Jumat, 13 Desember 2013

hadhanah, pendidikan untuk anak



HADHANAH (PENDIDIKAN DAN PEMELIHARAAN ANAK) DARI SEGI FIKIH
I.                   Pengertian dan dasar hukum
“Hadhanah” menurut bahasa berarti “meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk” atau di pangkuan”. Karena ibu menyusukan anaknya meletakkan  di pangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga “hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya: pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.
Pendidik mungkin terdiri dari keluarga si anak dan mungkin pula bukan berasal dari keluarga si anak dan ia merupakan pekerjaan profesional, sedang hadhanah dilaksanakan dan dilakukan oleh keluarga si anak kecuali jika anak tidak mempunyai keluarga serta ia bukan profesional; dilakukan oleh setiap ibu, serta anggota kerabat yang lain.
Firman Allah. Swt:
يآَاَيُّهاَ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا قُوْآ اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِكُمْ ناَرًا وَقُوُدُهاَاالناَّسُ وَالْحِجاَرَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…”( At-Tahrim: 6).
Pada ayat ini orang tua diperintahkan Tuhan untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menghentikan larangan-larangan Allah termasuk dalam anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.
II.                Yang berhak melakukan hadhanah
Seorang anak pada permulaan hidupnya membutuhkan bantuan orang lain, seperti mandi, makan, tidur, memakai pakaian dan lain-lain. Karena itu ia membutuhkan kasih sayang orang tua, kesabaran, dan orang tua yang teguh dan berwawasan ke depan bagi anaknya. Orang tua itu harus istikamah dan mempunyai waktu lebih bagi anak tersebut. Lalu seperti apakah orang tua itu? Yang berhak mendidik anaknya? Ibu adalah figur yang paling pas dalam hadhanah, baik ia masih terikat dalam pernikahan maupun dalam masa iddah thalak raj’i, maupun thalak ba’in atau habis masa iddahnya. Jika ibu tiada, maka yang berhak menjadi haadhin (pendidik) adalah nenek dari ibu ke atas atau nenek dari ayah ke atas.
Kemudian setelah ibu dan nenek tiada, maka yang berhak adalah saudara ibu yang perempuan yang sekandung, seibu, atau seayah. Kemudian anak saudara perempuan seibu yang perempuan atau yang seayah. Baru jika semua tiada, anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung dengan ibunya, atau dengan ayahnya. Kemudian bibi dari ayah yang sekandung dari ibunya atau seayah dengan ibunya.
Jika semua tidak ada, baru dari pihak laki-laki ke atas. Jika tiada juga, maka anak tersebut dipelihara oleh pemerintah. (Daradjat,1995:160)
III.             Syarat Hadhinah dan Haadhin
Menurut Daradjat, (1995:161) Syarat-syarat menjadi haadhinah dan hadhin antara lain:
a.       Tidak sibuk dengan pekerjaannya, sehingga ia dapat fokus dengan anak tersebut.
b.      Hendaknya ia adalah mukallaf, baligh, berakal, dan tanggung jawab.
c.       Mampu mengasuh dan mendidik anak.
d.      Mampu menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak terutama yang berhubungan dengan budi pekerti.
e.       Hadhiinah adalah yang mencintai anak.
IV.             Masa Hadhanah
Menurut Ulama’ Hanafiyah, masa hadhanah adalah berakhir ketika anak mampu mengurus keperluannya sehari-hari seperti makan, minum, tidur, mandi dan lain-lain. Sedang khusus untuk wanita, berakhir ketika anak itu baligh, atau mengalami haidh yang pertama.
Menurut Ulama’ Mesir, hadhanah terjadi jika ada perceraian. Masanya adalah tujuh tahun, maksimalnya Sembilan tahun untuk laki-laki dan untuk wanita maksimal sebelas tahun.
Menurut Ulama’ Syafi’iyyah, masa hadhanah adalah umur lima sampai enam tahun. (Daradjat,1995:163-164)

DAFTAR PUSTAKA
·         Daradjat, Zakiah. 1995. “Ilmu Fiqih Jilid 2.” Yogyakarta: PT. DANA BHAKTI WAKAF.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar