Kamis, 07 November 2013

indonesia kaya, miskin pangan



Sang Macan Asia Tempo Dulu Menuju Indonesia Emas
Oleh: Nur Salim

Indonesia, sebuah negara agraris yang menyimpan sumber daya alam melimpah. Ia memiliki tanah yang subur dan curah hujan yang cukup baik untuk memproduksi bahan pangan. Luas daratan yang melintang dari Sabang hingga Merauke dan memiliki beragam flora dan tanaman palawijanya. Tetapi terlalu banyak nasi dibuang ke tong-tong sampah dan air yang membanjiri kota-kota besar. Kekayaan alam yang seharusnya dapat menghidupi bangsa hanya menjadi pemanis di telinga. Sementara rakyat kita masih saja miskin.
Kita sering mendengar slogan, “Piye nang kabare, penak jamanku tho/ Bagaimana kabarnya nak, enakan jamanku kan?” Memang betul ketika kita flashback ke masa orde baru dimana semua harga sembako murah dan rakyat sejahtera, ayem tentrem. Negara kita mendapat gelar “macan asia” karena mampu swasembada beras bahkan mengekspornya ke luar negeri. Lalu bagaimana keadaan negeri kita sekarang? 180ยบ dari keadaan saat orde baru yaitu negara kita miskin dan menjadi importir apapun itu, seperti beras, kedelai, hingga daging sapi. Padahal kalau dipikir-pikir negara kita kan negara agraris, yang terkenal hijau karena persawahannya, karena tempenya hingga difilmkan dalam layar lebar, belum lagi Kabupaten Gorontalo yang terkenal sebagai eksportir daging sapi unggulan. Lalu mengapa negara yang kaya raya ini belum dapat mengkayakan rakyatnya, khususnya para petani? Mari kita kaji penyebabnya berdasarkan perspektif penulis di bawah ini!
Dalam sebuah teori Islam dan Budaya Lokal, dikenal sebuah istilah pembagian tipe miskin yakni, miskin alamiah dan miskin sistemik. Untuk miskin alami, memiliki pengertian bahwa seseorang atau negara dikatakan miskin karena pendapatan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar. Sementara miskin sistemik adalah miskin karena sistem di sekitar seseorang berada memaksanya berpikir bahwa dirinya miskin. Contoh riilnya, saat kita menonton sinetron yang menampikan kehidupan glamour. Maka seseorang yang seharusnya berpendapatan cukup merasa miskin karena tidak dapat memenuhi kebutuhan tersiernya, yakni menjadi orang kaya raya. Petani di luar negeri memiliki lahan pertanian berhektar-hektar dan memiliki alat pertanian yang canggih sementara petani kita, untuk lahan saja sudah tidak punya. Mereka banyak yang menjadi buruh tani dan berpendidikan rendah. Sehingga tidak memiliki teknologi pertanian yang dapat memacu tingkat ekonomi mereka ke level yang “layak”. Lalu belum lagi petani kita tidak menjual produk pertanian ke pasar agro atau KUD tetapi ke para tengkulak yang dapat memainkan harga pasar. Pada akhirnya para petani kita masih saja miskin.
Lalu pemerintah justru menaikkan harga pupuk sehingga para petani bukannya diuntungkan oleh panen yang melimpah tetapi hanya menelan kerugian akibat regulasi tersebut. Sang regulator tersebut juga terpesona dengan kontrak gendut melalui impor produk pertanian lalu menaikkan harga sembako, sekaligus menekan anggaran negara untuk kepentingan pribadi sementara. Semakin tahun kuota impor semakin naik levelnya. Indonesia yang dulunya mengekspor cabai, kini harus merasakan betapa pahitnya mengimpor dari luar negeri. Miris bukan? Betapa paradoksnya keadaan Indonesia saat ini.
Belum lagi gaya hidup bangsa ini yang meniru cara pandang Barat, bahwa dunia harus diindustrialisasikan. Padahal kita semua tahu bahwa negeri ini adalah bermatapencaharian bercocoktanam. Lalu buat apa harus beralih ke industry jika dengan mengembangkan potensi bumi kita yang kaya raya dapat mensejahterakan rakyat semuanya. Pada akhirnya Indonesia ke depan akan miskin pangan.
Lagipula, pada saat ini pemerintah kurang bersemanagat dalam mendukung universitas yang mengembangkan teknologi pertanian seperti IPB. Padahal dengan motivasi dari pemerintahlah universitas yang bekerja di lingkungan tanam-menanam ini dapat memaksimalkan produksi dalam negeri.
Lalu apa solusinya? Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Pemerintah membatasi kuota impor produk pertanian dan seluruh rakyat Indonesia mendukung gerakan swasenbada dan cinta produk dalam negeri. Dengan program cinta produk dalam negeri menjadikan kita tidak tergantung dengan produk impor.
2.      Pemerintah dan seluruh warga Indonesia berupaya secara sungguh-sungguh dalam inovasi alat-alat pertanian. Karena dengan inovasi teknologi pertanian, Jepang dan Thailand sejahtera. Perlu adanya dukungan penuh dari pemerintah kepada universitas pertanian dalam negeri untuk memaksimalkan program inovasi pertanian dan pro-swasembada. Karena dengan cara inilah para petani dapat memaksimalkan mutu produk pertanian mereka.
3.      Pemerintah mendirikan pasar-pasar agro dan wisata agro agar petani lebih mudah menjual produk mereka dan meraih keuntungan untuk meningkatkan taraf hidup mereka ke taraf sejahtera.
4.      Petani menggunakan pupuk organik untuk menghemat pengeluaran.
5.      Belajar dari Jepang, sebaiknya pemerintah membeli produk dari petani dengan harga tinggi lalu dikembalikan ke pasar dengan harga rendah agar dapat dijangkau oleh rakyat kecil. Dengan membeli produk dari petani dengan harga tinggi selain menguntungkan mereka juga memberikan kepercayaan kepada petani jika usaha mereka dihargai oleh pemerintah. Dengan mengembalikan produk-produk pertanian dalam negeri ke pasar dengan harga murah berarti meminimalisir inflasi, sehingga rakyat sejahtera.
6.      Pemerintah memberikan penghargaan dan penyuluhan kepada para petani. Dengan adanya penghargaan pada prestasi petani, maka mereka akan lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan produk-produk pertanian disamping tetap adanya penyuluhan dari dinas pertanian guna mencapai keberhasilan inovasi mereka.
Dengan begitu generasi Indonesia emas/petani Indonesia sejahtera akan dengan mudah kita raih bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar