Pendahuluan
I.
Hukum Islam Masa Kerajaan Nusantara
Penelusuran dan penelitian terhadap Hukum Islam di masa kerajaan
agaknya hanya terbatas pada wilayah kesultanan, tidak merambah ke karajaan
Hindu-Budha. Proses Islamisasi melalui
jalur perdagangan ternyata mempengaruhi cara penduduk asli mengkotak-kotakkan
strata. Menurut mereka, kelompok pedagang ini termasuk orang-orang yang
beruntung, karena harta kekayaan yang dimiliki. Hal ini tidak lepas dari
pengkelasan yang dilakukan oleh agama sebelumnya, yaitu Hindhu.Tentunya aturan
kewarisan didasarkan atas Hukum Waris Islam dan diakulturasikan dengan Hukum
adat setempat.
Lalu berkembanglah Islam di nusantara ini melalui peran para wali,
yang menumpang kapal para saudagar. Akhirnya tradisi tahkim, warisan dari Zaman
Ali bin Abi Thalib pun diperkenalkan ke negeri ini, prinsip musyawarah dan
fatwa mulai menghiasi corak Hukum Adat, terutama di lingkungan Kesultanan.
Semenjak Kesultanan pertama, Malik Al-Shalih ( w. 1297 M), pola
tahkim mulai berkembang menjadi tauliyah, yakni putusan diserahkan pada Qadhi.
Inilah awal mula peradilan Islam di Indonesia terbentuk.[1]
II. Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
struktur peradilan Islam di masa Kerajaan?
2.
Bagaimanakah
prosedur peradilan di masa kerajaan Islam?
3.
Bagaimanakah
pengaruh agama Islam dalam dinamika hukum Islam kala itu?
III. Pembahasan
Menurut Seminar Masuknya Islam di Indonesia tahun 1963, diputuskan
bahwa Islam masuk ke Nusantara awal abad ke-7 M. Sejak abad ke-13/14 M, baru
Islam dianggap sebagai kekuatan politik dan menggeser adat setempat secara
perlahan dan berkolaborasi dengannya.[2]
Periode
tauliyah, para hakim-hakim diangkat oleh raja-raja Islam selaku waliyul’amri.
A.
Peradilan di Masa Samudera Pasai
Islam
masuk ke Indonesia sekitar abad ke 13/14 M yang di mulai di kerajaan Samudera
Pasai. Penyiaran Islam ini di bawa oleh para pedagang-pedagang dari Hadramaut
dan Gujarat India dan sebagian kecil dari orang-orang Persia. Perkembangan
Islam pada masa ini lebih dominan di daerah-daerah pesisir pantai yang lebih
dekat dengan pelabuhan sedangkan di daerah-daerah pedalaman Islam lebih sedikit
karena terbatasnya transportasi pada saat itu.
Kerajaan
ini adalah salah satu kerajaan Islam yang menerapkan hukum pidana Islam.
Menurut
Hamka, dari Pasailah dikembangkan faham Syafi’i ke kerajaan-kerajaan Islam
lainnya di Indonesia, bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500
M) para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasai untuk meminta kata
putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam masyarakat.
Pelaksanaan
hukum Islam menyatu dengan pengadilan dan diselenggarakan secara berjenjang.
Tingkat pertama dilaksanakan oleh pengadilan tingkat kampung yang dipimpin oleh
keuchik. Pengadilan itu hanya menangani perkara-perkara ringan sedangkan
pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan banding kepada ulee balang
(pengadilan tingkat kedua). Selanjutnya dapat di lakukan banding kepada Sultan
yang pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung yang keanggotaannya terdiri
atas Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandhara, dan
Faqih (ulama).
Pelaksanaan
hukum pidana Islam telah dilaksanakan dikerajaan ini, seperti pelaksanaan
hukuman rajam untuk Meurah Pupoek, seorang anak raja yang terbukti melakukan
zina. Pelaksanaan hukum Islam pada kerajaan ini tidak mengenal jabatan atau
golongan, mulai dari keluarga kerajaan sampai rakyat biasa apabila terbukti
melanggar hukum Islam pasti akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan
perbuatannya.[3]
Jika dilihat sepintas, peradilan di Samudera Pasai ini memiliki
hierarki seperti peradilan di saat ini,
disana ada peradilan tingkat pertama (keuchik), tingkat kedua (ulee balang),
dan tingkat akhir (MA). Meski tidak sekompleks sekarang ini dimana peradilan
mencakup ruang lingkup masing-masing seperti pengadilan militer, pengadilan TU,
pengadilan umum, dan pengadilan tinggi. Tetapi peradilan di masa Kesultanan
Samudera Pasai ini telah menjadi embrio peradilan Islam di Indonesia.
B.
Peradilan Islam di Mataram
Saat diperintah oleh Sultan Agung, peradilan Negara disebut peradilan pradata, yang
dipimpin oleh raja. Pradata sendiri berarti pradatan, yaitu tempat yang
terpisah dari serambi masjid. Pradata dilaksanakan di pendhopo. Pradata ini
mengatur perkara publik dan privat. Pradata juga berkembang menjadi peradilan surambi
yaitu memasukkan unsur-unsur dari hukum Islam. Surambi dipimpin oleh
penghulu dan dibantu oleh alim ulama sebagai anggota majelis (lihat di buku Oyo
Sunaryo Mukhlas, dalam “Perkembangan Peradilan Islam” hal 125).
Surambi memberikan ruang penyelesaian perkara Adat Jawa. Selain itu
juga diberikan ruang untuk para alim ulama dalam memberikan nasehat kepada
Sultan. Di masa Kesultanan Mataram ini
telah dikenal istilah perdata dan pidana, jika dibandingkan dengan Kesultanan
Samudera Pasai, Kesultanan Mataram ini jauh lebih spesifik dan mampu
mengakomodasi hukum adat setempat, yakni adat Jawa.
C.
Peradilan di Priangan
Priangan, khususnya di Kesultanan Cirebon juga memiliki peradilan,
yaitu peradilan agama, drigama, dan cilaga yang berkewenangan
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Peradilan agama adalah peradilan yang
mengusut tuntas perkara agama dengan berdasarkan hukum adat. Sementara
peradilan cilaga, adalah peradilan khusus niaga/ dagang. Jika
dibandingkan dengan peradilan Di masa Samudera Pasai dan Mataram, maka
peradilan di Cirebon ini telah sempurna, dilihat dengan adanya peradilan
ekonomi yaitu cilaga, dan peradilan agama. Mungkin hal inilah yang menjadi
rujukan bagi sarjana hukum dalam merumuskan system peradilan di jaman kini.
Ketegasan hakim dinilai sebagai posisi sentral dalam menentukan
nasib para pihak yang berselisih. Maka sebagai calon hakim, perlu memenuhi
persyaratan ketat yang ditentukan dalam panca Dharma hakim, sebagai berikut:
·
Kartika,
dengan dilambangkan sebagai bintang. Artinya hakim harus bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Seorang hakim bertanggung jawab dalam memutuskan perkara dan
kepada Tuhannya.
·
Cakra,
dilambangkan sebagai senjata dewa, cakra. Artinya, hakim harus membasmi
kezaliman. Ia harus berpihak pada kebenaran.
·
Candra,
dilambangkan sebagai bulan. Artinya, hakim harus arif, berwibawa, dan bijaksana
dalam memutuskan perkara.
·
Sari,
dilambangkan sebagai bunga. Artinya hakim harus dapat dicontoh, baik saat
memutuskan perkara ataupun di luar kantor.
·
Tirta,
dilambangkan sebagai air. Artinya, hakim harus bersih dari gratifikasi.
Sistem pengadilan di Cirebon
dilaksanakan oleh tujuh orang Menteri yang mewakili tiga Sultan, yaitu Sultan
Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon. Segala acara yang menjadi sidang
itu diputuskan menurut Undang-Undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan
Adilullah.[4]
D.
Peradilan di Banten
Pengadilan
Islam di Banten dipimpin oleh seorang qadhi sebagai pemutus perkara tunggal. Dalam hal ini tidak dijelaskan secara gambling
bagaimana bentuk peradilan di masa itu, akan tetapi dapat dilihat bahwa peran
qadhi disini sangatlah vital dalam memutuskan perkara. Hal ini sama seperti di
jaman Khalifah Abu Bakar dimana hukum diserahkan pada qadhi tunggal.
Di banten inilah Islam memang sudah masuk sejak
dulu. Meskipun hampir bersamaan memeluk agama Islam dengan Cirebon, tetapi
Cirebon masih terikat dengan norma-norma hukum dan adat kebiasaan Jawa-kuno.
Ini nampak dari perbedaan dalam tata peradilan di kedua
kesultanan itu. Pengadilan di Banten disusun menurut pengertian Islam. jika
sebelum tahun 1600 pernah ada bentukan-bentukan pengadilan yang berdasarkan
pada hukum Hindu. Namun saat Sultan Hasanudin memegang kekuasaan, sudah tidak
ada lagi bekas dari hukum hindu. Di abad ke-17 di Banten hanya ada satu macam
pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh Kadhi sebagai hakim seorang diri. Namun
ada satu hukum / peraturan yang masih mengingatkan pada pengaruh hukum Hindu,
bahwa hukuman mati yang dijatuhkan oleh
Kadhi, masih memerlukan pengesahan dari Raja.
[5]
Maka dapat disimpulkan bahwa meskipun qadhi adalah pemutus
perkara tunggal, tetapi masih ada peran eksekutif dari sang raja yaitu
berbentuk pengesahan.
E.
Peradilan di Sulawesi (Gowwa-Tallo)
Tidak banyak sumber yang menyebutkan sejarah peradilan Islam di
Kerajaan Sulawesi. Mungkin kerajaan Gowwa Tallo dapat menjadi sampel dalam hal
menjelaskannya.
Melalui jalur
sruktural, atau melalui sentuhan politis, Islam masuk dan membangun pranata sosial
di wilayah kesultanan. Pada masa Sultan Malikus Said, dibentuklah parewa
Syara’ (pejabat agama) sederajat dengan parewa adek (pejabat adat).
Parewa Syara’ ini dipimpin oleh seorang qadhi. Secara jalur kultural, Islam
memberikan sumbangan pemikiran bahwa pembentukan kampung harus terdapat langgar
dan imam.[6]
Maka peran qadhi disini sangatlah kuat dalam pemutusan
perkara dan menduduki posisi penting dalam administrasi kerajaan waktu itu.
F. Peradilan
di Banjar (Kalimantan Selatan)
Kehidupan
keagamaan diwujudkan dengan adanya mufti-mufti dan qadhi-qadhi, ialah hakim
serta penasehat kerajaan dalam bidang agama. Dalam tugas mereka, terutama
adalah menangani masalah-masalah berkenaan dengan hukum keluarga dan hukum
perkawinan. Demikian pula Qadhi, di samping menangani masalah-masalah
hukum privat, teristimewa juga menyelesaikan perkara-perkara pidana atau
dikenal dengan Had. Tercatat dalam sejarah Banjar, diberlakukannya hukum bunuh
terhadap orang Islam yang murtad, hukum potong tangan untuk mencuri, dan
mendera siapa saja yang kedapatan melakukan zina. Bahkan dalam tatanan hukum
kerajaan Banjar telah dikodifikasikan dalam bentuk sederhana, aturan-aturan
hukum yang sepenuhnya berorientasi kepada hukum Islam, kodifikasi itu dikenal
kemudian dengan Undang-Undang Sultan Adam.
Pada
akhirnya kedudukan Sultan di Banjar bukan hanya sebagai pemegang kekuasaan
dalam kerajaan, tetapi lebih jauh diakui sebagai ‘Ulul Amri kaum muslimin di
seluruh kerajaan.[7]
Artinya, di kesultanan Banjar sudah diatur bagaimana mengatasi
masalah perdata dan pidana. Sehingga dengan adanya agama Islam, maka pengaruh hukum
Islam sangatlah besar dalam merumuskan hokum di kesultanan Banjar. Selain
kesultanan yang bersifat toleran terhadap peran Islam, mereka juga sangat
terbuka dan mampu beradaptasi dengan baik.
IV. Kesimpulan dan Penutup
1.
Struktur Peradilan di
kerajaan Samudera Pasai adalah Tingkat
pertama dilaksanakan oleh pengadilan tingkat kampung yang dipimpin oleh keuchik.
Pengadilan itu hanya menangani perkara-perkara ringan sedangkan pengadilan
tingkat pertama dapat mengajukan banding kepada ulee balang (pengadilan
tingkat kedua). Selanjutnya dapat di lakukan banding kepada Sultan yang
pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sementara di kerajaan Mataram,
strukturnya ialah Pradata ini
mengatur perkara publik dan privat. Pradata juga berkembang menjadi peradilan
surambi yaitu memasukkan unsur-unsur dari hukum Islam. Surambi dipimpin oleh
penghulu dan dibantu oleh alim ulama sebagai anggota majelis.
2.
Kerajaan
Cirebon memiliki Peradilan agama, yaitu
peradilan yang mengusut tuntas perkara agama dengan berdasarkan hukum
adat dan peradilan cilaga, yaitu
peradilan khusus niaga/ dagang . Kesultanan Banten, memiliki satu macam
pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh Kadhi sebagai hakim seorang diri. Namun
ada satu hukum / peraturan yang masih mengingatkan pada pengaruh hukum Hindu,
bahwa hukuman mati
yang dijatuhkan oleh Kadhi, masih memerlukan pengesahan dari Raja.
3.
Kerajaan Banjar, memiliki sistem peradilan yang menangani
masalah-masalah berkenaan dengan hukum keluarga dan hukum perkawinan. Demikian
pula Qadhi, di samping menangani masalah-masalah hukum privat,
teristimewa juga menyelesaikan perkara-perkara pidana, sementara Kerajaan
Gowwa-Tallo, dibentuk parewa Syara’ (pejabat
agama) sederajat dengan parewa adek (pejabat adat). Parewa Syara’ ini dipimpin
oleh seorang qadhi. Prosedur peradilannya sama persis dengan peradilan Islam
pada umumnya.
4.
Pengaruh
agama dalam sistem peradilan Islam di masa Kesultanan adalah sangat kuat,
dengan berbaur bersama hukum adat setempat.
Alhamdulillah, demikian paper ini saya buat. Tentunya masih banyak kekurangan,
maka dengan lapang hati, penyusun mengharapkan saran dan kritik dari Bapak Dosen
Pengampu dan teman-teman pembaca. Atas perhatiannya, saya ucapkan banyak
terimakasih.
V. Daftar Pustaka
·
Mukhlas, Oyo Sunaryo. 2011.
“Perkembangan Peradilan Islam dari Kahin di Jazirah Arab ke Peradilan Agama
di Indonesia.” Bogor: Ghalia Indonesia.
·
http://www.
[1]
Abdul Halim, “Politik Hukum Islam Indonesia.” (Ciputat Press: 2005) hlm. 48
[2]
Oyo Sunaryo Mukhlas, “Perkembangan Peradilan Islam dari Kahin di Jazirah Arab
ke Peradilan Agama di Indonesia”, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) hlm.119
[3]
http://www.
[4]
http://
[5]
http://
[6] Oyo Sunaryo Mukhlas, “Perkembangan Peradilan
Islam dari kahin di jazirah Arab ke Peradilan Agama di Indonesia” (Bogor:Ghalia
Indonesia:2011) halaman 130.
[7] http://