BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Lafadz yang mengandung suatu pengertian tertentu, sehingga hokum
itu berlaku untuk pengertian itu saja. Lafadz yang memiliki beberapa
pengertian disebut ‘Am Atau biasa disebut umum dan yang mengandung
satu pengertian disebut Khash, atau bermakna khusus secara bahasa.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Lafadz Al-Khash dan
nash-nash syara’ kadang-kadang datang secara muthlaq, dimana ia tidak
diikuti oleh syarat apapun, kadang sebaliknya, yakni muqayyad.
Kadang-kadang pula datang sebagai sighat (bentuk) Al-Amar, yakni
tuntutan yang mengharuskan dilakukannya sesuatu atau kadang dengan sighat
Al-Nahy, yakni melarang mengerjakan
suatu perbuatan.
Untuk pertemuan kali ini, penyusun akan membahas secara khusus
mengenai sighat Al-Amar dan Al-Nahy.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa definisi
dari Al-Amar dan Al-Nahy?
2.
Apa bentuk-bentuk
dari Al-Amar dan Al-Nahy itu?
3.
Apa macam-macam
Al-Amar dan Al-Nahy?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
AL-AMAR
(PERINTAH)
1.
Definisi
Al-Amar
Amr ialah tuntutan perbuatan dari orang-orang yang lebih tinggi
tingkatnya kepada orang-orang yang lebih rendah tingkatnya. (Hanafie, 1962:31)
2.
Bentuk
Al-Amar
Jika lafadz khusus yang terdapat pada nash syara’ itu berbentuk perintah
atau berita yang bermakna perintah maka itu berarti kewajiban, yakni menuntut
sesuatu yang diperintahkan atau yang yang diberitakan secara tetap dan pasti
(Khallaf, 2003:286).
Menurut Khallaf (2003:287), Jika terdapat alasan tertentu maka
bentuk perintah dibelokkan dari arti kewajiban kepada arti lain yang dapat
dipahami dari alas an tertentu, misalkan berarti mubah (boleh) dalam firman
Allah : fakuluu wasyrabuu (makan dan minumlah kalian), berarti
nadb sunah dalam firman Allah. Swt:
اِذَا تَدَايَنْتُمْ
بِدَيْنٍ اِلىَ اَجَلٍ مُسَمىَّ فاَكْتُبُوْهُ
“Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (QS. Al-Baqarah:282),
Atau berarti tahdiid (menakut-nakuti) dalam firman Allah:
اِعْمَلُوْا ماَ
شِئْتُمْ
“Berbuatlah apa yang kamu ingini,..”
Atau berarti ta’jiiz (melemahkan) dalam firman Allah:
فاَتُوْا
بِسُوْرَةٍ مِنْ مِثْلِهِ
“Buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an”. (QS.
Al-Baqarah:23)
Dan pengertian lain yang ditunjukkan oleh bentuk perintah dengan
alasan tertentu. Jika tidak terdapat alasan maka bentuk perintah menghendaki
kewajiban. Sebagian ulama ushul fikih berpendapat bahwa bentuk perintah mempunyai banyak arti yang
harus ada alasan untuk menentukan salah satu maknannya, dan hal itu adalah
keharusan setiap lafal yang memiliki banyak arti. Jadi ia diئbuat untuk bermacam-macam arti.
Bentuk perintah menurut bahasa tidak menunjukkan lebih dari
tuntutan mewujudkan sesuatu yang diperintah, tidak menunjukkan tuntutan
mengulangi perbuatan yang diperintahkan, juga tidak menunjukkan kewajiban
berbuat dengan seketika. Pengulangan dan segera melaksanakan tidak ditunjukkan
oleh bentuk itu dalam keadaan mutlak, karena maksud dari yang memberi perintah
adalah terpenuhinya sesuatu yang diperintahkan. Dan maksud ini dapat terealisir
hanya dengan perbuatan satu kali kapan saja dilakukan. Jika terrdapat alas an
tertentu yang menghendaki pengulangan maka pengulangan itu dipahami dari alas
an tersebut, tidak dari bentuk lafalnya. Demikian juga jika ada alasan yang
menghendaki segera dilakukan.
Menurut Mukhtar,dkk (1986:25) Bentuk yang digunakan untuk meminta sesuatu perbuatan
agar dikerjakan, adakalanya dengan:
1.
Bentuk fiil
Amar, seperti firman Allah:
وَاَتُوْا
النِّسَآءَ صَدُقَتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah mas
kawin kepada wanita (yang kamu nikah) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”.
(QS. 4:4)
2.
Fiil Mudharik
yang dimasuki lam amar, seperti firman Allah:
وَلْتَكُنْ
مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى اْلخَيْرِ وَيَعْمُرُوْنَ بِاْ لمَعْرُوْفِ
وَ يَنْهَوْنَ عَنِ اْلمُنْكَرِ
“Adakanlah
diantara kamu satu golongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada
yang ma’ruf dan mencegah yang munkar”. (QS. 3: 104)
3.
Isim fiil Amar,
seperti firman Allah:
عَلَيْكُمْ
اَنْفُسَكُمْ لاَيَفْتُرُكُمْ مَنْ ضَلَّ اِذَااهْتَدَيْتُمْ
“Jagalah
dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu membahayakan kamu jika kamu telah
mendapat petunjuk”. (QS. 5: 105)
4.
Masdar
pengganti fiil, seperti Firman Allah:
وَبِااْلوَالِدَيْنِ
اِحْسَاناً
“Dan kepada
kedua orang tuamu (ibu, bapak) berbuat baik”. (QS. 2: 83)
5.
Jumlah
Khabariyah/kalimat berita yang mengandung arti insyaiyah, perintah atau
permintaan seperti Firman Allah:
وَاْلمُطَلَّقَتُ
يَتَرَبَصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَثَةَ قُرُوْءٍ
“Kamu harus
menyempurnakan bilangan (puasa) itu dan hendaklah kamu mengagungkan Allah”.
(QS. 2: 185)
6.
Kata-kata yang
mengandung makna suruh atau perintah wajib, fardlu, seperti:
a.
Kata امر pada
firman Allah:
اِنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدّوْا الأَمَنَتِ اِلَى اَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya”. (QS. 4: 58)
b.
Kata فرض
pada firman Allah:
قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا
عَلَيْهِمْ فِيْ اَزْوَاجِهِمْ
“Sesungguhnya
kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang
isteri-isteri mereka”. (QS. 33: 50)
c.
Kata كتب
pada firman Allah:
يَآَيُّهَا
الَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ
“Wahai orang
yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa……(QS. 2: 183).
d.
Memberitahukan
tentang adanya kewajiban dengan memakai kata ‘ala (على) seperti firman Allah:
وَلِلَّهِ عَلَى
النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً
“Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang-orang yang
sanggup mengadakan perjalan ke Baitullah”. (QS. 3: 97).
e.
Jawab syarat
seperti firman Allah:
فَاِنْ
اُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
“Maka jika kamu
terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit) maka sembelihlah korban yang
mudah didapat (sebagai pengganti wajib bagi haji yang ditinggalkan”. (QS. 2:
196).
3.
Macam-Macam
Arti Amar (Hanafie, 1962:32-34)
a.
Nadb
فَكاَتِبُوْهُمْ
اِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًا
“Berikan
kemerdekaan kepada budak-budak, bila kamu mengetahui kebajikan (harta) pada
mereka”. (QS. An-Nur: 33)
b.
Irsyad
اِذَا
تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلىَ اَجَلٍ مُّسَمىَّ فاَكْتُبُوْهُ وَاسْتَشْهِدُوْا
شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجاَلِكُمْ
“Apabila kamu
berpiutang hingga masa (janji) yang ditetapkan, hendaklah kamu tuliskan”
“Persaksikanlah piutang itu dengan dua orang saksi laki-laki”. (QS. Al-Baqarah:
282)
c.
Do’a
رَبَّنآَ
اَتِناَ فىِ الدُّنْياَ حَسَنَةً وَ فىِ اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً
“Wahai
Tuhan kami! Berilah, kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat”. (QS.
Al-Baqarah: 201)
d.
Iltimas
قِفاَنَبْكِ
مِنْ ذِكْرَى حَبِيْبٍ وَمَنْزِلىِ بِسِقْطِ الِّلوَى بَيْنَ الدَّخُوْلِ
فَحَوْمَلِ
“Berhentilah
dulu, mari kita menangis karena teringat kekasih rumah di Siqtilliwa antara
Dakhul dan Haumal”. (Syair Umrul Qais)
e.
Tamanni
(berangan-angan)
لاَ اَيُّهاَ الَّيْلُ الطَّوِيْلُ
اَلاَانْجَلىِ بِصُبْحٍ وَماَ اللإِصْباَحُ مِنْكَ بِاَمْثَلِ
“Wahai malam
panjang! Berakhirlah dengan shubuh. Tak ada shubuh yang lebih utama dari
shubuhmu”. (Syair Umruul Qais)
f.
Takhyir
فَمَنْ شاَءَ
فَلْيَبْخَلْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَجُدْ كَفَانىِ نَدَاكُمْ عَنْ جَمِيْعِ
اْلمَطَالِبِ
“Siapa mau
kikir, kikirlah. Siapa mau bermurah hati perbuatlah. Pemberian tuan mencukupi
segala kebutuhan saya”. (Syair Bukhuri kepada seorang raja)
g.
Taswiyah
(mempersamakan)
فَاصْبِرُوْا
اَوْلاَ تَصْبِرُوْا
“Bertahan atau
jangan bertahan. (Bertahan atau tidak), sama saja”. (QS. At-Thur: 16)
h.
Ta’jiz
(melemahkan)
فَأْتُوْا
بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثْلِهِ
“Datangkanlah
satu surat dari seumpama qur’an”. (QS. Al-Baqarah: 23)
i.
Tahdid
(ancaman)
قُلْ
تَمَتَّعُوْا فَاِنَّ مَصِيْرَكُمْ اِلىَ النَّارِ
“Katakanlah!
Bersuka-rialah! Nanti tempat kembalimu ke dalam neraka”. (QS. Ibrahim: 30)
j.
Ibadah
وَكُلُوْا
وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلاَبْيَضُ مِنَ اْلاَسْوَدِ
مِنَ اْلفَجْرِ
“Makan dan
minumlah kamu, sehingga kelihatan olehmu benang yang putih dari benang yang
hitam, yaitu fajar (yakni, sampai terbit fajar)”. (QS. Al-Baqarah: 187)
Menurut Mukhtar, dkk (1986:34), Jika ada larangan mendahului amar
karena adanya illat tertentu, maka amar berperan sebagai penghapus larangan itu
sebab illat sudah tiada lagi dan sekaligus mengembalikan hukum asli sebelum ada
larangan yaitu ibahah.
Menurut Mukhtar, dkk (1986:36), Amar itu tidak harus segera
dikerjakan dalam waktu yang cepat. Namun jumhur ulama ushul sepakat bahwa amar
harus segera dikerjakan waktu itu juga, karena dikaitkan dengan kesempatan
mendapatkan kebaikan pada waktu itu juga.
Perintah itu juga mengandung washilah yang harus dikerjakan pula.
Amar dikerjakan secara berulang-ulang jika ada qarinah yang menunjukkan
pengulangan. Pengulangan itu dapat berupa syarat, illat, maupun sifat.
Pengulangan yang dihubungkan dengan syarat seperti pada firman
Allah:
وَاِنْ كُنْتُمْ
جُنُبًا فَاطَّهَّرْا
“Dan jika kamu junub, maka mandilah. (QS. 5:6).
Artinya, berulang-ulang junub, berulang-ulang pula wajib mandi.
Pengulangan yang dihubungkan dengan illat seperti pada firman
Allah:
اَلزَّنِيَةُ
وَالزَّنِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهَا مِأَتَ جَلْدَةٍ
“Wanita yang berbuat zina dan laki-laki yang berbuat zina, maka
deralah tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”. (QS. 24: 2).
Artinya, berulang-ulangnya zina, berulang-ulang pula hukum dera 100
kali.
Pengulangan yang dihubungkan dengan sifat seperti pada firman
allah:
اَقِمِ
الصَّلَوةَ لِدُلُكِ الشَّمسِ
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir dan
seterusnya”.
Artinya, berulang-ulangnya masuk waktu shalat, berulang-ulang pula
wajib shalat.
B.
AL-NAHY
(LARANGAN)
1.
Definisi
Al-Nahy
Menurut istilah ulama ushul nahy berarti suatu lafadh (ucapan) yang
dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih
rendah tingkatan daripadanya supaya tidak mengerjakan sesuatu perbuatan. (Mukhtar,dkk.
1986:43)
2.
Bentuk-Bentuk
Al-Nahy
Jika lafal khusus yang terdapat dalam nash Syara’ itu mengandung
larangan, maka berarti haram. Yakni, menuntut untuk tidak melakukan yang
dilarang secara tetap dan pasti.
Firman Allah. Swt:
وَلاَ
تَنْكِحُوْا الْمُشْرِكاَتِ حَتىَّ يُؤْمِنَّ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. (Al-Baqarah:221)
Artinya, haram bagi seorang laki-laki muslim mengawini wanita
musyrik.
Firman Allah. Swt:
وَلاَ يَحِلُّ
لَكُمْ اَنْ تَاْخُذُوْا مِماَّ اَتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْاً
“Tidak halal bagimu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu
berikan kepadda mereka”. (Al-Baqarah: 229)
Artinya haram mengambil ganti rugi dari istri yang telah ditalah.
Karena bentuk nahi itu adalah dibuat untuk menunjukkan keharaman, maka
keharaman itu dipahami ketika larangan itu mutlak.
Sebagian ulama’ ushul fikih berpendapat bahwa bentuk larangan itu
termasuk lafal yang memiliki banyak arti. Bentuk larangan itu sama halnya
dengan bentuk perintah, perbedaan keduanya juga sama. (Khallaf, 2003:290)
BAB III
KESIMPULAN DAN
PENUTUP
1.
2.
……….
Alhamdulillahirabbil’alamin.
Makalah ini telah selesai kami susun. Pastinya makalah ini masih banyak
kesalahan, maka kami selaku penyusun memohon kepada Bapak Dosen dan para
pembaca pada umumnya untuk memberikan kritik dan saran agar lebih baik ke
depannya.. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Hanafie, A.
1962. “Usul Fiqih”. Jakarta: Widjaya.
2.
Khallaf, Abdul
Wahhab. 2003. Terj. “Ilmu Ushul Fikih: Kaidah Hukum Islam”. Jakarta:
Pustaka Amani.
3.
Mukhtar,dkk.
1986. “Ushul Fiqh II”. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagan Agama Islam
DEPAG RI.
4.
…….