kemudian berjalan menuju masjid, saksi cintaku pada Neng Fatimah yang baik hati itu.
*******
-Diary Hanif-
28 Juni 2017. Suatu saat Neng Fatimah mengirim sms ke handphoneku. Ini baru pertama kalinya aku mendapat sms darinya. Intinya adalah: “Tolong antar saya ke kediaman Abah Ndakir lagi, saya mau setor hafalan juz 3.” Saat itu juga masih dalam program liburan menjelang hari raya Idul Fitri. Tidak biasanya Neng Fatimah setoran menjelang lebaran. Kali ini adalah bulan ke-2 semenjak dia setoran ke pesantren Abah Ndakir. Aku yang menjadi santri hanya sendhiko dhawuh dan tidak berani menolak permintaannya sebab Abah Rasyid juga mengiyakan jika Neng Fatimah meminta apapun. Apalagi dengan begini, aku bisa sekaligus proses ta’aruf dengannya. Meskipun niatanku begitu tetap saja aku tidak berani ngobrol lama apalagi pacaran seperti kebanyakan orang.
Berkali-kali dia sms konfirmasi padaku. Aku hanya membalas: “Masih mengajar di kelas neng, sebentar lagi juga keluar.” Atau “Malah diajak rapat PPDB bu Wakil Kepala Sekolah, neng. Sebentar lagi, ngapuntene ditenggo sekedhap njeh!” Akhirnya setelah menunggu dua jam, aku bisa meluncur ke dapur, tempat dia menaruh beberapa barang yang harus dibawa. Tetapi setiba di sana aku ngamplu, tidak ada seorang Neng Fatimah sekalipun. Yang ada hanya Mbok Painah yang tersenyum kecut, mungkin mengejekku yang telat ini.
“Orangnya sudah diantar Kang Sholeh, kang!” katanya membuatku sangat malu, kecewa bercampur takut jika sewaktu-waktu Abah Rasyid murka karena tahu aku lalai seperti ini. Mbok Painah segera meneruskan kegiatan mencuci piringnya dan bersenandung lagu Malaysia. Lagu yang galau dia nyanyikan, menambah irisan luka di hatiku meskipun aku tak bersuara sedikitpun.
Aku kemudian berbalik jalan. Kudengar burung ikut berkicau sendu mengiringi langkahku. Langkahku menjadi semakin tidak bersemangat mengingat kondisi langit juga muram, hendak menangiskan rinai. Selama perjalananku menuju kamar, sedikit-sedikit aku mengumpat pada diri sendiri dan akhirnya, aku berpikir dalam benak, <Toh aku ini siapa? Kenyataannya kan bukan siapa-siapanya Neng Fatimah. Dan levelku berbeda dengannya yang hafidzoh itu. Bagaimana aku menyatakan diri menjadi imam sementara aku juga belum mampu menjaga hafalannya ketika kujadikan pendamping hidup.>
Aku merasakan tulang-tulangku melemas karena merendahkan diri, dan mendung senja ini membuatku bertambah kalut saja. <Kang Sholeh? Yang pekerjaannya mencangkuli pupuk kandang belakang pesantren itu? Kenapa harus dia?> sejenak aku membanding-bandingkan diri dengan orang itu lalu aku beristighfar ketika ada lintasan hati untuk bertaubat. Aku mengambil air wudhu dan berjalan ke masjid. Ada beberapa santri putri juga sudah bersiap di shaf pertama. Berbeda dengan santri putra yang hanya beberapa saja. Mungkin sudah pada boyong menyambut mipik lebaran. Adzan maghrib dikumandangkan. Lantunan suara merdu Ibrahim yang biasanya aku benci mendengarnya, kini merasuk menuju hatiku yang terdalam, menusuk-nusuk di angan. Sehingga tak sengaja merembeslah bulir-bulir air mataku yang bening menuju pipiku yang tirus. Aku melaksanakan shalat qabliyah maghrib meskipun tak sekhusyu’ biasanya. Tetapi aku lakukan sampai selesai. Hanya selepas shalatlah hatiku menjadi agak tenang dan kepalaku mulai dingin dari masalah-masalah seharian ini. Ah, cinta mah selalu begini, bikin sakit hati saja! Barisan shaf mulai rapi dengan majunya beberapa orang santri dan warga setempat di shaf terdepan. Sang imam mulai menuju ke mimbar dan shalat maghrib pun dilaksanakan dengan khidmat. Dzikir bakda maghrib menambah kesejukan di hati ini. Mungkin benar, jika salah satu solusi dari permasalahan manusia adalah kembali menuju pada-Nya, Sang Pencipta Masalah agar diberikan solusi dari masalah yang telah diciptakan-Nya. Bukan malah memukuli diri sendiri dengan masalah itu sendiri.

4.      Berpisahnya Dua Saung
-Diary Hanif-
Saat itu tanggal 11 Juli 2017 di bulan Syawal akhir. Terkadang aku cukup bodoh (diam seribu bahasa) ketika berhadapan dengan Neng Fatimah. Suatu hari ketika panen padi tiba, Abah Rasyid meminta para santri untuk membantu memanen atau sekedar menyelep beras. Dan istirahat bersama di saung untuk makan siang dari punjungan yang dibuat oleh Mbok Painah dan Neng Fatimah. Makanan itu terasa nikmat selepas lelah panen setengah hari. Makanan seperti nasi putih dan sayur tumpang terasa sangat lezat ketika disantap bersama. Inilah bentuk keberkahan dari makan bersama. Sesaat para santri menempatkan diri di beberapa saung, aku memilih berada di samping Abah di saung paling pojok dan jauh dari pesantren putra tetapi lebih dekat jaraknya dengan pesantren putri sehingga aku lebih kerap bertemu dengan Neng Fatimah. Itupun yang meminta Abah sendiri tanpa aku meminta dan niat untuk mendekati Abah dalam rangka PDKT dengan Neng Fatimah. Aku tidak punya niat sejahat itu sehingga membuat iri santri lainnya. Tetapi pada kenyataannya aku menikmati setiap pertemuan ini.
Assalamu’alaikum, Bah, ini punjungannya. Lekas dimakan, selagi hangat! Monggo Kang Hanif!” sambut Neng Fatimah menatapku sambil tersenyum. Matanya yang berkedip pelan itu sangat cantik menurut hatiku.
<Astaghfirullah, pemikiran macam apa ini? Kenapa aku dengan begitu mudahnya terpesona pada gadis Abah?> Hatiku mulai berkecamuk, sejenak aku ndomblong dibuatnya. Sementara dia masih tersenyum menatapku.
Wa’alaikumsalam warohmah. Njeh, Neng. Monggo sekalian makan!” jawab Abah Rasyid sambil melirikku seakan menyindirku tajam. Seakan-akan itu adalah jawaban yang harus kukatakan pada gadis itu.
“…….” Aku hanya diam menunduk, khawatir Abah akan marah jika kujawab yang ternyata sepertinya Abah malah mendukung putrinya dalam berta’aruf denganku.
“Abah, makan duluan saja. Nanda mau ke dapur, nyuci piring.” Kalimat-kalimatnya selalu saja disertai tatapan kepadaku dan juga diselingi lukisan senyuman yang cantik di parasnya.
Monggo, Kang Hanif! Pareng riyen…” Lanjut Neng Fatimah. Mungkin dia berusaha menggodaku atau sekedar menyapa. Toh siapa aku, hanya santri biasa tidak setara dengan Kang Sulaiman yang shalih dan lebih cocok jika disandingkan dengannya. Aku masih belum berani menatap lama, hanya mengangguk memberikan kode. Selalu saja menjadi pengecut, tidak berani mengematchkan chemistry dengan pembicaraan yang lama. Burung-burung emprit ikut berkicau membuyarkan tatapanku ke tanah.
Alam di sekitar sawah Abah benar-benar indah. Langit yang cerah dengan awan seperti sisik ikan berwarna putih, pohon-pohon hijau di kejauhan menambah syahdunya makan bersama di sini. Bagiku saung adalah tempat yang sweet memories selama aku nyantri di sini, termanis sepanjang masa. Apalagi kalau ditambah dengan kehadiran Neng Fatimah yang setia mengantarkan punjungan ke sawah setiap panen tiba. Sejenak melepaskan lelah dengan senyuman-senyuman ramahnya ke para santri yang lelah bekerja. Benar-benar calon istri idaman!
Sejam kemudian, kami dikomando oleh Abah untuk bersiap-siap untuk membersihkan diri, mandi dan berwudhu untuk persiapan shalat dhuhur. Sementara Abah Rasyid memimpin do’a tahlil dalam rangka syukur bersama atas nikmat panen yang dianugerahkan oleh-Nya. Kemudian beliau membagi ambeng ke beberapa warga yang ikut andil dalam penyelepan gabah. Acara berlangsung khidmat, tanpa harus rebutan mereka semua makan dengan lahapnya dan berterimakasih pada Abah Rasyid. Ada pula yang menciumi tangan beliau mengharapkan do’a keberkahan. Suasana saat itu benar-benar menggembirakan. Memori ini tidak akan pernah aku lupakan. Alhamdulillah. Syukur kami persembahkan pada-Nya, di setiap hembusan nafas kami.
*******
21 Juli 2017. Kala itu Neng Fatimah pamitan pada Abah untuk kembali ke pondok Tambak Beras Jombang, Jawa Timur. Katanya ada program konsentrasi dauroh fikih mar’atus sholihah. Apa daya aku harus merelakan dia pergi meskipun dalam hati ada sepercik kerinduan untuk bercakap-cakap kembali seperti dulu. Pihak keluarga melepaskan keberangkatannya dengan suka cita. Bahkan Nyai sampai menangis terharu karena bangga memiliki anak gadis yang seshalihah Neng Fatimah. Sangat berbeda denganku yang sedih atas kepergiannya. Tetapi dalam lubuk hatiku mengatakan, <Toh itu untuk kebaikan dia di masa depan juga. Kenapa juga harus khawatir?>
Bus yang diparkir di terminal mulai berangkat pukul 10.00 WIB dengan laju yang cepat, mengantarkan Neng Fatimah menuju tujuan. Kami perwakilan santri segera kembali ke kompleks pesantren.  
Aku berjalan begitu loyo menuju kantin. Tetapi saat berada di kantin, Bang Tegar dengan senyuman lebarnya menyapaku, “Masak calon pemimpin yayasan seloyo itu, makan dulu gih!” Aku sempat kaget dibuatnya. <Ah, pasti dia bercanda. Pemimpin yayasan katanya.> Aku sedikit tertawa dalam hati. Bang Tegar memang paling lihai dalam menghibur para santri yang kalut.
Joko, salah satu santri senior yang menjadi teman sekamar bilang, “Masak kamu biarkan dia pergi begitu saja?” Joko adalah santri yang berasal dari Kampung Melayu, Jakarta. Perawakannya sedang, kulitnya cokelat dan yang paling kusukai dari dirinya adalah perhatiannya yang besar pada temannya di kala sedih. Dia juga jago meluluhkan hati yang sedang kesepian dengan gombalan-gombalan yang bermutu dan terkadang memicu gelak tawa sekamar. Dia adalah orang yang baik hati. Seorang santri baru yang masuk dua bulan yang lalu. Dia adalah pindahan dari pesantren Krapyak Jogjakarta. Di pesantren abah, dia belajar ushul hadits. Aku suka cara bicaranya yang berapi-api, mirip presiden RI pertama, Ir. Soekarno. Tapi wajahnya tak setampan ayah Megawati itu, hehe.
“Ya mau bagaimana lagi Bang, itu kan keputusan Neng Fatimah sendiri.” Jawabku lemah, seperti tidak ada perubahan. Tatapanku ke sebuah bunga kaktus makin sayu. Dia menangkap kesedihanku dengan berkata: “Aku turut prihatin padamu.” Aku jadi tersenyum hambar dibuatnya.
“Kamu sudah tidak cinta dia apa?” Nada Bang Tegar tidak seperti biasanya. Dia mulai serius dan berhenti memecah es untuk pelanggan yang memesan es teh. Dia menatapaku tajam seakan tidak percaya jika aku cuek akan peristiwa yang kupaparkan di hadapannya. Joko ikut mengernyitkan dahinya, seakan tak percaya dengan apa yang barus saja kuucapkan.
“Kamu serius, Han?” Tanya mereka berbarengan.
“Maksud Bang Tegar dan Bang Joko apa?” Tanyaku pura-pura bodoh atau lebih disebut pura-pura tidak peduli. Mungkin mereka mampu menangkap kegelisahan hatiku di balik raut bohong wajahku yang tenang.
“Kalau untuk kebaikan dan pengembangan diri Neng Fatimah kan bagus.” Tambahku ngeles. Padahal hatiku sebenarnya sedih sekali sejak mengantar Neng Fatimah keluar dari ndalem menuju gerbang pesantren.
“Ah kau sok bijak, apa kamu bisa kuat menahan rindu kelak selama 5 bulan tuh?” Joko mulai bertingkah. Dia kini meledekku. Puas karena dia lebih pengalaman dibandingkan aku di bidang percintaan. <Apa lima bulan, Gawat. Tuhan, kenapa jadinya begini. Kok aku tidak diberitahu Abah kalau masa programnya selama itu!> rutukku pada diri sendiri.
“Paling-paling nafsu makannya jadi berkurang.” Sahut Bang Tegar sambil memajukan bibirnya, kecewa. Lalu dia meninggalkan pembicaraan ini dan mulai melayani para pelanggan yang sedari tadi menunggu pesanan makanan dan minuman.
“ ………”
Aku terdiam sembari menatap bunga anggrek yang dipasang di tiang kantin. Sangat meneduhkan dan aku mulai merenungkan kalimat Bang Tegar tersebut. Dalam hati aku masih saja berbisik: <Apa aku kuat menahan rindu nantinya. Tidak berjumpa sehari aku bisa stres, lha ini 5 bulan! Ah, entahlah. Jika jodoh kan dia akan kembali> pikirku menasehati. Aku disibukkan oleh pikiranku sendiri hingga tidak sadar jika kopi choco creamy sudah habis kuseruput. Aku menuju ke kasir untuk membayar menu yang kusantap. Joko dan Bang Tegar geleng-geleng kepala melihat tingkah dan langkahku yang loyo ini. Tidak ada semangat lagi. Tidak ada senyuman lagi. Pasti mereka turut merasakan kondisi hatiku yang hambar rasanya seperti saat ini.
*******
Suatu hari di ruang dapur, seminggu pasca keberangkatan Neng Fatimah ke Jawa Timur, saat aku mengambilkan jatah makan santri-santri kamar yang berada di bawah kepemimpinanku. Maklum kebanyakan santri di kamarku masih baru (masih siswa baru SMP/SMA), jadi belum berani mengambil sendiri. Biasanya jika dilatih dua tiga kali maka mereka akan segera mandiri dan mungkin akan balapan mengambil nasi meski baru diangkat dari tungku (sangat panas). Aku melihat Mbok Painah merengut melihat kedatanganku. Aku heran kenapa dia, biasanya senyum-senyum kalau ada santri datang ke dapur. Atau dia menggoda dengan kalimat “Wes ngeleh tho kang?” sambil terkekeh. Lha kali ini malah sebaliknya.
“Ada apa tho Mbok? Kok merengut dari tadi?” tanyaku penasaran seraya menciduk nasi ke beberapa piring.
“ Gimana tidak merengut, Kang Hanif ini gimana, Neng Fatimah mau pergi jauh kok ya didiamin.” Jawaban dari Mboh Painah juga sengal-sengol. Aku tahu dia sedang marah. Aku harus membujuknya agar tersenyum, tetapi bagaimana caranya? Lagipula kalimat itu juga terasa menyengat seluruh sendi tubuhku yang sudah menganggap hal itu adalah kelumrahan dari neng Fatimah. Pergi untuk masa depan dan pengembangan wawasan keilmuannya. Aku mengambil nafas dalam-dalam, menatap Mbok Painah dan menyahut,
“Lha kulo kedhahe pripun tho, Mbok?”
“Ya dikejar kek, nanya kenapa terburu-buru kek, atau gimana gitu.” Dia mulai tersenyum sedikit.
 “Ya udah, kalo kamu mau nenemin Mbok Painah di sini apa gimana, wong biasanya Neng Fatimah yang bantu-bantu meracik masakan.” Tambahnya dengan nada meninggi. Aku jadi teringat wajah Neng Fatimah yang kadang lelah karena seharian memasakkan para santri.
“Lha kulo tidak bisa masak je.” Aku mencoba tawadhu’ di depannya. Agar dia bisa tersenyum lebih banyak lagi.
“Latihan tho, jadi saat istrinya nanti sakit, kan bisa masakin.” Jawabnya semakin meninggi saja nada bicaranya. Urat-urat nadi di lehernya juga semakin membesar. Seperti mau marah saja. <Membantu istri masak ketika dia sakit? Belum pernah terbayang oleh pikiranku jika ada hal seperti itu. Atau mungkin akunya yang kurang peka ya?> Aku bertanya pada diri sendiri sambil meletakkan jari telunjuk ke dagu. Mataku menatap langit-langit untuk kemudian. .
Aku termenung menyaksikan Mbok Painah yang ulet dalam meracik bumbu-bumbu. Sedikit-sedikit dia rasakan. Jika sudah pas rasanya, dia akan tersenyum bangga. Mungkin selama ini aku kurang peka akan perasaan seorang wanita. Maka aku mulai membantunya mengiris-iris sayuran sebisanya setelah mengantarkan makanan ke kamar. Meskipun sebentar-sebentar dia mengatur caraku dalam mengiris sayuran yang baik. Kalau sudah pas posisinya, dia mengangguk-angguk senang.
Lalu dalam diam selama mengiris sayuran, aku mulai memberanikan diri untuk bertanya pada Mbok Painah, “Mbok, memang harus gitu ya, wanita kalau jatuh hati?”
“Maksudnya?” Dia hanya bertanya satu frase saja, menyebalkan tetapi mungkin karena sibuk menggoreng tempe. Takut gosong kali ya jika harus meladeni pertanyaanku.
“Ya pakai bahasa isyarat gitu. Nggak langsung ngomong apa yang diinginkannya.” Tanyaku memperjelas agar dia memahami jawaban apa yang aku inginkan.
“Hati wanita itu dalam banget, kang. Jadi jangan pernah dimainin, cepet kesal nanti dan akhirnya sakit hati. Gawatnya, kalau sakit hati pasti tidak akan bisa melupakan yang pernah menyakitinya alias dibawa sampai mati.” Aku mengangkat alis seakan tidak percaya dengan kalimatnya. Serius sekali hal satu ini? Hati seorang wanita memang benar-benar unik.
“Ha, separah itu ya?” tanyaku pura-pura bodoh.
“Ya begitulah.” Dia meneruskan menyisir gula untuk sayur osengnya yang mulai mendidih. Aromanyapun mulai tercium sedap. Khas masakan Jawa. Perutku mulai goyang ingin diselimuti sayur itu.
“Mbok, punya nomer handphone Neng Fatimah yang baru? Yang lama sudah dinonaktifkan.” tanyaku ragu. Tetapi kalimatku begitu deras meluncur begitu saja.
“Tentu saja. Mbok Painah yang tua ini nggak boleh kalah sama yang masih muda. Mbok juga bisa facebookan.” Jawabnya bangga. Aku langsung tertawa, lha kalau facebookan mau dengan siapa dia berinteraksi? Paling-paling sama tukang kebun pesantren.   
“Malah ketawa lagi. Ini, dicatet ya! 0857xxxxxxxxx” dia menuliskan nomor yang dia hafalkan di otaknya. Otak orang jaman dulu memang fresh, sebab memang tidak ada flashdisk yang digunakan untuk menyimpan data sih.
“Langsung telfon saja! Kalau di pesantren Jawa Timur dilarang keras pake handphone, jadi tidak bisa sms an.” Terangnya menambahkan.
“Oke. Mbok Painah memang bisa diandalkan!” Jawabku memujinya singkat. Dia tersenyum seperti dibuai oleh pujian tadi. Aku terkekeh dibuatnya. Setelah semua masakan selesai, aku pamitan ke kamar pengurus dan meminjam telefon pesantren dan memencet nomer yang di atas kertas belanjaan Mbok Painah tadi. Aku ragu akan ngomnong apa. Tetapi di kejauhan sana terdengar suara lembut, “Assalamu’alaikum. Niki sinten njeh…?” Dia memakai bahasa kromo inggil, hatiku langsung dingin, merinding mendengarnya kelembutannya.
“……” Aku beranikan diri ini bertanya, meskipun keringat dingin mulai menetes pelan. Grogi mungkin. Baru kali ini aku menelfon Neng Fatimah. Biasanya sih hanya sekedar sms.an, itupun terkait dengan tugasku untuk mengantarkan dia setoran ke Abah Mudzakir. <Apa yang harus kutanyakan? Apa menunggu dia bicara kali ya?> Hatiku menuntun untuk kembali ragu.
“Apa kabar, neng? Ini Hanif, kapan pulang?” hanya itu yang dapat kutanyakan.
Alhamdulillah sehat, Wah suwantene Kang Hanif radi benten njeh. Lembut nak theng handphone. Kaleh minggu malih, kang. Pripun tho?” Suara kalem di kejauhan itu menenteramkan hatiku, apalagi kromo inggilnya itu membuat dingin telinga yang mendengarnya.
“Eeem, mriki mboten wonten Neng Fatimah mboten seru!” Aku beranikan diri untuk mengakrabkan. Di sana justru terkekeh sesaat kemudian diam sejenak. Aku jadi tidak sabar menunggu jawaban.
“Halo?” tanyaku dengan nada agak manja. Mirip anak kecil yang minta dibelikan es krim. Mirip sekali dengan bahasa Nduk Hajar, adiknya Neng Fatimah yang suka merengek minta es krim itu.
Njeh, taseh mirengaken kok kang…” Suara di sana semakin jelas. Aku lega, meskipun aku sadar pulsaku makin berlari mengejar putusnya hubungan telepon.
Akan tetapi semakin lama sejauh percakapan, dia malah cerita banyak tentang dauroh fikihnya di sana hingga telingaku panas mendengar saking lamanya. Dalam hatiku, ternyata dia jauh ramah dibandingkan di pesantren ini. Meskipun di sana tidak ada suara tawa sedikitpun. Saat diam dari percakapan, dia melantunkan kembali ayat-ayat yang dihafalkannya. Hatiku mulai was-was entah kenapa. Aku jadi serba salah, takut mengganggu waktunya.
“Sudah begitu saja, neng. Ini sudah mau mulai jam ngaji. Assalamu’alaikum!” aku menutup gagang telfon. 

#Padahal di lain tempat, Neng Fatimah begitu bahagia bisa bercakap-cakap dengan pria idamannya itu. Hatinya membuncah dan ingin segera menutup hari-harinya di sana. Pulang untuk selamanya ke pesantren Al-Huda. Tetapi apalah daya, ini masih seminggu dia belajar dauroh di sana. Dan programnya sendiri berlangsung selama 5 bulan. <5 bulan, dapatkah dia dipercepat, Tuhan?> pekik Fatimah di dalam hatinya, berharap dan bergantung hanya pada-Nya, Sang Pengabul Do’a.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar