Studi
Islam: Review Buku Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal
A.
Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir
ini, khususnya di akhir abad ke dua puluh dan awal abad ke dua puluh satu, kita
mengenal problem besar di dunia Islam yaitu penataan demokrasi. Demokrasi
dengan varian liberalnya (sebagaimana yang dipahami selama ini oleh Barat)
masih diperdebatkan oleh sejumlah kalangan muslim.
Menurut
penyusun makalah, Ada beberapa orang (khususnya di Indonesia) yang mengakomodir
demokrasi, ada pula yang menolak secara subjektif dan ada pula yang menolak
secara mentah-mentah. Bagi yang mengakomodir demokrasi, maka demokrasi dengan
segala variabelnya dipakai dan diterapkan secara perlahan. Dikembangkan dan
direvisi sedemikian rupa sehingga berakhir pada kesimpulan bahwa demokrasi ini
adalah pilihan yang baik mengingat dinamikanya juga bersifat positif.
Bagi yang
menolak secara subjektif, mereka menganggap bahwa konsep demokrasi belum
menyentuh pada tujuannya yaitu untuk rakyat. Demokrasi dinilai belum
memaslahatkan rakyat seluruhnya. Terkadang malah menjadi hujatan, guyonan di
warung kopi dan juga refleksi bahwa demokrasi ini sangat kontras dengan
peninggalan leluhur yang bersifat monarki. Yang dinilai lebih fleksibel dalam
menanggapi problematika rakyat. Karena sistem kerajaan dinilai mampu
beradaptasi dengan wahyu dan menampilkan perilaku moral para pejabatnya
sehingga dapat diteladani oleh rakyat demi pembangunan masa depan. Dalam hal
ini, rakyat belajar dari masa lalu untuk memperbaiki masa depan.
Sementara bagi
yang menolak secara mentah-mentah, demokrasi dianggap tidak cocok untuk
diterapkan di negeri muslim karena berasal dari Barat yang notabene
berseberangan dengan Timur. Kalangan ini biasanya menganggap tradisi telah
memberikan sumbangsih positif yang tak dapat diganggu gugat. Kalangan ini
menganggap modernisasi tidak diperlukan karena banyaknya kemudlaratan yang
dijumpai dari tahun ke tahun. Seperti perilaku korupsi, nepotisme, saling
menumbangkan dan berkuasa demi uang.
Menanggapi
perdebatan ini, Nader Hashemi menyuguhkan teori yang cukup baik untuk dipahami
bersama mengenai demokrasi liberal. Dia memberikan penjelasan cukup hati-hati
dalam menafsirkan hubungan antara agama dengan demokrasi liberal. Agama yang
dianggap tak perlu mengurusi pemerintahan. Namun bagi Nader Hashemi, agama
justru dapat berperan aktif dalam pengkajian politik demokrasi dan menata
ulangnya.
B.
Problem Penelitian
Demokrasi
liberal memerlukan sebentuk sekularisme untuk menjaga eksistensinya. Namun
sumber daya politik, kultural dan intelektual masih bersifat teologis. Paradoks
ini terjadi dan menjadi perdebatan bagi para teoretikus demokrasi. Nah
bagaimanakah cara membongkar paradoks ini dengan menggunakan pendekatan yang
metodologis?
Penegasan
Istilah
1.
Sekulerisme
terdiri dari dua kata; sekuler yang berarti pemisahan antara yang
transenden dengan hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lain. Dan isme
yang berarti paham.
2.
Demokrasi
terdiri dari dua kata; demos yang artinya rakyat dan kratos yang
artinya kekuasaan. Sehingga dapat diartikan sebagai kekuasaan dan
penyelenggaraan negara berada di tangan rakyat, untuk kepentingan rakyat.
3.
Liberal
artinya pembebasan dari cara berpikir dan berperilaku. Jika dikaitkan dengan
Islam, menurut Baidhawy (2011:230), istilah liberal berarti pembebasan cara
berpikir dan berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan. Islam liberal
dalam hal ini mengakomodir peran Barat tetapi mengeliminir dampak buruk dari
modernisasi.
Hal ini sedikit berbeda dengan
pemikiran Hasan Hanafi mengenai oksidentalisme yang tetap teguh pada tradisi
tetapi juga menerima modernisasi dengan dikaitkan dengan realitas kehidupan.
C.
Kontribusi Penelitian: Tujuan Penulisan Buku
Penulisan buku
yang dilakukan oleh Nader Hashemi ini adalah untuk mengkaji relasi teori agama
dan demokrasi (dalam hal ini Islam dengan demokrasi liberal), relasi antara
agama, sekulerisme, demokrasi untuk pengembangan teori liberal, demokrasi untuk
masyarakat muslim.
Dia menyatakan
bahwa demokrasi liberal memerlukan sekularisme untuk menjaga kesinambungan,
akan tetapi sumber daya politik, kultural, intelektual para demokrat muslim
masih bersifat teologis (Hashemi, 2011:1). Demokrasi yang di dalamnya terdapat
sekularisme harus secara alamiah berasal dari rakyat untuk kemudian diusung ke
pemerintahan, bukan malah sebaliknya (up to down). Jalan menuju
demokrasi liberal harus melalui politik keagamaan.
Demokratisasi
dan liberalisasi mensyaratkan penafsiran ulang terhadap gagasan keagamaan
dengan memperhatikan dasar moral dari otoritas politik dan hak-hak individu
yang sah (dia menyatakan bahwa variabel agama mempengaruhi demokratisasi dan
liberalisasi) (Hashemi, 2011:3).
Selama ini
seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa para pengusung sekuler dianggap
memisahkan agama dari ranah perpolitikan atau agama itu tidak perlu ikut campur
dalam pembuatan kebijakan pemerintah ataupun mengawasi secara langsung kinerja
pemerintah. Sementara pihak Barat mengkhawatirkan Islam akan mengganggu
perkembangan demokrasi liberal pasca peristiwa 11 September 2001 (runtuhnya
gedung World Trade Center). Secara konteks pemikiran, ini merupakan
hasil dari fanatisme agama dan Barat menyimpulkan bahwa Islam itu negatif. Data
menunjukkan pasca peristiwa 11 September 2001, 43 % penduduk Amerika
berprasangka negatif tentang orang-orang Arab (diambil dari Washington Post, 9
Maret 2006) (Hashemi, 2011:31).
Connor O’Brien, seorang penyair Irlandia mengatakan
bahwa masyarakat Islam terlihat sangat menjijikkan (Hashemi, 2011:32). Hal ini
menjadikan salah satu dasar tulisan mengapa Islam dianggap sebagai poros
konflik pasca perang dingin. Terlebih, selama ini tatanan demokrasi dianggap lebih
bersifat duniawi, dapat direvisi dan diperbaiki demi kemaslahatan manusia.
Sementara agama lebih bersifat transendental (peran manusia tidak berlaku).
Sehingga agama harus menjauh dari demokrasi. Padahal, kita dapat melakukan
kompromi antara demokrasi liberal dengan agama yakni berbentuk sekularisme
politik yang berbasis agama, sebagaimana yang dipikirkan oleh Nader Hashemi.
Maka yang perlu
dilakukan adalah