Moralitas advokat dan prospek penegakan hukum di Indonesia
Luqman
Hakim, Itsna Husnia Sari, M. Latif, Nur Salim, dan Sunarnoto
Abstract
Morality is very important to our life. Morality is professionally right or befitting; conforming
to professional standard of conduct. Supremacy of law is need good behavior/
perfect attitude. Without good behavior, supremacy is never to raise. Many
people that work in law institution also can raise bad things with superiority,
money, and other like gratifications. Law is held to manage human in order to
change their life properly. Law beside the religion. Cause religion give some
rules to human in order to human can choose good ones. With religion beside law,
a nation can raise his state’s destinations. With religion someone will afraid
if he/she accept gratifications or some money to make easy business. As long as
one man change, nations will change too. Change to be good nations (masyarakat
madani). Good nations will be a state to true way, happiness together with good
behavior, good habitual, and supremacy of law. Morality is very important from law “quid leges sine
moribus”. It mean law will not be souled by morality.
Honor, mettle, commitmen, integrity
and professional are constitute foundation for a lawyer or avocado. Since one
time professional lawyer or avocado are reputed as profession noble or more be
known with tehnical term “nobile officium”.
So, a lawyer or an avocado in have a
certain attitude must revere law and justness, agree with position a lawyer or
avocado as the officer of the court.
Keywords: Morality; Law; Lawyer/Avocado;
Honor; mettle; commitment; professional; nobile officium; justness,Supremacy, and Attitude
Pendahuluan
Sebuah Negara yang santun adalah Negara yang teratur dengan adanya
hukum sebagai pengaturnya. Hukum haruslah mengikuti perkembangan jaman,
mengikuti perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani
masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia
penegak hukum itu sendiri. (Rahardjo, 2006: ix)
Dapat diartikan bahwa hukum yang seharusnya ditegakkan pada
kenyataannya kini justru ambruk oleh kelakuan para aparat penegak hukum. Lalu
dengan sikap yang tidak bertanggung jawab tersebut, dapat berakibat hilangnya
kepercayaan masyarakat selaku pihak pencari keadilan akan para penegak hukum.
Kegagalan dalam penegakan dan pemberdayaan hukum ini ditengarai
oleh sikap submissive terhadap kelengkapan hukum yang ada seperti prosedur,
doktrin, dan asas hukum kita, selain ketidakmampuan criminal justice system
dalam mengemban tugasnya. Akankah muncul sejumlah pertanyaan yang mempersoalkan
sejauh mana efisiensi lembaga peradilan dapat dihandalkan sebagai lembaga
pencari keadilan, tidak profesionalnya aparat jaksa dan lembaga penegak hukum
lainnya, yang kemudian bermuara pada ketidakpuasan terhadap eksistensi lembaga
peradilan di negeri ini. (Rahardjo, 2006: x)
Sudah banyak kasus yang terjadi di lembaga peradilan. Mafia peradilan, korupsi kekuasaan, isu suap
di Mahkamah Agung. Harus ada keberanian dari kita, mahasiswa untuk memulai
perubahan. Ketika kita masuk di lingkungan kerja khususnya di ranah hukum, kita
harus menegakkan hukum. Hal ini kita lakukan agar kepercayaan masyarakat
terhadap sumber daya penegak hukum di Indonesia tumbuh kembali.
Advokat sebagai agent of law development
Advokat memiliki peran penting dalam penegakan hukum dan pencarian
keadilan. Dia memiliki peran sebagai wakil dari klien (dalam hal ini pencari
keadilan/masyarakat) dan membela kebenaran (dalam hal ini Hak Asasi Manusia).
Tentunya dia harus berpikir obyektif sesuai dengan kode etik dan keahliannya.
Hal ini dikarenakan moralitas adalah perisai bagi advokat agar dia tidak
bertindak semau hatinya.
Advokat memiliki fungsi untuk mengembangkan dan sebagai motor
penggerak pembangunan hukum (agent of law development), pembaharu hukm (law
reform), dan pembuat formulasi rumusan hukum (law shaping). (Rambe,
2003: 36)
Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa advokat adalah salah satu
rusuk terpenting dalam kepentingan adanya hukum atau fungsi hukum dibentuk. Dia
tidak hanya berperan aktif dalam membela klien, tetapi juga ikut andil dalam
mereformasi hukum, memformulasi substansi hukum dan memperbaharui hukum yang
sudah ada atau yang belum ada sama sekali.
Dalam hal ini, pembangunan hukum adalah mendorong dan mengarahkan
perkembangan hukum melalui penyusunan dan pembentukan undang-undang dan
perkembangan hukum kebiasaan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat yang berkembang ke arah modernisasi. Sementara Pembaharuan hukum
berarti merombak, memperbaharui hukum yang tertulis dan tidak tertulis yang
sesuai dengan kemajuan dan
kesadaran serta aspirasi hukum yang ada
di masyarakat. Pembuatan hukum berarti dalam pembuatan harus dengan jelas memuat asas-asas,
norma-norma dan syarat-syarat hukum yang memihak pada yang lemah, melarang
penyalahgunaan kekuasaan, melarang perbuatan yang menindas, melarang sistem
perekonomian yang monopolistis, melarang persaingan yang tidak wajar, melarang
pemusatan kekuatan ekonomis dalam bentuk cartel, concern, and trust dan
lain-lain. (Rambe, 2003: 36)
Urgensi Etika dan Moral dalam Pembangunan Hukum di Masa Depan
Etika dan moral yang selama ini menjadi dasar terbentuknya hukum.
Maka jika etika dan moral buruk, akan berakibat pada perilaku-perilaku buruk,
baik perilaku perorangan, kelompok, maupun pejabat Negara. Gradasi moral sangat
tampak pada sepuluh tahun terakhir ini di Indonesia, sehingga menjadikan Negara
ini menjadi Negara tanpa hukum… (Rahardjo, 2006: 227)
Akan tetapi yang kita lihat sekarang ini adalah kebutaan akan makna
keadilan. Para aparat penegak hukum justru malah membela kepentingan klien,
kelompok tertentu, dan kepentingan materialistiknya sendiri. Mereka tertawa
terbahak-bahak jika kepentingan mereka tercapai sementara keadilan tidak
dirasakan oleh publik (dalam hal ini masyarakat pencari keadilan).
Maka kita sebagai mahasiswa perlu mengadakan revolusi mental
terkait dengan hukum dan konsultasi hukum. Dan sebagai mahasiswa syari’ah,
revolusi mental yang harus dilakukan adalah dengan mengaktualisasikan
dimensi-dimensi ruhaniah dalam rangka mengobati krisis moral yang tengah
menimpa bangsa Indonesia dewasa ini.
Secara logis, terjadinya krisis moral ini tidak berdiri sendiri
yang terjadi tanpa sebab apapun, namun sudah pasti ada faktor-faktor yang
menyebabkannya. Menurut sebagian pengamat, krisis moral merebak bersumber dari
krisis spiritual-keagamaan. Logika ini agaknya mengikuti pengamat ekonomi
pembangunan dunia, E.F. Schumacher yang menulis buku bagus sekali: A Guide for
the Perplexed (1981) (Zubaedi, 2007: 211).
Tinjauan Etika
Advokat oleh Irenna Becty
Seorang
advokat wajib berusaha memperoleh pengetahuan yang sebanyak-banyaknya dan
sebaik-baiknya tentang kasus kliennya, sebelum memberikan nasihat dan bantuan
hukum. Dia wajib memberikan pendapatnya secara terus terang (candid) tentang
untung ruginya (merus) perkara yang akan dilitigasi dan kemungkinan hasilnya.
Dalam canon 8 ABA ini dinamakanduty to give candid advice. Sedang dalam KEAI
diperingatkan agar advokat tidak ... memberikan keterangan yang menyesatkandan
tidak ... menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang
(Pasal 4 alinea 2 dan 3).
Salah satu tugas utama dari seorang advokat
adalah
menjaga agar dirinya tidak menerima kasus dari klien yang menimbulkan
pertentangan atau konflik kepentingan (conflicting interest). Kewajiban untuk
loyal kepada klien berakibat bahwa advokat dilarang (forbids) menerima perkara
yang akan merugikan kepentingan kliennya (forbids the acceptance in matters
adversaly affecting any interest of the client). Pasal 4 alinea 8 KEAI mengatur
tentang kewajiban advokat memegang rahasia jabatan dan ... wajib tetap menjaga
rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antar advokat dan klien.(http://hukum.bunghatta.ac.id/tulisan.php…)
Setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi advokat
dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Berlaku tidaknya
kode etik tersebut bergantung sepenuhnya kepada advokat dan Organisasi Advokat.
Untuk itu perlu dibangun infrastruktur agar kode etik yang dibuat
dapat ditegakkan. Infrastruktur tersebut membutuhkan budaya taat aturan di
lingkungan advokat itu sendiri, baik aturan hukum negara maupun aturan
berorganisasi termasuk anggaran dasar dan rumah tangga serta kode etik profesi.
Tradisi taat aturan inilah yang masih harus dibudayakan secara luas. Selain
itu, sistem dan mekanisme penegakan kode etik juga harus dilembagakan melalui
pembentukan Dewan Kehormatan yang kredibel diikuti dengan mekanisme pengawasan
yang tegas dan efektif.
Sebagai organisasi profesi yang memberikan jasa kepada masyarakat,
mekanisme pengawasan yang dibuat tentu harus pula membuka ruang bagi
partisipasi publik dan menjalankan prinsip transparansi. Tanpa adanya
transparansi dan partisipasi publik, Organisasi Advokat tidak akan dapat
menjalankan fungsinya meningkatkan kualitas advokat demi tegaknya hukum dan
keadilan sesuai dengan amanat UU Advokat. (file:///C:/Users/user/Documents/Jaksa%20dan%20Advokat%20dalam%20Penegakkan%20Hukum%20_%20indone)
Mengaktifkan kembali etika profesi advokat sebagai benteng perilaku
dan moral
Seperti yang kita ketahui bersama, Profesi adalah bidang pekerjaan
yang dilandasi pendidikan keahlian seperti keterampilan, kejuruan, dan
sebagainya. Sehingga dalam menjalankan profesi advokat membutuhkan pengetahuan
mengenai hukum, pengabdian kepada publik (dalam hal ini masyarakat pencari
keadilan), tidak mengutamakan kepentingan materi/pribadi semata, serta
menjunjung tinggi kode etik profesi.
Dalam tataran penegakan hukum, seorang advokat harus mengurus
kepentingan klien lebih dahulu daripada kepentingan pribadi advokat. Dan
khususnya dalam menangani perkara-perkara perdata harus diutamakan jalan
perdamaian. (Rambe, 2003: 47)
Jadi dalam menjalankan pekerjaannya sebagai advokat, sekali lagi
harus mengutamakan kepentingan masyarakat selaku pencari keadilan. Advokat yang
hanya “mengisi perutnya sendiri” akan mudah terpental dari kancah hukum
dimanapun dia berada. Karena perilakunya tidak mencerminkan sebagai pelayan
hukum melainkan hanya seperti tikus-tikus (koruptor) lainnya. Tidak ada
bedanya. Dia tidak akan eksis, apalagi akan dimintai bantuan hukum.
Ahmad Amin dalam ‘Etika Ilmu Akhlak’: Kode etik atau sumpah profesi
adalah merupakan perangkat moral yang sesungguhnya mesti ada pada semua profesi
termasuk di dalamnya profesi advokat. Objek material dari etika adalah
moralitas yang melekat pada suatu profesi. Etika dalam perspektif Islam bisa
diidentikan dengan akhlakulkarimah. Secara etimologis dapat diartikan
sebagai “kebiasaan kehendak”.
Etika dibedakan menjadi dua yaitu etika umum dan etika khusus.
Etika khusus dibedakan lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Etika
umum membahas tentang prinsip-prinsip dasar dari moral, seperti tentang
pengertian etika, fungsi etika, masalah kebebasan, tanggungjawab, dan peranan
suara hati. Etika khusus yang individual memuat kewajiban manusia terhadap diri
sendiri dan etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota
umat manusia. Etika sosial ini banyak pembidangannya, seperti etika keluarga, etika
politik, etika lingkungan hidup, etika kritik, dan etika profesi. (Kansil CST,
Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum: 1996)
Etika berusaha memberi petunjuk untuk tiga jenis pertanyaan yang
senantiasa diajukan. Pertama, apakah yang harus dilakukan dalam situasi konkret
yang tengah dihadapi? Kedua, bagaimana mengatur pola koeksistensi dengan orang
lain? Ketiga, akan menjadi manusia apakah manusia itu? Dalam konteks ini etika
berfungsi sebagai pembimbing tingkah laku manusia dalam mengelola kehidupan ini
tidak sampai tragis. Etika berusaha mencegah tersebarnya Fracticida yang
secara legendaris dan historis mewarnai hidup manusia. (Rosyadi, 2003: 87-99)
Kode etik profesi merupakan kristalisasi perilaku yang
dianggap benar menurut pendapat umum karena berdasarkan pertimbangan profesi
yang bersangkutan. dengan demikian kode etik dapat mencegah kesalahpahaman dan
konflik, dan sebaliknya berguna sebagai bahan refleksi nama baik profesi. kode
etik yang baik adalah yang mencerminkan nilai moral anggota kelompok profesi
sendiri dan pihak yang membutuhkan pelayanan profesi yang bersangkutan. dengan
demikian, kode etik yang disusun oleh kelompok profesi tersebut memberikan
norma yang membatasi apa yang seharusnya dilakukan dan seharusnya tidak boleh
dilakukan oleh anggota kelompok profesi tersebut, sehingga memberikan ruang
lingkup kewenangan untuk melakukan tindakan. (Rahardjo, 2006: 217-218).
Pada tanggal 4 April 1996, berdasarkan kesepakatan antartiga
organisasi profesi hukum Indonesia, yaitu Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin),
Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), dan Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI)
memutuskan untuk menciptakan dan memiliki suatu kode etik yang berlaku untuk
semua penasehat hukum Indonesia tidak terkecuali penasehat hukum berkebangsaan
asing yang berpraktek di Indonesia.
Kode etik advokat yang telah disepakati tanggal 4 April 1996 oleh
IKADIN, AAI, IPHI. Secara sistematis dibagi dalam ketentuan-ketentuan pokok
sebagai berikut:
1.
Kode
Etik yang berkaitan dengan Sikap, Perilaku, dan Kepribadian Penasehat Pada
Umumnya.
Di sini memuat aturan yang mana sejalan dengan sumpah pengangkatan
seorang penasehat hukum sebagaimana dijelaskan di dalam uraian berikut ini.
a.
Setiap
penasehat hukum adalah warga negara yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan menjalankan praktek profesinya menjunjung tinggi hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta sumpah jabatannya.
b.
Penasehat
hukum dilarang melakukan sikap-sikap diskriminasi, karena itu harus bersedia
memberi nasehat dan bantuan hukum kepada yang memerlukannya tanpa membedakan
suku, agama, kepercayaan, keturunan, kedudukan sosial atau keyakinan politiknya
dan tidak semata mencari imbalan materi, tetapi harus mengutamakan penegakan
hukum, keadilan dan kebenaran dengan cara yang jujur dan bertanggungjawab.
c.
Penasehat
hukum dalam menjalankan praktek profesinya harus bebas dan mandiri serta tidak
dipengaruhi oleh siapa pun dan wajib memperjuangkan setinggi-tingginya hak
asasi manusia di dalam negara hukum Indonesia.
d.
Penasehat
hukum wajib memegang teguh solidaritas sesama teman sejawat dan apabila teman
sejawat diajukan sebagai tersangka dalam suatu perkara pidana, maka ia wajib
dibela oleh teman sejawat lainnya secara cuma-cuma.
e.
Penasehat
hukum tidak dibenarkan melakukan pekerjaan yang dapat merugikan kebebasan,
derajat dan martabat penasehat hukum dan dalam perilaku sehari-harinya
senantiasa menjunjung tinggi profesi penasehat hukum sebagai profesi terhormat
(officium nobile).
f.
Penasehat
hukum dalam melakukan praktek profesinya harus bersikap hati-hati dan menjaga
sopan santun terhadap para pejabat penegak hukum, sesama teman sejawat dan
masyarakat, namun berkewajiban mempertahankan hak dan martabat penasehat hukum
di mana pun ia berada.
2.
Hubungan
Penasehat dengan Klien
Dalam menjalankan perannya, advokat wajib menjalankan hubungan baik
dengan para kliennya, karena menurut Martiman Prodjohamidjojo dalam ‘Penasehat
Hukum dan Bantuan Hukum Indonesia’: “Pekerjaan penasehat hukum adalah pekerjaan
kepercayaan”. Dimaksud dengan hubungan baik itu sebagaimana dijelaskan di bawah
ini:
a.
Penasehat
hukum di dalam mengurus perkara mendahulukan kepentingan klien daripada
kepentingan pribadinya;
b.
Penasehat
hukum dalam perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai;
c.
Penasehat
hukum tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien
mengenai perkara yang sedang diurusnya;
d.
Penasehat
hukum dilarang keras menjamin klien terhadap perkaranya akan dimenangkan;
e.
Penasehat
hukum dilarang menetapkan syarat-syarat yang membatasi kebebasan klien untuk
mempercayakan kepentingannya kepada penasehat hukum lain;
f.
Penasehat
hukum harus menentukan besarnya honor dalam batas-batas yang layak dengan
mengingat kemampuan klien;
g.
Penasehat
hukum dilarang membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu;
h.
Penasehat
hukum dapat menggunakan hak retensi terhadap klien asalkan tidak merugikan
kepentingan klien yang dapat diperbaiki lagi:
i.
Penasehat
hukum harus memberikan perhatian yang sama dalam hal menangani perkara yang
cuma-cuma seperti terhadap perkara yang tidak bukan cuma-cuma;
j.
Penasehat
hukum harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinan penasehat hukum
tidak mempunyai dasar hukumnya;
k.
Penasehat
hukum harus selalu memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan
kepadanya oleh klien secara kepercayaan dan wajib menjaga kerahasiaan itu,
walaupun hubungan penasehat hukum dengan klien yang bersangkutan telah
berakhir;
l.
Penasehat
hukum dilarang melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat-saat yang
tidak menguntungkan bagi klien atau apabila pelepasan tugas itu akan
menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi oleh klien yang
bersangkutan;
m.
Penasehat
hukum yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus
mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut,
apabila kemudian timbul pertentangan kepentingan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
3.
Seorang
Penasehat Hukum Harus Menjaga Hubungan Sesama Teman Sejawat
Teman sejawat dalam hal ini bukan hanya sesama teman dalam satu
asosiasi atau organisasi tetapi yang dimaksud adalah sesama profesi penasehat
hukum baik yang sama anggota asosiasi atau organisasi maupun tidak. Seperti
berikut.
a.
Antar
sesama penasehat hukum harus menjaga hubungan harmonis berdasarkan sikap saling
menhargai dan mempercayai.
b.
Penasehat
hukum jika membicarakan teman sejawat atau jika berhadapan satu sama lainnya di
dalam atau di luar sidang pengadilan hendaknya tidak menggunakan kata-kata yang
tidak sopan dan menyakitkan hati.
c.
Keberatan-keberatan
terhadap teman sejawat mengenai sesuatu tindakan yang dianggap bertentangan
dengan kode etik penasehat hukum harus dikemukakan kepada Dewan Kehormatan
Cabang setempat sesuai dengan hukum yang berlaku.
d.
Penasehat
hukum dilarang mengambil alih perkara klien dari teman sejawat.
e.
Jika
seseorang klien telah mempunyai penasehat hukum sebagai penasehat tetap, maka
hanya dengan sepengetahuan penasehat hukum tersebut, seorang penasehat hukum
lain dapat menangani perkara-perkara tertentu dari klien tersebut.
f.
Jika
klien hendak mengganti penasehat hukum, maka penasehat hukum yang baru
diangkatnya tadi dapat menerima penanganan perkara klien tersebut, setelah
terlebih dahulu penasehat hukum yang lama memberikan keterangan bahwa klien
tersebut telah memenuhi kewajibannya terhadap penasehat hukum yang lama termasuk
dalam hal ini kewajiban keuangan.
g.
Dalam
hal tindakan yang tidak dapat ditunda seperti naik banding atau kasasi, dalam
waktu yang terbatas, penasehat hukum yang baru selalu diperbolehkan untuk
melakukan tindakan itu.
h.
Setelah
perkara klien diserahkan kepad teman sejawat, maka penasehat hukum semula wajib
memberikan kepada teman sejawat tersebut sesegera mungkin semua dokumen dan
keterangan penting yang berhubungan dengan pengurusan perkara klien.
4.
Sikap
dan Tindakan Penasehat Hukum dalam Menangani Perkara dan Menghadapi Lawan
Perkara
Menurut Muhamad Sanusi dalam ‘Kode Etik Penasehat-Penasehat:
Pengertian, Penjabaran, dan Penerapannya, Kompilasi Khusus Advokat AAI’ (1997),
penasehat hukum yang diberi kepercayaan oleh pihak yang berperkara atau klien
untuk mewakili kepentingannya di muka persidangan atau dalam beracara di muka
pengadilan harus bersikap dan bertingkah laku sebagai seorang penasehat hukum
yang baik, bertanggungjawab, menjunjung tinggi hukum, menghormati hak dan
kepentingan pihak lawan dan tidak atau melecehkan pihak lawan.
Selanjutnya, ia mengemukakan bahwa kode etik melarang penasehat
hukum untuk melakukan kolusi atau rekayasa perkara dengan pihak lawannya yang
dapat mendatangkan kerugian bagi klien. Penasehat hukum menurut undang-undang
dibolehkan melakukan perdamaian dengan pihak lawannya untuk menyelesaikan
perkara, namun perdamaian itu harus sepengetahuan atau atas izin klien yang
bersangkutan tersebut.
5.
Ketentuan-Ketentuan
Lain
Dalam
kode etik advokat, juga terdapat ketentuan-ketentuan lain sebagai berikut.
a.
Adanya
larangan pemasangan iklan yang berlebihan.
b.
Penasehat
hukum bersifat pasif, yaitu menunggu permintaan dari klien.
c.
Kantor
penasehat hukum dan cabangnya di Indonesia tidak dibenarkan diadakan di suatu
tempat yang dapat merugikan kedudukan penasehat hukum, misalnya di rumah/kantor
seseorang yang bukan penasehat hukum.dst. Ketentuan-ketentuan di atas disarikan
dari kode etik profesi advokat Pasal 8 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
a. Profesi
Advokat adalah profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile), dan
karenanya dalam menjalankan profesi selaku penegak hukum di pengadilan sejajar
dengan Jaksa dan Hakim, yang dalam melaksanakan profesinya berada dibawah
perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik ini.
b.
Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik perhatian orang adalah dilarang
termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran dan! atau bentuk yang
berlebih-lebihan.
c. Kantor
Advokat atau cabangnya tidak dibenarkan diadakan di suatu tempat yang dapat
merugikan kedudukan dan martabat Advokat.
d. Advokat
tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan Advokat mencantumkan namanya
sebagai Advokat di papan nama kantor Advokat atau mengizinkan orang yang bukan
Advokat tersebut untuk memperkenalkan dirinya sebagai Advokat.
e. Advokat
tidak dibenarkan mengizinkan karyawan-karyawannya yang tidak berkualifikasi
untuk mengurus perkara atau memberi nasehat hukum kepada klien dengan lisan
atau dengan tulisan.
f. Advokat
tidak dibenarkan melalui media massa mencari publitas bagi dirinya dan atau
untuk menarik perhatian masyarakat mengenai tindakan-tindakannya sebagai
Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah ditanganinya, kecuali apabila
keteranganketerangan yang ia berikan itu bertujuan untuk menegakkan
prinsip-prinsip hukum yang wajib diperjuangkan oleh setiap Advokat.
g. Advokat
dapat mengundurkan diri dari perkara yang akan dan atau diurusnya apabila
timbul perbedaan dan tidak dicapai kesepakatan tentang cara penanganan perkara
dengan kliennya.
h. Advokat
yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Hakim atau Panitera dari suatulembaga
peradilan, tidak dibenarkan untuk memegang atau menangani perkara yang
diperiksa pengadilan tempatnya terakhir bekerja selama 3 (tiga) tahun semenjak
ia berhenti dari pengadilan tersebut.
(Dari http://www.peradi.or.id/index.php/profil/detail/5#sthash.Oj4sluSr.dpuf)
6.
Sikap
dan Tingkah Laku Penasehat Hukum kepada Hukum, Undang-undang / Kekuasaan Hukum,
Badan Peradilan, dan Pejabatnya
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman, pada Pasal 37 tercantum dalam teks sumpah jabatan berkewajiban
setiap profesi hukum agar menjunjung tinggi Pancasila, UUD 1945, UU, dan
peraturan yang berlaku di negara RI, termasuk kewajibannya untuk menghormati
kekuasaan umum, badan peradilan dan pejabatnya.
Kekuasaan umum tersebut adalh sebagaimana dalam Pasal 92 KUHP,
termasuk penuntut umum dan penyidik. Sedang baan peradilan Indonesia dan para
pejabatnya, yaitu hakim, panitera, jurusita, dan pejabat struktural
kepaniteraan.
Ada pula istilah contempt of court yaitu pelecehan terhadap pengadilan. Dalam
penjelasan umum UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, pada butir 4 telah
disinggung tentang contempt of court.
Dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung tahun 1986 telah
dikelompokan tentang perbuatan yang dianggap contempt of court, yaitu
sebagai berikut.
1.
Secara
lisan atau tertulis telah mengeluarkan pernyataan atau pendapat yang merupakan
perbuatan yang diancam dengan pidana.
2.
Memperlihatkan
sikap yang tidak hormat terhadap majelis pengadilan atau pejabat peradilan
lainnya.
3.
Mengabaikan
kepentingan dari si peminta bantuan hukum.
4.
Menggunakan
kata-kata yang tidak pantas terhadap undang-undang atau pemerintah.
5.
Bertingkah
laku dan berbuat yang tidak layak terhadap pihak yang berperkara atau pembelanya.
Pelaksanaan kode etik diawasi oleh suatu badan yang mempunyai
otoritas yaitu dewan kehormatan, baik yang berada di cabang atau pusat. Cara
beracara di persidangannya dan sanksi atas pelanggaran kode etik ditentukan
sendiri. (Rosyadi, 2003: 87-99). Selain kode etik profesi, advokat juga harus
menaati sumpah profesi yang berikut ini:
Legalitas sumpah profesi hukum tercantum pada Pasal 37, UU No. 14
Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Sumpah yang diucapkan
seseorang dalam menjalankan profesi tertentu mempunyai konsekuensi moral dan
yuridis yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam hal sumpah berikut dasar dalil
Qur’annya, QS. 2 Al Baqarah: 224-225, QS. 58 Al Mujadilah: 16, QS. 3 Ali
‘Imran: 76-77.
Di dalam teks sumpah berisi muatan moral agar dijunjung tinggi
sebagai bentuk kepribadian untuk mendukung kinerja advokat secara rohaniah dan
meningkatkan performance secara lahiriah.
Terdapat
berbagai sumpah advokat yang pernah diberlakukan, antara lain sebagai berikut:
Sumpah
advokat:
1.
Saya
berjanji bahwa saya akan setia kepada negara dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia;
2.
Bahwa
saya berkewajiban untuk menghormati pejabat-pejabat kekuasaan kehakiman;
3.
Bahwa
saya, secara langsung maupun tidak langsung menggunakan nama atau dalih apa pun
juga untuk memperoleh jabatan saya, telah atau akan memberi atau menjanjikan
barang sesuatu kepada siapa pun juga;
4.
Bahwa
saya tidak akan menganjurkan seseorang untuk berperkara atau membela suatu
perkara yang saya tidak yakin ada dasar hukumnya.
Dalam RUU Advokat disebutkan pada Pasal 4 bahwa advokat sebelum
menjalankan profesinya wajib bersumpah atau berucap janji menurut agama atau
kepercayaannya masing-masing dalam satu sidang terbuka di pengadilan tinggi di
wilayah domisili hukum. Sumpah atau janji sebagaimana tersebut dalam ayat (1)
yang lafalnya sebagai berikut:
“Saya
bersumpah/berjanji”:
1.
Bahwa
saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD
RI;
2.
Bahwa
untuk mendapat pengangkatan saya, baik langsung maupun tidak langsung dan dengan
menggunakan nama atau dalil apapun tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu pada siapapun juga;
3.
Bahwa
saya dalam melaksanakan tugas profesisebagai pemberi jasa hukum akan bertindak
jujur berdasarkan hukum dan keadilan;
4.
Bahwa
saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai
dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai advokat;
5.
Bahwa
saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di
dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung
jawab profesi saya sebagai seorang advokat.
Untuk
lafal sumpah bagi advokat yang beragama Islam, dapat diperbaiki yaitu diawali
dengan “Demi Allah, saya bersumpah”.
Dukungan
moral buat para advokat
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang
yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
tidak berlaku adil. Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.
Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS.5 Al-Maidah:8)
“...Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah
(perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang adil.” (QS.5 Al-Maidah: 42)
Rasulullah SAW. bersabda: Penegak
hukum dibagi tiga golongan; satu golongan masuk surga, dua golongan masuk
neraka. Satu golongan masuk surga, karena ia mengetahui kebenaran dan memutuskan
perkara berdasarkan kebenaran. Satu golongan masuk neraka, karena ia mengetahui
kebenaran, tetapi memutus perkara dengan kebohongan, dan satu golongan lagi
memutus perkara karena kebodohannya. (HR. Abu Daud dari Ibnu Buraidah dari
ayahnya). (Rosyadi, dkk. 2003: 12)
Suara
Hati dan Kehendak
Hanya melalui penyadaran perasaan dan kecerdasan rohani sajalah
yang dapat menyelamatkan setiap orang supaya dapat mendengar suara hati yang
dalam untuk berkehendak atau tidak berkehendak melakukan perbuatan benar atau
buruk. Bila para advokat selalu mengikuti suara hatinya yang paling dalam
sesuai dengan kode etik dan sumpah profesinya, maka ia akan menjadi advokat
yang berhasil sesungguhnya. Bahwa kode etik dan sumpah profesi bukan hanya
sekedar kata-kata yang diucapkan, tetapi lebih dari itu adalah mengandung makna
yang sangat luhur dengan muatan nilai-nilai universal. Seseorang yang mampu
mengikuti suara hatinya berdasarkan kode etik dan sumpah yang diucapkannya akan
mendapat pahala besar, sebaliknya ia akan mendapat azab pedih bila mengingkari
suara hatinya dari apa yang diucapkannya.
Sehingga dapat kita simpulkan bersama bahwa pembangunan hukum
sangatlah memerlukan akan adanya etika moral profesi. sebagai penilai dari
etika adalah kesadaran hati atau lebih disebut dengan nurani. Nurani disini
harus didukung dengan kebijakan diri dan kedewasaan jiwa agar selaras dengan
perkembangan jaman.
Referensi:
Rahardjo,
Satjipto. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2006.
Rambe,
Ropaun. Tenik Praktek Advokat. Jakarta: PT. Grasindo. 2003.
Zubaedi.
Islam dan Benturan Antarperadaban. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2007.
Rosyadi,
Rahmat., Hartini, Sri. Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif. Jakarta:
Ghalia Indonesia. 2003.
http://Jaksa%20dan%20Advokat%20dalam%20Penegakkan%20Hukum%20_%20indone
Tidak ada komentar:
Posting Komentar