Minggu, 01 Juni 2014

terbuka/tertutup pintu ijtihad itu?



BAB II.
PEMBAHASAN
PENDAPAT YANG BERBEDA MENGENAI PINTU IJTIHAD
A.    Sejarah Singkat mengenai kemunculan Taqlidisme
Siapapun yang menyimak sejarah Islam para periode Pasca Abad Pertengahan, pasti yang menyebabkan adanya kejumudan berpikir dan berijtihad adalah para fuqaha’ memilih jalan taqlid. Dan ini dikarenakan terjadi pergolakan politik yang menyebabkan Negara Islam terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan  kecil. Diamana setiap kerajaan memiliki amirul mukminin sendiri.
Di Timur ada negeri Sasan dengan ibukota Bukhara, dan di Andalusia ada Negara kecil yang didirikan oleh Abdurrahman An-Nashir, dan juga Fathimiyah di Afrika Utara. Hal ini membuktikan betapa lemahnya Negara Islam saat itu. Dengan lemahnya kerajaan Islam yang terpecah-pecah itu menyebabkan musuh-musuh Allah beraksi dengan mengobarkan perang Salib. Yang akhirnya kaum Nasrani yang memenangkannya.
B.     Pendapat bahwa Pintu Ijtihad Telah Tertutup
Banyak tokoh Islam yang greget dalam penjumudan ilmu. Hal ini dikarenakan mereka sudah puas
akan hasil ijtihad para ulama’ sebelumnya. Atau dikarenakan banyaknya kitab fikih yang tersebar waktu itu. Tentunya mereka sangat fanatik terhadap madzhab masing-masing.
Munculnya pendapat umum bahwa seorang hakim harus secara mutlak menggunakan madzhab dalam pengadilan. Sehingga mengakibatkan terbelenggunya para fuqaha’ dalam mengkaji pemikiran yang tertulis saja, terutama hal itu menjadi madzhab resmi dalam suatu kekhilafhan yang diusung saat itu. (Sirry, 1996: 133)
Kini telah jelas sudah bahwa mayoritas para fuqaha’ di saat itu masih tergiur oleh dunia/hubbuddunya. Padahal mereka dijadikan panutan dalam mengkaji ilmu hukum Islam. Hal inilah yang membuat mereka jumud. Selain itu, munculnya gerakan kodifikasi fiqih oleh para imam madzhab menjadi kecermelangan yang luar biasa. Pada masa ini, para pengikut imam yang setia terhadap gurunya itu menuliskan fiqih fardhi/syarahan dari kitab sebelumnya. Jadi tergambar jelas prediksi masalah yang akan dihadapi dan dicarikan solusinya. Bukankah ini menendakan bahwa proses ijtihad menjadi tidak ada harganya. Belum lagi karena perbedaan pendapat para ulama’ fiqih teoritis dengan mereka yang menggunakan fiqih praktis.
Menurut Imam Yusuf, seperti yang dinukilkan oleh Imam Ibnu Al-Qayyim berkata, “Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami sehingga ia tahu dari mana kami mengatakannya.” (Khalil, 2009:119)
Petaka besar menimpa fiqh Islam pada periode taqlid, dimana orang-orang berani berfatwa, menggali hukum sedangkan mereka jauh dari kaidah-kaidah hukum dan dalil-dalil fiqh yang akhirnya mereka berfatwa dengan hawa nafsu dan akal mereka saja.
Keadaan yang genting ini memaksa para penguasa menutup pintu ijtihad agar mereka yang mengklaim diri mereka tidak bertindak leluasa  dan menyelamatkan masyarakat dari kesesatan. Dalam waktu yang hamper bersamaan, orang-orang berijtihad hanya untuk mencari kedudukan semata (qadhi), tanpa ilmu yang memadai. Mereka cukup hanya dengan menghafalkan hukum-hukum dalam madzhab yang menjadi pedoman pengadilan. Intinya adalah tidak ada proses pembaharuan. (Sirry,1996:129)
Sehingga dalam hal ini, para fuqaha’ yang terdesak oleh penguasa akan mengorbankan kepentingan-kepentingan fikih dan hukum syara’. Maka implikasinya adalah banyaknya mufti tanpa ilmu yang dikuasai. Buruknya kondisi keilmuan saat itu, membuat para fuqaha’ dan ulama’ sepakat untuk mengatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup.
C.     Pendapat bahwa Ijtihad Masih Terbuka
Bagi mereka yang masih memperjuangkan Islam, tidak menutup pikiran mereka untuk mengembangkan hukum Islam. diantaranya dengan upaya sebagai berikut:
1.      Ta’lil (Rasionalisasi hukum-hukum Fikih)
Ulama’ pada masa taqlid banyak menemukan khazanah ilmu yang diwariskan oleh para ulama’ sebelumnya, namun mayoritas warisan hukum islam masih belum menyebutkan illatnya. Maka merekapun menkaji, berijtihad, dan mengistinbath hukum fikih para imam masing-masing. Maka mereka disebut ulama takhrij.
Fuqaha’ Hanafiah yang paling banyak menggunakan konsep eksplorasi illat-illat hukum dan membahas tentang ushul madzhab Imam Abu Hanifah, karena madzhab mereka dibangun di atas apa pernah ditulis oleh Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani yang sarat dengan masalah fikih. Tetapi masih perlu dijelaskan adanya illat dan ushulnya.
2.      Tarjih
Para fuqaha’ periode ini mempunyai jasa yang besar dalam men-tarjih (menguatkan) antara pendapat-pendapat yang berbeda-beda dalam madzhab yang diriwayatkan dari imam madzhab dan tarjih ini terdiri dari aspek riwayat dan dirayah.
3.      Upaya Pembelaan Madzhab dan Penulisan Fikih Perbandingan
Hal ini terjadi karena seringnya para ulama berdebat dan berdiskusi mengenai fikih madzhab masing-masing. Melalui beberapa cara, diantaranya dengan menulis buku tentang keutamaan Imam, baik berbentuk prosa maupun syair-syair yang disebarkan kepada masyarakat umum dengan harapan agar mereka memberikan loyalitas.
Penulisan ini dilakukan oleh para pengikut madzhab. Selain itu, juga dituliskan kitab-kitab perbandingan madzhab.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar