Pendahuluan
Sejarah peradilan di Indonesia sangatlah dipengaruhi oleh budaya
Islam. Pengaruhnya sangatlah kuat semenjak kesultanan Samudera Pasai hingga
masa Kesultanan Mataram. Hal ini
tidaklah mustahil melihat adanya proses asimilasi dan akulturasi budaya yang
terjadi ketika Indonesia dianggap sebagai transit perdagangan dunia kala itu.
Kalau kita menelisik lagi, peradilan di Indonesia saat ini sudah
sangat kompleks baik dari kedudukan, tatanan, dan sistemnya. Melihat adanya
pembagian pengadilan dan pembedaan perkara yang akan diputuskan. Nah, Lalu
bagaimana konsep peradilan di negeri jiran dan dunia Islam lainnya? Mari kita
kaji selengkapnya di bab pembahasan berikut ini! Silakan membaca!
Rumusan Masalah
·
Bagaimanakah
konsep peradilan yang diusung oleh dunia Islam di luar Indonesia?
·
Bagaimana
kedudukan peradilan di Negara di luar Indonesia, apakah berada di bawah
kekuasaan raja, ataukah sejajar?
·
Lalu
bagaimankah perkembangan peradilan di Dunia Islam di luar Indonesia?
·
Bagaimanakah
pengaruh Islam terhadap perkembangan peradilan di luar Indonesia.
Pembahasan
A.
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM PADA MASA MODERN DI MESIR
Dalam
catatan sejarah, Mesir pernah diduduki oleh beberapa kerajaan, yaitu dimulai
dari masa Fir’aun, Yunani, dan Romawi, Al-Khulafa Ar-Rasyidin, Umayyah,
Abbasiyah, dan Utsmaniyah. Menurut A.J. Butler, pendudukn Negara/ kejaraan
tersebut telah menyebabkan Mesir jatuh dalam situasi yang tidak menguntungkan,
bahkan seluruh organisasi pemerintahan di Mesir diarahkan untuk tujuan memeras
keuntungan bangsa terjajah untuk kepentingan penguasanya.
Di
satu sisi, banyaknya Negara yang menguasai Mesir membawa nilai-nilai postif,
tetapi di pihak lain, mau tidak mau, terjadi asimilasi itu terjadi dalam aspek
perundang-undangannya. Thaha Husain menuturkan bahwa mereka yang berada dalam
roda pemerintahan Mesir modern lebih cenderung mengikuti pola Raja Louis di
Perancis daripada mengikuti pola Abdul Hamid di Turki. Mereka membentuk
pengadilan-pengadilan negeri dan memberlakukan hukum Barat daripada hukum
Islam.[1]
Maka dapat disimpulkan bahwa dengan dijajahnya Mesir memaksa Negara
itu untuk taat dan patuh terhadap budaya dan aturan dari penjajah mereka. Dalam
arti asimilasi yang dipaksakan membuat mereka jumud dalam mengembangkan budaya,
tidak terkecuali dalam memutuskan perkara atau bahkan sampai tataran membentuk
lembaga peradilan kala penjajahan masih bercokol di negeri mereka.
Perkembangan
peradilan dan perundang-undangan di Mesir melewati tiga fase, yaitu sebelum
terbentuknya Qanun Al-Mukhtalitah dan Ahliyah. Dalam fase ini terdapat beberapa
peraturan dan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Muhammad Ali dan penguasa
sebelumnya, di antaranya Qanun Al-Fallah (berkaitan dengan masalah pertanian),
Qanun As-Siyasah Hammah (mengatur hal-hal yang berrkaitan dengan adminitrasi
umum, termasuk yang menyangkut hak dan kewajiban pegawai serta sanksi hukum
bagi yang melakukan pelanggaran), Qanun Amaliyat Al-Jusur (mengatur hal-hal
yang berkaitan dengan pembuatan jembatan dan pengairan), Qanun As-Siyasah
Laihah, Qanun Al-Lailah As Sa’diyah (mengatur tanah-tanah kharaj).[2]
Jadi dapat dianalogikan dengan peradilan di Indonesia, bahwa di
Mesir juga ada Peradilan Perdata, Tata Usaha Negara, dan peradilan umum.
Bedanya yaitu, di Mesir untuk urusan keperdataan lebih dirincikan menjadi
Pertanian, Tanah, dan administrasi. Tidak seperti di Indonesia dimana agrarian
mencakup Pertanian dan tanah.
Berbagai
undang-undang yang diterapkan oleh Mesir, tidak sepenuhnya berdasar syariat
Islam, tetapi banyak mengadopsi kebijakan penguasa dan undang-undang Perancis. Kekuasaan
peradilan banyak ditentukan oleh penguasa sehingga dalam pelaksanaannya banyak
masalah .misalnya, hakim akan melihat status dan kedudukan sosial seseorang
ketika mengadili..
1. Fase Pembaharuan Qadha
Sistem
peradilan yang berlaku pada fase pertama banyak menimbulkan masalah di kalangan
masyarakat dan di lingkungan pemerintahan. Pada masa Ismail dibentuk panitia
untuk melakukan pembaharuan sistem peradilan. Maka akhirnya terbentuklah
Mahkamah Al-Ahliyah pada tahun 1857. Pada tahun 1883, Khadewi Taufiq meresmikan
pembentukannya. Fase ini melahirkan lembaga-lembaga hukum yang menangani
beberapa kasus, yaitu:
a. Mahkamah
Mukhalitah. Menangani kasus-kasus yang terjadi antar sesama orang asing yang
mendapat hak-hak istimewa atau antar orang Mesir Mahkamah ini menangani kasus
perdata dan pidana. Secara struktual terdiri dari Mahkamah Ibtidaiyah, Mahkamah
Juziyah, dan Mahkamah Isti’naf. Sidang-sidang ynag dilakukan Mahkamah ini tetap
dipimpin oleh hakim asing, sekalipun sebenarnya tidak dijumpai dictum yang
melarang hakim-hakim mesir untuk menjadi pemimpin.
b. Mahkamah Ahiliyah, menangani kasus-kasus hukum perdata dan
pidana yang terjadi dikalangan orang Mesir atau orang asing yang mendapat hak
istimewa. Mahkamah ini terdiri dari Mahkamah Ibtidaiyah, Mahkamah Juziyah,
Mahkamah Naqd
c. Mahkamah Syar’iyah, hanya menangani kasus hukum yang menyangkut
ahwal Asy-Syakhsyiah, seperti nafkah, talak, dan warits. Itu pun terbatas bagi
orang-orang Mesir beragama Islam, sedangkan bagi non muslim ditangani oleh
Majelis Miliyyah.
Arah pembaharuan Qadha dan Qanun pada fase ini tampaknya berusaha
ntuk mewujudkan suatu hukum nasional bagi rakyat mesir dan melakukan peninjauan
terhadap hak istimewa orang asing. Sekalipun belum berhasil, pembentukan
lembaga merupakan langkah penting bagi perkembangan berikutnya.[3]
2.
Fase Setelah Penghapusan Hak-Hak Istimewa
Pada tahun 1937, Mesir dan inggris mengadakan persetujuan tentang
penghapusan hak istimewa yang sebelumnya diberikan kepada orang asing. Lalu,
Mahkamah Qonsuliah dihapuskan dan tugasnya dialihkan ke mahkamah mukhalitah. Mahkamah
mukhalitah juga dihapuskan pada tahun 1949. Dengan dihapuskan dua lembaga ini,
Mesir mengalami perubahan perundang-undangan dan sistem peradilan. Pada tahun
1948 dibuatlah perundang-undangan Mesir dimana syariat Islam sebagai sumber
resmi. Kemudian tahun 1950 ditetapkan undang-undangan hukum pidana.
Sementara
yang dijadikan sebagai sumber-sumber Qanun dan kedudukan syariat Islam di Mesir
sebagaimana yang ditetapkan pada tahun 1948 adalah:
1.
Undang-undang Al-Mukhalitah dan Al-Ahli yang pada hakikatnya berasal dari
undang-undang Perancis.
2.
Undang-undang perdata modern
3. Hukum Mesir
sesuai kebutuhan Negara.
4. Syariat
Islam sebagai hukum resmi.[4]
Dulu Syari’at Islam belum menjadi hal pertama yang dijadikan sumber
acara. Setelah tahun 1980, baru prinsip-prinsip syariat Islam merupakan sumber
utama bagi perundang-undangan.
. Maka di dalam dunia Islam, dikenal 3 fase
perkembangan peradilan yaitu: Fase pertama terjadi tahun 1911 sampai tahun
1950. Fase kedua terjadi tahun 1951-1970, ketika banyak Negara muslim yang telah
merdeka dan mulai menata sistem perundang-undnagan. Pada tahun ini, Mesir
selain menghapuskan wakaf keluarga, juga menghapuskan peradilan agama pada
tahun 1955-1956 dan memberi wewenang pada peradilan umum untuk menyelesaikan
sengketa keluarga. Fase ketiga terjadi dari tahun 1971-1986, pada fase ini
hukum keluarga mulai dikembangkan.
Isi
hukum keluarga di Mesir, antara lain disebutkan bahwa dalam hal poligami, istri
pertama dapat meminta cerai dari suaminya kalau parkawinan suaminya dengan
wanita lain menyebabkan ia menderita. Istri kedua dapat meminta cerai dari
suaminya jika si istri merasa tertipu. Dalam hal perceraian di Mesir,
disebutkan alasannya adalah menderita penyakit menular, gila dan dipenjara lima
tahun atau lebih. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan.[5]
Dalam hukum pidana di Mesir masih ada kesenjangan, misalnya dalam
kasus pembunuhan sengaja, dihukumi kerja paksa seumur hidup atau 3-5 tahun.
Menurut undang-undang, hukum kerja paksa terbatas dapat diganti dengan penjara
minimal 6 bulan, sedangkan orang yang dipenjara kurang dari 1 tahun dapat
dibebaskan. Maka pembunuhan dengan sengaja bisa saja dibebaskan dari ancaman
hukuman. Menurut hukum Islam, sanksi hukuman pembunuhan dengan sengaja adalah
qishas (Al-Baqarah: 178-179). Qishas juga bisa diganti dengan diyat atau
ta’zir. Artinya, pelaku pembunuhan dengan sengaja tidak bebas dari sanksi
hukum.
B.
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI SUDAN
Sudan adalah Negara majemuk yang terdiri atas berbagai macam
kebudayaan dan etnis, menghormati dan mengahargai agama-agama yang ada. Selain
itu Sudan merupakan Negara kesatuan yang kekuasaannya memberlakukan hukum islam
sebagai asas perundang-undangan dalam kesatuan dan persatuan.
Ketika mereka merdeka dari jajahan Inggris dan
Mesir pada 1 januari 1956, Sudan di bawah pemerintahan nasionalis sosialis
mereka, islam tidak pernah di perhitungkan. Kondisi ini merubah sejak kudeta
militer pertama di sudan pada tahun 1969. Pemerintahan militer berkuasa di
bawah ja’fari Nimeri, tetapi karena legitimasinya makin rentan, pemerintahan
ini lebih condong pada islam pada 1983. Politisi islam oleh Nimeri tidak
bertahan lama karena penindasan telah berlangsung lama. Pemerintahan ini jatuh
pada 1985 dan setelah periode transisional yang pendek di bawah Shadik Al-Mahdi
. Kudeta kedua di Sudan terjadi tahun 1989 pada tanggal 30 juni, dan di sebut “
Revolusi Penyelamatan Nasional” dan keadaan ini membuat Basyir berada di puncak
kekuasaan. Ia mendapat dukungan dari Turabi dan NIF.[6]
Turabi
tidak menerima Negara sekuler. Sikap ini juga didukung oleh kelompok muslim di
Sudan. Identitas islam Sudan merupakan konsekuensi logis dari jumlah penduduk
muslim dan bentuknya adalah penerapan Syariah.. Penerapan hudud hanya pada
mayoritas Muslim Sudan Utara. Para penganut animisme menggunakan hukum adat,
sedangkan umat Kristen dan katolik bergantung pada gereja masing-masing.
Demikianlah pokok-pokok pikiran yang tertuang dalam “piagam charter”
yang di rumuskan pada tahun 1987. Piagam ini di rumuskan berdasarkan Al-quran
dan sunnah. Serta warisan keagaaman yang sesuai dengan realitas Sudan. Isi
piagam Sudan terdiri dari 3 yaitu: pertama, aplikasi keagamaan dan bangsa,
kedua ,etnisitas dan kebangsaan, ketiga wilayah dan Negara.[7]
Sudan memiliki lembaga peradilan yang mempunyai kebebasan dan
berdiri sendiri tanpa dapat diintervensi oleh kekuasaan. Sekalipun demikian
lembaga ini bertanggung jawab penuh kepada kepala Negara dalam pelaksanaannya ,
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga peradilan ini mempunyai
kepala yang disebut rasiul qadha yang langsung dipilih oleh kepala Negara.
Lembaga
peradilan di Sudan mempunyai kewenangan dalam menjalankan perundang-undangannya
yaitu antara lain:
1. Menafsirkan
teks-teks perundang-undangan
2. Menjalankan
dan memberikan putusan hukum terhadap
pelaku-pelaku kejahatan.
Adapun
bentuk lembaga-lembaga peradilan ini terdiri dari lembaga tertinggi, menengah,
dan awaliyah. Lembaga peradilan tertinggi mempunyai kewenangan dalam membatasi
perundang-undangan dan pembentukannya, lembaga peradilan menengah dan lembaga
peradilan awaliyah memiliki kewenagan dalam memberikan keputusan terhadap
pelaku tindak kejahatan, permasalahan al-ahwal asy-syaksiyah, seperti
perkawinan, zakat, infak,dan waris.[8]
C.
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI MAROKO
Al-mamlakah
al-maghribiyah al- ashriyah, Maroko modern, adalah negara islam yang banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Allaasi dengan konsep neo-salafiyahnya, islam Maroko
dowarnai oleh sejumlah bsar marrabut dan Suffi. Sistem kerajaan Maroko adalah
monarki konstitusional demokratis, yaitu kedaulatan berada di tangan rakyat
yang disalurkan melalui lembaga konstitusional yang telah ada. Dalam sistem
pemerintahan Maroko raja adalah Amirul
Mukminin , bukan khalifah Allah SWT . Kekuasaan raja dibatasi oleh konstitusi ,
lembaga tertinggi adalah majelis perwakilan, dewan penasihat. [9]
Dahir,
UU negeri itu disahkan pada 2 juni 1961 yang berisi dasar hukum Maroko .
beberapa pasal dari UUD nya yang berkaitan dengan sistem Maroko adalah sebagai
berikut:
Pasal
1, maroko adalah negara kerajaan konstitusional demokratis, dan sosial.pasal 2,
kedaulatan adalah milik bangsa dan dilaksanakan dalam bentuk referendum, tidak
lansung melaluisaluran konstitusional. Pasal 3, partai politik itu harus berpartisifasi
dalam organisasi dan peneglolaan negara. Pasal 4 UU (Qanun) didasarkan pada
keinginan rakyat, dan seterusnya.[10]
Sebagaimana diketahui bahwa antara tahun 1912 sampai tahun 1956,
wilayah Maroko dibawah dominasi politik Prancis . secara umum wilayah tersebut
banyak di pengaruhi oleh sistem hukum yang diterapkan kedua negara tersebut.namun
demikian , hukum privat yang berdasarkan syariat islam masih tetap dijunjung
tinggi oleh umat islam Maroko. Hukum privat yang di terapkan menganut corak dan
sistem hukum madzhab maliki.
Secara
umum, sistem hukum di Maroko dibagi menjadi 2 macam badan peradilan, mahkamah syariah dan mahkamah
Madaniyah (peradilan umum), hukum kanomik, dan civil law Prancis. Pada aspek-aspek
tertentu pemberlakuan hukum adat dapat membawa konflik terhadap hukum islam.
Hal ini diakui oleh para ahli hukum islam Maroko yang tidak menyukai
muatan-muatan hukum Prancis dan adat setempat masuk dalam hukum privat di
Maroko.[11]
Kerja keras yang dilakukan oleh ahli hukum Maroko dan instrumen
lainnya akhirnya menghasilkan beberapa draf dari kodifikasi hukum islam antara lain:
1.
Prinsip dan dasar pijakan keluarga yang di berlakukan dengan mazhab Maliki.
2.
Memerhatikan aspek maslahah Mursalah
Kumpulan undang-undang hukum keluarga yang di beri judul mudawanah
al-ahwal syakhsiyah atau the code of personal status 1957-1958.
D.
Peradilan di Arab Saudi
Raja
Faisal mendirikan Kementerian Kehakiman pada tahun 1962 dan mengangkat Menteri
Kehakiman pada tahun 1970. Sebelum ini, urusan peradilan berada di bawah kantor
Mufti Agung atau Dewan Mufti, tetapi setelah berdirinya Kementerian Kehakiman,
peradilan langsung berada di bawah kementerian ini, dan jabatan Mufti
digabungkan ke dalam Dewan Tertinggi Peradilan (al-Majlis al-A’la li al-Qadha’)
atau Mahkamah Agung Saudi, yang berdiri kemudian. Dari sini, maka peradilan
terbagi kepada dua bagian besar. Pertama adalah beberapa lembaga peradilan
berdiri sendiri yang bersifat peradilan administratif. Kedua adalah peradilan
syar’i atau syar’iyyah (Peradilan Syari’at Islam) yang langsung berada di bawah
Kementerian Kehakiman.
Peradilan
Berdiri Sendiri
1. Diwan
al-Mazhalim (literal: Dewan Ketidakadilan).
2. Hai’ah
Muhakamah al-Wuzara’ (Lembaga Peradilan Kabinet).
3. Al-Hai’at
al-Mukhtashshah bi Ta’dib al-Muwazhzhafin (Lembaga Khusus Pendisiplinan
Pegawai).
4. Lajnah
Qadhaya at-Tazwir (Komite Perkara-Perkara Pemalsuan).
5. Hai’ah Hasm
an-Niza’at at-Tijariyyah (Lembaga Penyelesaian Sengketa Dagang).
6. Al-Lujan
al-Markaziyyah liqadhaya al-Ghisy at-Tijari (Komite Pusat Perkara-Perkara
Penipuan Dagang).
7. Al-Ghuraf
at-Tijariyyah wa ash-Shina’iyyah (Kamar Dagang dan Industri).
8. Al-Mahkamah
at-Tijariyyah (Peradilan Perdagangan).
9. Lajnah
Taswiyah Qadhaya al-‘Ummal (Komite Penyelesaian Perkara Buruh),
10. Al-Majalis
at-Ta’dibiyyah al-‘Askariyyah (Majelis Pendisiplinan Militer).
11. Al-Majalis
at-Ta’dibiyyah li al-Amn ad-Dakhili (Majelis Pendisiplinan Keamanan Dalam
Negeri). [12]
Lembaga
peradilan berdiri sendiri yang disebut di atas adalah semacam peradilan ad.hoc
yang tidak berketerusan. Ia ada bila diperlukan yang mengadili perkara-perkara
tertentu dan tidak mempunyai hakim dan aparat peradilan yang tetap. Peradilan
Syar’iyah dan Peradilan Berdiri Sendiri termasuk dalam empat jenis peradilan
yang disebutkan oleh para fuqaha’ yaitu Peradilan Biasa (al-Qadha’ al-‘Adiyah),
Peradilan Diwan al-Mazhalim (Qadha’ al-Mazhalim), Peradilan Perhitungan (Qadha’
al-Hisbiyyah), dan Peradilan Militer (al-Qadha’ al-‘Askari). Kecuali Peradilan
Syar’iyah, maka semua Peradilan Berdiri Sendiri, termasuk jenis kedua, ketiga
dan keempat. Peradilan utama adalah Peradilan Syar’iyyah sebagai peradilan umum
yang berada di bawah Kementerain Kehakiman dan Peradilan Diwan al-Mazhalim
sebagai peradilan administrasi yang berada di bawah Raja.
Diwan
al-Mazhalim
Pengadilan
Mazhalim pada mulanya di zaman Raja ‘Abd al-‘Aziz merupakan tanggapan terhadap keluhan masyarakat tentang
ketidakadilan yang diterima rakyat. Raja menyediakan waktu tertentu dalam
sebulan untuk mendengarkan keluhan masyarakat, lalu ia mencarikan jalan
keluarnya. Pada tanggal 12.6.1373H/1954M dibentuk sebuah badan resmi negara
dengan nama Diwan al-Mazhalim langsung di bawah Kantor Perdana Menteri yang
menangani keluhan masyarakat termasuk kesalahan yang dilakukan oleh para hakim,
pejabat pemerintah dan kontrak-kontrak yang dilakukan warga negara yang
melibatkan pihak asing atau lembaga pemerintah, masalah distribusi barang-barang,
perwakilan-perwakilan perdagangan, sengketa maritim dan semua sengketa
perdagangan selain bank.
Kewenangan
lembaga berkembang menjadi tiga divisi, yaitu administratif, perdagangan dan
pidana. Terdapat sebuah Panel Audit (Audit Panels) berfungsi sebagai peradilan
banding. Keluhan disampaikan kepada Ketua Dewan yang membentuk sebuah tim panel
yang akan membicarakan kasus tersebut dan salah seorang anggotanya harus
pengacara atau ahli hukum. Putusan diambil dengan suara terbanyak beberapa
minggu setelah keluhan disampaikan. Tim dapat menolak keluhan tersebut atau
mengabulkannya. Bila putusan telah diambil, keberatan hanya dapat diajukan ke
Kabinet atau Dewan Menteri. Pemohon mengajukan keberatannya ke Kantor Raja atau
Kantor Putera Mahkota, kemudian diteruskan ke Kantor Hukum Raja atau Putera
Mahkota. Jawaban akan diberikan kepada Diwan al-Mazhalim. Bila putusan telah
ditandatangani oleh Raja, maka putusan bersifat final. Putusan Panel Audit
dalam bidang hukum administrasi dapat menjadi preseden bagi Diwan al-Mazhalim.[13]
Hampir sama seperti di Indonesia, dimana di Arab Saudi juga
mengenal pengadilan TUN, dan pengadilan umum yang menangani kasus pidana.
Bedanya, disana adalah lebih rincinya masalah mekanisme penanganan kasus.
Fungsi
Diwan al-Mazhalim adalah melaksanakan
putusan lembaga luar negeri baik peradilan maupun arbitrase. Permohonan dengan
melampirkan putusan yang sudah dilegalisasi disampaikan melalui Kantor Hukum
Menteri Luar Negeri lalu disampaikan kepada Diwan. Putusan yang dimohonkan
harus bersifat final dan negara dari pengadilan tempat perkara itu diputus
mempunyai perjanjian eksekusi dengan Saudi Arabia. Dalam kasus-kasus tertentu,
perkaranya kadang-kadang diperiksa lagi oleh peradilan Saudi.[14]
“Di samping sistem hukum Syari’at, yang
dilaksanakan oleh Kementerian Kehakiman, pemerintah Saudi juga menerapkan
regulasi-regulasi dan membangun lembaga-lembaga untuk menangani kasus-kasus
yang tidak dicakup oleh Syari’at. Ini dirancang supaya sesuai dengan
prinsip-prinsip Syari’at dan melengkapinya dan bukan menggantinya. Hasilnya
adalah sebuah sistem hukum ganda, yang satu seluruhnya berdasarkan Syari’at dan
yang lain bersifat otonomi, tetapi tidak terlepas dari Syari’at. . .
Peradilan
Syar’iyyah
Peradilan
negara tertinggi adalah al-Majlis al-A’la li al-Qadha’ (Majelis
Tertinggi Peradilan/MA). Di bawahnya terdapat dua peradilan banding di Makkah
dan peradilan banding di Riyadh. Di bawah peradilan banding adalah peradilan tingkat pertama yang terdiri dari
peradilan biasa atau umum dan peradilan segera. [15]
Berarti
di Arab Saudi mengenal struktur peradilan, yang mana adanya urutan penanganan
kasus mulai dari peradilan tingkat pertama hingga tingkat banding. Ini berarti
Peradilan Syari’ah telah kompleks seperti di Indonesia.
Reformasi
Sistem Peradilan
Raja ‘Abdullah bin ‘Abd al-‘Aziz pada tanggal 1 Oktober 2007
menerbitkan Royal Order (Titah Raja) tentang pembaharuan peradilan.
Pelaksanaannya diperkirakan berjalan dalam dua sampai tiga tahun. Untuk
pembaharuan ini, Pemerintah menyiapkan dana sebesar tujuh miliar riyal atau
sekitar 1,8 milyar dolar AS yang digunakan untuk pembangunan sarana, prasarana,
termasuk pelatihan hakim dan aparat peradilan yang baru, dan lain-lain. Intinya
adalah pembaharuan Peradilan Syari’at yang telah berjalan lebih kurang 30 tahun
dan Peradilan Diwan al-Mazhalim.yang telah berjalan lebih kurang 25 tahun.
Berdasarkan Undang-Undang Peradilan 2007 ini, maka Majelis
Tertinggi Peradilan tidak lagi berperan sebagai Mahkamah Agung, tetapi sebagai
pusat administrasi peradilan. Di antara tugasnya adalah:
·
Menerbitkan regulasi berhubungan dengan tugas-tugas para hakim dengan
persetujuan Raja.
·
Menerbitkan regulasi-regulasi pengawasan peradilan, pendirian peradilan baru,
penggabungan dan penghapusan peradilan.
·
Menetapkan wilayah yurisdiksi dan pembentukan tim majlis.
·
Menetapkan ketua-ketua peradilan banding.
·
Menerbitkan aturan-aturan tentang fungsi dan kekuasan ketua-ketua pengadilan
dan wakil-wakilnya.
·
Menerbitkan aturan-aturan tentang metode pemilihan hakim.
·
Mengatur tugas para pembantu hakim, dan lain-lain.[16]
Berdasarkan
aturan baru ini, maka hirarki Pengadilan Syari’at menjadi tiga tingkat. Pertama
adalah Pengadilan Tinggi sebagai Mahkamah Agung. Kedua adalah Pengadilan
Tingkat Banding yang terdiri dari:
1. Pengadilan Perdata
2. Pengadilan Pidana
3. Pengadilan Hukum Keluarga
4. Pengadilan Perdagangan
5. Pengadilan Perburuhan.
Pengadilan
Tingkat Pertama yang terdiri dari:
1. Pengadilan Umum
2. Pengadilan Pidana
3. Pengadilan Hukum Keluarga
4. Pengadilan Perdagangan
5. Pengadilan Perburuhan. [17]
Pengadilan
Diwan al-Mazhalim berubah menjadi Badan Peradilan Administratif (Board of
Administrative Court) yang mempunyai hirarki mirip dengan hirarki
Pengadilan Syari’at yang terdiri dari Pengadilan Tinggi Administratif, Pengadilan
Banding Administrasi, dan Pengadilan Tingkat Pertama Administratif. Pengadilan
Tingkat Pertama dan Banding Administratif terdiri dari 1. Bidang Pendisiplinan,
2. Bidang Administratif, 3. Bidang Subsider, dan 4. Bidang Spesialisasi yang
lain.[18]
Kesimpulan
dan Penutup
·
Di
Mesir, Mahkamah Qonsuliah dihapuskan dan tugasnya dialihkan ke mahkamah
mukhalitah. Mahkamah mukhalitah juga dihapuskan pada tahun 1949. Dengan
dihapuskan dua lembaga ini, Mesir mengalami perubahan perundang-undangan dan sistem
peradilan. Kedudukannya sejajar dengan eksekutif.
·
Di
Sudan, lembaga peradilan ini terdiri dari lembaga tertinggi, menengah, dan
awaliyah. Lembaga peradilan tertinggi mempunyai kewenangan dalam membatasi
perundang-undangan dan pembentukannya, lembaga peradilan menengah dan lembaga
peradilan awaliyah memiliki kewenagan dalam memberikn keputusan terhadap pelaku
tindak kejahatan, permasalahan al-ahwal asy-syaksiyah, seperti perkawinan,
zakat, infak,dan waris. Kedudukannya sejajar dengan eksekutif.
·
Sistem
hukum di Maroko dibagi menjadi 2 macam
badan peradilan, mahkamah syariah dan mahkamah Madaniyah (peradilan
umum), hukum kanomik, dan civil law Prancis. Pengaruh Islam sangatlah kuat
disana. Berdasarkan aturan baru ini, maka hirarki Pengadilan Syari’at menjadi
tiga tingkat. Pertama adalah Pengadilan Tinggi sebagai Mahkamah Agung. Kedua
adalah Pengadilan Tingkat Banding, dan Pengadilan Diwan al-Mazhalim berubah
menjadi Badan Peradilan Administratif (Board of Administrative Court) yang
mempunyai hirarki mirip dengan hirarki Pengadilan Syari’at yang terdiri dari
Pengadilan Tinggi Administratif, Pengadilan Banding Administrasi, dan
Pengadilan Tingkat Pertama Administratif. Pengadilan Tingkat Pertama dan
Banding Administratif terdiri dari 1. Bidang Pendisiplinan, 2. Bidang
Administratif, 3. Bidang Subsider, dan 4. Bidang Spesialisasi yang lain.
Alhamdulillah, makalah ini
selesai saya buat. Tentunya masih banyak kesalahan yang terkandung di dalamnya.
Maka dengan senang hati penyusun memohon kritik dan saran dari Bapak Dosen atau
pembaca pada umumnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Amiin.
Daftar Pustaka
1.
http://www.
HilmanFitriAlbanjary.blogspot.com, “perkembangan-hukum-islam-pada-masa-modern-yaitu-di-mesir-sudan-dan-maroko”
2 agutus 2013.
2.
. http://www. islamic-law-in-indonesia.blogspot.com, “sistem
peradilan Saudi Arabia” 13 februari
2010.
[1] http://www. HilmanFitriAlbanjary.blogspot.com, “perkembangan-hukum-islam-pada-masa-modern-yaitu-di-mesir-sudan-dan-maroko”
2 agutus 2013.
[2] Loc.cit
[3] Loc.cit
[4] Loc.cit
[5] Loc.cit
[6] Loc.cit
[7] Loc.cit
[8] Loc.cit
[9] Loc.cit
[10]Loc.cit
[11] Loc.cit
[12] http://www. islamic-law-in-indonesia.blogspot.com/2010/02.
[13] http://www. islamic-law-in-indonesia.blogspot.com/2010/02
[14]
Loc.cit
[18] Loc.cit