1.
Pertemuan Dua Hati
(terinspirasi dari perjalananku 3 bulan lalu ke PP. Al-Husain,
Magelang)
Aku masih
teringat dengan kejadian lima tahun yang lalu ketika aku mendaftar di pesantren
ini. Ketika itu aku duduk di sekretariat dan melihat-lihat administrasi masuk
pesantren. Begitu banyak dan membuatku lemas. Birokrasi di Indonesia masih saja
berbelit-belit jika ingin menuju puncak kesuksesan. Ingin derajat diangkat? Ya
harus berjuang mati-matian guna mendapatkannya. Lalu yang kulakukan waktu itu
adalah berjuang melengkapi persyaratan baik yang administratif maupun akademis.
Semua kelar dalam kurun waktu seminggu. Alhamdulillah, alam masih
mendukungku untuk tetap bertahan di atas bumi ini.
Satu hal yang masih terus bersarang di otakku
adalah ketika itu pagi hari. Awan begitu sedikit di langit yang biru. Anginpun
berhembus sepoi pelan. Burung-burung lebih memilih berkicau di dahan pepohonan
yang rindang itu. Hawa waktu itu sedikit hangat, sehingga bunga-bunga sedia
untuk mekar. Aroma harum tercium sebentar-sebentar jika tertiup angin. Segar di
hidung yang sempit ini. Ada bidadari lewat: Neng Fatimah. Dia adalah cahaya
dalam hari ini. Kupu-kupu dengan sayap yang warna-warni. Seperti ingin
ditangkap saja. Dia bagaikan salju bersih yang belum mendarat ke tanah. Dialah
angin yang bersama awan kemanapun. Mungkin akulah awannya. Entah kenapa degub
jantung ini bertembah ritmenya dan aku bisa sepuitis ini padahal aku tidak
belajar sastra secara intens. Entahlah rasa cinta ini sepertinya yang akan
memperkuat segalanya di hidupku di hari-hari selanjutnya.
*******
Hari Senin
pagi, adalah awal dari aktivitas setiap manusia di bumi ini. Aktivitas apapun
mulai dari bermain bagi anak-anak PAUD, belajar bagi kaum pelajar dan
mahasiswa-santri, serta seorang pekerja yang seperti aku ini. Begitu pula bagi
dewan pengasuh PP. Al-Huda, mereka mengabdikan diri untuk mencerdaskan bangsa
demi persiapan masa depan negeri yang lebih baik. Hari Senin adalah hari
teristimewa bagiku. Karena dapat satu majelis ilmu dengan Neng Fatimah (hatiku
kala itu masih dipenuhi oleh ego rendah). Majelis tafsir hadits bersama Abah
Yai Rasyid. Mata pelajaran terfavorit di pesantrem bagi kami para santri yang
ingin mengkorelasikan dunia nyata dengan hukum-hukum klasik, atau menganalisa
hikmah yang terungkap dalam kisah-kisah riwayat Rasulullah sebagai pedoman
hidup dan pelita dalam berjuang di dunia ini.
Pagi ini cerah
berawan. Kata berita cuaca di TV saat aku sarapan setelah mengikuti majelis
ilmu. Ya, mungkin secerah hatiku saat ini. Aku bisa melihat sekilas wajah Neng
Fatimah yang lewat di dapur saat aku melahap masakan buatannya. Ini adalah
menu untuk calon suami, dan akan menguatkanku saat mengajar nanti hingga
sore hari. <pikirku kePDan kala itu>. Wajah ayu bersih yang
meneduhkan dan menundukkan nafsu itu sangat kurindui. Jilbab kurung berwarna
biru tua, favoritku. Wajah yang memancarkan cahaya bekas wudhu. Benar-benar
shalihah gadis satu ini. Jika aku bisa menjadi suaminya, pasti aku akan bahagia
dunia akhirat. Intinya, aku akan menjadi semakin baik pula berkat dukungannya.
Cinta adalah anugerah dari-Nya yang cukup besar bagiku. Jadi tak perlu kutolak
mentah-mentah dong.
Tetapi
pikiranku kembali mengakar, aku mah siapa atuh? Hanya debu yang siap
diterbangkan angin di padang sahara yang sangat luas. Bahkan jika disamakan
dengan debu neraka saja aku tak sebanding. Tidak berarti apa-apa jika
dibandingkan dengannya. Nyaliku kembali ciut dan kemudian aku perbanyak membaca
kalimah istighfar pada-Nya. Sang Maha Cinta. Aku harus banyak-banyak
refleksi, muhasabah dan memperbaiki akhlak dan ilmu agama serta bekal
diri jika ingin mendapatkan istri semulia dia, “ Ah Neng Fatimah… kamu
membuatku mabuk cinta.” Aku mulai mengigau karena aku sadar aku kesiangan. Baru
bangun dari tidur panjangku. Aku ingat semalam aku begadang bersama Kang
Sulaiman membahas masa depan bangsa dan agama ini. Aku berkesempatan tidur baru
pada pukul 02.00 WIB dini hari.
“Wah gawat, sudah
bakda shubuh!” teriakku saat terbangun kesiangan. Aku harus segera menarik
handuk dari tali jemuran pakaian menuju kamar mandi. Aku mandi, berwudhu,
menunaikan shalat shubuh di kamar dan menstater motorku (memanaskan mesinnya)
guna persiapan berangkat ke MI!” kataku tergesa-gesa mengambil sandal dari longan
kasur. <Bodoh, bodoh, bodoh! Dibodohi oleh mimpi tentang cinta abstrak!>
Bisik syetan mengejekku dari bilik hati sebelah kiri. Aku merengut sambil kembali
ke kamar untuk melipati selimut dan jaket tidur.
“MasyaAllah,
tidak ada yang berani membangunkanku!” teriakku kesal meski terdengar pelan
sambil melihat sekeliling. Para santri sudah siap dengan seragam SMP dan
SMKnya. Sementara aku yang diamanahi sebagai lurah kamar masih enak-enakan
tidur sedari tadi. Innalillah! Ini mah bukan pagi yang cerah, tetapi
awal dari sialnya aku kelak di akhirat. Pikirku mencaci diriku sendiri.
Beginilah jadinya jika terlalu dalam tenggelam dalam telaga merah jambu ketika
berdakwah di pesantren.
“Aku harus
bertaubat mulai sekarang. Kalau perlu taubat yang nashuha. Aku harus
selesaikan dulu tujuan impianku terdekat ini. Tidak boleh lagi terpikirkan oleh
abstraksi cinta.” Tekadku dalam hati. Aku berjalan ke motorku yang baru: Vixion.
Dalam shalat shubuhku tadi aku pasrah. Dalam do’aku aku memohon:
“Ya Allah Yang
Maha Pengampun, Ampuni dosa-dosa Hamba, hapus segala kesalahan Hamba, kuatkanlah
Hamba di jalan dakwah ini, tegarkanlah dan bersih hati dalam membentengi diri
dari hal-hal yang menggoyahkan terutama cinta ini! Karena hanya kepada Engkau
Hamba meratap dan memohon ampunan. Semoga ke depan lebih baik. Amiin.”
Aku mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahku yang masih tersisa bekas tidur
kesiangan. Aku kusut dan merasa tenang ketika mulai berdzikir “Ya Lathif”
sebanyak seribu kali sambil mengoperasikan motor ini ke jalanan yang padat
kendaraan. Tidak ada yang mengganggu meski aku