Sabtu, 13 Januari 2018

Romansa Cinta 1

1.      Pertemuan Dua Hati
(terinspirasi dari perjalananku 3 bulan lalu ke PP. Al-Husain, Magelang)

Aku masih teringat dengan kejadian lima tahun yang lalu ketika aku mendaftar di pesantren ini. Ketika itu aku duduk di sekretariat dan melihat-lihat administrasi masuk pesantren. Begitu banyak dan membuatku lemas. Birokrasi di Indonesia masih saja berbelit-belit jika ingin menuju puncak kesuksesan. Ingin derajat diangkat? Ya harus berjuang mati-matian guna mendapatkannya. Lalu yang kulakukan waktu itu adalah berjuang melengkapi persyaratan baik yang administratif maupun akademis. Semua kelar dalam kurun waktu seminggu. Alhamdulillah, alam masih mendukungku untuk tetap bertahan di atas bumi ini.
 Satu hal yang masih terus bersarang di otakku adalah ketika itu pagi hari. Awan begitu sedikit di langit yang biru. Anginpun berhembus sepoi pelan. Burung-burung lebih memilih berkicau di dahan pepohonan yang rindang itu. Hawa waktu itu sedikit hangat, sehingga bunga-bunga sedia untuk mekar. Aroma harum tercium sebentar-sebentar jika tertiup angin. Segar di hidung yang sempit ini. Ada bidadari lewat: Neng Fatimah. Dia adalah cahaya dalam hari ini. Kupu-kupu dengan sayap yang warna-warni. Seperti ingin ditangkap saja. Dia bagaikan salju bersih yang belum mendarat ke tanah. Dialah angin yang bersama awan kemanapun. Mungkin akulah awannya. Entah kenapa degub jantung ini bertembah ritmenya dan aku bisa sepuitis ini padahal aku tidak belajar sastra secara intens. Entahlah rasa cinta ini sepertinya yang akan memperkuat segalanya di hidupku di hari-hari selanjutnya.
*******
Hari Senin pagi, adalah awal dari aktivitas setiap manusia di bumi ini. Aktivitas apapun mulai dari bermain bagi anak-anak PAUD, belajar bagi kaum pelajar dan mahasiswa-santri, serta seorang pekerja yang seperti aku ini. Begitu pula bagi dewan pengasuh PP. Al-Huda, mereka mengabdikan diri untuk mencerdaskan bangsa demi persiapan masa depan negeri yang lebih baik. Hari Senin adalah hari teristimewa bagiku. Karena dapat satu majelis ilmu dengan Neng Fatimah (hatiku kala itu masih dipenuhi oleh ego rendah). Majelis tafsir hadits bersama Abah Yai Rasyid. Mata pelajaran terfavorit di pesantrem bagi kami para santri yang ingin mengkorelasikan dunia nyata dengan hukum-hukum klasik, atau menganalisa hikmah yang terungkap dalam kisah-kisah riwayat Rasulullah sebagai pedoman hidup dan pelita dalam berjuang di dunia ini.
Pagi ini cerah berawan. Kata berita cuaca di TV saat aku sarapan setelah mengikuti majelis ilmu. Ya, mungkin secerah hatiku saat ini. Aku bisa melihat sekilas wajah Neng Fatimah yang lewat di dapur saat aku melahap masakan buatannya. Ini adalah menu untuk calon suami, dan akan menguatkanku saat mengajar nanti hingga sore hari. <pikirku kePDan kala itu>. Wajah ayu bersih yang meneduhkan dan menundukkan nafsu itu sangat kurindui. Jilbab kurung berwarna biru tua, favoritku. Wajah yang memancarkan cahaya bekas wudhu. Benar-benar shalihah gadis satu ini. Jika aku bisa menjadi suaminya, pasti aku akan bahagia dunia akhirat. Intinya, aku akan menjadi semakin baik pula berkat dukungannya. Cinta adalah anugerah dari-Nya yang cukup besar bagiku. Jadi tak perlu kutolak mentah-mentah dong.
Tetapi pikiranku kembali mengakar, aku mah siapa atuh? Hanya debu yang siap diterbangkan angin di padang sahara yang sangat luas. Bahkan jika disamakan dengan debu neraka saja aku tak sebanding. Tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengannya. Nyaliku kembali ciut dan kemudian aku perbanyak membaca kalimah istighfar pada-Nya. Sang Maha Cinta. Aku harus banyak-banyak refleksi, muhasabah dan memperbaiki akhlak dan ilmu agama serta bekal diri jika ingin mendapatkan istri semulia dia, “ Ah Neng Fatimah… kamu membuatku mabuk cinta.” Aku mulai mengigau karena aku sadar aku kesiangan. Baru bangun dari tidur panjangku. Aku ingat semalam aku begadang bersama Kang Sulaiman membahas masa depan bangsa dan agama ini. Aku berkesempatan tidur baru pada pukul 02.00 WIB dini hari.
“Wah gawat, sudah bakda shubuh!” teriakku saat terbangun kesiangan. Aku harus segera menarik handuk dari tali jemuran pakaian menuju kamar mandi. Aku mandi, berwudhu, menunaikan shalat shubuh di kamar dan menstater motorku (memanaskan mesinnya) guna persiapan berangkat ke MI!” kataku tergesa-gesa mengambil sandal dari longan kasur. <Bodoh, bodoh, bodoh! Dibodohi oleh mimpi tentang cinta abstrak!> Bisik syetan mengejekku dari bilik hati sebelah kiri. Aku merengut sambil kembali ke kamar untuk melipati selimut dan jaket tidur.
MasyaAllah, tidak ada yang berani membangunkanku!” teriakku kesal meski terdengar pelan sambil melihat sekeliling. Para santri sudah siap dengan seragam SMP dan SMKnya. Sementara aku yang diamanahi sebagai lurah kamar masih enak-enakan tidur sedari tadi. Innalillah! Ini mah bukan pagi yang cerah, tetapi awal dari sialnya aku kelak di akhirat. Pikirku mencaci diriku sendiri. Beginilah jadinya jika terlalu dalam tenggelam dalam telaga merah jambu ketika berdakwah di pesantren.
“Aku harus bertaubat mulai sekarang. Kalau perlu taubat yang nashuha. Aku harus selesaikan dulu tujuan impianku terdekat ini. Tidak boleh lagi terpikirkan oleh abstraksi cinta.” Tekadku dalam hati. Aku berjalan ke motorku yang baru: Vixion. Dalam shalat shubuhku tadi aku pasrah. Dalam do’aku aku memohon:
“Ya Allah Yang Maha Pengampun, Ampuni dosa-dosa Hamba, hapus segala kesalahan Hamba, kuatkanlah Hamba di jalan dakwah ini, tegarkanlah dan bersih hati dalam membentengi diri dari hal-hal yang menggoyahkan terutama cinta ini! Karena hanya kepada Engkau Hamba meratap dan memohon ampunan. Semoga ke depan lebih baik. Amiin.” Aku mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahku yang masih tersisa bekas tidur kesiangan. Aku kusut dan merasa tenang ketika mulai berdzikir “Ya Lathif” sebanyak seribu kali sambil mengoperasikan motor ini ke jalanan yang padat kendaraan. Tidak ada yang mengganggu meski aku