Kamis, 11 Desember 2014

morality of advocat and prospect in Indonesian's law.

Moralitas advokat dan prospek penegakan hukum di Indonesia
Luqman Hakim, Itsna Husnia Sari, M. Latif, Nur Salim, dan Sunarnoto
Abstract
Morality is very important to our life. Morality is  professionally right or befitting; conforming to professional standard of conduct. Supremacy of law is need good behavior/ perfect attitude. Without good behavior, supremacy is never to raise. Many people that work in law institution also can raise bad things with superiority, money, and other like gratifications. Law is held to manage human in order to change their life properly. Law beside the religion. Cause religion give some rules to human in order to human can choose good ones. With religion beside law, a nation can raise his state’s destinations. With religion someone will afraid if he/she accept gratifications or some money to make easy business. As long as one man change, nations will change too. Change to be good nations (masyarakat madani). Good nations will be a state to true way, happiness together with good behavior, good habitual, and supremacy of law. Morality is very important from law “quid leges sine moribus”. It mean law will not be souled by morality.
Honor, mettle, commitmen, integrity and professional are constitute foundation for a lawyer or avocado. Since one time professional lawyer or avocado are reputed as profession noble or more be known with tehnical term “nobile officium”.
So, a lawyer or an avocado in have a certain attitude must revere law and justness, agree with position a lawyer or avocado as the officer of the court.
Keywords: Morality; Law; Lawyer/Avocado; Honor; mettle; commitment; professional; nobile officium; justness,Supremacy, and Attitude
Pendahuluan
Sebuah Negara yang santun adalah Negara yang teratur dengan adanya hukum sebagai pengaturnya. Hukum haruslah mengikuti perkembangan jaman, mengikuti perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri. (Rahardjo, 2006: ix)
Dapat diartikan bahwa hukum yang seharusnya ditegakkan pada kenyataannya kini justru ambruk oleh kelakuan para aparat penegak hukum. Lalu dengan sikap yang tidak bertanggung jawab tersebut, dapat berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat selaku pihak pencari keadilan akan para penegak hukum.
Kegagalan dalam penegakan dan pemberdayaan hukum ini ditengarai oleh sikap submissive terhadap kelengkapan hukum yang ada seperti prosedur, doktrin, dan asas hukum kita, selain ketidakmampuan criminal justice system dalam mengemban tugasnya. Akankah muncul sejumlah pertanyaan yang mempersoalkan sejauh mana efisiensi lembaga peradilan dapat dihandalkan sebagai lembaga pencari keadilan, tidak profesionalnya aparat jaksa dan lembaga penegak hukum lainnya, yang kemudian bermuara pada ketidakpuasan terhadap eksistensi lembaga peradilan di negeri ini. (Rahardjo, 2006: x)
Sudah banyak kasus yang terjadi di lembaga peradilan.  Mafia peradilan, korupsi kekuasaan, isu suap di Mahkamah Agung. Harus ada keberanian dari kita, mahasiswa untuk memulai perubahan. Ketika kita masuk di lingkungan kerja khususnya di ranah hukum, kita harus menegakkan hukum. Hal ini kita lakukan agar kepercayaan masyarakat terhadap sumber daya penegak hukum di Indonesia tumbuh kembali.
Advokat sebagai agent of law development
Advokat memiliki peran penting dalam penegakan hukum dan pencarian keadilan. Dia memiliki peran sebagai wakil dari klien (dalam hal ini pencari keadilan/masyarakat) dan membela kebenaran (dalam hal ini Hak Asasi Manusia). Tentunya dia harus berpikir obyektif sesuai dengan kode etik dan keahliannya. Hal ini dikarenakan moralitas adalah perisai bagi advokat agar dia tidak bertindak semau hatinya.
Advokat memiliki fungsi untuk mengembangkan dan sebagai motor penggerak pembangunan hukum (agent of law development), pembaharu hukm (law reform), dan pembuat formulasi rumusan hukum (law shaping). (Rambe, 2003: 36)
Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa advokat adalah salah satu rusuk terpenting dalam kepentingan adanya hukum atau fungsi hukum dibentuk. Dia tidak hanya berperan aktif dalam membela klien, tetapi juga ikut andil dalam mereformasi hukum, memformulasi substansi hukum dan memperbaharui hukum yang sudah ada atau yang belum ada sama sekali.
Dalam hal ini, pembangunan hukum adalah mendorong dan mengarahkan perkembangan hukum melalui penyusunan dan pembentukan undang-undang dan perkembangan hukum kebiasaan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang berkembang ke arah modernisasi. Sementara Pembaharuan hukum berarti merombak, memperbaharui hukum yang tertulis dan tidak tertulis yang sesuai  dengan kemajuan dan kesadaran  serta aspirasi hukum yang ada di masyarakat. Pembuatan hukum berarti dalam pembuatan  harus dengan jelas memuat asas-asas, norma-norma dan syarat-syarat hukum yang memihak pada yang lemah, melarang penyalahgunaan kekuasaan, melarang perbuatan yang menindas, melarang sistem perekonomian yang monopolistis, melarang persaingan yang tidak wajar, melarang pemusatan kekuatan ekonomis dalam bentuk cartel, concern, and trust dan lain-lain. (Rambe, 2003: 36)
Urgensi Etika dan Moral dalam Pembangunan Hukum di Masa Depan
Etika dan moral yang selama ini menjadi dasar terbentuknya hukum. Maka jika etika dan moral buruk, akan berakibat pada perilaku-perilaku buruk, baik perilaku perorangan, kelompok, maupun pejabat Negara. Gradasi moral sangat tampak pada sepuluh tahun terakhir ini di Indonesia, sehingga menjadikan Negara ini menjadi Negara tanpa hukum… (Rahardjo, 2006: 227)
Akan tetapi yang kita lihat sekarang ini adalah kebutaan akan makna keadilan. Para aparat penegak hukum justru malah membela kepentingan klien, kelompok tertentu, dan kepentingan materialistiknya sendiri. Mereka tertawa terbahak-bahak jika kepentingan mereka tercapai sementara keadilan tidak dirasakan oleh publik (dalam hal ini masyarakat pencari keadilan).
Maka kita sebagai mahasiswa perlu mengadakan revolusi mental terkait dengan hukum dan konsultasi hukum. Dan sebagai mahasiswa syari’ah, revolusi mental yang harus dilakukan adalah dengan mengaktualisasikan dimensi-dimensi ruhaniah dalam rangka mengobati krisis moral yang tengah menimpa bangsa Indonesia dewasa ini.
Secara logis, terjadinya krisis moral ini tidak berdiri sendiri yang terjadi tanpa sebab apapun, namun sudah pasti ada faktor-faktor yang menyebabkannya. Menurut sebagian pengamat, krisis moral merebak bersumber dari krisis spiritual-keagamaan. Logika ini agaknya mengikuti pengamat ekonomi pembangunan dunia, E.F. Schumacher yang menulis buku bagus sekali: A Guide for the Perplexed (1981) (Zubaedi, 2007: 211).
Tinjauan Etika Advokat oleh Irenna Becty
Seorang advokat wajib berusaha memperoleh pengetahuan yang sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya tentang kasus kliennya, sebelum memberikan nasihat dan bantuan hukum. Dia wajib memberikan pendapatnya secara terus terang (candid) tentang untung ruginya (merus) perkara yang akan dilitigasi dan kemungkinan hasilnya. Dalam canon 8 ABA ini dinamakanduty to give candid advice. Sedang dalam KEAI diperingatkan agar advokat tidak ... memberikan keterangan yang menyesatkandan tidak ... menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang (Pasal 4 alinea 2 dan 3).
 Salah satu tugas utama dari seorang advokat adalah
menjaga agar dirinya tidak menerima kasus dari klien yang menimbulkan pertentangan atau konflik kepentingan (conflicting interest). Kewajiban untuk loyal kepada klien berakibat bahwa advokat dilarang (forbids) menerima perkara yang akan merugikan kepentingan kliennya (forbids the acceptance in matters adversaly affecting any interest of the client). Pasal 4 alinea 8 KEAI mengatur tentang kewajiban advokat memegang rahasia jabatan dan ... wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antar advokat dan klien.
(http://hukum.bunghatta.ac.id/tulisan.php…)
Setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Berlaku tidaknya kode etik tersebut bergantung sepenuhnya kepada advokat dan Organisasi Advokat.
Untuk itu perlu dibangun infrastruktur agar kode etik yang dibuat dapat ditegakkan. Infrastruktur tersebut membutuhkan budaya taat aturan di lingkungan advokat itu sendiri, baik aturan hukum negara maupun aturan berorganisasi termasuk anggaran dasar dan rumah tangga serta kode etik profesi. Tradisi taat aturan inilah yang masih harus dibudayakan secara luas. Selain itu, sistem dan mekanisme penegakan kode etik juga harus dilembagakan melalui pembentukan Dewan Kehormatan yang kredibel diikuti dengan mekanisme pengawasan yang tegas dan efektif.
Sebagai organisasi profesi yang memberikan jasa kepada masyarakat, mekanisme pengawasan yang dibuat tentu harus pula membuka ruang bagi partisipasi publik dan menjalankan prinsip transparansi. Tanpa adanya transparansi dan partisipasi publik, Organisasi Advokat tidak akan dapat menjalankan fungsinya meningkatkan kualitas advokat demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan amanat UU Advokat. (file:///C:/Users/user/Documents/Jaksa%20dan%20Advokat%20dalam%20Penegakkan%20Hukum%20_%20indone)
Mengaktifkan kembali etika profesi advokat sebagai benteng perilaku dan moral
Seperti yang kita ketahui bersama, Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian seperti keterampilan, kejuruan, dan sebagainya. Sehingga dalam menjalankan profesi advokat membutuhkan pengetahuan mengenai hukum, pengabdian kepada publik (dalam hal ini masyarakat pencari keadilan), tidak mengutamakan kepentingan materi/pribadi semata, serta menjunjung tinggi kode etik profesi.
Dalam tataran penegakan hukum, seorang advokat harus mengurus kepentingan klien lebih dahulu daripada kepentingan pribadi advokat. Dan khususnya dalam menangani perkara-perkara perdata harus diutamakan jalan perdamaian. (Rambe, 2003: 47)
Jadi dalam menjalankan pekerjaannya sebagai advokat, sekali lagi harus mengutamakan kepentingan masyarakat selaku pencari keadilan. Advokat yang hanya “mengisi perutnya sendiri” akan mudah terpental dari kancah hukum dimanapun dia berada. Karena perilakunya tidak mencerminkan sebagai pelayan hukum melainkan hanya seperti tikus-tikus (koruptor) lainnya. Tidak ada bedanya. Dia tidak akan eksis, apalagi akan dimintai bantuan hukum.
Ahmad Amin dalam ‘Etika Ilmu Akhlak’: Kode etik atau sumpah profesi adalah merupakan perangkat moral yang sesungguhnya mesti ada pada semua profesi termasuk di dalamnya profesi advokat. Objek material dari etika adalah moralitas yang melekat pada suatu profesi. Etika dalam perspektif Islam bisa diidentikan dengan akhlakulkarimah. Secara etimologis dapat diartikan sebagai “kebiasaan kehendak”.
Etika dibedakan menjadi dua yaitu etika umum dan etika khusus. Etika khusus dibedakan lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Etika umum membahas tentang prinsip-prinsip dasar dari moral, seperti tentang pengertian etika, fungsi etika, masalah kebebasan, tanggungjawab, dan peranan suara hati. Etika khusus yang individual memuat kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat manusia. Etika sosial ini banyak pembidangannya, seperti etika keluarga, etika politik, etika lingkungan hidup, etika kritik, dan etika profesi. (Kansil CST, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum: 1996)
Etika berusaha memberi petunjuk untuk tiga jenis pertanyaan yang senantiasa diajukan. Pertama, apakah yang harus dilakukan dalam situasi konkret yang tengah dihadapi? Kedua, bagaimana mengatur pola koeksistensi dengan orang lain? Ketiga, akan menjadi manusia apakah manusia itu? Dalam konteks ini etika berfungsi sebagai pembimbing tingkah laku manusia dalam mengelola kehidupan ini tidak sampai tragis. Etika berusaha mencegah tersebarnya Fracticida yang secara legendaris dan historis mewarnai hidup manusia. (Rosyadi, 2003: 87-99)
Kode etik profesi merupakan kristalisasi perilaku yang dianggap benar menurut pendapat umum karena berdasarkan pertimbangan profesi yang bersangkutan. dengan demikian kode etik dapat mencegah kesalahpahaman dan konflik, dan sebaliknya berguna sebagai bahan refleksi nama baik profesi. kode etik yang baik adalah yang mencerminkan nilai moral anggota kelompok profesi sendiri dan pihak yang membutuhkan pelayanan profesi yang bersangkutan. dengan demikian, kode etik yang disusun oleh kelompok profesi tersebut memberikan norma yang membatasi apa yang seharusnya dilakukan dan seharusnya tidak boleh dilakukan oleh anggota kelompok profesi tersebut, sehingga memberikan ruang lingkup kewenangan untuk melakukan tindakan. (Rahardjo, 2006: 217-218).
Pada tanggal 4 April 1996, berdasarkan kesepakatan antartiga organisasi profesi hukum Indonesia, yaitu Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), dan Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) memutuskan untuk menciptakan dan memiliki suatu kode etik yang berlaku untuk semua penasehat hukum Indonesia tidak terkecuali penasehat hukum berkebangsaan asing yang berpraktek di Indonesia.
Kode etik advokat yang telah disepakati tanggal 4 April 1996 oleh IKADIN, AAI, IPHI. Secara sistematis dibagi dalam ketentuan-ketentuan pokok sebagai berikut:
1.        Kode Etik yang berkaitan dengan Sikap, Perilaku, dan Kepribadian Penasehat Pada Umumnya.
Di sini memuat aturan yang mana sejalan dengan sumpah pengangkatan seorang penasehat hukum sebagaimana dijelaskan di dalam uraian berikut ini.
a.       Setiap penasehat hukum adalah warga negara yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menjalankan praktek profesinya menjunjung tinggi hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta sumpah jabatannya.
b.      Penasehat hukum dilarang melakukan sikap-sikap diskriminasi, karena itu harus bersedia memberi nasehat dan bantuan hukum kepada yang memerlukannya tanpa membedakan suku, agama, kepercayaan, keturunan, kedudukan sosial atau keyakinan politiknya dan tidak semata mencari imbalan materi, tetapi harus mengutamakan penegakan hukum, keadilan dan kebenaran dengan cara yang jujur dan bertanggungjawab.
c.       Penasehat hukum dalam menjalankan praktek profesinya harus bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapa pun dan wajib memperjuangkan setinggi-tingginya hak asasi manusia di dalam negara hukum Indonesia.
d.      Penasehat hukum wajib memegang teguh solidaritas sesama teman sejawat dan apabila teman sejawat diajukan sebagai tersangka dalam suatu perkara pidana, maka ia wajib dibela oleh teman sejawat lainnya secara cuma-cuma.
e.       Penasehat hukum tidak dibenarkan melakukan pekerjaan yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat penasehat hukum dan dalam perilaku sehari-harinya senantiasa menjunjung tinggi profesi penasehat hukum sebagai profesi terhormat (officium nobile).
f.       Penasehat hukum dalam melakukan praktek profesinya harus bersikap hati-hati dan menjaga sopan santun terhadap para pejabat penegak hukum, sesama teman sejawat dan masyarakat, namun berkewajiban mempertahankan hak dan martabat penasehat hukum di mana pun ia berada.
2.        Hubungan Penasehat dengan Klien
Dalam menjalankan perannya, advokat wajib menjalankan hubungan baik dengan para kliennya, karena menurut Martiman Prodjohamidjojo dalam ‘Penasehat Hukum dan Bantuan Hukum Indonesia’: “Pekerjaan penasehat hukum adalah pekerjaan kepercayaan”. Dimaksud dengan hubungan baik itu sebagaimana dijelaskan di bawah ini:
a.       Penasehat hukum di dalam mengurus perkara mendahulukan kepentingan klien daripada kepentingan pribadinya;
b.      Penasehat hukum dalam perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai;
c.       Penasehat hukum tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang diurusnya;
d.      Penasehat hukum dilarang keras menjamin klien terhadap perkaranya akan dimenangkan;
e.       Penasehat hukum dilarang menetapkan syarat-syarat yang membatasi kebebasan klien untuk mempercayakan kepentingannya kepada penasehat hukum lain;
f.       Penasehat hukum harus menentukan besarnya honor dalam batas-batas yang layak dengan mengingat kemampuan klien;
g.      Penasehat hukum dilarang membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu;
h.      Penasehat hukum dapat menggunakan hak retensi terhadap klien asalkan tidak merugikan kepentingan klien yang dapat diperbaiki lagi:
i.        Penasehat hukum harus memberikan perhatian yang sama dalam hal menangani perkara yang cuma-cuma seperti terhadap perkara yang tidak bukan cuma-cuma;
j.        Penasehat hukum harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinan penasehat hukum tidak mempunyai dasar hukumnya;
k.      Penasehat hukum harus selalu memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan kepadanya oleh klien secara kepercayaan dan wajib menjaga kerahasiaan itu, walaupun hubungan penasehat hukum dengan klien yang bersangkutan telah berakhir;
l.        Penasehat hukum dilarang melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat-saat yang tidak menguntungkan bagi klien atau apabila pelepasan tugas itu akan menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi oleh klien yang bersangkutan;
m.    Penasehat hukum yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila kemudian timbul pertentangan kepentingan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
3.        Seorang Penasehat Hukum Harus Menjaga Hubungan Sesama Teman Sejawat
Teman sejawat dalam hal ini bukan hanya sesama teman dalam satu asosiasi atau organisasi tetapi yang dimaksud adalah sesama profesi penasehat hukum baik yang sama anggota asosiasi atau organisasi maupun tidak. Seperti berikut.
a.       Antar sesama penasehat hukum harus menjaga hubungan harmonis berdasarkan sikap saling menhargai dan mempercayai.
b.      Penasehat hukum jika membicarakan teman sejawat atau jika berhadapan satu sama lainnya di dalam atau di luar sidang pengadilan hendaknya tidak menggunakan kata-kata yang tidak sopan dan menyakitkan hati.
c.       Keberatan-keberatan terhadap teman sejawat mengenai sesuatu tindakan yang dianggap bertentangan dengan kode etik penasehat hukum harus dikemukakan kepada Dewan Kehormatan Cabang setempat sesuai dengan hukum yang berlaku.
d.      Penasehat hukum dilarang mengambil alih perkara klien dari teman sejawat.
e.       Jika seseorang klien telah mempunyai penasehat hukum sebagai penasehat tetap, maka hanya dengan sepengetahuan penasehat hukum tersebut, seorang penasehat hukum lain dapat menangani perkara-perkara tertentu dari klien tersebut.
f.       Jika klien hendak mengganti penasehat hukum, maka penasehat hukum yang baru diangkatnya tadi dapat menerima penanganan perkara klien tersebut, setelah terlebih dahulu penasehat hukum yang lama memberikan keterangan bahwa klien tersebut telah memenuhi kewajibannya terhadap penasehat hukum yang lama termasuk dalam hal ini kewajiban keuangan.
g.      Dalam hal tindakan yang tidak dapat ditunda seperti naik banding atau kasasi, dalam waktu yang terbatas, penasehat hukum yang baru selalu diperbolehkan untuk melakukan tindakan itu.
h.      Setelah perkara klien diserahkan kepad teman sejawat, maka penasehat hukum semula wajib memberikan kepada teman sejawat tersebut sesegera mungkin semua dokumen dan keterangan penting yang berhubungan dengan pengurusan perkara klien.
4.        Sikap dan Tindakan Penasehat Hukum dalam Menangani Perkara dan Menghadapi Lawan Perkara
Menurut Muhamad Sanusi dalam ‘Kode Etik Penasehat-Penasehat: Pengertian, Penjabaran, dan Penerapannya, Kompilasi Khusus Advokat AAI’ (1997), penasehat hukum yang diberi kepercayaan oleh pihak yang berperkara atau klien untuk mewakili kepentingannya di muka persidangan atau dalam beracara di muka pengadilan harus bersikap dan bertingkah laku sebagai seorang penasehat hukum yang baik, bertanggungjawab, menjunjung tinggi hukum, menghormati hak dan kepentingan pihak lawan dan tidak atau melecehkan pihak lawan.
Selanjutnya, ia mengemukakan bahwa kode etik melarang penasehat hukum untuk melakukan kolusi atau rekayasa perkara dengan pihak lawannya yang dapat mendatangkan kerugian bagi klien. Penasehat hukum menurut undang-undang dibolehkan melakukan perdamaian dengan pihak lawannya untuk menyelesaikan perkara, namun perdamaian itu harus sepengetahuan atau atas izin klien yang bersangkutan tersebut.


5.        Ketentuan-Ketentuan Lain
Dalam kode etik advokat, juga terdapat ketentuan-ketentuan lain sebagai berikut.
a.       Adanya larangan pemasangan iklan yang berlebihan.
b.      Penasehat hukum bersifat pasif, yaitu menunggu permintaan dari klien.
c.       Kantor penasehat hukum dan cabangnya di Indonesia tidak dibenarkan diadakan di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan penasehat hukum, misalnya di rumah/kantor seseorang yang bukan penasehat hukum.dst. Ketentuan-ketentuan di atas disarikan dari kode etik profesi advokat Pasal 8 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
a. Profesi Advokat adalah profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile), dan karenanya dalam menjalankan profesi selaku penegak hukum di pengadilan sejajar dengan Jaksa dan Hakim, yang dalam melaksanakan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik ini.
b. Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik perhatian orang adalah dilarang termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran dan! atau bentuk yang berlebih-lebihan.
c. Kantor Advokat atau cabangnya tidak dibenarkan diadakan di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan dan martabat Advokat.
d. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan Advokat mencantumkan namanya sebagai Advokat di papan nama kantor Advokat atau mengizinkan orang yang bukan Advokat tersebut untuk memperkenalkan dirinya sebagai Advokat.
e. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan karyawan-karyawannya yang tidak berkualifikasi untuk mengurus perkara atau memberi nasehat hukum kepada klien dengan lisan atau dengan tulisan.
f. Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari publitas bagi dirinya dan atau untuk menarik perhatian masyarakat mengenai tindakan-tindakannya sebagai Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah ditanganinya, kecuali apabila keteranganketerangan yang ia berikan itu bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum yang wajib diperjuangkan oleh setiap Advokat.
g. Advokat dapat mengundurkan diri dari perkara yang akan dan atau diurusnya apabila timbul perbedaan dan tidak dicapai kesepakatan tentang cara penanganan perkara dengan kliennya.
h. Advokat yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Hakim atau Panitera dari suatulembaga peradilan, tidak dibenarkan untuk memegang atau menangani perkara yang diperiksa pengadilan tempatnya terakhir bekerja selama 3 (tiga) tahun semenjak ia berhenti dari pengadilan tersebut.
 (Dari http://www.peradi.or.id/index.php/profil/detail/5#sthash.Oj4sluSr.dpuf)

6.        Sikap dan Tingkah Laku Penasehat Hukum kepada Hukum, Undang-undang / Kekuasaan Hukum, Badan Peradilan, dan Pejabatnya
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 37 tercantum dalam teks sumpah jabatan berkewajiban setiap profesi hukum agar menjunjung tinggi Pancasila, UUD 1945, UU, dan peraturan yang berlaku di negara RI, termasuk kewajibannya untuk menghormati kekuasaan umum, badan peradilan dan pejabatnya.
Kekuasaan umum tersebut adalh sebagaimana dalam Pasal 92 KUHP, termasuk penuntut umum dan penyidik. Sedang baan peradilan Indonesia dan para pejabatnya, yaitu hakim, panitera, jurusita, dan pejabat struktural kepaniteraan.
Ada pula istilah contempt of court  yaitu pelecehan terhadap pengadilan. Dalam penjelasan umum UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, pada butir 4 telah disinggung tentang contempt of court.
Dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung tahun 1986 telah dikelompokan tentang perbuatan yang dianggap contempt of court, yaitu sebagai berikut.
1.      Secara lisan atau tertulis telah mengeluarkan pernyataan atau pendapat yang merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana.
2.      Memperlihatkan sikap yang tidak hormat terhadap majelis pengadilan atau pejabat peradilan lainnya.
3.      Mengabaikan kepentingan dari si peminta bantuan hukum.
4.      Menggunakan kata-kata yang tidak pantas terhadap undang-undang atau pemerintah.
5.      Bertingkah laku dan berbuat yang tidak layak terhadap pihak yang berperkara atau pembelanya.
Pelaksanaan kode etik diawasi oleh suatu badan yang mempunyai otoritas yaitu dewan kehormatan, baik yang berada di cabang atau pusat. Cara beracara di persidangannya dan sanksi atas pelanggaran kode etik ditentukan sendiri. (Rosyadi, 2003: 87-99). Selain kode etik profesi, advokat juga harus menaati sumpah profesi yang berikut ini:
Legalitas sumpah profesi hukum tercantum pada Pasal 37, UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Sumpah yang diucapkan seseorang dalam menjalankan profesi tertentu mempunyai konsekuensi moral dan yuridis yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam hal sumpah berikut dasar dalil Qur’annya, QS. 2 Al Baqarah: 224-225, QS. 58 Al Mujadilah: 16, QS. 3 Ali ‘Imran: 76-77.
Di dalam teks sumpah berisi muatan moral agar dijunjung tinggi sebagai bentuk kepribadian untuk mendukung kinerja advokat secara rohaniah dan meningkatkan performance secara lahiriah.
Terdapat berbagai sumpah advokat yang pernah diberlakukan, antara lain sebagai berikut:
Sumpah advokat:
1.      Saya berjanji bahwa saya akan setia kepada negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
2.      Bahwa saya berkewajiban untuk menghormati pejabat-pejabat kekuasaan kehakiman;
3.      Bahwa saya, secara langsung maupun tidak langsung menggunakan nama atau dalih apa pun juga untuk memperoleh jabatan saya, telah atau akan memberi atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga;
4.      Bahwa saya tidak akan menganjurkan seseorang untuk berperkara atau membela suatu perkara yang saya tidak yakin ada dasar hukumnya.
Dalam RUU Advokat disebutkan pada Pasal 4 bahwa advokat sebelum menjalankan profesinya wajib bersumpah atau berucap janji menurut agama atau kepercayaannya masing-masing dalam satu sidang terbuka di pengadilan tinggi di wilayah domisili hukum. Sumpah atau janji sebagaimana tersebut dalam ayat (1) yang lafalnya sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji”:
1.      Bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD RI;
2.      Bahwa untuk mendapat pengangkatan saya, baik langsung maupun tidak langsung dan dengan menggunakan nama atau dalil apapun tidak pernah dan tidak akan memberikan  atau menjanjikan sesuatu pada siapapun juga;
3.      Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesisebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur berdasarkan hukum dan keadilan;
4.      Bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai advokat;
5.      Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang advokat.
Untuk lafal sumpah bagi advokat yang beragama Islam, dapat diperbaiki yaitu diawali dengan “Demi Allah, saya bersumpah”.
Dukungan moral buat para advokat
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.5 Al-Maidah:8)
“...Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS.5 Al-Maidah: 42)
            Rasulullah SAW. bersabda: Penegak hukum dibagi tiga golongan; satu golongan masuk surga, dua golongan masuk neraka. Satu golongan masuk surga, karena ia mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara berdasarkan kebenaran. Satu golongan masuk neraka, karena ia mengetahui kebenaran, tetapi memutus perkara dengan kebohongan, dan satu golongan lagi memutus perkara karena kebodohannya. (HR. Abu Daud dari Ibnu Buraidah dari ayahnya). (Rosyadi, dkk. 2003: 12)
Suara Hati dan Kehendak
Hanya melalui penyadaran perasaan dan kecerdasan rohani sajalah yang dapat menyelamatkan setiap orang supaya dapat mendengar suara hati yang dalam untuk berkehendak atau tidak berkehendak melakukan perbuatan benar atau buruk. Bila para advokat selalu mengikuti suara hatinya yang paling dalam sesuai dengan kode etik dan sumpah profesinya, maka ia akan menjadi advokat yang berhasil sesungguhnya. Bahwa kode etik dan sumpah profesi bukan hanya sekedar kata-kata yang diucapkan, tetapi lebih dari itu adalah mengandung makna yang sangat luhur dengan muatan nilai-nilai universal. Seseorang yang mampu mengikuti suara hatinya berdasarkan kode etik dan sumpah yang diucapkannya akan mendapat pahala besar, sebaliknya ia akan mendapat azab pedih bila mengingkari suara hatinya dari apa yang diucapkannya.
Sehingga dapat kita simpulkan bersama bahwa pembangunan hukum sangatlah memerlukan akan adanya etika moral profesi. sebagai penilai dari etika adalah kesadaran hati atau lebih disebut dengan nurani. Nurani disini harus didukung dengan kebijakan diri dan kedewasaan jiwa agar selaras dengan perkembangan jaman.




















Referensi:
Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2006.
Rambe, Ropaun. Tenik Praktek Advokat. Jakarta: PT. Grasindo. 2003.
Zubaedi. Islam dan Benturan Antarperadaban. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2007.
Rosyadi, Rahmat., Hartini, Sri. Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2003.
http://Jaksa%20dan%20Advokat%20dalam%20Penegakkan%20Hukum%20_%20indone











Tidak ada komentar:

Posting Komentar