BAB
II.
PEMBAHASAN
PENDAPAT
YANG BERBEDA MENGENAI PINTU IJTIHAD
A.
Sejarah Singkat mengenai kemunculan Taqlidisme
Siapapun
yang menyimak sejarah Islam para periode Pasca Abad Pertengahan, pasti yang
menyebabkan adanya kejumudan berpikir dan berijtihad adalah para fuqaha’
memilih jalan taqlid. Dan ini dikarenakan terjadi pergolakan politik yang
menyebabkan Negara Islam terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Diamana setiap kerajaan memiliki
amirul mukminin sendiri.
Di
Timur ada negeri Sasan dengan ibukota Bukhara, dan di Andalusia ada Negara
kecil yang didirikan oleh Abdurrahman An-Nashir, dan juga Fathimiyah di Afrika
Utara. Hal ini membuktikan betapa lemahnya Negara Islam saat itu. Dengan
lemahnya kerajaan Islam yang terpecah-pecah itu menyebabkan musuh-musuh Allah
beraksi dengan mengobarkan perang Salib. Yang akhirnya kaum Nasrani yang
memenangkannya.
B.
Pendapat bahwa Pintu Ijtihad Telah Tertutup
Banyak
tokoh Islam yang greget dalam penjumudan ilmu. Hal ini dikarenakan mereka sudah
puas
akan hasil ijtihad para ulama’ sebelumnya. Atau dikarenakan banyaknya
kitab fikih yang tersebar waktu itu. Tentunya mereka sangat fanatik terhadap
madzhab masing-masing.
Munculnya
pendapat umum bahwa seorang hakim harus secara mutlak menggunakan madzhab dalam
pengadilan. Sehingga mengakibatkan terbelenggunya para fuqaha’ dalam mengkaji
pemikiran yang tertulis saja, terutama hal itu menjadi madzhab resmi dalam
suatu kekhilafhan yang diusung saat itu. (Sirry, 1996: 133)
Kini
telah jelas sudah bahwa mayoritas para fuqaha’ di saat itu masih tergiur oleh
dunia/hubbuddunya. Padahal mereka dijadikan panutan dalam mengkaji ilmu hukum
Islam. Hal inilah yang membuat mereka jumud. Selain itu, munculnya gerakan
kodifikasi fiqih oleh para imam madzhab menjadi kecermelangan yang luar biasa.
Pada masa ini, para pengikut imam yang setia terhadap gurunya itu menuliskan fiqih
fardhi/syarahan dari kitab sebelumnya. Jadi tergambar jelas prediksi
masalah yang akan dihadapi dan dicarikan solusinya. Bukankah ini menendakan
bahwa proses ijtihad menjadi tidak ada harganya. Belum lagi karena perbedaan
pendapat para ulama’ fiqih teoritis dengan mereka yang menggunakan fiqih
praktis.
Menurut
Imam Yusuf, seperti yang dinukilkan oleh Imam Ibnu Al-Qayyim berkata, “Tidak
halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami sehingga ia tahu dari mana
kami mengatakannya.” (Khalil, 2009:119)
Petaka
besar menimpa fiqh Islam pada periode taqlid, dimana orang-orang berani
berfatwa, menggali hukum sedangkan mereka jauh dari kaidah-kaidah hukum dan
dalil-dalil fiqh yang akhirnya mereka berfatwa dengan hawa nafsu dan akal
mereka saja.
Keadaan
yang genting ini memaksa para penguasa menutup pintu ijtihad agar mereka yang
mengklaim diri mereka tidak bertindak leluasa dan menyelamatkan masyarakat dari kesesatan.
Dalam waktu yang hamper bersamaan, orang-orang berijtihad hanya untuk mencari
kedudukan semata (qadhi), tanpa ilmu yang memadai. Mereka cukup hanya dengan
menghafalkan hukum-hukum dalam madzhab yang menjadi pedoman pengadilan. Intinya
adalah tidak ada proses pembaharuan. (Sirry,1996:129)
Sehingga
dalam hal ini, para fuqaha’ yang terdesak oleh penguasa akan mengorbankan
kepentingan-kepentingan fikih dan hukum syara’. Maka implikasinya adalah
banyaknya mufti tanpa ilmu yang dikuasai. Buruknya kondisi keilmuan saat itu,
membuat para fuqaha’ dan ulama’ sepakat untuk mengatakan bahwa pintu ijtihad
sudah tertutup.
C.
Pendapat
bahwa Ijtihad Masih Terbuka
Bagi mereka
yang masih memperjuangkan Islam, tidak menutup pikiran mereka untuk
mengembangkan hukum Islam. diantaranya dengan upaya sebagai berikut:
1.
Ta’lil
(Rasionalisasi hukum-hukum Fikih)
Ulama’ pada masa taqlid banyak
menemukan khazanah ilmu yang diwariskan oleh para ulama’ sebelumnya, namun
mayoritas warisan hukum islam masih belum menyebutkan illatnya. Maka merekapun menkaji,
berijtihad, dan mengistinbath hukum fikih para imam masing-masing. Maka mereka
disebut ulama takhrij.
Fuqaha’ Hanafiah yang paling banyak
menggunakan konsep eksplorasi illat-illat hukum dan membahas tentang ushul
madzhab Imam Abu Hanifah, karena madzhab mereka dibangun di atas apa pernah
ditulis oleh Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani yang sarat dengan masalah
fikih. Tetapi masih perlu dijelaskan adanya illat dan ushulnya.
2.
Tarjih
Para fuqaha’ periode ini mempunyai
jasa yang besar dalam men-tarjih (menguatkan) antara pendapat-pendapat yang
berbeda-beda dalam madzhab yang diriwayatkan dari imam madzhab dan tarjih ini
terdiri dari aspek riwayat dan dirayah.
3.
Upaya
Pembelaan Madzhab dan Penulisan Fikih Perbandingan
Hal ini terjadi karena seringnya
para ulama berdebat dan berdiskusi mengenai fikih madzhab masing-masing.
Melalui beberapa cara, diantaranya dengan menulis buku tentang keutamaan Imam,
baik berbentuk prosa maupun syair-syair yang disebarkan kepada masyarakat umum
dengan harapan agar mereka memberikan loyalitas.
Penulisan ini dilakukan oleh para
pengikut madzhab. Selain itu, juga dituliskan kitab-kitab perbandingan madzhab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar