Selasa, 17 Desember 2013

islamisasi di Krajan, Bener, Tengaran


الحمد لله ربّ العالمين والصّلاة والسّلام على سيّدينا و مولنا و حبيبينا قرّة اعيوننا محمّد و اله و اصحابه اجمعين.
السّلام عليكم ورحمة الله وبركاته
1.      Proses Islamisasi Desa Krajan Bener, Kec. Tengaran
 (disadur dan diterjemahkan dari makalah berbahasa Jawa milik Bapak Yasin Abdul Hadi Bin Muhammad Hadi bin Sahri-Idris bin Juwahir bin Hasan Adi bin Nur Salim (dari Demak Bintoro)). Mbah Nur Salim ini menikah dengan seorang priyayi Mrawun, Cepogo. Jika diurutkan ke atas, nasabnya sampai ke Raden Ragasasi, seorang priyayi Desa Tumang. Dan dari Raden Ragasasi ke atas hingga Raden Pakubuwono I di Yogyakarta. Dan silsilah Bapak Yasin dari ibunya yang bernama maimunah binti Hasyim bin Aly Al-Haj bin-bin-bin Sayyid Abdulghoni Al-Haj Al-‘Attas dari Cirebon.
Penyusun awal cerita, Bapak Yasin ini masih hidup (tahun 2013 M) dan tinggal di Krajan Bener, Rt. 01/01, Kec. Tengaran, Kabupaten Semarang. Beliau masih merupakan paman dari penerjemah makalah.
Awalnya, penduduk Desa Bener yang beragama Islam sangatlah sedikit, yakni +- 7-8 keluarga. Sementara itu penduduk mayoritas adalah ahli maksiyat, sebab Lurah Bener yang bernama Trah Gagatan adalah seorang penjudi, peminum dan sering adu jago alias Islam KTP. Konon, Lurah ini bersyahadat ketika menikah tetapi kelakuannya tidak mencerminkan iman yang haq. Karena itu ayah dari penyusun cerita yang bernama saheri-Idris merasa prihatin dengan keadaan penduduk desa. Maka beliaupun mendaki Gunung, tujuan safarnya adalah ke Magelang. Seusai tiba disana, beliau kemudian pulang ke desa. Tetapi beliau tidak segera menuju rumah kediaman melainkan ke Waduk Senjaya, Bener untuk menyepi dan bertapa. Lalu beliau ke rumah untuk mendiskusikan masalahnya ke sang istri, islamisasi di Desa Bener.
Setiap hari Jum’at, penduduk yang minoritas islam senantiasa melaksanakan shalat Jum’at di Masjid Cabean, Kembangsari Tengaran. Sesudah melaksanakan shalat jum’at, mereka selalu menuju rumah kediaman Rama Kyai Abu Naim, ulama Desa Cabean. Permintaan mereka kepada sang Kyai hanya satu, yakni agar beliau mendatangkan ulama’ dari Magelang. Beberapa waktu kemudian, maka datanglah ulama tersebut bersama keluarga. Ulama sepuh dan ‘alim itu bernama Kyai Jalal Suyuthi, pendiri PP. Al-Manar, Bener. Dengan modal tanah Wakaf dari Mbah Juwahir, leluhur penyusun dan penerjemah, berdirilah Masjid Al-manar yang waktu itu disebut Masjid Pethung Sari.
Ulama satu ini sangat dicintai warga, setiap saat diadakan pengajian khusus ibu-ibu sehingga mengundang minat para santri dari berbagai penjuru daerah, mulai dari Dusun kadipurwo, Bener, salah satunya Bapak Abbas hingga santri dari Wonosari jurusan Ampel. Maka sejak itu PP. Al-Manar ramai akan santri yang menuntut ilmu. Putra-putri dari ulama tersebut meneruskan perjuangan dakwah hingga ke Jawa Timur seperti Kyai Duri, Kyai Ashuri, Kyai Muhammad Suhudi, dan lain-lain yang mondok di Tremas dan Jombang.
2.      Pertemuan di Desa Tegalwaton
Pada suatu hari, Kyai Jalal Suyuthi pergi ke kediaman Lurah Tegalwaton bersama Kyai Abu Na’im Cabean untuk melaksanakan rutinan tahlil. Kemudian mereka berdiaolog. Kurang lebih yang memulai dialog adalah Kyai Jalal Suyuthi, “Saya sudah mulai tidak kerasan di Bener, sebab adanya gangguan dari lurahnya.” “Bagaimana ananda ini, jangan seperti itu. Jangan menyerah sebelum berperang. Engkau ini telah kujadikan teman berjuang dan dakwah bersama  putraku, Jaya guna menegakkan kalimat Allah”. Jawab Lurah Tegalwaton.
Maka beliau menyuruh Kyai Jalal Suyuthi untuk riyadhoh. Maka mereka berdua pun berpuasa dan safar menuju Tembayat, Klaten. Kyai membawa oleh-oleh berupa pisang dan nasi bungkus untuk dibagi-bagikan ke anak-anak yang bermain di jalan. Setiba di Tembayat, oleh-oleh pun habis dibagikan. Anak-anak pulang dengan menggunakan kendaraan.
Suatu hari, akhirnya Lurah Bener, Trah Gagatan pun meninggal dunia dan digantikan oleh Lurah Jaya Sumarta dari Daerah Dusun Tugu, Bener. Beliau menjabat selama 30 tahun dan bersam Kyai Jalal Suyuthi, telah membangun Desa Bener  yang  sekarang berkembang pesat Islamnya.
3.      Pembangunan Masjid Bener
Pada suatu hari,Ndoro dono Sentono menghadap Lurah Bener, dan ketika Lurah sampai di Kawedanan/kecamatan waktu itu. “Pak, aku hendak bertanya pada engkau, di Desamu katanya ada Kyai yang mustajab do’anya. Putraku nilai akademisnya sangat rendah. Aku minta tolong bicarakan hal ini pada beliau agar mendoakan putraku ini agar nilainya membaik.” Kata Ndoro dono itu. “Baik, pak. Nanti akan saya sampaikan semuanya kepada beliau”. Kata Pak Lurah. “Insya Allah saya do’akan”. Ujar Kyai saat ditemui oleh Lurah itu. Maka berkat pertolongan Allah, do’a beliau dikabulkan.

Maka setelah beberapa hari berselang, ada secarik surat yang dikirim dari Kawedanan kepada Kyai yang isinya adalah kabar bahwa anak Ndoro dono tadi lulus dengan nilai yang memuaskan dengan predikat cerdas. Lalu ada hadiah dari Ndoro dono akan memberi satu permintaan. Akhirnya, sang Kyai meminta agar masjid Bener diperbaiki. Maka setiba di Kawedanan, Lurah yang diutus sang kyai ditanyai oleh Ndoro dono, “Kas desamu masih berapa?” “Kurang lebih 100 rupiah, pak.” Jawab Lurah. “nah, gunakan uang itu untuk membangun masjid!” Ujar Ndoro dono, maka warga pun bergotong-royong untuk membangun masjid dengan uang kas desa tersebut.

Jumat, 13 Desember 2013

hadhanah, pendidikan untuk anak



HADHANAH (PENDIDIKAN DAN PEMELIHARAAN ANAK) DARI SEGI FIKIH
I.                   Pengertian dan dasar hukum
“Hadhanah” menurut bahasa berarti “meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk” atau di pangkuan”. Karena ibu menyusukan anaknya meletakkan  di pangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga “hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya: pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.
Pendidik mungkin terdiri dari keluarga si anak dan mungkin pula bukan berasal dari keluarga si anak dan ia merupakan pekerjaan profesional, sedang hadhanah dilaksanakan dan dilakukan oleh keluarga si anak kecuali jika anak tidak mempunyai keluarga serta ia bukan profesional; dilakukan oleh setiap ibu, serta anggota kerabat yang lain.
Firman Allah. Swt:
يآَاَيُّهاَ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا قُوْآ اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِكُمْ ناَرًا وَقُوُدُهاَاالناَّسُ وَالْحِجاَرَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…”( At-Tahrim: 6).
Pada ayat ini orang tua diperintahkan Tuhan untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menghentikan larangan-larangan Allah termasuk dalam anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.
II.                Yang berhak melakukan hadhanah
Seorang anak pada permulaan hidupnya membutuhkan bantuan orang lain, seperti mandi, makan, tidur, memakai pakaian dan lain-lain. Karena itu ia membutuhkan kasih sayang orang tua, kesabaran, dan orang tua yang teguh dan berwawasan ke depan bagi anaknya. Orang tua itu harus istikamah dan mempunyai waktu lebih bagi anak tersebut. Lalu seperti apakah orang tua itu? Yang berhak mendidik anaknya? Ibu adalah figur yang paling pas dalam hadhanah, baik ia masih terikat dalam pernikahan maupun dalam masa iddah thalak raj’i, maupun thalak ba’in atau habis masa iddahnya. Jika ibu tiada, maka yang berhak menjadi haadhin (pendidik) adalah nenek dari ibu ke atas atau nenek dari ayah ke atas.
Kemudian setelah ibu dan nenek tiada, maka yang berhak adalah saudara ibu yang perempuan yang sekandung, seibu, atau seayah. Kemudian anak saudara perempuan seibu yang perempuan atau yang seayah. Baru jika semua tiada, anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung dengan ibunya, atau dengan ayahnya. Kemudian bibi dari ayah yang sekandung dari ibunya atau seayah dengan ibunya.
Jika semua tidak ada, baru dari pihak laki-laki ke atas. Jika tiada juga, maka anak tersebut dipelihara oleh pemerintah. (Daradjat,1995:160)
III.             Syarat Hadhinah dan Haadhin
Menurut Daradjat, (1995:161) Syarat-syarat menjadi haadhinah dan hadhin antara lain:
a.       Tidak sibuk dengan pekerjaannya, sehingga ia dapat fokus dengan anak tersebut.
b.      Hendaknya ia adalah mukallaf, baligh, berakal, dan tanggung jawab.
c.       Mampu mengasuh dan mendidik anak.
d.      Mampu menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak terutama yang berhubungan dengan budi pekerti.
e.       Hadhiinah adalah yang mencintai anak.
IV.             Masa Hadhanah
Menurut Ulama’ Hanafiyah, masa hadhanah adalah berakhir ketika anak mampu mengurus keperluannya sehari-hari seperti makan, minum, tidur, mandi dan lain-lain. Sedang khusus untuk wanita, berakhir ketika anak itu baligh, atau mengalami haidh yang pertama.
Menurut Ulama’ Mesir, hadhanah terjadi jika ada perceraian. Masanya adalah tujuh tahun, maksimalnya Sembilan tahun untuk laki-laki dan untuk wanita maksimal sebelas tahun.
Menurut Ulama’ Syafi’iyyah, masa hadhanah adalah umur lima sampai enam tahun. (Daradjat,1995:163-164)

DAFTAR PUSTAKA
·         Daradjat, Zakiah. 1995. “Ilmu Fiqih Jilid 2.” Yogyakarta: PT. DANA BHAKTI WAKAF.