Jumat, 21 Februari 2014

amar-nahy-ushul fiqh

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Lafadz yang mengandung suatu pengertian tertentu, sehingga hokum itu berlaku untuk pengertian itu saja. Lafadz yang memiliki beberapa pengertian  disebut ‘Am  Atau biasa disebut umum dan yang mengandung satu pengertian disebut Khash, atau bermakna khusus secara bahasa.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Lafadz Al-Khash dan nash-nash syara’ kadang-kadang datang secara muthlaq, dimana ia tidak diikuti oleh syarat apapun, kadang sebaliknya, yakni muqayyad. Kadang-kadang pula datang sebagai sighat (bentuk) Al-Amar, yakni tuntutan yang mengharuskan dilakukannya sesuatu atau kadang dengan sighat Al-Nahy, yakni melarang mengerjakan  suatu perbuatan.
Untuk pertemuan kali ini, penyusun akan membahas secara khusus mengenai sighat Al-Amar dan Al-Nahy.
B.     Rumusan Masalah

1.      Apa definisi dari Al-Amar  dan Al-Nahy?
2.      Apa bentuk-bentuk dari Al-Amar dan Al-Nahy itu?
3.      Apa macam-macam Al-Amar dan Al-Nahy?






















BAB II
PEMBAHASAN
A.    AL-AMAR (PERINTAH)
1.      Definisi Al-Amar
Amr ialah tuntutan perbuatan dari orang-orang yang lebih tinggi tingkatnya kepada orang-orang yang lebih rendah tingkatnya. (Hanafie, 1962:31)
2.      Bentuk Al-Amar
Jika lafadz khusus yang terdapat pada nash syara’ itu berbentuk perintah atau berita yang bermakna perintah maka itu berarti kewajiban, yakni menuntut sesuatu yang diperintahkan atau yang yang diberitakan secara tetap dan pasti (Khallaf, 2003:286).
Menurut Khallaf (2003:287), Jika terdapat alasan tertentu maka bentuk perintah dibelokkan dari arti kewajiban kepada arti lain yang dapat dipahami dari alas an tertentu, misalkan berarti mubah (boleh) dalam firman Allah : fakuluu wasyrabuu (makan dan minumlah kalian), berarti nadb sunah dalam firman Allah. Swt:
اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلىَ اَجَلٍ مُسَمىَّ فاَكْتُبُوْهُ
“Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (QS. Al-Baqarah:282),
Atau berarti tahdiid (menakut-nakuti) dalam firman Allah:
اِعْمَلُوْا ماَ شِئْتُمْ
“Berbuatlah apa yang kamu ingini,..”
Atau berarti ta’jiiz (melemahkan) dalam firman Allah:
فاَتُوْا بِسُوْرَةٍ مِنْ مِثْلِهِ
“Buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an”. (QS. Al-Baqarah:23)
Dan pengertian lain yang ditunjukkan oleh bentuk perintah dengan alasan tertentu. Jika tidak terdapat alasan maka bentuk perintah menghendaki kewajiban. Sebagian ulama ushul fikih berpendapat bahwa  bentuk perintah mempunyai banyak arti yang harus ada alasan untuk menentukan salah satu maknannya, dan hal itu adalah keharusan setiap lafal yang memiliki banyak arti. Jadi ia diئbuat untuk bermacam-macam arti.
Bentuk perintah menurut bahasa tidak menunjukkan lebih dari tuntutan mewujudkan sesuatu yang diperintah, tidak menunjukkan tuntutan mengulangi perbuatan yang diperintahkan, juga tidak menunjukkan kewajiban berbuat dengan seketika. Pengulangan dan segera melaksanakan tidak ditunjukkan oleh bentuk itu dalam keadaan mutlak, karena maksud dari yang memberi perintah adalah terpenuhinya sesuatu yang diperintahkan. Dan maksud ini dapat terealisir hanya dengan perbuatan satu kali kapan saja dilakukan. Jika terrdapat alas an tertentu yang menghendaki pengulangan maka pengulangan itu dipahami dari alas an tersebut, tidak dari bentuk lafalnya. Demikian juga jika ada alasan yang menghendaki segera dilakukan.
Menurut Mukhtar,dkk (1986:25) Bentuk yang digunakan untuk meminta sesuatu perbuatan agar dikerjakan, adakalanya dengan:
1.      Bentuk fiil Amar, seperti firman Allah:
وَاَتُوْا النِّسَآءَ صَدُقَتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah mas kawin kepada wanita (yang kamu nikah) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”. (QS. 4:4)
2.      Fiil Mudharik yang dimasuki lam amar, seperti firman Allah:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى اْلخَيْرِ وَيَعْمُرُوْنَ بِاْ لمَعْرُوْفِ وَ يَنْهَوْنَ عَنِ اْلمُنْكَرِ
“Adakanlah diantara kamu satu golongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar”. (QS. 3: 104)
3.      Isim fiil Amar, seperti firman Allah:
عَلَيْكُمْ اَنْفُسَكُمْ لاَيَفْتُرُكُمْ مَنْ ضَلَّ اِذَااهْتَدَيْتُمْ
“Jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu membahayakan kamu jika kamu telah mendapat petunjuk”. (QS. 5: 105)
4.      Masdar pengganti fiil, seperti Firman Allah:
وَبِااْلوَالِدَيْنِ اِحْسَاناً
“Dan kepada kedua orang tuamu (ibu, bapak) berbuat baik”. (QS. 2: 83)
5.      Jumlah Khabariyah/kalimat berita yang mengandung arti insyaiyah, perintah atau permintaan seperti Firman Allah:
وَاْلمُطَلَّقَتُ يَتَرَبَصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَثَةَ قُرُوْءٍ
“Kamu harus menyempurnakan bilangan (puasa) itu dan hendaklah kamu mengagungkan Allah”. (QS. 2: 185)
6.      Kata-kata yang mengandung makna suruh atau perintah wajib, fardlu, seperti:
a.       Kata امر  pada firman Allah:
اِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدّوْا الأَمَنَتِ اِلَى اَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”. (QS. 4: 58)
b.      Kata فرض pada firman Allah:
قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِيْ اَزْوَاجِهِمْ
“Sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka”. (QS. 33: 50)
c.       Kata كتب pada firman Allah:
يَآَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ
“Wahai orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa……(QS. 2: 183).
d.      Memberitahukan tentang adanya kewajiban dengan memakai kata ‘ala (على) seperti firman Allah:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalan ke Baitullah”. (QS. 3: 97).
e.       Jawab syarat seperti firman Allah:
فَاِنْ اُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
“Maka jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit) maka sembelihlah korban yang mudah didapat (sebagai pengganti wajib bagi haji yang ditinggalkan”. (QS. 2: 196).

3.      Macam-Macam Arti Amar (Hanafie, 1962:32-34)
a.       Nadb
فَكاَتِبُوْهُمْ اِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًا
Berikan kemerdekaan kepada budak-budak, bila kamu mengetahui kebajikan (harta) pada mereka”. (QS. An-Nur: 33)
b.      Irsyad
اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلىَ اَجَلٍ مُّسَمىَّ فاَكْتُبُوْهُ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجاَلِكُمْ
“Apabila kamu berpiutang hingga masa (janji) yang ditetapkan, hendaklah kamu tuliskan” “Persaksikanlah piutang itu dengan dua orang saksi laki-laki”. (QS. Al-Baqarah: 282)
c.       Do’a
رَبَّنآَ اَتِناَ فىِ الدُّنْياَ حَسَنَةً وَ فىِ اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً
Wahai Tuhan kami! Berilah, kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat”. (QS. Al-Baqarah: 201)
d.      Iltimas
قِفاَنَبْكِ مِنْ ذِكْرَى حَبِيْبٍ وَمَنْزِلىِ بِسِقْطِ الِّلوَى بَيْنَ الدَّخُوْلِ فَحَوْمَلِ
“Berhentilah dulu, mari kita menangis karena teringat kekasih rumah di Siqtilliwa antara Dakhul dan Haumal”. (Syair Umrul Qais)

e.       Tamanni (berangan-angan)
لاَ اَيُّهاَ الَّيْلُ الطَّوِيْلُ اَلاَانْجَلىِ بِصُبْحٍ وَماَ اللإِصْباَحُ مِنْكَ بِاَمْثَلِ
“Wahai malam panjang! Berakhirlah dengan shubuh. Tak ada shubuh yang lebih utama dari shubuhmu”. (Syair Umruul Qais)
f.       Takhyir
فَمَنْ شاَءَ فَلْيَبْخَلْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَجُدْ كَفَانىِ نَدَاكُمْ عَنْ جَمِيْعِ اْلمَطَالِبِ
“Siapa mau kikir, kikirlah. Siapa mau bermurah hati perbuatlah. Pemberian tuan mencukupi segala kebutuhan saya”. (Syair Bukhuri kepada seorang raja)
g.      Taswiyah (mempersamakan)
فَاصْبِرُوْا اَوْلاَ تَصْبِرُوْا
“Bertahan atau jangan bertahan. (Bertahan atau tidak), sama saja”. (QS. At-Thur: 16)
h.      Ta’jiz (melemahkan)
فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثْلِهِ
“Datangkanlah satu surat dari seumpama qur’an”. (QS. Al-Baqarah: 23)
i.        Tahdid (ancaman)
قُلْ تَمَتَّعُوْا فَاِنَّ مَصِيْرَكُمْ اِلىَ النَّارِ
“Katakanlah! Bersuka-rialah! Nanti tempat kembalimu ke dalam neraka”. (QS. Ibrahim: 30)
j.        Ibadah
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلاَبْيَضُ مِنَ اْلاَسْوَدِ مِنَ اْلفَجْرِ
“Makan dan minumlah kamu, sehingga kelihatan olehmu benang yang putih dari benang yang hitam, yaitu fajar (yakni, sampai terbit fajar)”. (QS. Al-Baqarah: 187)

Menurut Mukhtar, dkk (1986:34), Jika ada larangan mendahului amar karena adanya illat tertentu, maka amar berperan sebagai penghapus larangan itu sebab illat sudah tiada lagi dan sekaligus mengembalikan hukum asli sebelum ada larangan yaitu ibahah.
Menurut Mukhtar, dkk (1986:36), Amar itu tidak harus segera dikerjakan dalam waktu yang cepat. Namun jumhur ulama ushul sepakat bahwa amar harus segera dikerjakan waktu itu juga, karena dikaitkan dengan kesempatan mendapatkan kebaikan pada waktu itu juga.
Perintah itu juga mengandung washilah yang harus dikerjakan pula. Amar dikerjakan secara berulang-ulang jika ada qarinah yang menunjukkan pengulangan. Pengulangan itu dapat berupa syarat, illat, maupun sifat.
Pengulangan yang dihubungkan dengan syarat seperti pada firman Allah:
وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرْا
“Dan jika kamu junub, maka mandilah. (QS. 5:6).
Artinya, berulang-ulang junub, berulang-ulang pula wajib mandi.
Pengulangan yang dihubungkan dengan illat seperti pada firman Allah:
اَلزَّنِيَةُ وَالزَّنِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهَا مِأَتَ جَلْدَةٍ
“Wanita yang berbuat zina dan laki-laki yang berbuat zina, maka deralah tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”. (QS. 24: 2).
Artinya, berulang-ulangnya zina, berulang-ulang pula hukum dera 100 kali.
Pengulangan yang dihubungkan dengan sifat seperti pada firman allah:
اَقِمِ الصَّلَوةَ لِدُلُكِ الشَّمسِ
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir dan seterusnya”.
Artinya, berulang-ulangnya masuk waktu shalat, berulang-ulang pula wajib shalat.
B.     AL-NAHY (LARANGAN)
1.      Definisi Al-Nahy
Menurut istilah ulama ushul nahy berarti suatu lafadh (ucapan) yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatan daripadanya supaya tidak mengerjakan sesuatu perbuatan. (Mukhtar,dkk. 1986:43)
2.      Bentuk-Bentuk Al-Nahy
Jika lafal khusus yang terdapat dalam nash Syara’ itu mengandung larangan, maka berarti haram. Yakni, menuntut untuk tidak melakukan yang dilarang secara tetap dan pasti.
Firman Allah. Swt:
وَلاَ تَنْكِحُوْا الْمُشْرِكاَتِ حَتىَّ يُؤْمِنَّ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah:221)
Artinya, haram bagi seorang laki-laki muslim mengawini wanita musyrik.
Firman Allah. Swt:
وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَاْخُذُوْا مِماَّ اَتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْاً
“Tidak halal bagimu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepadda mereka”. (Al-Baqarah: 229)
Artinya haram mengambil ganti rugi dari istri yang telah ditalah. Karena bentuk nahi itu adalah dibuat untuk menunjukkan keharaman, maka keharaman itu dipahami ketika larangan itu mutlak.
Sebagian ulama’ ushul fikih berpendapat bahwa bentuk larangan itu termasuk lafal yang memiliki banyak arti. Bentuk larangan itu sama halnya dengan bentuk perintah, perbedaan keduanya juga sama. (Khallaf, 2003:290)









BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
1.       
2.      ……….

Alhamdulillahirabbil’alamin. Makalah ini telah selesai kami susun. Pastinya makalah ini masih banyak kesalahan, maka kami selaku penyusun memohon kepada Bapak Dosen dan para pembaca pada umumnya untuk memberikan kritik dan saran agar lebih baik ke depannya.. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya. Amiin.




















DAFTAR PUSTAKA
1.      Hanafie, A. 1962. “Usul Fiqih”. Jakarta: Widjaya.
2.      Khallaf, Abdul Wahhab. 2003. Terj. “Ilmu Ushul Fikih: Kaidah Hukum Islam”. Jakarta: Pustaka Amani.
3.      Mukhtar,dkk. 1986. “Ushul Fiqh II”. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagan Agama Islam DEPAG RI.
4.      …….