Sang Macan Asia Tempo Dulu Menuju Indonesia Emas
Oleh: Nur Salim
Indonesia, sebuah negara agraris yang menyimpan sumber daya alam
melimpah. Ia memiliki tanah yang subur dan curah hujan yang cukup baik untuk
memproduksi bahan pangan. Luas daratan yang melintang dari Sabang hingga
Merauke dan memiliki beragam flora dan tanaman palawijanya. Tetapi terlalu
banyak nasi dibuang ke tong-tong sampah dan air yang membanjiri kota-kota
besar. Kekayaan alam yang seharusnya dapat menghidupi bangsa hanya menjadi
pemanis di telinga. Sementara rakyat kita masih saja miskin.
Kita sering mendengar slogan, “Piye nang kabare, penak jamanku
tho/ Bagaimana kabarnya nak, enakan jamanku kan?” Memang betul ketika kita flashback
ke masa orde baru dimana semua harga sembako murah dan rakyat sejahtera, ayem
tentrem. Negara kita mendapat gelar “macan asia” karena mampu
swasembada beras bahkan mengekspornya ke luar negeri. Lalu bagaimana keadaan
negeri kita sekarang? 180ยบ dari keadaan saat orde baru yaitu negara kita miskin
dan menjadi importir apapun itu, seperti beras, kedelai, hingga daging sapi.
Padahal kalau dipikir-pikir negara kita kan negara agraris, yang terkenal hijau
karena persawahannya, karena tempenya hingga difilmkan dalam layar lebar, belum
lagi Kabupaten Gorontalo yang terkenal sebagai eksportir daging sapi unggulan.
Lalu mengapa negara yang kaya raya ini belum dapat mengkayakan rakyatnya,
khususnya para petani? Mari kita kaji penyebabnya berdasarkan perspektif
penulis di bawah ini!
Dalam sebuah teori Islam dan Budaya Lokal, dikenal sebuah istilah
pembagian tipe miskin yakni, miskin alamiah dan miskin sistemik. Untuk miskin
alami, memiliki pengertian bahwa seseorang atau negara dikatakan miskin karena
pendapatan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar. Sementara miskin
sistemik adalah miskin karena sistem di sekitar seseorang berada memaksanya
berpikir bahwa dirinya miskin. Contoh riilnya, saat kita menonton sinetron yang
menampikan kehidupan glamour. Maka seseorang yang seharusnya berpendapatan
cukup merasa miskin karena tidak dapat memenuhi kebutuhan tersiernya, yakni
menjadi orang kaya raya. Petani di luar negeri memiliki lahan pertanian
berhektar-hektar dan memiliki alat pertanian yang canggih sementara petani
kita, untuk lahan saja sudah tidak punya. Mereka banyak yang menjadi buruh tani
dan berpendidikan rendah. Sehingga tidak memiliki teknologi pertanian yang
dapat memacu tingkat ekonomi mereka ke level yang “layak”. Lalu belum lagi
petani kita tidak menjual produk pertanian ke pasar agro atau KUD tetapi ke
para tengkulak yang dapat memainkan harga pasar. Pada akhirnya para petani kita
masih saja miskin.
Lalu pemerintah justru menaikkan harga pupuk sehingga para petani
bukannya diuntungkan oleh panen yang melimpah tetapi hanya menelan kerugian
akibat regulasi tersebut. Sang regulator tersebut juga terpesona dengan kontrak
gendut melalui impor produk pertanian lalu menaikkan harga sembako,
sekaligus menekan anggaran negara untuk kepentingan pribadi sementara. Semakin
tahun kuota impor semakin naik levelnya. Indonesia yang dulunya mengekspor
cabai, kini harus merasakan betapa pahitnya mengimpor dari luar negeri. Miris
bukan? Betapa paradoksnya keadaan Indonesia saat ini.
Belum lagi gaya hidup bangsa ini yang meniru cara pandang Barat,
bahwa dunia harus diindustrialisasikan. Padahal kita semua tahu bahwa negeri
ini adalah bermatapencaharian bercocoktanam. Lalu buat apa harus beralih ke
industry jika dengan mengembangkan potensi bumi kita yang kaya raya dapat
mensejahterakan rakyat semuanya. Pada akhirnya Indonesia ke depan akan miskin
pangan.
Lagipula, pada saat ini pemerintah kurang bersemanagat dalam
mendukung universitas yang mengembangkan teknologi pertanian seperti IPB.
Padahal dengan motivasi dari pemerintahlah universitas yang bekerja di
lingkungan tanam-menanam ini dapat memaksimalkan produksi dalam negeri.
Lalu apa solusinya? Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Pemerintah
membatasi kuota impor produk pertanian dan seluruh rakyat Indonesia mendukung
gerakan swasenbada dan cinta produk dalam negeri. Dengan program cinta produk
dalam negeri menjadikan kita tidak tergantung dengan produk impor.
2.
Pemerintah
dan seluruh warga Indonesia berupaya secara sungguh-sungguh dalam inovasi
alat-alat pertanian. Karena dengan inovasi teknologi pertanian, Jepang dan
Thailand sejahtera. Perlu adanya dukungan penuh dari pemerintah kepada
universitas pertanian dalam negeri untuk memaksimalkan program inovasi
pertanian dan pro-swasembada. Karena dengan cara inilah para petani dapat
memaksimalkan mutu produk pertanian mereka.
3.
Pemerintah
mendirikan pasar-pasar agro dan wisata agro agar petani lebih mudah menjual
produk mereka dan meraih keuntungan untuk meningkatkan taraf hidup mereka ke
taraf sejahtera.
4.
Petani
menggunakan pupuk organik untuk menghemat pengeluaran.
5.
Belajar
dari Jepang, sebaiknya pemerintah membeli produk dari petani dengan harga
tinggi lalu dikembalikan ke pasar dengan harga rendah agar dapat dijangkau oleh
rakyat kecil. Dengan membeli produk dari petani dengan harga tinggi selain
menguntungkan mereka juga memberikan kepercayaan kepada petani jika usaha
mereka dihargai oleh pemerintah. Dengan mengembalikan produk-produk pertanian
dalam negeri ke pasar dengan harga murah berarti meminimalisir inflasi,
sehingga rakyat sejahtera.
6.
Pemerintah
memberikan penghargaan dan penyuluhan kepada para petani. Dengan adanya
penghargaan pada prestasi petani, maka mereka akan lebih kreatif dan inovatif
dalam mengembangkan produk-produk pertanian disamping tetap adanya penyuluhan
dari dinas pertanian guna mencapai keberhasilan inovasi mereka.
Dengan begitu generasi Indonesia emas/petani Indonesia sejahtera
akan dengan mudah kita raih bersama.