Sabtu, 18 November 2017

makalah S2 PAI studi pemikiran tokoh: Nader Hashemi mengenai demokrasi liberal berbasis moral agama



Studi Islam: Review Buku Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal
A.    Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini, khususnya di akhir abad ke dua puluh dan awal abad ke dua puluh satu, kita mengenal problem besar di dunia Islam yaitu penataan demokrasi. Demokrasi dengan varian liberalnya (sebagaimana yang dipahami selama ini oleh Barat) masih diperdebatkan oleh sejumlah kalangan muslim.
Menurut penyusun makalah, Ada beberapa orang (khususnya di Indonesia) yang mengakomodir demokrasi, ada pula yang menolak secara subjektif dan ada pula yang menolak secara mentah-mentah. Bagi yang mengakomodir demokrasi, maka demokrasi dengan segala variabelnya dipakai dan diterapkan secara perlahan. Dikembangkan dan direvisi sedemikian rupa sehingga berakhir pada kesimpulan bahwa demokrasi ini adalah pilihan yang baik mengingat dinamikanya juga bersifat positif.
Bagi yang menolak secara subjektif, mereka menganggap bahwa konsep demokrasi belum menyentuh pada tujuannya yaitu untuk rakyat. Demokrasi dinilai belum memaslahatkan rakyat seluruhnya. Terkadang malah menjadi hujatan, guyonan di warung kopi dan juga refleksi bahwa demokrasi ini sangat kontras dengan peninggalan leluhur yang bersifat monarki. Yang dinilai lebih fleksibel dalam menanggapi problematika rakyat. Karena sistem kerajaan dinilai mampu beradaptasi dengan wahyu dan menampilkan perilaku moral para pejabatnya sehingga dapat diteladani oleh rakyat demi pembangunan masa depan. Dalam hal ini, rakyat belajar dari masa lalu untuk memperbaiki masa depan.
Sementara bagi yang menolak secara mentah-mentah, demokrasi dianggap tidak cocok untuk diterapkan di negeri muslim karena berasal dari Barat yang notabene berseberangan dengan Timur. Kalangan ini biasanya menganggap tradisi telah memberikan sumbangsih positif yang tak dapat diganggu gugat. Kalangan ini menganggap modernisasi tidak diperlukan karena banyaknya kemudlaratan yang dijumpai dari tahun ke tahun. Seperti perilaku korupsi, nepotisme, saling menumbangkan dan berkuasa demi uang.
Menanggapi perdebatan ini, Nader Hashemi menyuguhkan teori yang cukup baik untuk dipahami bersama mengenai demokrasi liberal. Dia memberikan penjelasan cukup hati-hati dalam menafsirkan hubungan antara agama dengan demokrasi liberal. Agama yang dianggap tak perlu mengurusi pemerintahan. Namun bagi Nader Hashemi, agama justru dapat berperan aktif dalam pengkajian politik demokrasi dan menata ulangnya.
B.     Problem Penelitian
Demokrasi liberal memerlukan sebentuk sekularisme untuk menjaga eksistensinya. Namun sumber daya politik, kultural dan intelektual masih bersifat teologis. Paradoks ini terjadi dan menjadi perdebatan bagi para teoretikus demokrasi. Nah bagaimanakah cara membongkar paradoks ini dengan menggunakan pendekatan yang metodologis?
Penegasan Istilah
1.      Sekulerisme terdiri dari dua kata; sekuler yang berarti pemisahan antara yang transenden dengan hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lain. Dan isme yang berarti paham. 
2.      Demokrasi terdiri dari dua kata; demos yang artinya rakyat dan kratos yang artinya kekuasaan. Sehingga dapat diartikan sebagai kekuasaan dan penyelenggaraan negara berada di tangan rakyat, untuk kepentingan rakyat.
3.      Liberal artinya pembebasan dari cara berpikir dan berperilaku. Jika dikaitkan dengan Islam, menurut Baidhawy (2011:230), istilah liberal berarti pembebasan cara berpikir dan berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan. Islam liberal dalam hal ini mengakomodir peran Barat tetapi mengeliminir dampak buruk dari modernisasi.
Hal ini sedikit berbeda dengan pemikiran Hasan Hanafi mengenai oksidentalisme yang tetap teguh pada tradisi tetapi juga menerima modernisasi dengan dikaitkan dengan realitas kehidupan.

C.    Kontribusi Penelitian: Tujuan Penulisan Buku
Penulisan buku yang dilakukan oleh Nader Hashemi ini adalah untuk mengkaji relasi teori agama dan demokrasi (dalam hal ini Islam dengan demokrasi liberal), relasi antara agama, sekulerisme, demokrasi untuk pengembangan teori liberal, demokrasi untuk masyarakat muslim.
Dia menyatakan bahwa demokrasi liberal memerlukan sekularisme untuk menjaga kesinambungan, akan tetapi sumber daya politik, kultural, intelektual para demokrat muslim masih bersifat teologis (Hashemi, 2011:1). Demokrasi yang di dalamnya terdapat sekularisme harus secara alamiah berasal dari rakyat untuk kemudian diusung ke pemerintahan, bukan malah sebaliknya (up to down). Jalan menuju demokrasi liberal harus melalui politik keagamaan.
Demokratisasi dan liberalisasi mensyaratkan penafsiran ulang terhadap gagasan keagamaan dengan memperhatikan dasar moral dari otoritas politik dan hak-hak individu yang sah (dia menyatakan bahwa variabel agama mempengaruhi demokratisasi dan liberalisasi) (Hashemi, 2011:3).
Selama ini seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa para pengusung sekuler dianggap memisahkan agama dari ranah perpolitikan atau agama itu tidak perlu ikut campur dalam pembuatan kebijakan pemerintah ataupun mengawasi secara langsung kinerja pemerintah. Sementara pihak Barat mengkhawatirkan Islam akan mengganggu perkembangan demokrasi liberal pasca peristiwa 11 September 2001 (runtuhnya gedung World Trade Center). Secara konteks pemikiran, ini merupakan hasil dari fanatisme agama dan Barat menyimpulkan bahwa Islam itu negatif. Data menunjukkan pasca peristiwa 11 September 2001, 43 % penduduk Amerika berprasangka negatif tentang orang-orang Arab (diambil dari Washington Post, 9 Maret 2006) (Hashemi, 2011:31).
 Connor O’Brien, seorang penyair Irlandia mengatakan bahwa masyarakat Islam terlihat sangat menjijikkan (Hashemi, 2011:32). Hal ini menjadikan salah satu dasar tulisan mengapa Islam dianggap sebagai poros konflik pasca perang dingin. Terlebih, selama ini tatanan demokrasi dianggap lebih bersifat duniawi, dapat direvisi dan diperbaiki demi kemaslahatan manusia. Sementara agama lebih bersifat transendental (peran manusia tidak berlaku). Sehingga agama harus menjauh dari demokrasi. Padahal, kita dapat melakukan kompromi antara demokrasi liberal dengan agama yakni berbentuk sekularisme politik yang berbasis agama, sebagaimana yang dipikirkan oleh Nader Hashemi.
Maka yang perlu dilakukan adalah

Lanjutan cerpen: Catatan Harian Muslim



Langkah-Langkah yang Hilang di Tanah Para Wali
Ternyata waktu tiga tahun benar-benar berjalan cepat laksana kilat mencambuk lazuardi. Ana sudah tumbuh sebagai gadis yang periang dan tekun beribadah. Ia sering duduk di pematang sawah seraya menghafalkan Surat Yasiin. Jadi dia lebih dewasa daripada teman-teman seusianya. Sementara teman-temannya sibuk bermain-main dengan padi yang menguning-emas. Cantik sekali pemandangan saat itu. Dari jauh Pak Abdul tampak sedang berbincang-bincang dengan Habib Yahya, ulama’ dari Kota Karanganyar. Sepertinya percakapan keduanya terlihat serius.
“Bagaimana ikhwani, sepakatkah ente sejenak meninggalkan negeri ini untuk menemani ane dan adik ane ke Tarim? Disana hanya empat tahun. Insya Allah barokah. Abah juga sepakat akan hal ini..” kata Habib.
“Waduh bagaimana ya Bib, sebenarnya hijrah ke Tarim memang sudah impian saya sejak MA dulu. Akan tetapi nanti siapa yang akan mengurus yayasan. Apalagi para ustadz sudah berusia lanjut. Saya khawatir para santri jadi keteteran[1] dalam menuntut ilmu disini. Di sisi lain, saya juga mboten gadhah artha kangge mrika[2]. Jawab Pak Abdul polos. Dia menjawab permintaan sang habib dengan sepresisi mungkin. Sekilas beliau melayangkan pandangan ke pematang sawah. Tampak anak-anak yang tidak berdosa, bahagia dengan permainannya. Tak terkecuali dengan Ana yang sedari tadi membaca Al-Qur’an kecilnya.
“Sudah ente nggak usah khawatir soal administrasi. Semua sudah ane urus. Tinggal kita berangkat ke bandara besok.”  Kata Habib Yahya meyakinkan. Mata Pak Abdul mengerjap-ngerjap, berbinar senang. Tetapi dia kembali tenang, menyadari siapa dia.
Pak Abdul menoleh kembali. “Ijinkan saya istikharah malam ini, bib.” Lanjut Pak Abdul.
“Oh, na’am. Fathob’an. Ane tunggu jawaban ente lusa, ya!” sahut Habib Yahya dengan senyumnya yang hangat.
Pak Abdul hanya tersenyum lalu memandang Ana nan jauh disana. “Nduk, mungkin kamu akan dibimbing oleh Mas Musyafa’ dulu. Aku akan kembali 4 tahun lagi.” Katanya dalam hati. Pak Abdul berjalan masuk ke kamarnya. Angin semilir masuk melalui sela-sela jendela kamar. Pak Abdul duduk di kursinya yang mulai reyot karena sering terkena semprotan air hujan yang berhasil lolos masuk ke kamar. Ia merenungkan keputusannya akan menjawab lusa kepada Habib. Ia resah, galau. Maka ia menghadap kiblat seraya berdo’a, “Ya Allah, kumohon bangunkan aku jam tiga malam nanti!”
Malam yang dipenuhi oleh bintang itu tidak mampu menghibur kegalauan Pak Abdul. Sedari tadi ia bolak-balik di ruang tamu. “Hah, kalau mondar-mandir saja, tentu tidak menyelesaikan masalah. Aku harus mencari ide, tapi apa..?” Kiai. Ya kiai adalah salah satu kata yang terlintas di pikirannya mungkin itulah solusinya. Segera ia keluar rumah menuju kediaman K.H. Samanhudi, seorang usatdz yang mengajarkan ilmu tasawuf di pesantren itu. Khususnya pengkajian kitab Al-Hikam. Ia percaya jika beliau dapat memberikan solusi terbaik baginya.
Assalamu’alaikum!” tampak Kiai Samanhudi sedang duduk di teras sambil membaca dzikir ma’tsurat dan Ratibul ‘Athash.
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. “ Setelah selesai membaca do’a fatihah, Kiai Samanhudi segera ke teras. Melihat siapa yang hadir ke rumahnya.
“Oh, Gus Abdul tho! Mari-mari duduk sini.” Sambut Kiai Samanhudi dengan ramahnya. Pak Abdul segera mendekat, menundukkan diri pada sang kiai dan mencium tangannya. “Sini duduk sini. Ada yang dapat saya bantu, gus?. Ada apa ya, pagi-pagi kemari? Tak biasanya kamu kemari sepagi ini.” Tanya kiai dengan menunjukkan kursi rotannya agar Pak Abdul duduk.
“Emm, begini kiai…” kata Pak Abdul memulai pembicaraan. Ia tampak kusut dan lelah. Maklum usai keliling sawah nan luas kemarin bersama Habib Yahya. “Sebentar, Nyai…kopi buat Gus Abdul!” panggil kiai pada isterinya di dalam bilik.
Nggeh, bah! Gus Abdul kemari tho?” Tanya Bu Nyai dari dalam rumah. Suara kepulan air mendidih tampak sayup-sayup dari teras. “Njih, Nyai niki kulo[3].” Jawab Pak Abdul tegas.
“Lanjutkan Gus..!” perintah Kiai. “ Begini kiai, Habib Yahya mengajak saya untuk menemani beliau ke Tarim, Yaman. Katanya disana empat tahun. Saya khawatir yayasan yang kita dirikan bersama tidak berjalan mulus seperti sekarang. Kiai tahu sendiri kan jika pemuda-pemudi tidak digerakkan untuk mengelolanya, maka yayasan ini akan dikelola oleh para kiai sepuh dimana SDM nya kurang menguasai teknologi.”
“Lalu, tujuanmu kemari?” Tanya Abah penasaran. Tampak Bu Nyai membawakan dua cangkir kopi yang diletakkan di atas nampan berwarna merah muda.
“Ini kopi jahenya diminum dulu, mumpung masih panas. Biar anget badannya.” Kata Bu Nyai menyela pembicaraan Pak Abdul dan Pak Kiai.
Njih, Bu! Terimakasih sekali!” kata Pak Abdul seraya tersenyum simpul.
Pak Abdul menunggu hingga Bu Nyai ke dalam rumah. Dia menoleh kembali ke Pak Abdul yang tampak kikuk di hadapannya.
 “E…saya minta