HADHANAH
(PENDIDIKAN DAN PEMELIHARAAN ANAK) DARI SEGI FIKIH
I.
Pengertian dan dasar hukum
“Hadhanah”
menurut bahasa berarti “meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk” atau di
pangkuan”. Karena ibu menyusukan anaknya meletakkan di pangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu
melindungi dan memelihara anaknya, sehingga “hadhanah” dijadikan istilah yang
maksudnya: pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup
berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.
Pendidik
mungkin terdiri dari keluarga si anak dan mungkin pula bukan berasal dari
keluarga si anak dan ia merupakan pekerjaan profesional, sedang hadhanah
dilaksanakan dan dilakukan oleh keluarga si anak kecuali jika anak tidak
mempunyai keluarga serta ia bukan profesional; dilakukan oleh setiap ibu, serta
anggota kerabat yang lain.
Firman
Allah. Swt:
يآَاَيُّهاَ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا قُوْآ اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِكُمْ
ناَرًا وَقُوُدُهاَاالناَّسُ وَالْحِجاَرَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu…”( At-Tahrim: 6).
Pada
ayat ini orang tua diperintahkan Tuhan untuk memelihara keluarganya dari api
neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan
perintah-perintah dan menghentikan larangan-larangan Allah termasuk dalam
anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.
II.
Yang berhak melakukan hadhanah
Seorang
anak pada permulaan hidupnya membutuhkan bantuan orang lain, seperti mandi,
makan, tidur, memakai pakaian dan lain-lain. Karena itu ia membutuhkan kasih
sayang orang tua, kesabaran, dan orang tua yang teguh dan berwawasan ke depan
bagi anaknya. Orang tua itu harus istikamah dan mempunyai waktu lebih bagi anak
tersebut. Lalu seperti apakah orang tua itu? Yang berhak mendidik anaknya? Ibu
adalah figur yang paling pas dalam hadhanah, baik ia masih terikat dalam
pernikahan maupun dalam masa iddah thalak raj’i, maupun thalak ba’in atau habis
masa iddahnya. Jika ibu tiada, maka yang berhak menjadi haadhin (pendidik)
adalah nenek dari ibu ke atas atau nenek dari ayah ke atas.
Kemudian
setelah ibu dan nenek tiada, maka yang berhak adalah saudara ibu yang perempuan
yang sekandung, seibu, atau seayah. Kemudian anak saudara perempuan seibu yang
perempuan atau yang seayah. Baru jika semua tiada, anak perempuan dari saudara
laki-laki sekandung dengan ibunya, atau dengan ayahnya. Kemudian bibi dari ayah
yang sekandung dari ibunya atau seayah dengan ibunya.
Jika
semua tidak ada, baru dari pihak laki-laki ke atas. Jika tiada juga, maka anak
tersebut dipelihara oleh pemerintah. (Daradjat,1995:160)
III.
Syarat Hadhinah dan Haadhin
Menurut
Daradjat, (1995:161) Syarat-syarat menjadi haadhinah dan hadhin antara lain:
a.
Tidak
sibuk dengan pekerjaannya, sehingga ia dapat fokus dengan anak tersebut.
b.
Hendaknya
ia adalah mukallaf, baligh, berakal, dan tanggung jawab.
c.
Mampu
mengasuh dan mendidik anak.
d.
Mampu
menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak terutama yang berhubungan dengan budi
pekerti.
e.
Hadhiinah
adalah yang mencintai anak.
IV.
Masa Hadhanah
Menurut
Ulama’ Hanafiyah, masa hadhanah adalah berakhir ketika anak mampu mengurus
keperluannya sehari-hari seperti makan, minum, tidur, mandi dan lain-lain.
Sedang khusus untuk wanita, berakhir ketika anak itu baligh, atau mengalami
haidh yang pertama.
Menurut
Ulama’ Mesir, hadhanah terjadi jika ada perceraian. Masanya adalah tujuh tahun,
maksimalnya Sembilan tahun untuk laki-laki dan untuk wanita maksimal sebelas
tahun.
Menurut
Ulama’ Syafi’iyyah, masa hadhanah adalah umur lima sampai enam tahun.
(Daradjat,1995:163-164)
DAFTAR PUSTAKA
·
Daradjat,
Zakiah. 1995. “Ilmu Fiqih Jilid 2.” Yogyakarta: PT. DANA BHAKTI WAKAF.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar