Senin, 30 September 2013

peradilan di masa kerajaan



Pendahuluan
I.                    Hukum Islam Masa Kerajaan Nusantara
Penelusuran dan penelitian terhadap Hukum Islam di masa kerajaan agaknya hanya terbatas pada wilayah kesultanan, tidak merambah ke karajaan Hindu-Budha.  Proses Islamisasi melalui jalur perdagangan ternyata mempengaruhi cara penduduk asli mengkotak-kotakkan strata. Menurut mereka, kelompok pedagang ini termasuk orang-orang yang beruntung, karena harta kekayaan yang dimiliki. Hal ini tidak lepas dari pengkelasan yang dilakukan oleh agama sebelumnya, yaitu Hindhu.Tentunya aturan kewarisan didasarkan atas Hukum Waris Islam dan diakulturasikan dengan Hukum adat setempat.
Lalu berkembanglah Islam di nusantara ini melalui peran para wali, yang menumpang kapal para saudagar. Akhirnya tradisi tahkim, warisan dari Zaman Ali bin Abi Thalib pun diperkenalkan ke negeri ini, prinsip musyawarah dan fatwa mulai menghiasi corak Hukum Adat, terutama di lingkungan Kesultanan.
Semenjak Kesultanan pertama, Malik Al-Shalih ( w. 1297 M), pola tahkim mulai berkembang menjadi tauliyah, yakni putusan diserahkan pada Qadhi. Inilah awal mula peradilan Islam di Indonesia terbentuk.[1]
II. Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah struktur peradilan Islam di masa Kerajaan?
2.      Bagaimanakah prosedur peradilan di masa kerajaan Islam?
3.      Bagaimanakah pengaruh agama Islam dalam dinamika hukum Islam kala itu?
III. Pembahasan
Menurut Seminar Masuknya Islam di Indonesia tahun 1963, diputuskan bahwa Islam masuk ke Nusantara awal abad ke-7 M. Sejak abad ke-13/14 M, baru Islam dianggap sebagai kekuatan politik dan menggeser adat setempat secara perlahan dan berkolaborasi dengannya.[2]
Periode tauliyah, para hakim-hakim diangkat oleh raja-raja Islam selaku waliyul’amri.
A.    Peradilan di Masa Samudera Pasai

Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke 13/14 M yang di mulai di kerajaan Samudera Pasai. Penyiaran Islam ini di bawa oleh para pedagang-pedagang dari Hadramaut dan Gujarat India dan sebagian kecil dari orang-orang Persia. Perkembangan Islam pada masa ini lebih dominan di daerah-daerah pesisir pantai yang lebih dekat dengan pelabuhan sedangkan di daerah-daerah pedalaman Islam lebih sedikit karena terbatasnya transportasi pada saat itu.
Kerajaan ini adalah salah satu kerajaan Islam yang menerapkan hukum pidana Islam.
 Menurut Hamka, dari Pasailah dikembangkan faham Syafi’i ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia, bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500 M) para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam masyarakat.
 Pelaksanaan hukum Islam menyatu dengan pengadilan dan diselenggarakan secara berjenjang. Tingkat pertama dilaksanakan oleh pengadilan tingkat kampung yang dipimpin oleh keuchik. Pengadilan itu hanya menangani perkara-perkara ringan sedangkan pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan banding kepada ulee balang (pengadilan tingkat kedua). Selanjutnya dapat di lakukan banding kepada Sultan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung yang keanggotaannya terdiri atas Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandhara, dan Faqih (ulama).
 Pelaksanaan hukum pidana Islam telah dilaksanakan dikerajaan ini, seperti pelaksanaan hukuman rajam untuk Meurah Pupoek, seorang anak raja yang terbukti melakukan zina. Pelaksanaan hukum Islam pada kerajaan ini tidak mengenal jabatan atau golongan, mulai dari keluarga kerajaan sampai rakyat biasa apabila terbukti melanggar hukum Islam pasti akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.[3]

Jika dilihat sepintas, peradilan di Samudera Pasai ini memiliki hierarki seperti  peradilan di saat ini, disana ada peradilan tingkat pertama (keuchik), tingkat kedua (ulee balang), dan tingkat akhir (MA). Meski tidak sekompleks sekarang ini dimana peradilan mencakup ruang lingkup masing-masing seperti pengadilan militer, pengadilan TU, pengadilan umum, dan pengadilan tinggi. Tetapi peradilan di masa Kesultanan Samudera Pasai ini telah menjadi embrio peradilan Islam di Indonesia.
B.     Peradilan Islam di Mataram
Saat diperintah oleh Sultan Agung, peradilan  Negara disebut peradilan pradata, yang dipimpin oleh raja. Pradata sendiri berarti pradatan, yaitu tempat yang terpisah dari serambi masjid. Pradata dilaksanakan di pendhopo. Pradata ini mengatur perkara publik dan privat. Pradata juga berkembang menjadi peradilan surambi yaitu memasukkan unsur-unsur dari hukum Islam. Surambi dipimpin oleh penghulu dan dibantu oleh alim ulama sebagai anggota majelis (lihat di buku Oyo Sunaryo Mukhlas, dalam “Perkembangan Peradilan Islam” hal 125).
Surambi memberikan ruang penyelesaian perkara Adat Jawa. Selain itu juga diberikan ruang untuk para alim ulama dalam memberikan nasehat kepada Sultan.  Di masa Kesultanan Mataram ini telah dikenal istilah perdata dan pidana, jika dibandingkan dengan Kesultanan Samudera Pasai, Kesultanan Mataram ini jauh lebih spesifik dan mampu mengakomodasi hukum adat setempat, yakni adat Jawa.
C.    Peradilan di Priangan
Priangan, khususnya di Kesultanan Cirebon juga memiliki peradilan, yaitu peradilan agama, drigama, dan cilaga yang berkewenangan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Peradilan agama adalah peradilan yang mengusut tuntas perkara agama dengan berdasarkan hukum adat. Sementara peradilan cilaga, adalah peradilan khusus niaga/ dagang. Jika dibandingkan dengan peradilan Di masa Samudera Pasai dan Mataram, maka peradilan di Cirebon ini telah sempurna, dilihat dengan adanya peradilan ekonomi yaitu cilaga, dan peradilan agama. Mungkin hal inilah yang menjadi rujukan bagi sarjana hukum dalam merumuskan system peradilan di jaman kini.
Ketegasan hakim dinilai sebagai posisi sentral dalam menentukan nasib para pihak yang berselisih. Maka sebagai calon hakim, perlu memenuhi persyaratan ketat yang ditentukan dalam panca Dharma hakim, sebagai berikut:
·         Kartika, dengan dilambangkan sebagai bintang. Artinya hakim harus bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seorang hakim bertanggung jawab dalam memutuskan perkara dan kepada Tuhannya.
·         Cakra, dilambangkan sebagai senjata dewa, cakra. Artinya, hakim harus membasmi kezaliman. Ia harus berpihak pada kebenaran.
·         Candra, dilambangkan sebagai bulan. Artinya, hakim harus arif, berwibawa, dan bijaksana dalam memutuskan perkara.
·         Sari, dilambangkan sebagai bunga. Artinya hakim harus dapat dicontoh, baik saat memutuskan perkara ataupun di luar kantor.
·         Tirta, dilambangkan sebagai air. Artinya, hakim harus bersih dari gratifikasi.
Sistem pengadilan di Cirebon dilaksanakan oleh tujuh orang Menteri yang mewakili tiga Sultan, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon. Segala acara yang menjadi sidang itu diputuskan menurut Undang-Undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan Adilullah.[4]
D.    Peradilan di Banten
Pengadilan Islam di Banten dipimpin oleh seorang qadhi sebagai pemutus perkara tunggal.  Dalam hal ini tidak dijelaskan secara gambling bagaimana bentuk peradilan di masa itu, akan tetapi dapat dilihat bahwa peran qadhi disini sangatlah vital dalam memutuskan perkara. Hal ini sama seperti di jaman Khalifah Abu Bakar dimana hukum diserahkan pada qadhi tunggal.
Di banten inilah Islam memang sudah  masuk sejak dulu. Meskipun hampir bersamaan memeluk agama Islam dengan Cirebon, tetapi Cirebon masih terikat dengan norma-norma hukum dan adat kebiasaan Jawa-kuno. Ini nampak dari perbedaan dalam tata peradilan di kedua kesultanan itu. Pengadilan di Banten disusun menurut pengertian Islam. jika sebelum tahun 1600 pernah ada bentukan-bentukan pengadilan yang berdasarkan pada hukum Hindu. Namun saat Sultan Hasanudin memegang kekuasaan, sudah tidak ada lagi bekas dari hukum hindu. Di abad ke-17 di Banten hanya ada satu macam pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh Kadhi sebagai hakim seorang diri. Namun ada satu hukum / peraturan yang masih mengingatkan pada pengaruh hukum Hindu, bahwa hukuman mati yang dijatuhkan oleh Kadhi, masih memerlukan pengesahan dari Raja. [5]
Maka dapat disimpulkan bahwa meskipun qadhi adalah pemutus perkara tunggal, tetapi masih ada peran eksekutif dari sang raja yaitu berbentuk pengesahan.

E.     Peradilan di Sulawesi (Gowwa-Tallo)
Tidak banyak sumber yang menyebutkan sejarah peradilan Islam di Kerajaan Sulawesi. Mungkin kerajaan Gowwa Tallo dapat menjadi sampel dalam hal menjelaskannya.
Melalui jalur sruktural, atau melalui sentuhan politis, Islam masuk dan membangun pranata sosial di wilayah kesultanan. Pada masa Sultan Malikus Said, dibentuklah parewa Syara’ (pejabat agama) sederajat dengan parewa adek (pejabat adat). Parewa Syara’ ini dipimpin oleh seorang qadhi. Secara jalur kultural, Islam memberikan sumbangan pemikiran bahwa pembentukan kampung harus terdapat langgar dan imam.[6]

Maka peran qadhi disini sangatlah kuat dalam pemutusan perkara dan menduduki posisi penting dalam administrasi kerajaan waktu itu.
F.     Peradilan di Banjar (Kalimantan Selatan)
Kehidupan keagamaan diwujudkan dengan adanya mufti-mufti dan qadhi-qadhi, ialah hakim serta penasehat kerajaan dalam bidang agama. Dalam tugas mereka, terutama adalah menangani masalah-masalah berkenaan dengan hukum keluarga dan hukum perkawinan. Demikian pula Qadhi, di samping  menangani masalah-masalah hukum privat, teristimewa juga menyelesaikan perkara-perkara pidana atau dikenal dengan Had. Tercatat dalam sejarah Banjar, diberlakukannya hukum bunuh terhadap orang Islam yang murtad, hukum potong tangan untuk mencuri, dan mendera siapa saja yang kedapatan melakukan zina. Bahkan dalam tatanan hukum kerajaan Banjar telah dikodifikasikan dalam bentuk sederhana, aturan-aturan hukum yang sepenuhnya berorientasi kepada hukum Islam, kodifikasi itu dikenal kemudian dengan Undang-Undang Sultan Adam.
Pada akhirnya kedudukan Sultan di Banjar bukan hanya sebagai pemegang kekuasaan dalam kerajaan, tetapi lebih jauh diakui sebagai ‘Ulul Amri kaum muslimin di seluruh kerajaan.[7]

Artinya, di kesultanan Banjar sudah diatur bagaimana mengatasi masalah perdata dan pidana. Sehingga dengan adanya agama Islam, maka pengaruh hukum Islam sangatlah besar dalam merumuskan hokum di kesultanan Banjar. Selain kesultanan yang bersifat toleran terhadap peran Islam, mereka juga sangat terbuka dan mampu beradaptasi dengan baik.
IV. Kesimpulan dan Penutup

1.       Struktur Peradilan di kerajaan Samudera Pasai adalah Tingkat pertama dilaksanakan oleh pengadilan tingkat kampung yang dipimpin oleh keuchik. Pengadilan itu hanya menangani perkara-perkara ringan sedangkan pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan banding kepada ulee balang (pengadilan tingkat kedua). Selanjutnya dapat di lakukan banding kepada Sultan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sementara di kerajaan Mataram, strukturnya ialah Pradata ini mengatur perkara publik dan privat. Pradata juga berkembang menjadi peradilan surambi yaitu memasukkan unsur-unsur dari hukum Islam. Surambi dipimpin oleh penghulu dan dibantu oleh alim ulama sebagai anggota majelis.
2.       Kerajaan Cirebon memiliki Peradilan agama, yaitu  peradilan yang mengusut tuntas perkara agama dengan berdasarkan hukum adat dan  peradilan cilaga, yaitu peradilan khusus niaga/ dagang . Kesultanan Banten, memiliki satu macam pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh Kadhi sebagai hakim seorang diri. Namun ada satu hukum / peraturan yang masih mengingatkan pada pengaruh hukum Hindu, bahwa hukuman mati yang dijatuhkan oleh Kadhi, masih memerlukan pengesahan dari Raja.
3.       Kerajaan Banjar, memiliki sistem peradilan yang menangani masalah-masalah berkenaan dengan hukum keluarga dan hukum perkawinan. Demikian pula Qadhi, di samping  menangani masalah-masalah hukum privat, teristimewa juga menyelesaikan perkara-perkara pidana, sementara Kerajaan Gowwa-Tallo, dibentuk parewa Syara’ (pejabat agama) sederajat dengan parewa adek (pejabat adat). Parewa Syara’ ini dipimpin oleh seorang qadhi. Prosedur peradilannya sama persis dengan peradilan Islam pada umumnya.
4.       Pengaruh agama dalam sistem peradilan Islam di masa Kesultanan adalah sangat kuat, dengan berbaur bersama hukum adat setempat.


Alhamdulillah, demikian paper ini saya buat. Tentunya masih banyak kekurangan, maka dengan lapang hati, penyusun mengharapkan saran dan kritik dari Bapak Dosen Pengampu dan teman-teman pembaca. Atas perhatiannya, saya ucapkan banyak terimakasih.

V. Daftar Pustaka

·         Mukhlas, Oyo Sunaryo. 2011. “Perkembangan Peradilan Islam dari Kahin di Jazirah Arab ke Peradilan Agama di Indonesia.” Bogor: Ghalia Indonesia.
·         http://www.


[1] Abdul Halim, “Politik Hukum Islam Indonesia.” (Ciputat Press: 2005) hlm. 48
[2] Oyo Sunaryo Mukhlas, “Perkembangan Peradilan Islam dari Kahin di Jazirah Arab ke Peradilan Agama di Indonesia”, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) hlm.119
[3] http://www.
[4] http://
[5] http://
[6]  Oyo Sunaryo Mukhlas, “Perkembangan Peradilan Islam dari kahin di jazirah Arab ke Peradilan Agama di Indonesia” (Bogor:Ghalia Indonesia:2011) halaman 130.
[7] http://

Jumat, 27 September 2013

penelitian terhadap pacaran di sebuah kampus



BAB I
A.    PENDAHULUAN
I.                   Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini tampak mahasiswa/mahasiswi  Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Salatiga memperlihatkan perilaku-perilaku yang tidak pada tempatnya. Untuk berangkat ke kampus misalnya, mereka sudah terbiasa berjalan  atau berboncengan motor dengan mesra bersama lawan jenisnya. Mereka pun telah terbiasa berbincang-bincang (ikhtilath) tanpa harus malu ketika diperhatikan orang-orang di sekitarnya. Fenomena pacaran agaknya juga sudah dianggap sebagai hal yang umum.
Dengan cepatnya arus globalisasi dengan ditandai dengan munculnya beberapa perangkat komunikasi yang canggih dan semakin banyaknya akses komunikasi yang cepat. Situs jejaring sosial seperti facebook, twitter, e-mail, friendster, dan lain-lainnya dapat membantu mahasiswa/mahasiswi dalam berkomunikasi, mencari teman, atau bahkan mencari pacar via dunia maya. Tidak hanya itu, acara-acara televisi yang tidak mendidik seperti sinetron-sinetron bernuansa cinta atau film-film Barat yang menawarkan gaya hidup (life style) bebas semakin membentuk kepribadian yang cenderung menghalalkan yang haram seperti berciuman, berpelukan, dan lain-lain.
Di sisi lain banyak mahasiswa/mahasiswi yang tinggal di kost atau di asrama-asrama organisasi yang jauh dari pengawasan orang tua. Hal ini mempermudah mereka untuk  lebih bergaul bebas atau bahkan berpacaran. Sementara itu peran seorang dosen hanya sebagai fasilitator bukan sebagai pendidik rohani layaknya seorang kiai kepada santrinya. Sehingga pada akhirnya tidak ada pengawasan yang bersifat ekstra terhadap mahasiswa/mahasiswinya.
Padahal sebagai mahasiswa/mahasiswi SAIN Salatiga, mereka dituntut untuk belajar. Selain itu sebagai hamba Allah. Swt, mereka diwajibkan untuk beribadah dan menimgkatkan iman dan taqwa mereka sebagai aplikasi dari ilmu-ilmu agama yang mereka pelajari di kampus.
II.                Rumusan Masalah

·         Nah, bagaimanakah perspektif mahasiswa/mahasiswi STAIN Salatiga mengenai pacaran dan apa alasan mereka berpacaran?
·         Lalu bagaimanakah pengaruh pacaran terhadap motivasi belajar dan tingkat ketaqwaan mereka? Mari kita kaji secara mendalam masalah ini!
III.             Tujuan Penelitian
·         Meneiliti seberapa jauh peran pacaran terhadap perkembangan akademik mahasiswa STAIN Salatiga.
·         Meneliti seberapa besar peran pacaran terhadap motivasi belajar dan ketaqwaan mahasiswa STAIN Salatiga.





B.     TELAAH PUSTAKA

I.       Pengertian pacaran
 Menurut Fachri Aji Putra, pacaran adalah proses perkenalan dua insan manusia, pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan. Menurut Faiz Mubarok, seorang mahasiswa STAIN Salatiga, mengartikan pacaran sebagai hubungan biasa yang ujung-ujungnya adalah pernikahan. Sementara menurut Dace, seorang mahasiswa asal Karawang mendefinisikan pacaran sebagai hubungan pendekatan pra nikah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pacaran adalah proses pencarian karakter pasangan sebelum menjalani jenjang pernikahan.
Dari semua perubahan yang terjadi dalam sikap dan perilaku sosial, yang paling menonjol terjadi di bidang hubungan heterososial. Dalam waktu yang singkat remaja mengadakan perubahan yang radikal yaitu dari tidak menyukai lawan jenis sebagai teman daripada teman sejenis (Sijabat, 1996:220). Ini adalah hal wajar di kalangan remaja, apalagi remaja masa kini.
Berbicara mengenai pacaran, tidak lepas dari arti cinta. Menurut Al-Hilali (2008:11) dalam Mukaddimah karyanya yang berjudul Quantum Cinta, menyebutkan bahwa cinta adalah bagian alami dari emosi manusia, interaksi hati yang dirasakan seseorang ketika cenderung dan tertarik kepada orang lain.
Teori triangular (cinta berbentuk utama tiga) yang dikemukakan oleh Steinberg, mendasarkan cinta sebagai gairah, keintiman, dan komitmen  (Desmita, 2010:243).
Proses fisiologi seseorang sebelum jatuh cinta adalah pertama, kontak mata yang memunculkan rasa romantis; kedua, muncul hormon phenylethamine (PEA) dari otak yang memunculkan senyuman; ketiga, setelah gelora cinta reda, hormon endhorphins menimbulkan rasa damai (Jannah, 2006:241).
Tanda-tanda cinta: banyak menyebut nama yang dicintai, kagum, rela berkorban, menuruti apa-apa saja yang diminta kekasih. Pengaruh cinta sangatlah besar bagi manusia antara lain: rindu, berbunga-bunga ketika dekat dengan kekasih, cemburu jika ada orang lain mendekati kekasih dan menganggap benar apa-apa yang dilakukan kekasih.
Menurut Desmita (2010:243), Tahapan pacaran meliputi:
1)      Ketertarikan.
2)      Ketidakpastian, atau setelah tertarik pada seseorang yang lain, seseorang akan mengalami hal yang tidak pasti (berpikir apakah orang yang disukai juga tertarik padanya).
3)      Komitmen dan ketertarikan (keinginan untuk kencan secara eksklusif, energi-energi untuk saling cinta).
4)      Keintiman (merasa lebih rileks dari sebelumnya).

II.                Pengertian motivasi
            Menurut Fachri Aji Putra, motivasi adalah suatu pendorong yang mengubah energi dalam diri seseorang ke dalam bentuk aktivitas nyata untuk mencapai  tujuan tertentu. Sementara menurut mahasiswa berNIM 21312094 (tidak mau disebut namanya), motivasi adalah pemicu keberhasilan. Modelnya antara lain bisa berupa hadiah, pujian, atau malah bahkan hukuman.

III.             Model-Model Pacaran
A.    Pacaran Islami/ Cinta Imani
Yang disebut dengan pacaran Islami/ cinta Islami adalah lahir dari ketulusan iman kepada Allah. Swt bukan sekedar memenuhi nafsu fisik belaka (Jannah, 2006:247). Jika melihat pengertian ini, maka kesimpulannya adalah pacaran Islami adalah hanya untuk ta’aruf dan taqarrub. Pacaran Islami memilki arti bahwa seseorang tidak melakukan perbuatan yang mengarah pada perzinaan, tidak menyentuh kulit kekasih, iffah (menjaga pandangan, dan menutupi auratnya).
Tahap perkembangan agama di usia awal dewasa (18-40 tahun) berdasarkan theory of faith, adalah ketika seseorang lebih mendalami nilai-nilai agama dan imannya (Desmita, 2010:209).
Cinta imani biasanya ditandai dengan perilaku menolak permintaan kekasih ketika permintaannya itu melanggar perintah Allah (Jannah, 2006:248). Sehingga ketika kekasih memintanya untuk bermaksiyat, maka secara otomatis seseorang yang mencintainya itu menolak, baik secara halus ataupun secara keras.
 Menurut Akrom (2010:41), “Bukan berarti seseorang tidak boleh mencintai yang lain, namun yang dituntut adalah bahwa cintanya kepada Allah haruslah lebih besar dari cintanya kepada selain Allah.  Sehingga cinta harus dimiliki seorang hamba dalam berinteraksi dengan Rabb-Nya (Febriangga, 2008:14).
B.     Pacaran Syahwati
Cinta Syahwati diartikan sebagai cinta yangmana jika seseorang itu menuruti apa-apa yang diminta kekasih walaupun itu dilarang oleh Allah. Swt. Cinta yang seperti ini biasanya justru melemahkan iman atau bahkan menjadikan kita kufur pada allah. Swt. Kesimpulannya adalah pacaran seperti ini hanya didasarkan atas nafsu dan hanya untuk senang-senang belaka


C.    METODE PENELITIAN

I.                   Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah argumentatif kuantitatif.
II.                Subyek dan Lokasi yang diteliti
Subyek yang diteliti adalah mahasiswa/i STAIN Salatiga semua progam studi. Lokasi penelitian berada di STAIN Salatiga mencakup kampus 1 dan 2.
III.             Sumber Data
·         Primer yaitu perilaku sehari-hari mahasiswa/i STAIN Salatiga.
·         Sekunder yaitu melalui telaah pustaka.
IV.             Teknik Pengumpulan Data
·         Angket, berupa kuesioner.
·         Bedah Pustaka.

BAB III. PEMBAHASAN
A.    Argumentasi Mahasiswa STAIN Salatiga Mengenai Peran Pacaran terhadap Tingkat Keaktifan Ibadah dan Kuliah

1.      Argumentasi mahasiswa yang menguatkan pendapat bahwa pacaran menambah semangat semangat belajar dan ibadah
Sebelum merujuk pada perspektif mahasiswa STAIN Salatiga, ada baiknya kita tengok beberapa teori yang mendukung untuk masalah ini.
Bila prestasi yang baik diharapkan memberi kepuasan bagi remaja, maka prestasi itu mencakup bidang-bidang yang penting bagi kelompok sebaya dan dapat menimbulkan harga diri dalam pandangan kelompok sebaya. (Sijabat, 1996:220).
Menurut Dina, mahasiswi HES menyatakan bahwa dengan berpacaran, semangat kita akan bertambah apalagi jika masih satu kampus,  pacaran dapat menambah semangat untuk lebih aktif kuliah, karena kita akan malu jika nilai jelek.
Menurut Puput, mahasiswi TBI menyatakan bahwa dengan berpacaran seorganisasi, kita dapat menunjukkan bakat, kelebihan, kecerdasan, dan kebolehan di depan sang kekasih. Sedangkan menurut Azalia, mahasiswi PBA menyebutkan  bahwa dengan pacaran kita akan senang, jika senang maka belajar akan lancar.
Dan masih banyak lagi mahasiswa yang menegaskan bahwa dengan berpacaran spirit ibadah kita akan bertambah besar. Apalagi kalau pacarannya masih di batas kewajaran atau bisa dikatakan pacarannya masih sehat, begitu mahasiswa/i STAIN Salatiga menyebutnya.
Cinta Imani biasanya mendekatkan kita kepada Sang Khalik, dzikir adalah satu sarana untuk mendekatkan diri pada-Nya. Zikir adalah salah satu cara menyongsong ketenteraman dalam hidup (Akrom, 2010:18). Menurut Akrom (2010:41), “Barangsiapa banyak menyebut nama Allah swt. Atau yang berkaitan dengan-Nya, baik langsung maupun tidak langsung, sekalipun hal itu dilakukan secara terpaksa, maka akan menimbulkan rasa cinta kepada-Nya.”
Menurut F.N Pits Jr dan J.N Mc Lure Jr, sebagaimana dikutip oleh Jannah (2006:251), “ Dzikir jiwa/relaksasi mengakibatkan konsumsi oksigen menurun dan produksi gelombang alpha seimbang, sehingga terjadi penurunan laktate darah, yaitu zat yang diproduksi oleh metabolism urat syaraf, sehingga seseorang menjadi tenang, terhindar dari rasa takut, khawatir, sedih dan bingung (psikomatik).
Melanggengkan dzikir Alhamdulillah (memuji Allah) merupakan salah satu amal shaleh yang disukai Allah (Febriangga, 2008: 245). Selain dzikir, ada pula sarana yang lain. Membaca Qur’an misalnya. Al-Qur’an adalah sarana untuk dzikir dan pengubah ma’rifat menjadi iman yang kuat sebagai bukti cinta seorang hamba kepada Allah (Febriangga, 2008:222). Disamping  pentingnya mentafakuri ayat qauliyah (Al-Qur’an) dan ayat kauniyah (alam), serta mengenal Allah melalui dua objek tersebut untuk memperkuat pondasi cinta, kita juga perlu memantapkan rasa cinta yang ada dalam hati seorang hamba (Akrom, 2010:235).
 Mungkin fakta yang didapat akan jauh berbeda dengan teori-teori yang telah dikemukakan di atas.


2.      Argumentasi mahasiswa STAIN Salatiga yang menguatkan pendapat bahwa pacaran melesukan semangat berprestasi dan ibadah
Sebelum merunut pandangan-pandangan mahasiswa, mari kita tengok teori yang mendukung hal ini. Menurut Jannah (2006:243) berdasarkan penelitian Psikolog Swiss Andreas Bartels, bahwa “ Bartels meminta sukarelawan melihat foto orang yang dicintainya sambil otaknya dipindai. Pemindaian dilakukan untuk mengetahui jumlah darah yang dipompa ke kepala, yang dapat menerangkan bagaimana kinerja otak pada saat itu. Ternyata, jumlah sirkulasi darah ke otak berkurang banyak. Bagi otak, hal ini hanya berarti satu hal: aktivitas sel-sel otak menurun dan kecerdasan pun menurun.
Dengan menggunakan pemindai magnetik, MRI, Bartels melihat bahwa ketika melihat foto 11 wanita dan 6 pria di University College London, dua area terpisah: insula-(asosiasi perasaan mendalam) dan area cinguli- (asosiasi kegembiraan berlebihan) sangat aktif ketika melihat kekasih, artinya adalah foto ini meluluhlantakkan konsentrasi dan kecerdasan.
Nyala otak itulah yang menunjukkan adanya keinginan seks (Jannah, 2006:245). Lagipula seperti dilansir dari Kompas, 26 Mei 1996, bahwa penelitian pada 200 mahasiswa UI bahwa 36,2 % ngeseks karena ungkapan sayang, rasa memiliki, keakraban, dan perhatian.
Menurut Amelia, mahasiswi TBI menyatakan bahwa dengan berpacaran, konsentrasi kita akan terganggu apalagi saat ada masalah dalam percintaan.
3.      Analisis Data
Dari 30 responden yang terdiri dari mahasiswa/i STAIN Salatiga di semua progdi, akan kita ketahui kesimpulan dari penelitian ini. Karena ada dua pandangan mengenai peran pacaran terhadap semangat akademik dan ketaqwaan, maka mari kita analisis tabel di bawah ini:
 Jumlah mahasiswa dalam tinjauan indikator motivasi belajar
N= 30
x= motivasi belajar

No.
Indikator
Jumlah
1
Rajin
21
2
diskusi
16
3
kenaikan Nilai
7
4
absensi
13
5
konsentrasi ke Dosen
5
6
Rasa Ingin Tahu
12
7
Aktif Organisasi
8
8
Minat Baca
14
N= Jumlah mahasiswa/i
Tabel (3.1)








Jumlah mahasiswa/i ditinjau dai indikator ketaqwaan
N= 30
y= ketaqwaan

No.
Indikator
Jumlah
1
Taqarrub
21
2
Salat Lail
14
3
Salat Jama'ah
16
4
Hijab
16
5
Puasa Sunah
15
6
Infak
13
7
Tilawatil Qur'an
15
8
Sabar
14
9
Amanah
17
10
Pasrah
17
11
Menahan Marah
19
12
Pemaaf
19
13
Sayang sesama Makhluk
18

Tabel (3.2)
Tabel Korelasi Product Moment Peran Pacaran terhadap Motivasi Belajar dan Ketaqwaan
N= 30





No.
x
y
xy
1
210
210
44100
44100
44100
2
160
140
25600
19600
22400
3
70
160
4900
25600
11200
4
130
160
16900
25600
20800
5
50
150
2500
22500
12500
6
120
130
14400
16900
15600
7
80
150
6400
22500
1200
8
140
170
19600
28900
23800
9

170

28900
0
10

190

36100
0
11

190

36100
0
12

180

32400
0
13

160

25600
0
total
960
2160
134400
364800
151600

N= Jumlah mahasiswa/i, x= motivasi belajar, y= ketaqwaan
Tabel (3.3)
Maka kita hitung dengan cara korelasi product moment untuk mengetahui besarnya pengaruh pacaran terhadap motivasi belajar dan ketaqwaan, yaitu dengan mencari simpangannya (Rxy). Rumusnya adalah sebagai berikut:
Rxy= total xy – (totalx) (total y)
N
Akar{ (total x²) – (totalx)²}{totaly²} – (totaly
N                             N                

=  151600 - 960*2160
        30                       
Akar134400 – 30720*364800 – 72
= 10846080
Akar11206521528
= - 0,17
Karena α= 0,05% maka Rxy tabel= 0,707, dengan kriteria Rxy hitung ≥ Rxy tabel maka hipotesis awal (H0) ditolak. Rxy Hitung= - 0,17, dan Rxy tabel= 0,707. Sehingga Rxy Hitung≤ Rxy tabel, maka H0 diterima. Konklusinya adalah tidak ada hubungan secara signifikan antara pacaran dengan motivasi belajar dan ketaqwaan.
Kesimpulan akhir dari penulis adalah terserah pada individunya, sebab menurut fakta yang terjadi ada dua pandangan mengenai hal ini. Ada yang menyebutkan pacaran menambah semangat belajar, ada pula yang mengatakan bahwa pacaran justru melesukan keduanya. Karena kita tahu bahwa terkadang teori yang selma ini berkembang berbeda dengan fakta yang ada sebab kehidupan ini dinamis.
4.      Rekomendasi MahasiswaSTAIN Salatiga terhadap Kasus Pacaran
a.      Terhadap mahasiswa/i yang berpacaran
1)      Kontrol diri (Risa Suryani, TBI,11311040), lebih fokus kuliah (Astina).
2)      Tidak keluar dari jalur kesusilaan, norma-norma dan syari’at (Honang.A.R, TBI, 1131114).
3)      Mengurangi frekuensi pertemuan agar terhindar dari maksiyat
4)      Pacaranlah secara Islami (Naily, 21312086).
5)      Gunakan pacaran sebagai pemicu keberhasilan (21312094). Ambil manfaatnya, karena hal itu bisa dijadikan sebagai motivasi (Edi Supriyanto, PAI, 11111009).
6)      Jangan banyak keluar malam (Ainul Fadziah).

b.      Terhadap mahasiswa/i yang berpacaran di luar norma-norma dan syari’at
1)      Ingat kerja keras orang tua, masak di STAIN Salatiga hanya bisa pacaran, aneh-aneh lagi (Aris Lathifah, TBI). Jangan melewati batasan, karena itu tidak baik (Ainul Fadziah, 11310141).
2)      Hati-hati dalam berpacaran (Faiz Mubarok, TBI, 11311139). Disarankan agar tidak salah pergaulan (Ubaidulloh, 21312110). Nasehat sangt penting karena pacaran syahwati itu sama esensinya dengan zina. Bagi mahasiswi hal itu hanya akan membuat mereka menyesal, rugi dan sakit hati karena kehilangan harta paling berharganya.
3)      Jangan diulangi, segeralah bertaubat (Honang.A.R, TBI). Alloh. Swt Maha Tahu apa-apa yang kita perbuat (11212067).
4)       Segeralah menikah (Ersa Dewana, TBI).

c.       Terhadap orang tua mahasiswa/i
Peran orang tua adalah mengawasi pergaulan, tontonan TV, bacaan anak, dan mengajari mereka berhijab (Ulwan, 1996:210). Orang tualah yang menjadi panutan dalam memberikan bimbingan agama sehingga anak-anaknya tertata moralnya (Yusuf, 2001:133).
1.      Nasehatilah agar berpacaran secara wajar dan sehat, mengawasi lebih intens (Ana Soraya, PAI, 1111113). Berilah pengertian dan arahan positif kepada anak. Jika anak sudah dewasa akhir, berikan ia kepercayaan.
2.      Jagalah anak (Masrul Hakim, PAI,11111015).
3.      Intropeksi diri dan mengerti anak (Andri. P)
4.      Jika pacaran sudah menuju jenjang lanjut, maka lanjutkan (nikahkan mereka) (Fuilal Nirdiyah, 11212008).

d.      Terhadap Dosen
Peran dosen adalah meniupkan semangat tabah, menerapkan keadilan bagi anak-anak, dan memotivasi mereka untuk mendengar ceramah, pidato motivasi, dan  membaca majalah dakwah (Ulwan, 1996:133-143). Yusuf (2001:136) mengatakan bahwa kualitas beragama anak sangat bergantung pada proses pendidikan yang diterima dan lingkungannya.
1)      Nasehati mereka untuk tidak pacaran dahulu (fokus kuliah), jika belum saatnya berpacaran maka laranglah mereka. (Honang.A.R).
2)      Mendukung jika hal itu baik bagi mereka (anggap biasa saja karena ujung-ujungnya adalah menikah) (Faiz Mubarok). Dukung mereka (Asmiranda, 11212087). Tetapi jika sampai tidak enak dipandang, tegur mereka.
3)      Berikanlah penjelasan tentang pacaran yang positif (Masrul Hakim) atau semacam pengarahan (Edi Cahyono, PAI, 1111118), beri mereka pemahaman dan mediasi.
4)      Support mereka untuk menikah saja ( M. Imam.H, PAI, 1111150).



BAB IV. PENUTUP

Alhamdulillahirabbil ‘Alamin, berkat usaha keras dan seluruh bantuan dari berbagai pihak, tugas pembuatan karya tulis ini dapat selesai dengan tanpa ada halangan suatu apapun. Tentunya dalam pembuatan karya tulis ini masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Maka dari itu, saya memohon dengan sangat kepada Bapak Dosen dan teman-teman pembaca untuk selalu memberikan kritik dan saran agar karya tulis ini menjadi lebih baik lagi.
Demikian ada kurang lebihnya, atas nama penulis senantiasa mohon maaf sebesar-besarnya. Akhirnya semoga karya tulis ini selalu memberi kemanfaatan bagi kita semua. Amin.




DAFTAR PUSTAKA

·         Akrom, Muhammad. 2010. “Zikir Obat Hati.” Yogyakarta: Mutiara Media.
·         Desmita.2010. “ Psikologi Perkembangan.” Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
·         Febriangga, Wendy (ed). 2008. “Quantum Cinta.: Bagaimana Melejitkan Kualitas Cinta Anda kepada-Nya.” (Terjemahan dari “Kaifa Nuhibbullaha wa Nasytaqu Ilaihi). Surakarta: Insan Kamil.
·         Jannah, Izzatul. 2006. “ Materi Tarbiyah untuk Remaja.” Surakarta: Ziyad Books.
·         Sijabat, Ridwan Mas (ed). 1996. “Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.” (Terjemahan dari “ Developmental Psycology, A Life-Span Approach, Fifth Edition). Jakarta: Erlangga.
·         Ulwan, Abdullah Nashih. 1981. “Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam.” Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.