Dalam Dekapan Dakwah Ini, Aku
Menangis….
Waktu itu langit begitu biru dengan paduan putihnya awan yang tebal
bagaikan salju di Kanada. Bersih. Daun-daun berdzikir dan bertasbih memuji
asma-Nya, tersenyum dan menari dalam kebahagiaan yang pasti. Jalan di Desa
Udanwuh memang bersih setelah dipoles oleh warga setempat di hari minggu. Kerja
bakti bersama tim KKN. Angin berhembus sepoi di tepian sawah membentang hingga
di ujung timur desa. Aroma beras yang sudah berisi mengundang belalang untuk
ikut dalam orchestra agung di samping rumah bercat kuning ini.
Aku sedang duduk memangku Firza yang hiperaktif ini. Dia adalah
salah satu anaka didikku di TPA Tarbiyatul Banaat, tempat dimana aku dan
teman-teman KKN mengabdi di desa ini. Sudah lima hari aku disini diterpa ujian
berkali-kali. Mulai dari sulitnya mengkondisikan beberapa anak yang hiperaktif
hingga kurang pedulinya warga akan kehadiran kami sebagai ustadz ustadzah
dadakan di desa ini.
Tetapi itu tidak menjadi alasan bagiku untuk
putus asa. “Aku harus
semangat meniti perjuangan dakwah disini, demi anak-anak ini dan masa depan
desa ini!” tekadku meyakinkan. Dalam keheningan lamunanku, Reni, salah satu
rekan kerja KKN memanggilku, “Zen, makan dulu sana, sayur asemnya udah mateng!”
Ya, Zen. Itulah nama panggilanku, Namaku Zaenal Abidin. Seorang mahasiswa jurusan
Pendidikan Agama Islam di salah satu universitas agama islam di Salatiga, yang
kebetulan ditugaskan di desa ini untuk mengabdi sebagai anggota dari tim KKN.
Program berbasis masjid, itulah yang diminta kampus untuk digarap disini. Jujur
aku sudah mau muntah ketika mendengar tema KKN tahun ini. Sangat munafik jika
dicocokkan dengan kepribadianku yang kasar dan tidak berakhlak ini. “Aku ini
siapa? Ke masjid saja jarang, apalagi disuruh memakmurkan masjid. Hemm,,bakalan
gila aku disini.” pikirku sambil menelan ludah.
“Ya, bentar lagi aku makan. Tak mandi dulu, mbak.” jawabku sambil
menarik handuk dari cantolan pakaian tanpa ekspresi ramah sekalipun pada Reni
yang gendut itu. Males banget aku bicara dengannya. Sudah gendut, pendiam,
sekali bicara nyeplos seperti telur yang dipecah ke penggorengan. Segala
kemauan selalu ingin dituruti, termasuk harus makan sayur asemnya yang “nek”
itu.
Aku mandi dengan tergesa-gesa karena jam di handphoneku
sudah menunjukkan pukul 15.12 tepat. Waktunya adzan ashar dan mendidik
anak-anak untuk jama’ah dan juga mengajar baca tulis qur’an. Hehe, jamaah ashar
di mushola? Hal yang paling aku benci kalau jamaah dengan anak-anak SD yang
nakal-nakal itu. Usai mandi aku berjalan santai menuju mushola. Beberapa sepeda
onthel sudah diparkir tidak karuan oleh mereka, semut-semut TPA yang selalu
menggigit kulitku yang terawat ini. Aku benar-benar tidak berminat kepada
mereka. Entah kenapa. “Allohu akbar!” Takbiratul ihramku bersama
anak-anak kumulai hingga salam terakhir. Ketika aku menoleh ke belakang untuk
bersalaman, ternyata mereka sudah berlarian keliling mushola sambil
ngakak-ngakak. “Mas, sorry nggak ikut jamaah, sudah shalat di rumah.” Kata Aji,
ketua kelas TPA yang paling bandel. Kakinya yang kecil itu naik ke atas meja
yang biasa dipakai untuk mengaji. “MasyaAllah. Membosankan sekali KKN disini.”
pikirku. Rasanya ingin segera pulang saja.
“Yang bener?” Tanya Nia, si kacamata, rekanku mengajar di TPA ini.
Dia adalah teman cewek yang paling sabar menghadapi semut gatel (Aji) itu.
“Iya, kenapa. Berani kamu?” sahut Aji sambil meletakkan kedua
telapak tangan di pinggang. Menantang gurunya berkelahi? Konyol.
“Mas Aji duduk dong!” pinta Iza yang juga rekanku mengajar disini.
Kalau Iza si sipit itu yang paling tegas kalau menghadapi Aji. Aji langsung
turun dari meja dan duduk rapi.
“Bismillahirrahmanirrahim.
Radhitubillahirobbaa….” Doa pembuka belajar dimulai. Pikiranku semakin kalut
ketika teringat rumah. “Mak, aku sudah muak disini. Aku ingin pulang dan molor
di kasur lagi. Tidur nyenyak setelah kenyang dengan gemblong gorengmu.” Aku
memukul Firza yang sedari tadi lari-lari padahal teman-temannya sedang mengaji.
Firzapun diam dan seperti anak kesurupan. Saat ibunya menjemput, dia malah
menangis dan tidak mau pulang. Dani, teman mainnya malah mengompori agar tetap
menangis sambil mendendangkan lagu,”
Nggak mau pulaaang, maunya digoyang….” Aku teringat acara Dahsyat RCTI yang
dimotori oleh Olga yang baru saja Is death itu. Haha. Tetapi aku tidak tega
terbahak-bahak di depan ibunya Firza, takut dosa nanti. Firzapun akhirnya
digendong dan mau pulang. Kami Cuma bengong disini, tidak bisa berbuat apa-apa
kecuali berdoa,” Semoga sadar anak itu. hehe”
*********
Masjid At-Taqwa, Desa Pager. Masjid putih yang paling bagus yang
pernah kulihat selama KKN di kecamatan persawahan ini. Desainnya unik seperti
hotel di daerah Kopeng kalau dilihat dari depan, tetapi kalau kaki ini sudah
masuk serambi, maka kita akan merasakan
atmosfer yang sama seperti di Masjid Sunan Muria di Kudus. Tetapi seorang yang
sepertiku ini hanya akan teringat oleh-oleh Jenang Kudus saja ketimbang
Masjidnya.
Hari ini hari minggu. ratusan anak-anak TPA berkumpul di pelataran
masjid hingga serambi dalam acara Tadabbur Alam dan Temu Santri TPQ
se-Kecamatan. Acaranya penuh dengan lomba-lomba. Mulai dari mewarnai hingga
gerak jalan dan outbound. Seru pokoknya. Ada doorprize juga. Tentunya banyak
pedagang, sampah, dan motor yang penuh di parkiran turut meramaikan acara itu. Teman-teman
KKN sudah berkumpul sejak pagi tadi untuk menunggu pembagian hadiah doorprize
dan pengumuman pemenang gerak jalan. Gerah mulai terasa. Hudi dan Nisa yang
menjadi host Tadabbur Alam, sedari tadi mengulur waktu pengumuman dengan membacakan
nomer-nomer undian yang lolos untuk mengambil doorprize. Beberapa anak TPQ yang
masih PAUD naik ke panggung. “Ayo nyanyi dulu!” pinta Hudi ke anak-anak itu.
Ada yang menangis karena belum sanggup memenuhi syarat mengambil doorprize:
menyanyi. Mungkin itu menjadi momok bagi mereka yang demam panggung. tangisan
mereka lucu. Ada beberapa anak KKN yang mengambil gambar mereka melalui
gadgetnya. “Dasar tak tahu diri, sudah mewek difoto lagi!” sewot Ana yang
berdiri di sampingku melihat tingkah mereka.
Saat pengumuman akhirnya tiba, host mengumumkan juara-juara lomba.
“Juara tiga lomba tadabbur alam adalah…dari TPQ Al-Istiqomah,
Jetis. Selamat bagi pemenang, silakan menuju panggung untuk mengambil hadiah.”
kata Nisa sambil melongok mencari peserta yang menang.
“Juara dua adalah TPA Rogomulyo.” Sorak penonton dan pendukung dari
TPA Rogomulyo bersorak bahagia, anak-anak Rogomulyo tampak bahagia sekali.
Mereka naik ke panggung. Sementara anak-anak didik kami lemas tidak berdaya.
“Juara satu adalah….” Suarapun menjadi hening. Anak-anak sudah malas
mendengarkan. Ada pula yang gigit jari. “TPA Tarbiyatul banaat…!” kata Hudi
memecahkan suasana. Anak-anakpun bergembira mendengarkan hasil perjuangan
mereka. Kami hanya bisa bengong dan berkata bersama, “Kok bisa??” Ya, itu
adalah ekspresi kami ketika mendapatkan juara, sementara anak-anak sudah naik
panggung, kami mengingat kejadian kemarin ketika mengajar anak-anak nakal itu,
betapa susahnya mengkondisikan mereka agar tenang, menurut dan mengaji dengan
khusyuk. Tetapi mereka buktikan kepada kami kalau mereka mampu berubah menjadi
anak penurut dan baik .
Sore itu menjadi awal yang baik bagi kami. Kamipun berusaha untuk
mengubah cara kami mengajar yang pada awalnya lebih menekankan kepada materi,
kini lebih ke akhlaq dan budi pekerti yang baik serta teladan yang baik. Keesokan
harinya di Mushola saat TPA….
“Siapa yang sudah shalat jama’ah dengan Mas Khamim tadi?” Tanya
Khamim ke anak-anak saat TPA.
“Aku mas, aku!” teriak mereka.
“Yang mengaji dengan tenang, yang jama’ah, Mas Khamim kasih
bintang.” Ya bintang dari kertas berwarna hijau bertuliskan Aju anak sholeh
atau aku sudah berjamaah. Mereka senang mendapat hadiah.
**********
Sebuah tantangan bagi kami saat rapat remaja di malam ini. Malam
yang penuh bintang cemerlang, yang menarik di mata ini. Dan hujan pun turun
perlahan membuat hawa di ruangan parkir Mas Aditya, ketua remaja bertambah satu
derajat celcius. Gerah. Teman-teman karang taruna sudah berkumpul. Sementara di
luar payung-payung dikibarkan karena hujan semakin deras saja padahal tadi
ketika berangkat ke rumah ini terang benderang dan bintang tersebar menyambut
malam yang gelap.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Terimakasih sudah
datang di gubug kami. Kepada mas mbak KKN yang kami sayangi…bla..bla..bla.. “
Saat jatah KKN sambutan, aku nyeletuk, “Gimana mas mbak yang disini, kalau kita
buat remaja masjid. Toh masjid dan mushola kita ada. Tetapi yang mengurus sudah
sepuh. Kita sebagai pemudalah yang akan meneruskan. Ini demi kemajuan desa kita
juga kan. Gimana?” Semua terdiam dan kupandang mereka satu per satu. Tidak ada
tanggapan kecuali kepulan rokok dan celometan cewek-cewek ngerumpi.
“Wah, kalau yang satu itu kami butuh proses mas. Ya memang kami
remaja. Suatu saat kita bentuk kok. Tapi itu bertahap saja.” Kata Mas Oksa,
salah satu penasehat remaja saat itu.
“Jadi tidak dibentuk dulu?” tanyaku mengulang inti acara. Suasana
mulai memanas. Snack rapat dikeluarkan dari dapur. Suasana menjadi agak netral
karenanya.
“Kita break sebentar…” kata Mas Adit menengahi. Ketika snack sudah
di depan para hadirin, Iza, yang juga rekanku KKN mengulangi pertanyaan, “Jadi
intinya tidak membentuk remas dulu, mas mbak?”
“Ya, jangan dulu.” jawab Mas Oksa. Hemm,, saat aku ingin
perjuangkan agama ini untuk mereka. Mereka malah menolak. “Salah apa aku Ya
Allah?” Kami hanya bisa lemas ketika mereka meminta dibuatkan proposal untuk
pengadaan seragam batik laden. Hingga akhir rapat aku hanya bisa sewot dalam
hati, “Sekeringkah ini hati mereka sehingga mereka menolak untuk meramaikan
kegiatan kemasjidan? Ya Allah, bimbinglah mereka.”
Jika aku bisa mendengar jangkrik yang bersahut-sahutan di malam ini,
pasti mereka akan menjawab “Amiin” terhadap doaku tadi. “Dasar otak udang.
Siapa yang akan mendengar doamu jika akhlakmu saja seperti itu?” Kata setan
membisikkan tipu muslihatnya itu. Malaikat pun membisikkan kata-kata mutiara,
“Jangan putus asa, Jika engkau menolong agama Allah, maka dia akan beri
jalan.” Aku pun mengangguk. Sepertinya
kata-kata malaikat ini lebih cocok jika diterapkan. Aku mengelus dadaku.
“O ya mas mbak, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan. Kami akan
mengadakan lomba TPQ Desa Udanwuh yang akan berlokasi di gedung PKK. Kiranya
temen-temen bisa turut membantu?” Tanya Iza.
“Wah, dilaksanakan di balai desa saja mbak. Disana kan ibukotanya sini.
Daripada bersih-bersih mushola mendingan kita bersih-bersih balai desa. Kapan
lagi remaja akan bersih-bersih balai coba?” kata Mas Oksa memberikan pilihan
yang terasa asam bagi teman-teman KKN. Karena pernah kami coba membersihkan pendhopo
balai desa yang kotor oleh kotoran burung gereja yang bersarang di atapnya itu.
Hiih, menjijikkan dan lagi sukar disapu. Kalaupun dipel butuh durasi waktu
ekstra dibanding mengepel mushola. Belum lagi ketika pasca hari-H lomba, kami
pasti akan sangat capek karena setelah mengepel kami harus handle acara hingga
bersih-bersih lagi dan menyiapkan pengajian akbar di kemudian harinya.
Sepertinya Nia melirikku.
Kuperhatikan dia. Dia mengisyaratkan untuk menuruti kehendak mereka. “Pak, ini
kesempatan terakhir kita ketemu mereka. Dan lagi mereka punya niatan baik untuk
membersihkan balai demi mendapatkan kepercayaan dari perangkat juga. Selama ini
mereka belum dianggap keberadaannya di desa. Ini adalah kesempatan kita dan
juga mereka pak.” kata Khamim membisikkan nada-nada sopran.
“Baiklah akan kami coba rundingkan dengan teman KKN dusun sebelah.”
kataku sambil mengipas-ngipas wajah dengan buku agenda karena gerah yang tidak
pernah surut. Dalam hati aku menolak pinta mereka. Kulihat Rohmah, rekan KKN
yang paling dewasa membisikkan, “Pak, jangan langsung disepakati! Kita belum rembugan
dengan teman di dusun sebelah lho.”
“Hem, teman-teman KKN yang lain setuju kok, bun. Mau gimana lagi.”
jawabku sambil memanggil namanya dengan panggilan “bunda” karena selama ini dialah
yang selalu memasak sayur untuk teman-teman. Dan nasehat-nasehatnya selama ini
memang seperti seorang bunnda terhadap anaknya.
Nia memandangku terus. Kulihat matanya sudah 5 watt. Dia berkata
lirih, “Pak, ayo, sudah keburu malam, akhiri saja rapat ini!” katanya dengan
suara pelan agar tidak terdengar oleh mereka, remaja karang taruna. Akupun
paham dan mulai membuka suara.
“Ehem, rekan-rekan yang saya sayangi, saya kira cukup sekian dan
mari kita tutup rapat remaja kali ini dengan bacaan doa kafaratul majlis.
“Subhanakallahumma wabihamdika….” Mereka menirukan doa dan mengamini.
Rapat berakhir seperti tebu yang sudah tinggal sepahnya. Aku kecewa.
**********
Pagi ini jam 06.00 tepat. Kulihat langit agak mendung.
Burung-burung parkit berkicau di sarang kayu yang elok. Suaranya seperti
anak-anak yang sedang kepanasan. Sementara di kebun sana terdengar burung
prenjak dan burung-burung sawah menari kian kemari, mendendangkan lagu pagi.
Suara air maancur masih saja terdengar keras, air itu berusaha berlari dan memenuhi ruangan kolam ikan koi di depan
rumah. Aku masih saja duduk di depan laptop ini sambil memikirkan hal-hal yang
harus dipersiapkan untuk pengajian kitab barjanji nanti malam bersama ibu-ibu.
Ini akan menjadi aksi kami untuk ke sekian kalinya berjuang disini. Mungkin
hanya melalui ibu-ibu, kami dapat mencapai tujuan dari KKN yang bertema
kemasjidan ini.
“Pak, gimana apa aku harus ke rumahe Bu Sri? Yo opo rek ntar
jadine. Uabot tenan rek.” Tanya Nia padaku meminta pendapat soal barjanji.
Kacamata minusnya dibenahi, dia tampak anggun dengan balutan gamisnya. Cantik?
Jangan ditanya. Hehe.
“Ya.” jawabku singkat karena memang malas mau bicara.
“Pak, aku serius!” sahutnya sambil melotot. Kalau sekarang malah
seperti badut wajahnya. Aku pun tertawa lepas, terbahak-bahak. Dia jadi sewot.
“Ya, nanti ditanyakan apa butuh kita fotokopikan kitab
barjanjinya?” jawabku tanpa ekspresi. Menoleh pun tidak.
“Oke, kamu ya pak yang fotokopi.” sahutnya tanpa ekspresi bersalah.
“He, gitu ya?” tanyaku sambil memandang ikan-ikan koi yang berenang
dan berlomba-lomba mencapai roti yang kucuil dan kulemparkan ke air kolam.
“Dasar pemalas!” pikirku dalam hati.
Tampak Bu Sri keluar dari rumah.
“Nggak apa-apa kalau mau difotokopikan, dari kami juga ada yang
sudah mempunyai kitabnya. Jadi kalau mau difotokopikan, 10 eksemplar dulu
saja.” kata Bu Sri mengarahkan kami.
“O, begitu ya, bu. Baik akami akan segera laksanakan.” jawab Nia
sambil membenahi kacamata minusnya.
Aku dan Khamim segera tancap gas ke fotokopi terdekat. Dengan
merogoh sedikit receh, fotokopi sudah siap.
“Konsumsi nya gimana pak?” Tanya Khamim padaku seakan sangat peduli
untuk acara nanti malam. Dia tampak bersemangat sekali.
“Telfon Bunda! Dia paham segalanya. Katanya suruh membelikan aqua
dus saja tadi.” jawabku sambil memenceti keyboard hp untuk membalas sms dari
kekasihku di dusun sebelah. Aku senyum-senyum sendiri.
“Hei, aku serius!” teriaknya padaku. Matanya melotot seakan hendak
keluar. Aku membiarkannya. Kalau perlu biar keluar sekalian.
“Sudah ditelfon?” jawabku singkat. dia menghela nafas panjang. dia
mulai merogoh hp nya dan membuka layar phonebook. Memilih satu kontak
dan menempelkan jarinya ke layar. Muncul gambar hp bergetar tanda sedang
menghubungi. “Halo?” terdengar suara Rohmah di kejauhan. Dan sejak itu pula aku
tidak mendengarkan percakapan mereka.
Jam berputar begitu cepat. Hingga sang bintang muncul pelan-pelan
bergandengan tangan bersama bulan. Langit menjadi hitam dan jengkerik mulai
bernyanyi. Mushola sudah penuh dengan
ibu-ibu muslimatan. Teman-teman sudah bersiap-siap untuk memulai barjanji.
“Allahumma shalli ‘alaa Muhammad. Ya Rabbi Shalli ‘alaa Muhammad….”
seru Iza si sipit memulai nadzam syair Al-Barjanji dengan mikrofonnya.
Suara mengisi malam yang sepi ini. Memecah hening dan syi’ar Islam mulai
benderang di desa ini. Usai pembacaan kitab barjanji, ibu Sri berpesan, “Mas
mbak KKN, saya mohon untuk mendampingi kami ya dalam pembacaan barjanji
berikutnya.”
“Ya, bu. InsyaAllah. Tetapi kalau kami sudah pamitan kelak, kami
mohon agar kegiatan ini tetap dilestarikan dan diteruskan, njeh!” sahut Ida,
bendahara KKN kami. Dia adalah orang yang paling peka perasaannya dan sosialnya
paling bagus diantara kami. Sehingga tidak kaget jika dia mampu menguasai
lapangan ketimbang kami.
Mendengar pinta Bu Sri selaku koordinator muslimat meminta kami,
rasa haruku membuncah. Ini merupakan sambutan yang baik bagi kami. jadi kami
harus serius dalam berdakwah selanjutnya. Kami tersenyum lebar jadinya.
*********
Minggu Pagi dan hari Senin malam. Dua hari ini merupakan puncak
bagi kami dalam berdakwah. Saat hari Senin, timbullah percakapan sms saling
mneyengat satu sama lain. Ya, itu antara aku dengan Nia. Dia yang tipe pemalas
itu tidak segera menyelesaikan tugasnya sebagai koordinator dusun. Seharusnya, dia membagi tugas anak-anak KKN
di posko. Mulai dari bersih-bersih tempat yang akan digunakan untuk pengajian
akbar dalam rangka perpisahan, menata tempat dan kursi meja, pentaan snack
jama’ah, siapa yang menghubungi tokoh-tokoh masyarakat, penataan warga,
pengaturan anak-anak TPA yang nanti hendak mementaskan karya seni. Hem,
pokoknya dia menyebalkan bagiku. Begitu pula penilaian teman-teman padanya.
“Maafkan aku teman-teman jika selama ini tidak begitu bekerja. Jika
tanpa arahan dari kalian maka aku hanyalah manusia biasa. Aku bisa menjadi luar
biasa karena kalian.” kata Nia saat pembubaran pantia pengajian akbar KKN Desa
Udanwuh. Kami semua terharu mendengarnya. Pipi kami yang cemberut kini mulai
kami tarik 2 centimeter ke kanan dan ke kiri. Gigi-gigi putih mulai tampak di
wajah kami. Ada pula yang terbahak. Tersenyum itu ibadah kata nabi.
Aku teringat ketika aku memarahinya karena kurang peduli terhadap
keluhan anak-anak yang merasa sudah bekerja dan mengajar anak-anak TPA
sementara dia tidur dan jarang memasak. Padahal tugas kami disini tidak hanya
berdakwah tetapi juga menyelesaikan pekerjaan rumah samapai urusan dapur
sekalipun. Sampai-sampai yang punya rumah/posko marah-marah karena kemalasannya
itu. Menyebalkan memang.
“Iya, kami juga minta maaf sering menggunjingmu di belakang mbak.”
sahut Nafik yang sejak kemarin menjadi tempat curhatanku selam ini tentang Nia.
“Iya mbak, aku minta maaf banget karena selama ini ceplas-ceplos.
Hehe.” jawabku datar. Kulirik jam berdetik, aku teringat ketika hari minggu
saat lomba TPA se-Desa Udanwuh ketika kami saling serang dari belakang. Saat
saling menyalahkan satu sama lain. Ketika tidak ada Ida, kami menggunjing Ida.
Saat tidak ada Nia, kamipun juga lakukan hal yang sama. Dengan yang lain juga.
Betapa agung dosa kami Ya Allah. Ampuni kami Ya Rabb!”
Dakwah itu memang tidak boleh sendiri. Tidak kuat akan menyangga
sebuah atap beton jika tidak didukung oleh soko guru yang banyak. Kami harus
berjama’ah. Kami harus bersama-sama mensukseskan dakwah demi tegaknya agama
Islam. Seperti halnya kami mensukseskan agenda lomba TPA dan pengajian akbar
se-Desa Udanwuh ini. Kami harus bersatu.
“Kalian mau makan bareng lagi nggak?” Tanya Safitri salah satu
rekan KKN dari dusun berbeda meskipun desa yang ditugaskan kepada kami sama.
Kata-katanya memecahkan suasana haru kami.
“Aku ingin soto seger Mudal!” jawab Nizar yang masih satu posko
dengan Safitri.
“Aku bakso soto sawah Pager!’ jawab Reni, teman se poskoku yang
sudah menjalani diet osidi selama tiga belas hari ini. Kami tertawa bersama
seakan semua masalah dan rasa capek ini telah berpendar pelan.
“”Ke Tlatar aja.” sahut bunda Rohmah.
“Ah, mahal! Gimana kalau sego goreng Sunggingan sekalian
perpisahan sama tuan rumah!” pinta Ida.
“Setuju!” kami menjawab serentak.
*Malam Selasa, saat pengajian akbar.
Malam ini begitu cerah. Bintang berlompatan seakan meluncur dari
papan selancar. Mereka menikmati kegelapan dengan cahayanya. Aku termenung
melihat Tyas, rekan KKN yang kebetulan satu tugas denganku, menjadi Master
of Ceremony (MC) pengajian. Anak ini benar-benar kuat. Sejak pagi bekerja untuk
mempersiapkan perhelatan akbar anak-anak TPA dan pembagian hadiah lomba. Dia handle
semua acara mulai dari pembagian tugas yang membantu ibu-ibu dalam memasak
snack, pemasangan dekorasi panggung, hingga pementasan anak-anak TPA dari dusun
sebelah. Jika kubandingkan dengan Nia, dia sangat berbeda.
“Allahummaghfirlii dzunubi waliwalidayya….” Anak-anak TPA
yang kupimpin mementaskan nadzaman do’a untuk orang tua. Tidak sedikit dari
wali santri yang menarik tisu atau selendang untuk mengelap air mata haru.
Melihat putra-putri mereka beraksi di panggung. Anak-anak yang sholeh dan
membuat mereka tersenyum karena prestasi dan ketaatan beribadah. Bahkan jika
aku teringat saat tertidur dan dibangunkan oleh-anak-anak TPA yang meminta agar
segera dimulai kegiatan TPA nya.
“Ya Allah, apa peranku disini?” tanyaku dalam hati.
“Lihat itu anak-anak begitu bersemangat ya?” kata Iza memecahkan
lamunanku. Dalam hati aku menjerit, “Mereka belum berdosa, semoga berkat doa
mereka, aku terbebas dari siksa api neraka.”
Lagipula mereka adalah generasi penyelamat umat. Agar bahagia di
akhir cerita. Cerita kemajuan desa. Bagiku mereka adalah kebangaan Islam karena
mereka bertaqwa daripada kita yang sudah dawasa dan hina ini.
“Ya. Mereka hebat.” jawabku. Pengajian berjalan lancar dan sukses.
Semoga usaha kami dalam memakmurkan masjid ini diteruskan oleh warga hingga kelak
hari akhir. Amiin. Ingatan itu selalu terngiang di kalbuku. Suatu hari saat
perpisahan KKN, aku tersadarkan ketika melihat ibu kost, ibu-ibu jama’ah yasin,
dan juga anak-anak TPA yang terisak menderaikan air matanya karena melepas
kepergian kami. Perjuangan dakwah ini tidak sampai disini, masih panjang, dan
harus tegar hingga akhir. “Ya Allah, cepat sekali waktu berputar, belum selesai
aku memperjuangkan agama-Mu!” Ku dengar Mbak Nia terisak berdo’a saat pamitan
dengan ibu kost. Trenyuh hatiku dibuatnya. TAMAT
BIODATA PENULIS:
Nama lengkap :
Nur Salim
No. telepon :
089636090234/085712066032
Asal instantsi sekolah/universitas : IAIN Salatiga
Alamat email atau facebook :
Nur Salim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar